Search This Blog

Sunday, July 14, 2013

Bencana dalam Alquran

Bencana dalam Alquran

Oleh Moch Syarif Hidayatullah
(Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta)
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan pandangan Islam ihwal bencana alam. Pandangan itu diambil dari Alquran dan hadis sebagai rujukan utama idiom, istilah, konsep, dan tema pokok dalam Islam.Ini terkait dengan sembilan kata yang diketahui berisi pandangan Islam soal bencana: zhulumat, al-kubar, al-karb, su', nailan, 'adzab, sayyi'ah, da'irah, dan mushIbah. Ada enam bencana alam yang disinggung Alquran, seperti banjir, gempa, angin topan, hujan batu, kemarau, dan kelaparan. Dari keenam bencana alam itu, diskusi mengenai bencana apakah sebagai ujian atau siksa, diketahui lebih banyak sebagai siksa. Meski demikian, bencana tidak bisa dicegah, hanya bisa diantisipasi saja. Cara orang melalui bencana juga ada beraneka, yang berbanding lurus dengan misteri bencana, yang kemudian dianggap sebagai hikmah. Ada delapan hikmah yang bisa didapat saat bencana. Semua data yang berkaitan dengan bencana diunduh untuk menghasilkan pandangan Islam secara utuh.
Kata kunci : bencana alam, Islam, ujian, siksa
PENDAHULUAN
Yang disebut bencana alam itu--sesuai definisi yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 131)--adalah sesuatu yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian, atau penderitaan yang disebabkan oleh alam. Biasanya bencana ini menyangkut segala kejadian yang menimpa dalam skala yang besar dan efek yang luar biasa. Ada banyak bencana alam yang mengitari kehidupan ini, seperti gempa bumi, tsunami, banjir bandang, tanah longsor, dan kekeringan. Selain bencana alam, ada bencana lain yang juga bisa berakibat fatal, yaitu bencana akibat ulah tangan manusia, seperti pengeboman, peperangan, kecelakaan beruntun, kecelakaan pesawat, dan kebakaran.Tulisan ini disajikan ketika bencana dalam skala besar datang silih berganti seperti hela nafas. Tsunami, gempa bumi, banjir, lumpur Porong, dan kekeringan, susul-menyusul menghabiskan air mata kita sebagai bangsa. Ini tidak memasukkan bencana ekonomi, politik, budaya, keamanan, pertahanan, dan moral, yang tak akan pernah bisa dibincangkan dalam tulisan sederhana ini. Indonesia benar-benar tak berdaya di tengah keterpurukan di berbagai bidang. Kejatuhan yang bertubi-tubi melanda bumi pertiwi persis seperti pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga”. Lalu, apa sebetulnya yang terjadi dengan bencana yang tak juga menampakkan tanda-tanda akan berhenti? Ada apa dengan negeri ini? Adakah bencana itu ada kaitannya dengan ulah sebagian kita yang mengabaikan merawat dan menjaga anugerah Ilahi, sehingga yang semula anugerah berubah menjadi nestapa? Atau, bencana itu menjadi penanda negeri ini akan diangkat derajatnya? Pandangan Islam yang tercermin dalam Alquran dan sabda Nabi Muhammad (hadis) terkait dengan banyaknya bencana, akan disajikan di tulisan ini, yang diharapkan sebisa mungkin melengkapi beberapa tinjauan Islam sebelumnya terkait dengan masalah ini yang terlihat belum utuh dan sistematis.
METODOLOGI
Dalam tulisan ini, ragam bahasa tulis yang dipergunakan sebagai data dengan pertimbangan bahwa ragam tulis lebih mantap dan terencana. Bahasa Arab tulis yang dipergunakan sebagai data tulisan ini adalah bahasa Arab baku (fusha), terutama yang diperoleh dari Alquran dan hadis. Pemilihan Alquran dan hadis sebagai sumber data didasarkan pada pandangan bahwa ragam bahasa tulis Alquran dan hadis adalah ragam bahasa baku yang dipahami oleh semua penutur Arab dan kegramatikalannya pun tidak diragukan (Holes 1995). Alasan lain dipilihnya Alquran dan hadis adalah karena keduanya menjadi sumber utama semua idiom, istilah, dan tema pokok Islam. Data yang menjadi objek tulisan saya adalah semua kata yang berkaitan dengan bencana alam yang terdapat dalam Alquran dan hadis. Untuk melihat masing-masing kata dalam konstruksi kalimat, tulisan ini memanfaatkan sumber data utama dari Al Quran Digital Versi 2.0 (CD-ROM).2004. Pengumpulan data dilakukan dengan menginventariskan data yang diambil dari sumber data di atas dengan teknik sadap dan catat (Mahsun 2000: 66-67). Ayat dan hadis yang memuat data dikumpulkan untuk memudahkan pengamatan terhadap konteks masing-masing kata di atas. Data yang dikumpulkan berperan sebagai percontoh untuk menemukan kaidah yang pada akhirnya diharapkan juga menjangkau data yang pada saat diteliti tidak ditemukan.Tulisan ini merupakan studi kasus yang bersifat kualitatif (Merriam 1988: 16 dalam Nunan 1992: 77). Dengan kata lain, tulisan ini akan mengamati, mendeskripsikan, menganalisis, dan menjelaskan pandangan Islam, terutama dalam Alquran (dalam beberapa kasus melibatkan hadis), terkait dengan bencana alam. Secara umum, metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah kajian lapangan. Namun, tulisan ini juga memanfaatkan kajian pustaka, yaitu pada saat menjelaskan makna kata dalam konstruksi kalimat. Dengan pertimbangan untuk menghasilkan konteks makna yang akurat berdasarkan intuisi penutur asli bahasa Arab, tulisan ini memanfaatkan pendapat para ahli tafsir Alquran, seperti Al-Qurthubi (1997) dan Ibn Katsir (1997). Tulisan ini juga memanfaatkan terjemahan Alquran yang dipergunakan untuk memperbandingkan makna kata yang diteliti dengan buku tafsir di atas. Terjemahan Alquran yang dipergunakan berasal dari Tim Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an. 2004. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama RI. Langkah pemerolehan data kata pada konstruksi kalimat, secara kronologis dapat dirinci sebagai berikut: (1) menemukan kata yang termasuk dalam kategori musibah dan bencana alam, melalui fasilitas mesin pencari yang tersedia pada CD-ROM; (2) mengamati makna yang terdapat pada kata itu berdasarkan konteks dan koteksnya; (3) mengklasifikan data yang sudah teridentifikasi berdasarkan ciri semantis untuk memperoleh klasifikasi jenis bencana alam.Untuk analisis pada saat kata itu berada dalam konstruksi kalimat, tulisan ini memanfaatkan teori Cruse (1986) dan (2000). Cruse (2000: 105) menyebut sebuah kata bisa saja tidak hanya mempunyai satu makna. Kasus seperti itu bisa saja terjadi bila sebuah kata merujuk pada acuan yang berbeda sesuai dengan konteks pemakaian kata itu.Interpretasi yang diberikan pada kata tertentu akan sangat beragam dari satu konteks ke konteks yang lain. Sebagai contoh kalimat (a) They moored the boat to the bank dan (b) He is the manager of a local bank. Berdasarkan konteksnya, kata bank pada kalimat (a) harus bermakna ‘sloping side of river’ dan pada kalimat (b) harus bermakna ‘financial institution’. Cruse (1986: 8) menyebut dua sumber utama pada data primer dalam kasus seperti itu: (1) keluaran yang produktif dari seorang penutur asli suatu bahasa baik yang tertulis maupun yang terucap; (2) keputusan makna intuitif yang dikemukakan oleh penutur asli pada materi bahasa dalam satu jenis atau yang lain. Jadi, secara intuitif penutur asli pada umumnya bisa membedakan perbedaan makna yang terjadi pada kata itu.
HASIL DAN DISKUSI
Kata Bencana dalam AlquranDalam bahasa Arab, segala hal yang tidak disukai yang menimpa seseorang disebut mushIbah (lih. Al-Ayid, 2003: 754). Kata ini diserap dalama bahasa Indonesia menjadi musibah yang mempunyai dua makna: pertama, ‘kejadian (peristiwa) menyedihkan yang menimpa’; kedua, ‘malapetaka’ (lih. Alwi dkk., 2002: 766). Alquran juga menggunakan kata ini di antaranya untuk memaknai apa yang kita kenal sebagai bencana. Ini paling tidak terlihat dalam bentuk verba perfektif pada QS 3: 146 (ashaba); dalam bentuk verba imperfektif pada QS 13: 31 (y[t]ushIbu); dan dalam bentuk nomina pada QS 9: 50 (mushIbah).         
Selain kata ini, Alquran--sesuai terjemahan yang dilakukan oleh tim ahli Departemen Agama (Al Quran Digital 2.0, CD-ROM 2004)—menggunakan kata lain yang berkonsep bencana. Sedikitnya ada delapan kata yang kemudian dipadankan dengan bencana.Pertama, kata zhulumat (bentuk plural dari zhulmah), seperti terdapat pada QS 6: 23. Kedua, kata al-kubar, seperti terdapat pada QS 74: 35. Ketiga, kata al-karb, seperti terdapat pada QS 37: 115, 37: 76, 21: 76, 6: 64. Keempat, kata su', seperti terdapat pada QS 33: 17. Kelima, kata nailan, seperti terdapat pada QS 9: 120. Keenam, kata 'adzab, seperti terdapat pada QS 9: 26. Ketujuh, kata sayyi'ah (bentuk tunggal), seperti terdapat pada QS 3: 120, 4: 78—79; kata sayyi'at (bentuk jamak), seperti terdapat pada QS 7: 168. Kedelapan, kata da'irah, seperti terdapat pada QS 5: 52.              
Namun demikian, kata mushIbah-lah yang paling banyak dipergunakan sebagai pengganti konsep bencana dalam bahasa Indonesia. Kata ini sendiri sedikitnya terdapat pada 50 ayat di Alquran. Kelima puluh ayat itu dikelompokkan oleh al-Zuhayli (2002: 762) menjadi  16 tema. Keenam belas tema itu masing-masing: (1) ketika musibah datang, seperti pada QS 2: 214, 38: 25; (2) meramalkan musibah, seperti pada QS 7: 131; (3) musibah itu takdir dari Allah, seperti pada QS 3: 166, 4: 78, 9: 51, 57: 22, 64: 11; (4) Allah saja yang bisa menyirnakan musibah, seperti pada QS 6: 17, 10: 12, 10: 107, 16: 53—54, 3: 33; (5) sabar dalam menghadapi musibah, seperti pada QS 2: 155—156, 3: 165, 3: 172, 22: 35, 31: 17; (6) siksa berupa musibah, seperti pada QS 3: 165, 4: 62, 7: 100, 16: 34, 24: 63, 28: 47, 30: 36, 39: 51, 42: 30, 42: 48; (7) musibah mengenai siapa saja, seperti pada QS 8: 25; (8) putus asa saat musibah datang, seperti pada QS 17: 83, 30: 36; (9) kufur ketika musibah datang, seperti pada QS 22: 11, 42: 48; (10) kepanikan menghadapi musibah, seperti pada QS 7: 95; 22: 11; 14: 49; 41: 51; 70: 19—20; (11) musibah yang menjadi siksa, seperti pada QS 7: 156; 9: 52; 11: 81; 13: 31; (12) musibah di jalan Allah, seperti pada QS 3: 146; (13) musibah akibat kelalaian manusia, seperti pada QS 3: 165; 4: 106; (14) musibah berupa kematian, seperti pada QS 5: 106; (15) musibah yang disukai musuh, seperti pada QS 3: 120; 4: 72; 9: 50; (16) musibah akibat kezaliman, seperti pada QS 3: 117.         
Hanya saja kata mushIbah berikut derivasi dan infleksinya yang terdapat di Alquran itu tidak selalu mengacu pada konsep bencana alam yang menjadi bahasan tulisan ini. Kata mushIbah dalam Alquran itu mengacu pada definisi kata ini dalam bahasa Arab. Konsepnya lebih luas daripada kata bencana alam, karena musibah apa pun meskipun skala dan efeknya kecil tetap saja bisa disebut mushIbah, yang tentu saja dalam bahasa Indonesia tidak bisa disebut bencana alam. 
Ujian atau Siksa? Pertanyaan ini selalu saja menarik peneliti yang mengkaji tema bencana alam dalam tinjauan agama apa pun. Dalam Islam pun, pertanyaan ini juga banyak muncul. Kesan ini pun tercermin dalam beberapa ayat Alquran. Sejauh pengamatan saya, Alquran mengelompokkan bencana menjadi dua kelompok ini. 
Kelompok bencana yang menjadi ujian terdapat setidaknya pada ayat berikut: "Mengapa ketika ditimpa bencana (pada Perang Uhud), padahal kalian telah mengalahkan dua kali lipat musuh-musuhmu (pada Perang Badar), kalian berkata, 'Darimana datangnya (bencana berupa kekalahan) ini?' Katakanlah, 'Itu (berasal) dari (kesalahan) dirimu sendiri.' Allah Mahakuasa atas segala sesuatu," (QS Ali Imran [3]: 165). Kelompok bencana yang menjadi siksa yang diakibatkan perilaku zalim terdapat pada ayat berikut: "Perumpamaan harta yang mereka nafkahkan di dalam kehidupan dunia ini, seperti angin yang mengandung hawa yang sangat dingin, yang menyapu tanaman kaum yang menganiaya diri sendiri, lalu angin itu merusaknya. Allah tidak menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri," (QS Ali Imran [3]: 117). Bencana akibat perilaku maksiat terdapat pada ayat berikut: "Ketika mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami (Allah) menyelamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang lalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat maksiat," (QS Al-A'raf [7]: 165). Bencana yang menjadi siksa terdapat pada ayat berikut: "Orang yang tidak beriman senantiasa ditimpa bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri atau bencana itu terjadi dekat tempat kediaman mereka, sehingga janji Allah itu terbukti. Allah tidak menyalahi janji," (QS Al-Ra'd [13]: 31).                
Pada ayat-ayat di atas parameternya sangat jelas, mana bencana yang menjadi ujian dan mana bencana yang menjadi siksa. Bila bencana itu diakibatkan karena kesalahan yang tidak disengaja, maka bencana itu menjadi ujian bagi pelakunya, untuk kemudian mengukur seberapa besar kadar keimanannya. Sebaliknya, bila bencana itu diakibatkan oleh perilaku maksiat, zalim, dan tidak beriman yang disengaja, maka bencana itu menjadi siksa.        
Namun, bila yang dimaksudkan bencana alam, maka Alquran selalu mengelompokkannya ke dalam bencana yang menjadi siksa dan berkait dengan perilaku tidak beriman. Ada lima bencana alam yang disinggung dalam Alquran: gempa, banjir, angin topan, petir, hujan batu, dan paceklik. Terkait dengan gempa, Alquran menginformasikan pada beberapa ayat berikut:
  1. Ayat
  2. (1)       
"Katakanlah, 'Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan siksa kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu," (QS Al-An'am [6]: 65).
  1. (2)       
"Karena itu mereka ditimpa gempa, lalu mereka menjadi mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka," (QS. Al-A'raf [7]: 78).
  1. (3)       
"Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan tobat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan. Lalu, ketika mereka digoncang gempa bumi, Musa berkata, 'Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah Yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya,"(QS Al-A'raf [7]: 155).
  1. (4)       
"Mereka tidak mengimani Syuaib, lalu mereka ditimpa gempa yang dahsyat, dan jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat-tempat tinggal mereka,"(QS Al-Ankabut [29]: 37).
Data (1) memang tidak secara eksplisit menyebut gempa, tetapi yang dimaksud siksa yang dari bawah kakimu adalah gempa bumi. Ayat ini berkaitan dengan orang yang tidak beriman atas Alquran sebagai kitab suci. Data (2) juga berkaitan dengan sekelompok orang yang tidak mengimani kenabian Shaleh. Sementara itu, data (3) terkait dengan perbuatan sekelompok orang yang membuat patung anak lembu untuk dijadikan sesembahan selain Allah. Data (4) dengan tegas menyebut sekelopok orang yang tidak mengimani kenabian Syuaib.Keempat data di atas sangat jelas menunjukkan bahwa gempa bumi itu berkaitan dengan siksa sebagai akibat perilaku tidak beriman.Terkait dengan banjir, Alquran menginformasikan pada beberapa ayat berikut:
  1. (5)       
"Tetapi mereka berpaling, Kami pun datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl, dan sedikit dari pohon Sidr," (QS Saba' [34]: 16).
  1. (6)       
"Lalu Kami wahyukan kepadanya, 'Buatlah bahtera di bawah pantauan dan petunjuk Kami. Lalu, apabila perintah Kami telah datang dan tanur telah memancarkan air, maka masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari tiap-tiap (jenis), dan (juga) keluargamu, kecuali orang yang telah lebih dahulu ditetapkan (akan ditimpa azab) di antara mereka. Janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim, karena sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan," (QS Al-Mukminun [23]: 27).
  1. (7)       
"Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya. Dia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun, lalu mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim," (QS Al-Ankabut [29]: 14).
Menurut Al-Qurthubi (1997), data (5) terkait dengan kaum Saba' yang mengingkari nikmat Tuhan. Banjir itu sebagai akibat atas ketidakberiman mereka pada Zat yang memberi nikmat. Banjir besar itu sendiridisebabkan oleh runtuhnya bendungan Ma'rib. Tanur yang disebutkan pada data (6) adalah semacam alat pemasak roti yang diletakkan di dalam tanah terbuat dari tanah liat. Biasanya, tidak ada air di dalamnya. Terpancarnya air di dalam tanur itu menjadi tanda bahwa banjir besar akan melanda negeri itu. Informasi pada data (6) itu dilengkapi oleh data (7) bahwa banjir itu diakibatkan perilaku tidak beriman kaum Nuh terhadap kenabian Nuh (Noah).Ketiga data di atas sangat jelas menunjukkan bahwa banjir itu berkaitan dengan siksa sebagai akibat perilaku tidak beriman.Terkait dengan angin topan, Alquran menginformasikan pada beberapa ayat berikut:
  1. (8)       
"Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Kepunyaan Allahlah tentara langit dan bumi. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,"(QS Al-Fath [48]: 4).
  1. (9)       
"Tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, mereka berkata, 'Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami.' (Bukan!) bahkan itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera, (yaitu) angin (topan) yang mengandung azab yang pedih,"(QS Al-Ahqaf [46]: 24).
  1. (10)     
 "Kami meniupkan angin (topan) yang amat gemuruh kepada mereka dalam beberapa hari yang sial, karena Kami hendak merasakan kepada mereka itu siksa yang menghinakan dalam kehidupan dunia. Padahal, siksa akhirat lebih menghinakan, sementara mereka tidak diberi pertolongan,"(QS Fushshilat [41]: 16).
  1. (11)     
"Atau apakah kamu merasa aman dari dikembalikan-Nya kamu ke laut sekali lagi, lalu Dia meniupkan atas kamu angin topan dan ditenggelamkan-Nya kamu disebabkan kekafiranmu.Kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun dalam hal ini terhadap (siksaan) Kami," (QS Al-Isra [17]: 69).
  1. (12)     
"Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu lihat. Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan,"(QS Al-Ahzab [33]: 9).
  1. (13)     
"Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus," (QS [54]: 19).
  1. (14)     
"Apakah kamu merasa aman (dari hukuman Tuhan) yang menjungkirbalikkan sebagian daratan bersama kamu atau Dia meniupkan (angin keras yang membawa) batu-batu kecil? dan kamu tidak akan mendapat seorang pelindungpun bagi kamu,"(QS Al-Isra [17]: 68).
  1. (15)     
"Kaum 'Ad telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang," (QS Al-Haqqah [69]: 6).
  1. (16)     
"Angin itu tidak membiarkan satu pun yang dilaluinya, melainkan dijadikannya seperti serbuk," (QS Al-Dzariyat [51]: 42).
  1. (17)     
"Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus. Kamu lihat kaum 'Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk),"(QS Al-Haqqah [69]: 7).
  1. (18)     
"Pada (kisah) 'Ad ketika Kami kirimkan kepada mereka angin yang membinasakan," (QS Al-Dzariyat [51]: 41).
  1. (19)     
"Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka), kecuali keluarga Luth. Mereka Kami selamatkan sebelum fajar menyingsing,"(QS Al-Qamar [54]: 34).
Data (8) memang tidak disebutkan soal angin topan. Namun, menurut Ibn Katsir (1997), tentara langit dan bumi yang ada di ayat itu ialah penolong yang dijadikan Allah untuk orang-orang mukmin seperti malaikat-malaikat, binatang-binatang, angin topan, dan sebagainya. Dengan kata lain, tentara langit dan bumi akan memukul orang yang tidak beriman. Data (9) terkait dengan kaum 'Ad yang tidak beriman atas kenabian Hud. Data (10) juga terkait dengan kaum 'Ad. Data (11) terkait dengan orang yang tidak beriman atas kenikmatan yang diterima. Data (12) terkait dengan sekelompok orang menentang Allah dan Rasul-Nya. Data (13) juga terkait dengan kaum 'Ad. Data (14) terkait dengan orang yang tidak beriman atas kenikmatan yang diterima. Data (15) juga terkait dengan kaum 'Ad.Data (16) pun terkait dengan kaum 'Ad. Data (17) juga terkait dengan kaum 'Ad. Data (18) pun terkait dengan kaum 'Ad. Data (19) terkait dengan kaum Luth yang tidak mengimani ajakan Luth untuk hidup normal dalam kecenderungan seksual. Ketiga ayat di atas sangat jelas menunjukkan bahwa banjir itu berkaitan dengan siksa sebagai akibat perilaku tidak beriman. Data di atas sangat jelas menunjukkan bahwa angin topan itu berkaitan dengan siksa sebagai akibat perilaku tidak beriman.Terkait dengan hujan batu, Alquran menginformasikan pada beberapa ayat berikut:    
  1. (20)     
"Kami turunkan hujan atas mereka (hujan batu), lalu amat buruklah hujan yang ditimpakan atas orang-orang yang diberi peringatan itu,"(QS Al-Naml [27]: 58).
  1. (21)     
"Mereka (kaum musyrik Mekah) telah melalui sebuah negeri (Sadum) yang (dulu) dihujani dengan hujan terburuk ( hujan batu). Apakah mereka tidak menyaksikan runtuhan itu?"(QS Al-Furqan [25]: 40).
  1. (22)     
"Kami hujani mereka dengan hujan (batu). Amat jeleklah hujan yang menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan itu," (QS Al-Syuara [26]: 173). 
 "Kami turunkan kepada mereka hujan (batu). Perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu," (QS Al-A'raf [7]: 84).
  1. (23)     
"Masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya. Di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan. Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri,"(QS Al-Ankabut [29]: 40).
Semua data yang menginformasi siksa berupa hujan batu di atas berkaitan dengan kaum Luth yang tidak mengimani kenabian Luth serta tidak mengindahkan anjuran Luth untuk hidup normal secara seksual.  Terkait dengan petir, Alquran menginformasikan pada beberapa ayat berikut:
  1. (24)     
"Jika mereka berpaling, maka katakanlah, 'Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum 'Ad dan Tsamud,'"(QS Al-Syura [41]: 13).
  1. (25)     
"Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah Kitab dari langit. Mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata, 'Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata." Mereka disambar petir karena kezalimannya. Mereka menyembah anak sapi, sesudah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata, lalu Kami aafkan (mereka) dari yang demikian. Kami telah berikan kepada Musa keterangan yang nyata," (QS Al-Nisa [4]: 153).
  1. (26)     
"(Kami lakukan terhadap mereka beberapa tindakan)[377], disebabkan mereka melanggar perjanjian itu, juga karena kekafiran mereka terhadap keterangan-keterangan Allah, karena membunuh para nabi tanpa (alasan) yang benar, dan karena mengatakan, 'Hati kami tertutup.' Bahkan, sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka karena kekafirannya, karena itu mereka tidak beriman kecuali sebahagian kecil dari mereka,"(QS Al-Nisa [4]: 155).
  1. (27)     
"Mudah-mudahan Tuhanku akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik daripada kebunmu (ini). Mudah-mudahan Dia mengirimkan keputusan (berupa petir) dari langit kepada kebunmu; hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin,"(QS Al-Kahf [18]: 40).
  1. (28)     
"Kaum Tsamud telah Kami beri petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk. Karenanya mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan,(QS Fushshilat [41]: 17).
  1. (29)     
"Mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhannya, lalu mereka disambar petir dan mereka melihatnya," (QS Al-Dzariyat [51]: 44).
  1. (30)     
"Kaum Tsamud telah dibinasakan dengan kejadian yang luar biasa," (QS Al-Haqqah [69]: 5).
Data (24) menyinggung petir yang telah menyambar kaum 'Ad dan Tsamud. Data (25) menyinggung ihwal orang Yahudi pada zaman Nabi Musa juga tersambar petir karena ingin melihat Allah sebagai buah dari ketidakimanan mereka. Data (26) memang tidak menyebut secara langsung ihwal petir, tetapi pada frasa beberapa tindakan, menurut Al-Qurthubi (1997), salah satu yang dimaksudkan orang Yahudi disambar petir. Data (27) menginformasikan ihwal perilaku sseorang yang syirik sehingga kebunnya disambar petir. Data (28) menyinggung siksa yang diterima kaum Tsamud. Demikian pula dengan data (29). Data (30) pun berkaitan dengan siksa yang diterima kaum Tsamud, meskipun tidak disebutkan kata petir di ayat itu. Hanya yang dimaksud dengan kejadian luar biasa itu, menurut Ibn Katsir (1997), ialah petir yang amat keras yang menyebabkan suara mengguntur yang dapat menghancurkan. Ayat-ayat di atas sangat jelas menunjukkan bahwa bencana alam yang berhubungan dengan petir berkaitan langsung dengan perilaku tidak beriman dan syirik yang berbuah siksa.          
Terkait dengan kemarau, paceklik, dan kelaparan, Alquran menginformasikan pada beberapa ayat berikut:
  1. (31)     
"Andaikata mereka Kami belas kasihani, dan Kami lenyapkan kemudaratan yang mereka alami, mereka benar-benar akan terus menerus terombang-ambing dalam keterlaluan mereka,"(QS Al-Mukminun [23]: 75).
  1. (32)     
"Kami telah menghukum (Firaun dan) kaumnya dengan (mendatangkan)  musim kemarau yang panjang dan kekurangan buah-buahan, supaya mereka mengambil pelajaran," (QS Al-A'raf [7]: 130).
  1. (33)     
"Untuk orang-orang yang zalim ada azab selain daripada itu, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui," (QS Al-Thur [52]: 47).
  1. (34)     
"Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Karena itu, Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat,"(QS Al-Nahl [16]: 112).
  1. (35)     
"Tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata," (QS Al-Dukhan [44]: 10).
Data (31) terkait dengan kaum musyrikin yang mengalami kelaparan, karena tidak ada bahan makanan yang datang dari Yaman ke Mekah. Padahal, saat ittu Mekah dan sekitarnya dalam keadaan paceklik. Data (32) sangat gamblang menginformasikan hukuman yang diterima Firaun beserta pendukungnya yang tidak mengimani Allah. Data (33) memang tidak secara eksplisit menginformasikan kemarau, tetapi yang dimaksud azab yang lain ialah musim kemarau, kelaparan malapetaka yang menimpa mereka, azab kubur, dan lain-lain. Data (34) terkait dengan penduduk suatu negeri yang mengingkari keneikmatan Tuhan lalu mendapat bencana kelaparan dan ketakutan. Data (35) juga tidak secara gamblang menginformasikan kelaparan, tetapi yang dimaksud kabut yang nyata, menurut Ibn Katsir (1997), ialah bencana kelaparan yang menimpa kaum Quraisy karena mereka menentang Nabi Muhammad Saw.        
 Data yang terhimpun pada bagian ini membantah pandangan yang menyatakan bahwa bencana alam yang terjadi murni akibat gejala alam semata. Dari data yang ada, bencana alam selalu berkaitan erat dengan perilaku tidak beriman yang berbuah siksa. Gejala alam memang ada, tetapi itu bukan satu-satunya. Ada kesalahan yang kita buat baik sebagai pribadi maupun sebagai bangsa, sehingga Tuhan melalui alam sebagai makhluk-Nya menunjukkan kekuatan-Nya.
Mengantisipasi BencanaDalam Islam, semua yang sudah ditentukan Tuhan pasti akan terlaksana. Rela atau tidak, ketentuan Tuhan tetap berlaku. Allah Swt. berfirman, “Ketika Allah dan Rasul-Nya memutuskan sesuatu, maka mereka tidak mempunyai pilihan lain,” (QS Ali Imran [3]: 36). Bila mengikuti logika ayat ini, bencana alam yang memang sudah menjadi keputusan dan skenario Allah, maka siapa pun tidak punya pilihan lain untuk menghindarinya. Lalu, apakah tidak ada celah untuk bisa menghindarinya? Sebetulnya masih ada celah, meski itu hanya meminimalisasi kemungkinan bencana menjadi lebih banyak dampaknya. Caranya dengan mengantisipasi segala kemungkinan sehingga bisa lebih siap dalam menghadapi kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi. Meskipun ini tidak bisa menjadi jaminan sepenuhnya, karena setiap bencana punya rahasia dan misterinya tersendiri.          
Mengenai mengantisipasi musibah, kisah perahu Nabi Nuh menjadi pelajaran tersendiri. Nabi Nuh memang sudah diperintahkan Allah untuk menyiapkan perahu untuk keselamatannya dan keselamatan orang-orang yang berada di barisannya. Allah memerintahkan membuat perahu itu karena akan ada banjir bandang luar biasa di negeri yang ditinggalinya. “Buatlah kapal itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami Jangan bicarakan di hadapan-ku tentang orang-orang yang zalim itu. Mereka itu akan ditenggelamkan,” (QS Hud [11]: 37). Perahu ini adalah bagian dari antisipasi untuk menghindari musibah. Ketika banjir bandang benar-benar terjadi, Nabi Nuh bersama kaumnya yang taat selamat.          
Kisah Nabi Nuh ini memberikan pelajaran amat berharga. Upaya antisipasi harus tetap dilakukan, meski upaya itu tidak boleh membuat takabur akan kemampuan yang dimiliki. Ketakaburan akan antisipasi ini pernah ditunjukkan oleh Qan'an, putra Nuh, yang tidak mau mengikuti ajakan Nuh untuk naik ke atas kapal. "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!" (QS Hud [11]: 43). Padahal, Nuh sudah melarang. "Nuh berkata, 'Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang,'" (QS Hud [11]: 43). Karena tidak mendengar perintah sang ayah, Qan'an termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. Ini juga memberi pelajaran agar kita mau              mendengar orang-orang yang diberikan kemampuan lebih oleh Allah yang memang diyakini kejujuran dan reputasinya. Orang-orang itu bisa berangkat dari kalangan ilmuwan atau bisa juga dari kalangan awam yang memiliki kearifan lokal. Masalah gempa misalnya, seseorang yang berada di daerah rawan gempa mesti mendengar apa nasihat para ahli tentang rumah tahan gempa. Masalah tsunami, seseorabf juga harus mendengar dan mengamalkan nasihat para cerdik pandai untuk membuat bangunan yang bisa menyelamatkannya dari bencana dahsyat bila kita berada di wilayah yang rawan tsunami dan siklus tsunami sudah dekat waktunya. Selain para ilmuwan, patut juga mendengar orang-orang yang memiliki kearifan lokal, yang memang dianugerahi Allah kemampuan membaca penanda situasi dan kemampuan mengakrabi alam. Belakangan negeri ini punya Mbah Maridjan, yang dengan gagah berani menyatakan Gunung Merapi aman. Bangsa ini pun tidak pernah kehabisan orang-orang seperti Mbah Maridjan ini. Dulu ada Ronggowarsito dan tentu saja para wali songo.
Nabi Muhammad semenjak 15 abad lalu sudah menitipkan prinsip penting dalam masalah antisipasi ini. Ketika ada sahabat yang meninggalkan untanya tanpa diikat lantaran ia bertawakal sepenuhnya pada Allah, Nabi langsung menegur orang itu, “Ikat dulu, baru tawakal,” (HR Al-Tirmidzi). Dari sabda Nabi Muhammad ini pula Islam mengajarkan bahwa manusia tidak bisa mengandalkan usaha, tanpa disertai tawakal. Manusia hanyalah hamba yang dikendalikan skenario Tuhan. Manusia juga tidak boleh hanya mengandalkan tawakal, tanpa disertai usaha, karena Tuhan juga tidak menurunkan hujan emas begitu saja. Lalu, optimalisasi peran usaha dan tawakal hanya bisa mantap apabila diiringi doa. Dengan berdoa, siapa saja menjadi lebih tenang menerima ketentuan Allah, positif atau negatif dalam pandangannya. Doa sekaligus menunjukkan ketidakmampuannya mencapai apa yang diinginkannya dalam berusaha dan bertawakal.         
Kerelaan akan ketentuan yang sudah digariskan-Nya juga membuat seseorang mampu menerimanya dengan ikhlas. Terkait dengan ini, Nabi Muhammad pernah mewanti-wanti, "Siapa saja yang rela (akan ketentuan Allah), maka dia akan memperoleh kerelaan Allah. Sebaliknya, siapa saja yang marah (pada ketentuan Allah), maka dia akan mendapat murka Allah," (HR Al-Thabrani). Keyakinan bahwa Dia berlaku adil dan tidak ceroboh dalam menentukan takdir-Nya seperti ini, hanya bisa diperoleh bila seseorang berprasangka baik terhadap-Nya. Dalam salah satu hadis qudsi, Allah Swt. berfirman, “Aku ini bergantung dengan prasangka hamba-Ku pada-Ku,” (HR Al-Bukhari). Itu berarti bila seseorang berprasangka positif pada Allah, maka positif juga takdir yang akan didapatkan. Namun, bila negatif prasangka negatif, maka takdir yang akan ditetapkan-Nysa juga akan negatif. Sikap berprasangka positif ini ditandai dengan mau bersabar melalui bencana dan rela menerima takdir sembari terus berusaha. Sikap seperti ini pasti akan menghantarkannya pada jalan keluar. Allah berfirman, “Bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu. Kamu berada dalam penglihatan-Ku,” (QS Al-Thur [52]: 48). Melalui Bencana dan Sikap PascabencanaSemua orang pasti tidak mengharapkan mendapat bencana, meskipun mereka tahu bencana itu penting dalam proses kemanusiaan, keberagaamaan, dan penghambaan. Namun sesuai sunatullah, tidak jarang sesuatu yang tidak diinginkan justru menjadi sesuatu yang banyak manfaatnya di kemudian hari. Sebaliknya, sesuatu yang menyenangkan justru banyak mendatangkan madarat di belakang hari. Bukankah banyak penyakit yang disebabkan oleh sesuatu yang sangat disukai, seperti daging, yang manis-manis, es, dan lain sebagainya? Sebaliknya, bukankah sebagian besar obat justru rasanya tidak sangat disukai? Inilah sunatullah yang sudah diabadikannya dalam ayat kauniyah di atas dan ayat qauliyah berikut: “Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal sesuatu itu sangat baik buat kalian. Boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal sesuatu itu sangat tidak baik buat kalian,” (QS Al-Baqarah [2]: 216).               
Terkait dengan bencana ini, banyak cara orang dalam menyikapinya. Masyah (2007) menyebut beberapa variasi orang dalam menyikapi musibah, seperti reaktif, emosional, arif, kontemplatif, korektif, antisipatif, administratif, informatif, introspektif, inovatif, responsif, produktif, kontraproduktif, traumatis, histeris, koruptif, pasif, aktif, solider, altruistif, bahkan proaktif, atau hanya sekadar rekreatif. Semua sikap ini, menurutnya, berhubungan erat dengan kualitas orang yang bersangkutan.Saat bencana datang di menit-menit pertama, biasanya memang belum disadari dampak yang akan timbul setelahnya. Beberapa saat setelah bencana itu menimpa, barulah terpikirkan banyak hal yang mungkin terjadi di kemudian hari. Saat itulah biasanya seseorang mulai bersedih, menangis, dan berkeluh kesah. Pertanyaannya, apa salah seseorang menangis dan bersedih setelah mendapat bencana dalam pandangan Islam? Jawabnya, tidak, karena kedua hal itu manusiawi. Nabi Muhammad saja saat ditinggal putranya yang bernama Ibrahim pergi menghadap Sang Khalik, beliau juga bersedih dan bahkan menangis. Saat ditinggal istrinya yang pertama, Khadijah, dan pamannya yang selalu membela perjuangannya, Abu Thalib, Nabi Muhammad juga sangat terpukul. Beliau begitu bersedih hingga tahun itu dinamakan dengan ‘am al-huzn (tahun kesedihan).          
Ketika ada seorang sahabat yang bertanya setelah melihat Nabi menangis atas kematian Ibrahim, putranya, “Apa Anda menangis? Bukankah Anda melarang kita menangis di saat seperti ini?” Apa jawab Nabi? “Aku hanya dilarang berteriak-teriak histeris. Mata ini tak kuasa menahan tetes air mata. Hati pun tak sanggup menahan sedih. Tapi, aku hanya mengatakan apa yang diridai Allah.”         
Jawaban Nabi ini sekaligus memberi kunci menyikapi bencana. Karena, memang ternyata banyak yang salah sangka seolah-olah dilarang menangis dan bersedih saat mendapat bencana. Padahal, anggapan seperti itu tidak benar adanya. Memang, ada hadis Nabi yang menyatakan—kalau benar ini hadis—mayat akan disiksa lantaran teriakan histeris keluarganya. Hadis ini yang sering dijadikan alasan orang menyalahkan orang lain yang menangisi dan bersedih saat mendapat bencana seperti kematian. Namun, bila teliti melihat redaksi hadis itu, yang dilarang bukan menangis dan bersedih, tapi berteriak histeris. Tangapan Nabi atas pertanyaan sahabat di atas juga semakin meyakinkan kita semua bahwa menangis dan bersedih bukan suatu yang salah.            Mengapa berteriak histeris dilarang? Berteriak histeris itu simbol keputusasaan, seolah-olah semuanya sudah berakhir. Dengan bersikap seperti itu, seolah-olah tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Biasanya ini dilakukan oleh orang yang mengidap sindrom Firaun. Ini juga biasa dilakukan orang-orang yang biasa mendramatisasi persoalan. Berteriak histeris juga merupakan reaksi berlebihan atas bencana yang menimpa. Ini juga melanggar asas proporsionalitas.         
Seorang muslim harus menyadari bahwa dirinya milik Allah. Ia bahkan tidak mempunyai kekuatan sedikit pun menolak bencana yang menghampiri, meski itu sekecil titik sariawan yang menghiasi bagian mulutnya. Dengan kata lain, ia sesungguhnya tidak memiliki apa pun, bahkan atas apa yang melekat, apalagi hanya sekadar menempel di tubuhnyaa. Semua yang ada pada dirinya hanya semata-mata titipan ilahi, yang memang dipergunakan-Nya untuk menguji sejauh mana ia memanfaatkannya untuk kepentingan yang memang disukai-Nya. Karena sifatnya merupakan titipan, ia pasti tak sanggup menolak ketika Pemiliknya meminta kembali. Dan, yang mesti ddisadari dari awal bahwa semua ini pasti akan diminta-Nya kembali, bahkan nyawa yang mengalirkan nafas kehidupan ini juga tak akan sanggup ditolak ketika Dia memintanya.          
Nah, apakah ketika satu demi satu atau semua yang sudah diberikan-Nya itu diambil, seseorang tidak punya harapan lagi? Tentu saja tidak. Ini sudah menjadi sunatullah (hukum alam) bahwa ketika ada yang datang pasti ada yang pergi. Bila ada yang hilang pasti akan ada ganti. Kesadaran akan sunatullah yang paling mendasar ini sebetulnya akan banyak membantu proses pemulihan pascabencana. Asalkan ini dipahami dengan arif dan sanggup dijalani proses demi proses yang harus dilalui sebagai bagian dari ketentuan Allah, tentu apa pun yang dialami, bahkan seberat apa pun, akan menjadi mudah saja, atau setidaknya tidak terlalu didramatisasi seolah dunia sudah berakhir.       
Optimisme seperti ini yang tersembul dalam doa yang biasa dipanjatkan orang-orang saleh setelah mendapat bencana: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Allahumma ajirni fi mushibati wa akhlifni khairan minha” (kita semua milik Allah dan kita pasti akan kembali pada-Nya. Ya Allah, selamatkan aku dalam menghadapi musibah ini dan berikan aku ganti yang lebih baik daripada sesuatu yang sudah pergi).        
Doa ini memberikan penyadaran luar biasa bahwa yang memiliki semua ini, termasuk hidup ini dan seluruh perangkat pendukungnya, adalah Allah. Sesuai dengan mekanisme dan manajemen ilahi semenjak zaman azali, semua yang menjadi milik-Nya pasti akan kembali pada-Nya, satu demi satu atau sekaligus, perlahan atau langsung mendadak. Seseorang hanya bisa berharap diberi keselamatan dalam menghadapi musibah itu, baik keselamatan ragawi maupun keselamatan rohani, baik kesalamatan imani maupun kesalamatan materi. Harapan ini pun juga dibarengi dengan optimisme bahwa Allah akan mengirimkan ganti yang lebih baik daripada milik-Nya yang sudah diambil-Nya sebelum bencana.          
Kunci lain yang bisa mempercepat pemulihan pascamusibah dan pascamasalah ialah menata diri untuk tetap berada di jalan-Nya. Dengan kata lain, seseorang harus tetap konsisten menjalankan apa yang menjadi kewajiban dan menjauhi apa yang bukan menjadi hak sebagai orang yang beragama. Inilah yang dalam bahasa agama biasa disebut takwa. Kata ini memang terlalu populer, tetapi implementasinya tidak mengakar dalam kehidupan keseharian. Padahal, ini sesungguhnya yang mampu menjamin kesempurnaan keberagamaan seseorang. Tidak hanya itu, sikap ini juga mampu mengantarkan seseorang pada kesempurnaan kemanusiaan. Sikap ini pun sangat bermanfaat untuk mengembalikan dan memulihkan sisi kemanusiaan yang terkoyak pada saat mengalami bencana. Dengan memiliki sikap ini, kehambaan dan penghambaan tidak labil. Kalaupun berfluktuasi, bukan fluktuasi yang mengantarkannya pada sisi negatif. Ia stabil meski digoncang apa pun.          
Allah telah menjamin akan memberikan jalan keluar atas semua kesulitan hidup bila seseorang memiliki sikap ini. Dia juga berjanji akan selalu memberi rezeki dari pintu yang tak terduga pada orang yang memiliki sikap ini. Apalagi bila mau menambahkan sikap ini dengan kepasrahan yang disertai usaha dan doa, maka yakinlah Dia pula yang akan mencukupi apa pun yang kita butuhkan. “Siapa saja yang bertakwa pada Allah, maka Allah akan memberinya jalan keluar dan membukakan pintu rezeki dari tempat yang tak terduga. Siapa yang pasrah kepada Allah, niscaya Dia akan mencukupi kebutuhannya,” (QS Ath-Thalaq [65]: 2-3). “Siapa saja yang bertakwa pada Allah, niscaya Allah memudahkan segala urusannya,” (QS Ath-Thalaq [65]: 4). Dan, yang terpenting, jaminan dan janji Allah tidak pernah diingkari-Nya. Biasanya hanya soal waktu saja.          
"Setiap ada kesulitan pasti ada kelapangan," (QS Al-Insyirah [94]: 5). Setiap habis hujan deras pasti mentari bersinar lebih indah. Setiap kemacetan separah apa pun, pasti setelahnya ada kelengangan yang menjadi penghibur bagi pengendara yang melaluinya. Seperti sudah disinggung sebelumnya, manusia memang tidak bisa menolak bencana. Ia hanya bisa meminimalisasinya. Itu pun jika Allah berkehendak. Karena, semua yang dikehendaki-Nya pasti terlaksana. Nah, ketika kehendak-Nya itu sudah terlaksana, yakinilah bahwa semua sudah diukurnya. Dia juga pasti adil memperlakukan ketentuan-Nya. Kehendak-Nya pun pasti diiringi kehendak-Nya yang lain, yang meskipun mulanya terlihat menyusahkan, tetapi pada akhirnya akan menyenangkan. Dia tidak akan memberikan bencana melebihi kadar yang sanggup ditanggung. "Allah pasti melaksanakan semua yang dikehendaki-Nya. Allah juga telah menentukan kadar segala sesuatu," (QS Ath-Thalaq [65]: 2-3-). Hikmah di Balik BencanaKesadaran seperti itu juga harus dibarengi dengan optomisme bahwa Allah yang memberi bencana itu telah menyiapkan hikmah di balik bencana.

Posted by. GAYO Nusantara.

Add comment

No comments: