Search This Blog

Saturday, December 14, 2013

Rapai Geleng

Rapai Geleng

Rapai adalah salah satu alat tabuh seni dari Aceh. Rapai (rebana) terbagi kepada beberapa jenis permainan, rapai geleng salah satunya. Rapai Geleng dikembangkan oleh seorang anonim Aceh Selatan. Permainan Rapai Geleng juga disertakan gerakan tarian yang melambangkan sikap keseragaman dalam hal kerjasama, kebersamaan, dan penuh kekompakan dalam lingkungan masyarakat.
Terian ini mengekspresikan dinamisasi masyarakat dalam syair (lagu-lagu) yang dinyanyikan, kustum dan gerak dasar dari unsur tarian meuseukat.
Fungsi dari tarian ini adalah syiar agama, menanamkan nilai moral kepada masyarakat, dan juga menjelaskan tentang bagaimana hidup dalam masyarakat sosial. Rapai geleng pertama kali dikembangkan pada tahun 1965 di Pesisir Pantai Selatan. Saat itu Tarian Rapai Geleng di bawakan pada saat mengisi kekosongan waktu santri yang jenuh usai belajar. Lalu, tarian ini dijadikan sarana dakwah karena dapat membuat daya tarik penonton yang sangat banyak.
Jenis tarian ini dimaksudkan untuk laki-laki. Biasanya yang memainkan tarian ini ada 12 orang laki-laki yang sudah terlatih. Syair yang dibawakan adalah sosialisasi kepada mayarakat tentang bagaimana hidup bermasyarakat, beragama dan solidaritas yang dijunjung tinggi.
Tarian Rapai Geleng ada 3 babak yaitu:
  1. Saleum (Salam)
  2. Kisah (baik kisah rasul, nabi, raja, dan ajaran agama)
  3. Lani (penutup)
Nama Rapai diadopsi dari nama Syeik Ripai yaitu orang pertama yang mengembangkan alat musik pukul ini.
Syair yang dibawakan tergantung pada Syahi. Hingga sekarang syair-syair itu banyak yang dibuat baru namun tetap pada fungsinya yaitu berdakwah.
Contoh :
Rapai-i Geleng; Pesan Perlawanan dalam Tarian Aceh
Alhamdulilah Pujo Keu Tuhan
Nyang Peujeut Alam Langet Ngon Donya
Teuma Seulaweut Ateuh Janjongan
Panghulee Alam Rasul Ambiya

(Segala Puji kepada Tuhan
yang telah menciptakan langit dan dunia
selawat dan salam pada junjungan
penghulu alam Rasul Ambiya)

Nanggroe Aceh nyo Tempat loun lahee
Bak Ujoung Pantee Pulo Sumatra
Dilee Baroo Kon Lam jaro Kaphe
Jino Hana lee Aman sentosa…

(Daerah Aceh ini Tempat lahir ku
di ujung pantai pulau sumatera
Dulu berada di tangan penjajah
Kini telah aman dan sentosa)

Kostum yang dipakai berwarna hitam kuning berpadu manik-manik merah, serempak menggeprak panggung dengan duduk bersimpuh. Gerakannya diikuti tabuhan rapai yang berirama satu-satu, lambat, lama kemudian berubah cepat di iringi dengan gerak tubuh yang masih berposisi duduk bersimpuh, meliuk ke kiri dan ke kanan. Gerakan cepat kian lama kian bertambah cepat.
Pada dasarnya, ritme gerak pada tarian rapai geleng hanya terdiri dalam empat tingkatan; lambat, cepat, sangat cepat dan diam. Keempat tingkatan gerak tersebut merupakan miniatur karakteristik masyarakat yang mendiami posisi paling ujung pulau Sumatera, berisikan pesan-pesan pola perlawanan terhadap segala bentuk penyerangan pada eksistensi kehidupan Agama, politik, sosial dan budaya mereka.
Pada gerakan lambat, ritme gerakan tarian rapa-i geleng tersebut coba memberi pesan semua tindakan yang diambil mesti diawali dengan proses pemikiran yang matang, penyamaan persepsi dan kesadaran terhadap persoalan yang akan timbul di depan sebagai akibat dari keputusan yang diambil merupakan sesuatu yang harus dipertimbangkan dengan seksama. Maaf dan permakluman terhadap sebuah kesalahan adalah sesuatu yang mesti di berikan bagi siapa saja yang melakukan kesalahan. Pesan dari gerak beritme lambat itu juga biasanya diiringi dengan syair-syair tertentu yang dianalogikan dalam bentuk-bentuk tertentu. Sebagai contoh bisa tergambar dari nukilan syair dari salah satu bagian tarian;
Meu nyo ka hana raseuki,
yang bak bibi roh u lua
Bek susah sare bek sedeh hatee,
tapie kee laen ta mita

(Kalau sudah tak ada rezeki,
yang sudah di bibirpun jatuh ke luar
jangan lah susah, jangalah bersedih hati,
mari kita pikirkan yang lain untuk di cari)

Kata “raseuki” yang bermakna “rezeki” dalam syair di atas, merupakan simbol dari peruntungan. Bagi masyarakat Aceh, orang yang melakukan perbuatan baik kepada mereka dimaknakan sebagai sebuah keberuntungan. makna sebaliknya, ketika orang melakukan perbuatan jahat, maka masyarakat Aceh mengartikan ketakberuntungan nasib mereka, dan ketakberuntungan itu merupakan permaafan.
Gerakan beritme Cepat adalah gerak kedua, sesaat pesan yang terkandung dalam gerakan beritme lambat namun sarat makna usai dituturkan. Pada gerakan ini, pesan yang disampaikan adalah pesan penyikapan ketika perbuatan jahat, yang dimaknakan sebagai ketakberuntungan nasib, kembali dilakukan oleh orang atau institusi yang sama. Penyikapan tersebut bisa dilakukan dalam bentuk apapun, tapi masih sebatas protes keras belaka. Seperti bunyi syair di bawah;
Hai Laot sa, ilak ombak meu
Aloun kapai die eik troun meu lumba
Lumba hai bacut teuk, salah bukon sa
Lah loun salah mu, lah poun awai bak gata

(Wahai Laut yang berombak
mengayunkan kapal naik dan turun
sedikit lagi kemasukan air, itu bukan salah ku,
engkaulah yang mengawalinya
)
Gerakan beritme cepat ini tak lama, kemudian disusul dengan gerakan tari beritme sangat cepat mengisyaratkan chaos menjadi pilihan dalam pola perlawanan tingkat ketiga. Sebuah perlawanan disaat protes keras tak diambil peduli. Tetabuhan rapa-i pada gerakan beritme sangat cepat inipun seakan menjadi tetabuhan perang yang menghentak, menghantam seluruh nadi, membungkus syair menjadi pesan yang mewajibkan perlawanan dalam bentuk apapun ketika harkat dan martabat bangsa terinjak-injak. Cuplikan sajak “perang” nya (alm) Maskirbi yang biasa dilantunkan menjadi syair dalam gerakan beritme cepat pada tarian rapai geleng ini bisa menjadi contoh sederetan syair-syair yang dijadikan pesan.

Doda idi hai doda idang
Geulayang balang ka putoh talo
Beureujang rayeuk banta sidang
Jak tulong prang musoh nanggro
(doda idi hai doda idang –nyanyian nina bobo untuk anak-
layangan sawah telah putus talinya
cepatlah besar wahai ananda
pergilah, perangi musuh negeri)

Pada titiknya, semua gerakan tadi berhenti, termasuk seluruh nyanyian syair. Ini merupakan gerakan akhir dari tarian. Gerakan diam merupakan gerakan yang melambangkan ketegasan, habisnya semua proses interaksi.

Ranub Lampuan

Ranub Lampuan

Tarian Ranup LampuanRanub (daun sirih) bagi orang Aceh tidak hanya difungsikan sebagai salah satu jenis tumbuhan yang sangat besar mengandung kasiatnya bagi kesehatan. Akan tetapi sirih ini sekaligus dijadikan lambang kehormatan dan kemuliaan dalam menjamu setiap orang yang datang ke Aceh. Kasiat bagi kesehatan orang Aceh sampai sekarang masih meyakini bahwa sirih sangat baik dikonsumsikan untuk kesehatan gigi dan kesehatan tubuh lainnya. Hal itu terbukti, banyak orang tua di Aceh giginya, mesikipun sudah berusia 70-80 tahun giginya masih terlihat kuat karena terus mengkonsumsi sirih.
Sedangkan fungsi sirih sebagai lambang kehormatan dan kemuliaan bagi Aceh. Sirih ini selalu dijadikan menu awal bagi setiap tamu yang datang ke tempatnya. Sebelum disuguhkan minuman atau makanan lainnya bagi tamu, orang Aceh lebih dulu meyuguhkan sirih dalam memuliakan tamunya. Bahkan dalam tradisi orang Aceh dulu bila hendak mengundang orang untuk menghadiri suatu upacara perkawinan, mereka hanya membawa sirih (bukan surat undangan seperti sekarang). Setalah sirih itu diberikan pada orang yang hendak diundang baru disampaikan secara lisan bahwa orang tersebut diundang untuk hadir pada pesta perkawinan yang akan diselenggarakan.
Bagi saudara-saudaranya atau rekan dan kaum kerabat lainnya tinggal berjauhan untuk menyampaikan undangan itu juga dikirimkan sirih melalui seseorang. Pada orang yang menyampaikan sirih itulah diamanahkan agar suadara-saudaranya serta kaum kerabat yang menerima sirih itu berkenan menghadiri undangam perkewinan tersebut.

Demikian pula untuk menyajikan sirih kepada tamu besar (tamu negara) yang datang ke Aceh. Karena untuk tamu ini tidak mungkin disungguhkan sirih satu persatu, maka penyajian sirih dikemas dalam sebuah tarian yang diberi nama “Tari Lanub Lampuan”. Tarian ini secara filosofis selain menggambarkan proses merangkai sirih yang siap untuk dimakan, gerakan tarian “Ranub Lampuan” ini juga menggambarkan rasa penghormatan dan rasa mulia orang Aceh dalam menyambut kedatangan tetamunya.
Tari Ranub Lampuan biasanya ditarikan oleh 9 orang penari wanita dengan kustum pakaian adat wanita Aceh yang diiringi dengan musik Seurune Kale. Pada akhir tariannya, para penari yang terdiri dari dara-dara jelita, itu mereka langsung turun dari pentas menyungguhkan sirih (ranub) yang ada di dalam puan kepada para tamu yang duduk di depan pentas. Sungguhan ini adalah sebagai rasa kemuliaan dan kehormatan orang Aceh kepada para tamunya.
Kononnya, “Tari Ranub Lampuan” ini ada dalam masyarakat Aceh sejak dari zaman kesultanan Aceh yang ditarikan oleh penari-penari istana dalam menyambut tamu-tamu besar kerajaan. Tapi tidak diketahui secara pasti bagaimana gerakan “Tari Ranub Lampuan” yang dimainkan oleh penari-penari istana Aceh dahulu. Karena tentang kesenian ini tidak meninggalkan literatur yang dapat dijadikan bahan kajian sekarang ini.
Akan tetapi, “Tari Ranup Lampuan” ini mulai terkenal dalam masyarakat Aceh setelah seorang Komponis Aceh bernama Yusrizal (pencipta tarian ranub lampuan) meperkenalkan tarian ini pada pembukaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) pertama tahun 1972, yang kemudian tari yang diberinama “Tari Ranub Lampuan” ini terus dipopularkan oleh seorang murinya bernama ikhsan.
Malah menurut pengakuan seorang koreografer tari di Banda Aceh Anton Setia Budi menerangkan, bahwa sebenarnya “Tari Ranub Lampuan” sudah diciptakan Yusrizal sejak tahun 1964, tapi tarian ini pertama sekali ditampilkan pada tahun 1972 dalam Pekan Kebudayaan Aceh pertama. Sejak itulah “Tari Ranub Lampuan” mulai popular di Aceh.
Pada saat ini Tari Ranup Lampuan juga sering dimainkan pada acara “walimah” (pesta pernikahan). Ranup dalam puan yang dipegang oleh setiap penari, disuguhkan kepada setiap tamu yang hadir. Tarian ini biasanya diiringi dengan musik instrument Aceh, dan sering juga diiringi dengan musik yang menggunakan alat tradisional Aceh seperti Serune Kalee, Rapa’I, dan Geunderang.

Seudati

Seudati

SEJARAH TARI SEUDATI

Tari Seudati pada mulanya tumbuh di desa Gigieng, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie, yang dipimpin oleh Syeh Tam. Kemudian berkembang ke desa Didoh, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie yang dipimpin oleh Syeh Ali Didoh. Tari Seudati berasal dari kabupaten Pidie. Seudati termasuk salah satu tari tradisional Aceh yang dilestarikan dan kini menjadi kesenian pembinaan hingga ke tingkat Sekolah Dasar. Tari Seudati berasal dari kata Syahadat, yang berarti saksi/bersaksi/pengakuan terhadap Tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad utusan Allah. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa kata seudati berasal dari kata seurasi yang berarti harmonis atau kompak. Seudati mulai dikembangkan sejak agama Islam masuk ke Aceh. Penganjur Islam memanfaatkan tarian ini sebagai media dakwah untuk mengembangkan ajaran agama Islam. Tarian ini cukup berkembang di Aceh Utara, Pidie dan Aceh Timur. Tarian ini dibawakan dengan mengisahkan pelbagai macam masalah yang terjadi agar masyarakat tahu bagaimana memecahkan suatu persoalan secara bersama.
Pada mulanya tarian seudati diketahui sebagai tarian pesisir yang disebut ratoh atau ratoih, yang artinya menceritakan, diperagakan untuk mengawali permainan sabung ayam, atau diperagakan untuk bersuka ria ketika musim panen tiba pada malam bulan purnama. Dalam ratoh, dapat diceritakan berbagai hal, dari kisah sedih, gembira, nasehat, sampai pada kisah-kisah yang membangkitkan semangat. Ulama yang mengembangkan agama Islam di Aceh umumnya berasal dari negeri Arab. Karena itu, istilah-istilah yang dipakai dalam seudati umumnya berasal dari bahasa Arab. Diantaranya istilah Syeh yang berarti pemimpin, Saman yang berarti delapan, dan Syair yang berarti nyayian. Tari Seudati sekarang sudah berkembang ke seluruh daerah Aceh dan digemari oleh masyarakat. Selain dimanfaatkan sebagai media dakwah, Seudati juga menjadi pertunjukan hiburan untuk rakyat.

Tarian ini juga termasuk kategori Tribal War Dance atau Tari Perang, yang mana syairnya selalu membangkitkan semangat pemuda Aceh untuk bangkit dan melawan penjajahan. Oleh sebab itu tarian ini sempat dilarang pada zaman penjajahan Belanda, tetapi sekarang tarian ini diperbolehkan kembali dan menjadi Kesenian Nasional Indonesia.
Salah satu ciri tarian Seudati adalah dapat dipertandingkan anatara dua kelompok yang dimainkan berganti-ganti untuk dinilai pihak mana yang lebih unggul. Ini merupakan faktor pendorong bagi kampung-kampung untuk menghidupkan kesenian ini ditempatnya. Organisasinya sangat sederhana, yaitu diketahui oleh seorang “ABU SAMAN” atau Peutua. Sedangkan pimpinan permainan dipimpin oleh seorang Syeh.
Kata Seudati itu sendiri berasal dari bahasa Arab “Syahadatain” atau “Syahadati” yang bermakna “doa pengakuan”. Orang yang berniat masuk ke
dalam agama Islam mereka harus mengucapkan kalimat ini. Yaitu mengaku bahwa Tiada Tuhan selain ALLAH dan Nabi MUHAMMAD utusan ALLAH. Bila kita menyelidiki lebih jauh dapat diketahui bahwa tarian ini
pada mulanya bukanlah sebuah tarian, akan tetapi suatu retus upacara agama dan dilaksanakan sambil duduk.
Namun dari manakah tari ini sebenarnya berasal? Tari ini berasal  dari Aceh Pidie. Awal mulanya dikembangkan di desa Gigieng, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie, yang dipimpin oleh Syeh Tam. Lalu berkembang ke desa Didoh, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie yang dipimpin oleh Syeh Ali Didoh.

Saman

Saman

Tari ini berasal dari dataran tinggi tanah Gayo. Di ciptakan oleh seorang Ulama Aceh bernama Syekh Saman. Pada mulanya tarian ini hanya merupakan permainan rakyat biasa yang disebut Pok Ane. Melihat minat yang besar masyarakat Aceh pada kesenian ini maka oleh Syekh disisipilah dengan syair-syair yang berisi Puji-pujian kepada Allah SWT. Sehingga Saman menjadi media dakwah saat itu. Dahulu latihan Saman dilakukan di bawah kolong Meunasah (sejenis surau, saat itu bangunan aceh masih bangunan panggung). Sehingga mereka tidak akan ketinggalan untuk shalat berjamaah.
Selain posisi duduk dan gerak badan, gerak tangan sangat dominan dalam tari saman. Karena dia berfungsi sebagai gerak sekaligus musik. Ada yang disebut cerkop yaitu kedua tangan berhimpit dan searah. Ada juga cilok, yaitu gerak ujung jari telunjuk seakan mengambil sesuatu benda ringan seperti garam. Dan tepok yang dilakukan dalam berbagai posisi (horizontal/ bolak-balik/ seperti baling-baling). Gerakan kepala seperti mengangguk dalam tempo lamban sampai cepat (anguk) dan kepala berputar seperti baling-baling (girek) juga merupakan ragam gerak saman. Kesenyawaan semua unsur inilah yang menambah keindahan dan keharmonisan dalam gerak tari saman.
Karena tari saman di mainkan tanpa alat musik, maka sebagai pengiringnya di gunakan tangan dan badan. Ada beberapa cara untuk mendapatkan bunyi-bunyian tersebut:
1.      Tepukan kedua belah tangan. Ini biasanya bertempo sedang sampai cepat
2.      Pukulan kedua telapak tangan ke dada. Biasanya bertempo cepat
3.      Tepukan sebelah telapak tangan ke dada. Umunya bertempo sedang
4.      Gesekan ibu jari dengan jari tengah tangan (kertip). Umunya bertempo sedang.Dan nyanyian    
5.      para penari menambah kedinamisan dari tarian saman. Dimana cara menyanyikan lagu-lagu dalam tari saman dibagi dalam 5 macam :
6.      Rengum, yaitu auman yang diawali oleh pengangkat.
7.      Dering, yaitu regnum yang segera diikuti oleh semua penari.
8.      Redet, yaitu lagu singkat dengan suara pendek yang dinyanyikan oleh seorang penari pada bagian tengah tari.
9.      Syek, yaitu lagu yang dinyanyikan oleh seorang penari dengan suara panjang tinggi melengking, biasanya sebagai tanda perubahan gerak
10.  Saur, yaitu lagu yang diulang bersama oleh seluruh penari setelah dinyanyikan oleh penari solo. 
Dalam setiap pertunjukan semuanya itu di sinergikan sehingga mengahasilkan suatu gerak tarian yang mengagumkan. Jadi kekuatan tari Saman tidak hanya terletak pada syairnya saja namun gerak yang kompak menjadi nilai lebih dalam tarian. Ini boleh terwujud dari kepatuhan para penarinya dalam memainkan perannya masing-masing. Itulah sekelumit tentang fungsi formasi, jenis gerak, asal musik pengiring serta nyanyian dalam pertunjukan tari Saman. Semoga bermanfaat bagi anda dalam memahami tarian Saman.
Dalam penampilan yang biasa saja (bukan pertandingan) dimana adanya keterbatasan waktu, Saman bisa saja dimainkan oleh 10 - 12 penari, akan tetapi keutuhan Saman setidaknya didukung 15 - 17 penari. Yang mempunyai fungsi sebagai berikut : 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
* Nomor 9 disebut Pengangkat
Pengangkat adalah tokoh utama (sejenis syekh dalam seudati) titik sentral dalam Saman, yang menentukan gerak tari, level tari, syair-syair yang dikumandangkan maupun syair-syair sebagai balasan terhadap serangan lawan main (Saman Jalu / pertandingan)
* Nomor 8 dan 10 disebut Pengapit
Pengapit adalah tokoh pembantu pengangkat baik gerak tari maupun nyanyian/ vokal
* Nomor 2-7 dan 11-16 disebut Penyepit
Penyepit adalah penari biasa yang mendukung tari atau gerak tari yang diarahkan pengangkat. Selain sebagai penari juga berperan menyepit (menghimpit). Sehingga kerapatan antara penari terjaga, sehingga penari menyatu tanpa antara dalam posisi banjar/ bershaf (horizontal) untuk keutuhan dan keserempakan gerak.
* Nomor 1 dan 17 disebut Penupang
Penupang adalah penari yang paling ujung kanan-kiri dari barisan penari yang duduk berbanjar. Penupang selain berperan sebagai bagian dari pendukung tari juga berperan menupang/ menahan keutuhan posisi tari agar tetap rapat dan lurus. Sehingga penupang disebut penamat kerpe jejerun (pemegang rumput jejerun). Seakan-akan bertahan memperkokoh kedudukan dengan memgang rumput jejerun (jejerun sejenis rumput yang akarnya kuat dan terhujam dalam, sukar di cabut.
Sejalan kondisi Aceh dalam peperangan maka syekh menambahkan syair-syair yang manambah semangat juang rakyat Aceh. Tari ini terus berkembang sesuai kebutuhannya. Sampai sekarang tari ini lebih sering di tampilkan dalam perayaan-perayaan keagamaan dan kenegaraan. Tarian ini pada awalnya kurang mendapat perhatian karena keterbatasan komunikasi dan informasi dari dunia luar. Tari ini mulai mengguncang panggung saat penampilannya pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) II dan peresmian pembukaan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Gemuruh Saman di TMII menggemparkan tidak hanya nusantara namun sampai ke manca negara. Saya sebagai anak negeri ini berharap semoga tari Saman bisa terus menggema.

Peace Agreement

Peace Agreement

Sejak kemerdekaan dari Belanda pada tahun 1949 Indonesia masih terus berjuang untuk melepaskan politik dari pengaruh militer dan kecenderungan sentralisasi kekuasaan di Jakarta. Di bawah pemerintahan dua presiden pertama Indonesia, Soekarno (1945-1967) dan Soeharto (1967-1998), the country menjadi semakin otoriter. Periode Soeharto secara khusus ditandai dengan pemusatan kekuasaan pada eksekutif (dan di ibukota Jakarta), besarnya pengaruh militer dalam politik, dan pembatasan terhadap organisasi-organisasi politik dan kebebasan berekspresi, termasuk pemilihan umum (pemilu)
Reformasi secara luas diperkenalkan di bawah pemerintahan Presiden Habibie (1998-1999), yang menggantikan Soeharto setelah pengunduran dirinya pada Mei 1998 setelah menghadapi protes masyarakat di tengah krisis keuangan Asia. Di bawah pemerintahan Habibie, berbagai pembatasan terhadap partai politik dihapuskan, pemilihan umum demokratis pertama sejak 1955 dilaksanakan, undang-undang otonomi daerah diperkenalkan, dan Timor Timur diizinkan untuk menyelenggarakan referendum mengenai kemerdekaan. Namun, di bawah pemerintahan yang tidak terlalu efektif dari presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001) dan Megawati Soekarnoputri (2001-2004), transisi Indonesia ke arah politik yang lebih demokratis masih tidak menentu dan inkonsisten. Pensiunan jenderal TNI, Susilo Bambang Yudhoyono, memenangkan pemilihan presiden langsung yang pertama di negeri ini pada September 2004.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Setelah kesuksesan karier militernya, termasuk penugasan di Timor Timur pada tahun 1970an, Susilo Bambang Yudhoyono menjadi salah satu menteri cabinet pada tahun 1999 di bawah pemerintahan Presiden Wahid. Ia kemudian mencalonkan diri menjadi presiden bersama dengan wakilnya Jusuf Kalla pada tahun 2004, mengalahkan Megawati Soekarnoputri di putaran kedua. Latar belakang militer Yudhoyono menyumbangkan legitimasi bagi pernyataannya bahwa konflik di Aceh tidak akan dapat diselesaikan melalui jalur militer semata; pengaruh dan kontak-kontaknya di jajaran militer juga memungkinkannya untuk mengamankan proses perdamaian dari gangguan-gangguan dari dalam tubuh TNI.
Selama karir militernya Yudhoyono dikaitkan dengan faksi pro-reformasi. Meskipun ua diperikan mandate yang kuat untuk memerintah melalui pemilu 2004 partainya, Partai Demokrat, merupakan partai minoritas, menjadikan Yudhoyono tidak hanya rentan terhadap pengaruh wakilnya yang juga merupakan Ketua Partai Golkar, Jusuf Kalla, namun juga terhadap sejumlah partai politik yang memiliki perwakilan besar di parlemen dan cabinet.
Wakil Presiden Jusuf Kalla
Sebagai salah seorang menteri dalam kabinet Presiden Megawati, Jusuf Kalla memfasilitasi perundingan damai di konflik-konflik lokal di Maluku dan daerah asalnya Sulawesi. Setelah terpilih sebagai wakil presiden ia juga terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar, partai terbesar dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Ini memberikan posisi yang kuat bagi Kalla untuk membujuk partai-partai politik nasional lainnya untuk menyetujui inisiatif Helsinki. Kalla berupaya meletakkan dasar bagi legalisasi partai politik lokal di Aceh, dalam rangka memberikan saluran yang sah dan damai bagi institusionalisasi aspirasi rakyat Aceh. Namun, sinergi yang tampak dalam hubungan Kalla-Yudhoyono selama proses Helsinki sejak awal dibayangi oleh spekulasi tentang persaingan di antara dua sosok ini.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Menurut konstitusi, MPR adalah lembaga tertinggi negara memiliki fungsi-fungsi termasuk menentukan kebijakan negara dan mengubah Undang-undang Dasar, dan sampai tahun 2004, ketuka pemilihan presiden langsung diperkenalkan, memilih presiden dan wakil presiden. Majelis ini beranggotakan 695 orang, termasung 550 yang juga merupakan anggota DPR dan 130 perwakilan daerah yang dipilih oleh legislatif dari 26 provinsi dan sampai tahun 2004, 65 orang anggota yang ditunjuk dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk militer dan kepolisian Indonesia. Pada tahun 2004, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dibentuk; anggota DPD dipilih melalui sistem pemilihan tunggal dan tidak dapat dialihkan yang mengalokasikan empat orang perwakilan dari masing-masing provinsi.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan institusi legislative utama, terdiri dari 550 anggota yang dipilih melalui sistem perwakilan proporsional terbuka. Sampai tahun 2004 DPR juga terdiri dari 38 orang anggota yang ditunjuk dari militer dan kepolisian Indonesia, sebuah ketentuan yang berakhir dengan adanya pemilu parlemen tahun 2004. Meskipun presiden masih merupakan kekuatan yang menentukan dalam perpolitikan Indonesia, salah satu aspek dari era Reformasi sejak tahun 1998 adalah penguatan lembaga legislative, dengan DPR saat ini menjadi aktor yang memiliki kekuasaan untuk mengawasi keputusan eksekutif dan mengajukan perundang-undangan.
Kekuatan Keamanan Pemerintah
The Indonesian military (Tentara Nasional Indonesia(TNI)
Militer Indonesia merupakan kekuatan utama dalam perpolitikan Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, ia sendiri adalah seorang jenderal. Sebelumnya dikenal dengan singkatan ABRI, melalui keberadaannya TNI telah diterjunkan untuk berbagai operasi kemanan internal dan anti-pemberontakan daripada pertahanan terhadap ancaman eksternal. Pejabat-pejabat militer memainkan peran penting dalam politik sejak kemerdekaan sampai pada tahun 2004 TNI (dengan Kepolisian Republik Indonesia) diwakili tidak hanya di DPR namun juga di legislatif daerah di seluruh Indonesia. Berbagai pembatasan terhadap posisi-posisi di dalam pemerintahan lokal bagi pejabat karya juga dimaksudkan untuk mengurangi pengaruh militer dalam pemerintahan daerah. Di bawah reformasi, pejabat karya tidak lagi ditunjuk untuk mengisi posisi-posisi penting di dalam birokrasi sipil. Reformasi di beberapa aspek, seperti pendanaan militer, tidak terlalu berhasil, dan tidak terlalu banyak kemajuan dalam mengakhiri impunitas bagi pejabat-pejabat militer yang disangka melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Sampai pada tahun 1999 Kepolisian Republik Indonesia (Polri) merupakan bagian dari TNI; pemisahan Polri secara resmi dilakukan pada Juli 2000. Kekuatan Polri banyak diterjunkan untuk peran-peran paramiliter, seringkali (seperti dalam kasus Aceh) dalam operasi-operasi gabungan TNI-Polri. Brigade Mobil (Brimob) adalah pasukan operasi khusus milik Polri, awalnya didirikan pada tahun 1945 untuk melucuti senjata tentara Jepang dan kemudian menjalankan fungsi-fungsi paramiliter.
Dengan pengurangan secara substansial dalam hal pendanaan (dilaporkan mencapai 75%) TNI terlibat secara luas dalam berbagai aktivitas bisnis dalam rangka membiayai institusi ini. Perusahaan-perusahaan asing yang memiliki profit yang besar, seperti ExxonMobil di Lhokseumawe, Aceh, masuk ke dalam wilayah ‘kebijakan perlindungan’ TNI. Melimpahnya sumber daya alam di Aceh juga menarik keterlibatan illegal TNI dalam bidang perikanan, pembalakan, lalu lintas obat-obat terlangan, kopi, minyak kelapa sawit, dan perdagangan hewan liar. Kepentingan finansial seperti ini dipercayai signifikan dalam memperkuat keengganan TNI untuk menarik diri dari Aceh.
Berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang signifikan yang dilakukan oleh TNI tercatat selama periode ini, terutama selama berbagai operasi di Timor Timur, Aceh, Papua, dan operasi menumpas gerakan komunis di tahun 1960an. Operasi anti-pemberontakan di Aceh dengan target rakyat sipil dan gerilyawan GAM, berakibat pada banyaknya korban yang jatuh di pihak sipil.
Partai-partai Politik
Selama masa pemerintahan Soeharto sampai sistem multipartai murni diperkenalkan pada tahun 1999, hanya ada tiga partai politik yang diakui di Indonesia, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), gabungan dari beberapa partai-partai Islam, Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan gabungan dari partai-partai nasionalis dan Kristen, dan Golkar, partai pemerintah di bawah Soeharto, yang didominasi fungsionaris pemerintahan dan personil militer. Sejak tahun 1999 arena partai politik telah lebih terfragmentasi, dengan adanya 17 partai yang memiliki wakil di DPR melalui Pemilu Legislatif tahun 2004 dan tujuh di antaranya masuk dalam kategori ‘partai besar’ yang mendapatkan suara lebih dari 5%. Partai-partai besar lainnya adalah partai-partai yang berorientasi Islam yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan partainya Presiden Yudhoyono, yaitu Partai Demokrat
Para pemimpin Golkar, banyak dari mereka yang disangka melakukan korupsi, mendominasi pemerintahan provinsi Aceh sebelum ditandatanganinya undang-undang otonomi khusus oleh DPR pada tahun 2001. Ketua Golkar Abdullah Puteh terpilih sebagai gubernur pada bulan November 2000 oleh DPRD Aceh namun pada tahun 2005 dipecat dan dipenjara dengan tuduhan melakukan korupsi. Partai Persatuan Pembangunan juga memiliki pendukung yang signifikan di Aceh. Dengan dimungkinkannya partai politik lokal di Aceh, Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki menghapuskan pelarangan terhadap partai lokal atau daerah di Indonesia.
Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
Struktur pemerintah lokal Aceh sama seperti provinsi-provinsi lainnya di Indonesia, terdiri dari seorang gubernur dan wakil gubernur yang dipilih langsung sejak tahun 2006. Provinsi ini terbagi menjadi 23 kabupaten dan kota. Pemerintahan lokal Aceh sempat dikenal sebagai salah satu yang paling korup di negeri ini, mendorong gerakan anti-korupsi di bawah Presiden Yudhoyono dan pemecatan Gubernur Abdullah Puteh. Pada Desember 2006 mantan anggota GAM Irwandi Yusuf memenangkan pemilihan gubernur Aceh.
Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki membuka ruang bagi pemerintahan sendiri yang lebih luas bagi Aceh relative terhadap provinsi-provinsi lainnya di Indonesia, memberikan otoritas bagi pemerintah Aceh atas semua bidang kecuali hubungan luar negeri, keamanan dan pertahanan nasional, kebijakan moneter dan fiskal, hukum dan kebebasan beragama (meskipun kenyataannya ketentuan ini identik dengan apa yang terdapat di dalam undang-undang otonomi yang berlaku di seluruh wilayah di Indonesia). Namun, Undang-undang Pemerintahan Aceh mengaburkan ketentuan-ketentuan ini dan melemahkan otoritas yang diamanahkan kepada struktur pemerintahan lokal.
Milisi Pro-pemerintah
Sejumlah kelompok pembela diri dan milisi pro-pemerintah, yang direkrut, didukung, dan dipersenjatai oleh militer Indonesia, aktif di Aceh. Aktivitas mereka meningkat pasca-penerapan darurat militer di Aceh pada Mei 2003. Delapan belas ‘front anti-GAM’ terbentuk antara periode Desember 2003 hingga Maret 2004 di bawah paying Front Perlawanan Separatis GAM (FPSG); front-front ini berfungsi untuk membantu intelijen untuk komando lokal TNI. Milisi-milisi pro-pemerintah juga bertanggung jawab atas tiga penyerangan terhadap kantor Komite Keamanan Bersama yang bertugas untuk mengawasi Perjanjian Penghentian Permusuhan (CoHA)
Gerakan Aceh Merdeka, (GAM)
GAM didirikan pada 4 Desember 1976 dan awalnya dikenal dengan Acheh-Sumatra National Liberation Front (Front Nasional Pembebasan Acheh-Sumatra/ASNLF). Pendiri GAM adalah Tengku Hasan Muhammad di Tiro (secara luas dikenal sebagai Hasan di Tiro), berasal dari keluarga ulama ternama di Kabupaten Pidie dan terlibat dalam revolusi nasional Indonesia di daerah ini. Pada awal 1950an Hasan di Tiro pindah ke Amerika Serikat di mana ia kemudian menjadi mahasiswa, pembela internasional untuk pemberontakan Darul Islam dan juga seorang pengusaha. Agenda perjuangan GAM berbeda dari tuntutan yang lebih religius pemberontakan Darul Islam dengan secara eksplisit merangkul ideology nasionalis yang bertujuan untuk kemerdekaan yang berdaulat.
Operasi untuk menumpas pemberontakan yang dilancarkan oleh militer segera mengakhiri usaha pertama GAM untuk memulai pemberontakan pro-kemerdekaan. Pada tahun 1979 Hasan di Tiro terpaksa melarikan diri dari Indonesia. Hasan di Tiro akhirnya tiba di Swedia di mana ia membentuk pemerintahan dalam pengasingan (GAM Swedia) menempatkan dirinya sebagai ‘kepala negara’. Dengan dukungan dari Libya, GAM berhasil untuk kembali berkumpul pada akhir 1980an dan memulai kembali pemberontakannya di Aceh, menimbulkan respons militer untuk jangk waktu yang panjang dengan kekerasan dan represi pada awal 1990an.
Selama masa konflik, GAM memalui sayap militernya (dikenal sejak tahun 2002 sebagai Tentara Nasional Aceh/TNA), menggunakan taktik strategi gerilya kota dan hutan untuk menyerang berbagai posisi TNI dan Brimob. GAM menerapkan struktur yang membagi Aceh ke dalam 17 wilayah, yang masing-masing memiliki komandan lokal yang memiliki kontak langsung dengan GAM Swedia. GAM juga dikritik atas pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penculikan terhadap rakyat sipil, pengeboman tanpa pandang bulu, terutama sekolah-sekolaj, dan perlakuan terhadap migran Jawa di Aceh. GAM juga menangani dengan kejam penentangan internal, menghancurkan tantangan internal di selatan Aceh pada tahun 2001. Namun, para pendukung GAM membantah dengan menyebutkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh GAM jauh tidak signifikan dibandingkan dengan yang dilakukan oleh TNI, dan bahwa perlakuan terhadap etnis Jawa didorong oleh keterlibatan kelompok ini dalam milisi pro-pemerintah.
GAM memasuki perundingan dengan pemerintah Indonesia pada tahun 2000 dalm perundingan yang difasilitasi oleh Henry Dunant Centre for Humanitarian Dialogue (HDC). Kegagalan perundingan ini dan kemudian Kesepakatan Penghentian Permusuhan mengarah pada munculnya kembali permusuhan yang secara serius melemahkan kapasitas militer GAM. Ketika tsunami menghantam Aceh pada akhir 2004 GAM berada dalam posisi bertahan. Pasca-tsunami GAM menyatakan gencatan senjata secara sepihak dan organisasi ini kemudian menghentikan penggunaan kekerasan sebagai bagian dari Nota Kesepahaman (MoU) Agustus 2005 dengan Pemerintah. Malik Mahmud, ‘Perdana Menteri’ GAM, memimpin tim perunding GAM. GAM selanjutnya dihadapkan dengan keharusan baru: pembentukan struktur yang efektif untuk terlibat di dalam perpolitikan sipil dan reintegrasi pejuang GAM ke dalam kehidupan sipil. Untuk menanggapi tantangan ini GAM membentuk struktur-struktur baru, yang paling menonjol adalah Komite Peralihan Aceh (KPA), yang dirancang untuk mengoordinasikan aktivitas mantan kombatan TNA. KPA merupakan instrument untuk memobilisasi dukungan untuk mantan anggota GAM yang bersaing dalam pemilu-pemilu lokal tahun 2006, terutama di daerah-daerah pedesaan.
Keretakan mulai muncul di dalam tubuh GAM terkait strategi pemilu dan isu-isu terkait lainnya menjelang pemilu. Sebagian pemimpin senior yang berbasis di Swedia dan para pendukung mereka mengesampingkan para pemimpin dari generasi muda di Aceh, terutama mereka yang ada di dalam KPA. Transformasi GAM menjadi kekuatan politik sipil dengan bersaing dalam proses politik in terlihat cukup berhasil dengan penampilan yang menonjol dari para mantan anggota GAM atau calon-calon dalam berbagai pemilu lokal tahun 2006. Sampai akhir 2007 hampir setengah wilayah Aceh di tingkat kabupaten dipimpin oleh individu-individu yang berafilasi dengan GAM. Namun, meskipun gubernur dan mantan anggota GAM, Irwandi Yusuf, masih popular dan bebas dari keterkaitan dengan korupsi, citra pergerakan ini secara keseluruhan mulai menurun akibat dari berbagai skandal korupsi, meningkatnya angka kriminalitas, dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi terkait proses reintegrasi dan penyediaan lapangan kerja bagi para mantan anggota GAM.
Irwandi Yusuf
Lahir di Aceh pada tahun 1960, Irwandi Yusuf bergabung dengan GAM pada 1990. Ketika menempuh studi di bidang ilmu kedokteran hewan di Amerika Serikat pada 1993 ia mengaku pergi ke Amerika Latin untuk dilatih perang gerilya. Sekembalinya ke Aceh ia menjadi ahli strategi dan propaganda GAM. Tertangkap pada tahun 2003 dan dihukum tujuh tahun penjara di Banda Aceh, Irwandi berhasil melarikan diri ketika penjaranya terkena tsunami tahun 2004. Meninggalkan agendanya terdahulu yang pro-kemerdekaan, Irwandi mencalonkan diri sebagai gubernur dalam pemilu 2006 sebagai calon independent dan menang dengan 38 persen suara.
Aktor Masyarakat Sipil
Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA) yang dipimpin oleh Muhammad Nazar, didirikan pada 1999. SIRA dibentuk dari koalisi organisasi mahasiswa yang menuntut hak masyarakat Aceh untuk mengadakan referendum untuk memilih apakah tetap menjadi bagian dari Indonesia atau merdeka. SIRA memainkan peran yang signifikan dalam mendukung Irwandi Yusuf dan kandidat-kandidat lainnya yang berafiliasi dengan GAM dalam pemilu 2006. Didirikan pada tahun 2989 Flower Aceh adalah organisasi perempuan Aceh pertama yang memperjuangkan hak-hak perempuan dalam konteks konflik. Organisasi ini bekerja dengan wanita-wanita pengungsi dan terlibat dalam advokasi terkait kekerasan gender oleh negara maupun aktor-aktor non-negara. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Aceh merupakan dua organisasi hak asasi manusia yang mendokumentasikan berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh semua pihak di dalam konflik.
Mekanisme Pemantauan
Komite Keamanan Bersama (JSC) awalnya dibentuk di bawah paying Kesepakatan Bersama untuk Jeda Kemanusiaan di Aceh bulan Mei 2000. Badan ini diaktifkan kembali pada 20 Desember 2002 dalam kerangka Kesepakatan Penghentian Permusuhan (CoHA) untuk memantau pelaksanaan perjanjian ini dan menginvestigasi berbagai pelanggaran. Badan ini memiliki 150 tim pemantau yang terdiri dari unsur-unsur TNI, GAM dan tim internasional yang terutama berasal dari tentara Thailand dan Filipina.
Misi pemantau internasional ditarik setelah serentetan serangan terhadap kantor-kantor JSC oleh milisi pro-pemerintah yang didukung oleh TNI. Misi Pemantau Aceh (AMM) dibentuk dan didanai oleh Uni Eropa melalui Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Eropa, bekerja sama dengan lima negara anggota ASEAN. Tim ini diterjunkan pada September 2005 dengan mandat selama enam bulan untuk memantau segala aspek dalam Perjanjian Damai Helsinki, termasuk pemusnahan senjata, relokasi militer ‘non-organik’, reintegrasi anggota GAM yang telah didemobilisasi, perubahan-perubahan peraturan, dan situasi hak asasi manusia. AMM juga diberi mandat untuk memediasi berbagai sengketa terkat amnesti dan mengatur berbagai keluhan terkait pelanggaran terhadap perjanjian Helsinki. Misi ini merupakan misi pemantau Uni Eropa pertama di Aceh dan terdiri dari 226 tim pemantau yang berasal dari Uni Eropa, Norwegia, Swiss, dan lima negara anggota ASEAN (Thailand, Malaysia, Brunei, Filipina, dan Singapura), yang diterjunkan ke 11 kantor. Tim pemantau ini dianggap secara luas mampu menegakkan kesepakatan damai secara efektif dan menjaga reputasi netralitas, meskipun tim ini lemah dalam hal sumber daya untuk menginvestigasi berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Pada bulan Maret 2006 mandat AMM diperbaharui namun dengan jumlah tim yang dikurangi, dan kemudian berakhir setelah pemilu lokal di Aceh bulan Desember.
Badan Reintegrasi Aceh (BRA)
Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dibentuk pada bulan Februari 2006 dengan tujuan untuk menyalurkan dana untuk program-program yang membuka mata pencaharian bagi mantan anggota GAM yang usulannya disampaikan oleh Komite Peralihan Aceh (KPA). Dana BRA juga disalurkan untuk mantan anggota milisi pro-pemerintah dan anggota GAM yang telah menyerahkan diri sebelum Nota Kesepahamaman (MoU) Helsinki. Upaya reintegrasi memiliki kelemahan akibat dari ketiadaan mekanisme akuntabilitas dan evaluasi, inefisiensi dan definisi BRA yang sangat luas dari target penerima bantuan. KPA memiliki kekuasaan dan jaringan patronase yang signifikan melalui kontrol atas proses pengajuan nama-nama penerima bantuan ke BRA, dan pada 4 April 2007 Gubernur Irwandi menunjuk Nur Djuli, mantan juru runding GAM, sebagai Ketua BRA yang baru. Meskipun Nur Djuli kemudian melakukan reorganisasi BRA, masih terdapat berbagai persoalan terkait dengan jangka waktu penyaluran dana dari Jakarta dan distribusi di tingkat daerah.
Aktor Internasional
Crisis Management Initiative
Crisis Management Initiative (CMI) didirikan pada tahun 2000 oleh mantan presiden Finlandia, Martti Ahtisaari sebagai sebuah organisasi non-pemerintah (NGO) yang bergerak di bidang advokasi untuk keamanan yang berkelanjutan dan berbagai dimensi lainnya dari resolusi konflik.
CMI diminta untuk memfasilitasi perundingan antara pemerintah Indonesia dan GAM melalui kontak personal antara Farid Husain, Deputi Menteri Kesejahteraan Sosial dan pengusaha Finlandia, Juha Christensen. Perundingan dimulai setelah tsunami Desember 2004 dan menghasilkan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) pada Agustus 2005
Martti Ahtisaari
Martti Ahtisaari mulai bekerja untuk Kementerian Luar Negeri Finlandia pada akhir 1960an. Pertama kali ditempatkan sebagai duta besar untuk Tanzania pada awal 1970an, ia kemudian memainkan peran penting dalam transisi Namibia menuju kemerdekaan pada tahun 1990. Ahtisari terpilih sebagai Presiden Finlandia pada tahun 1994. Keterlibatannya dalam menyelesaikan sejumlah konflik, di antaranya membujuk Slobodan Milosevic untuk menarik pasukannya dari Kosovo tahun 2000, memberikan Ahtisaari reputasi yang baik sebagai mediator internasional dan pada akhir masa kepresidenannya ia mendirikan Crisis Management Initiative. Ia pertama kali bertemu dengan Farid Husain pada Februari 2004 dan mempersiapkan untuk mengundang perwakilan dari Pemerintah Indonesia dan GAM ke Finlandia ketika tsunami melanda Aceh.
Henry Dunant Centre/Centre for Humanitarian Dialogue
The Centre for Humanitarian Dialogue (masih digunakan di Indonesia dengan nama aslinya, the Henry Dunant Centre (HDC)) merupakan yayasan yang berbasis di Jenewa yang didirikan pada tahun 1999 untuk menyediakan bantuan fasilitasi bagi pihak-pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata. HDC mulai melakukan mediasi antara GAM dan Pemerintah Indonesia pada tahun 2000, pasca-kejatuhan Soeharto dan ketika militer Indonesia sedang dalam keadaan kacau dan kesempatan bagi perdamaian di Aceh meningkat. Perundingan ini menghasilkan Kesepahaman Bersama tentang Jeda Kemanusiaan untuk Aceh (Joint Understanding on a Humanitarian Pause for Aceh) pada bulan Mei 2000 dan kemudian Perjanjian Penghentian Permusuhan
(Cessation of Hostilities Agreement (CoHA)) pada Desember 2002, yang merupakan sebuah kesepakatan tentang kerangka kerja menuju perjanjian damai yang menyeluruh. Perundingan yang difasilitasi oleh HDC ini mengalami kebuntuan pada April 2003 setelah kegagalan dalam proses demiliterisasi yang diamanatkan oleh CoHA.
Badan-badan Pembangunan dan Rekonstruksi
Organisasi Migrasi Internasional (International Organization for Migration/IOM) memainkan peran yang penting secara khusus di awal-awal proses perdamaian, memastikan bahwa dukungan reintegrasi tersedia bagi para mantan kombatan dan tahanan. IOM mendukung berbagai program reintegrasi eks-kombatan GAM, pembebasan dan reintegrasi tahanan politik yang mendapatkan amnesti dan program-program untuk masyarakat. Program-program ini dikelola melalui sebuah jaringan dari sembilan kantor Pelayanan Informasi, Konseling, dan Pengarahan di Aceh yang disponsori oleh IOM. Kantor-kantor ini terus menyediakan dukungan mata pencaharian bagi kelompok pemuda yang menganggur di wilayah-wilayah sensitif konflik dan dataran tinggi tengah.
Bank Dunia (World Bank/WB) telah melakukan program-program pembangunan di Indonesia pada tahun 1998. Setelah tsunami Bank Dunia merangkul 15 donor bersama ke dalam wadah Multi-Donor Fund untuk Rekonstruksi Aceh dan Sumatera Utara (MDF), yang diketuai oleh Bank Dunia sendiri bersama dengan Uni Eropa dan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh-Nias (BRR). Bank Dunia juga telah terlibat dalam mendukung program-program yang memberikan perhatian pada—dari sekian banyak isu—dukungan kesehatan, reintegrasi dan pemulihan pasca-penyelesaian melalui asistensi kepada Badan Reintegrasi Aceh dan pemberdayaan perempuan. Bank Dunia akan menginisiasi lebih lanjut MDF kedua untuk pemulihan pasca-penyelesaian.
Pada bulan Agustus 2005 Bank Dunia juga meluncurkan proyek Rekonstruksi Sistem Administrasi Agraria Aceh (RALAS) yang bertujuan untuk membentuk kembali kepemilikan tanah di berbagai wilayah yang hancur oleh tsunami sebagai pendahuluan bagi rekonstruksi properti. Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan NGOs lokal mengelola proyek ini, menimbulkan sengketa terkait cara yang paling pantas untuk secara sistematis menentukan kepemilikan tanah di mana banyak tanah yang belum memiliki sertifikat sebelum tsunami atau dimiliki secara bersama. Para NGOs lebih memilih sistem partisipatif yang memungkinkan adanya penentuan secara kolektif dalam hal perbatasan yang bersengketa dan konsolidasi berbagai plot, sementara BPN lebih berorientasi pada identifikasi hak atas tanah sebelum tsunami. Status tanah yang sebelumnya dimiliki secara bersama masih menjadi sumber potensial bagi konflik di masa yang akan datang.
Program Pembangunan PBB (United Nations Development Programme/UNDP) bertanggung jawab dalam mengimplementasikan sejumlah 33 proyek secara keseluruhan di Indonesia, berorientasi pada lima dasar tematik di mana rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh adalah salah satunya. UNDP terlibat dalam implementasi Aceh Justice Project (Proyek Keadilan Aceh), sebuah inisiatif dalam tema Dukungan Proses Perdamaian Aceh Uni Eropa. Salah satu komponen dari proyek ini adalah program dua tahun untuk peningkatan kapasitas peradilan di Aceh, diluncurkan pada Februari 2008 dan diimplementasikan berkoordinasi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
Korporasi Internasional
ExxonMobil merupakan perusahaan hasil merger antara perusahaan gas dan minyak bumi Exxon dan Mobil pada bulan November 1999. ExxonMobil Oil Indonesia adalah subsidiari dari ExxonMobil yang dalam inkarnasi sebelumnya adalah Mobil Oil Indonesia (MOI) yang mulai beroperasi di Indonesia pada akhir 1960an. Pada tahun 1971 MOI menemukan salah satu cadangan gas alam terbesar di dunia di utara Aceh, yang kemudian diikuti dengan pembangunan fasilitas ekstraksi besar-besaran di area tersebut, yang dikenal sebagai Lhokseumawe. Pada tahun 2002 fasilitas ExxonMobil di Lhokseumawe mempekerjakan kurang lebih 2000 masyarakat setempat; operasi di Lhokseumawe ini menyumbang jumlah yang signifikan pada pendapatan global Mobil Oil (dilaporkan sebesar 25 persen dan sekitar 20 persen dari ekspor luar negeri Indonesia.
Pada bulan Juni 2001, sebelas orang Indonesia, melalui Dana Hak Buruh International (International Labor Rights Fund), mengajukan tuntutan hukum terhadap ExxonMobil atas tuduhan pembunuhan, penyiksaan, kekerasan seksual, penculikan, dan pelanggaran lainnya yang diduga dilakukan oleh staf keamanan yang dipekerjakan oleh ExxonMobil berasal dari anggota TNI.
Aktor Multilateral
Hubungan antara Indonesia dan Uni Eropa (EU) dimulai sejak era 1970an. Uni Eropa telah menyediakan beberapa bentuk dukungan terhadap proses perdamaian di Aceh melalui Mekanisme Reaksi Segera Uni Eropa (EU RRM, digantikan oleh Instrumen Stabilitas pada 2007), juga merupakan donor penting dalam proses pemulihan dan rekonstruksi pasca-tsunami. Dukungan Uni Eropa terhadap proses perdamaian terdiri dari lima bentuk: mendanai upaya mediasi Crisis Management Initiative (CMI), mendanai dan menerjunkan Misi Pemantau Aceh (AMM), pengadaan misi pemantau pemilu untuk pemilu lokal pada 11 Desember 2006, asistensi untuk reintegrasi eks-kombatan GAM dan paket dukungan untuk mendukung penegakan hukum dan demokrasi di Aceh.
Sejak 2005, Komisi Uni Eropa telah berkomitmen menyalurkan ?285 juta untuk upaya pemulihan pasca-tsunami di Aceh, dukungan ini disalurkan melalui Multi-Donor Fund (MDF) untuk rekonstruksi Aceh dan Sumatera Utara. Sejak tsunami EU juga telah mendirikan ‘Rumah Eropa’ (Europe House) sebagai perwakilan resmi EU di Aceh.
Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations/ASEAN) didirikan pada tahun 1967 untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan stabilitas regional, dan Indonesia merupakan salah satu negara pendiri. Anggota-anggota ASEAN memegang prinsip non-inteference (tidak campur tangan) dalam urusan dalam negeri negara lain dan hanya akan melakukan intervensi jika diminta. Sejak dari Mei 2003 berbagai organisasi hak asasi manusia internasional mencatat perlakuan semena-mena dan deportasi dari Malaysia terhadap pengungsi dan pencari suaka Aceh yang melarikan diri pada saat operasi militer di Aceh; pemerintah Malaysia mengklaim bahwa mereka adalah imigran ilegal. Anggota-anggota ASEAN menyediakan personil militer untuk bergabung dalam Komite Keamanan Bersama (JSC) dengan tugas untuk memantau implementasi Kesepakatan Penghentian Permusuhan (CoHA), dan kemudian dalam Misi Pemantau Aceh untuk memantau penerapan MoU Helsinki. Anggota ASEAN juga menyediakan tim pemantau untuk mengawasi pelaksanaan pemilu lokal pada Desember 2006, dan juga bantuan pemulihan dan rekonstruksi pasca-tsunami.

Gerakan Aceh Merdeka

                                                 Gerakan Aceh Merdeka

Sejarah Lahirnya Gerakan Aceh Merdeka

 
GAM (Gerakan Aceh Merdeka), mau tak mau, harus bicara kelahiran negara Republik Indonesia. Sebab, dari situlah kisah gerakan menuntut kemerdekaan dimulai. Lima hari setelah RI diproklamasikan, Aceh menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Jakarta. Dibawah Residen Aceh, yang juga tokoh terkemuka, Tengku Nyak Arief, Aceh menyatakan janji kesetiaan, mendukung kemerdekaan RI dan Aceh sebagai bagian tak terpisahkan.Pada 23 Agustus 1945, sedikitnya 56 tokoh Aceh berkumpul dan mengucapkan sumpah. ”Demi Allah, saya akan setia untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia sampai titik darah saya yang terakhir.” Kecuali Mohammad Daud Beureueh, seluruh tokoh dan ulama Aceh mengucapkan janji itu. Pukul 10.00, Husein Naim dan M Amin Bugeh mengibarkan bendera di gedung Shu Chokan (kini, kantor gubernur). Teuku Nyak Arief Gubernur di bumi Serambi Mekkah.

Tetapi, ternyata tak semua tokoh Aceh mengucapkan janji setia. Mereka para hulubalang, prajurit di medan laga. Prajurit yang berjuang melawan Belanda dan Jepang. Mereka yakin, tanpa RI, mereka bisa mengelola sendiri negara Aceh. Inilah kisah awal sebuah gerakan kemerdekaan. Motornya adalah Daud Cumbok. Markasnya di daerah Bireuen.

 
Tokoh-tokoh ulama menentang Daud Cumbok. Melalui tokoh dan pejuang Aceh, M. Nur El Ibrahimy, Daud Cumbok digempur dan kalah. Dalam sejarah, perang ini dinamakan perang saudara atau Perang Cumbok yang menewaskan tak kurang 1.500 orang selama setahun hingga 1946. Tahun 1948, ketika pemerintahan RI berpindah ke Yogyakarta dan Syafrudin Prawiranegara ditunjuk sebagai Presiden Pemerintahan Darurat RI (PDRI), Aceh minta menjadi propinsi sendiri. Saat itulah, M. Daud Beureueh ditunjuk sebagai Gubernur Militer Aceh. Oleh karena kondisi negara terus labil dan Belanda merajalela kembali, muncul gagasan melepaskan diri dari RI. Ide datang dari dr. Mansur. Wilayahnya tak cuma Aceh.

Tetapi, meliputi Aceh, Nias, Tapanuli, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkalis, Indragiri, Riau, Bengkulu, Jambi, dan Minangkabau. Daud Beureueh menentang ide ini. Dia pun berkampanye kepada seluruh rakyat, bahwa Aceh adalah bagian RI. Sebagai tanda bukti, Beureueh memobilisasi dana rakyat. Setahun kemudian, 1949, Beureueh berhasil mengumpulkan dana rakyat 500.000 dolar AS. Uang itu disumbangkan utuh buat bangsa Indonesia.

Uang itu diberikan ABRI 250 ribu dolar, 50 ribu dolar untuk perkantoran pemerintahan negara RI, 100 ribu dolar untuk pengembalian pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis. Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membeli obligasi pemerintah, membiayai berdirinya perwakilan RI di India, Singapura dan pembelian dua pesawat terbang untuk keperluan para pemimpin RI. Saat itu Soekarno menyebut Aceh adalah modal utama kemerdekaan RI.

Setahun berlangsung, kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke Propinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh marah. Apalagi, janji Soekarno pada 16 Juni 1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak juga dipenuhi. Intinya, Daud Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh. Bukan dilarang. Beureueh tak minta merdeka, cuma minta kebebasan menjalankan agamanya sesuai syariat Islam. Daud Beureueh pun menggulirkan ide pembentukan Negara Islam Indonesia pada April 1953. Ide ini di Jawa Barat telah diusung Kartosuwiryo pada 1949 melalui Darul Islam.

 
Lima bulan kemudian, Beureueh menyatakan bergabung dan mengakui NII Kartosuwiryo. Dari sinilah lantas Beureueh melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang notabene Islam, mendukung sepenuhnya ide NII itu. Tentara NII pun dibentuk, bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Lantas, terkenallah pemberontakan DI/TII di sejumlah daerah. Beureueh lari ke hutan. Cuma, ada tragedi di sini. Pada 1955 telah terjadi pembunuhan masal oleh TNI. Sekitar 64 warga Aceh tak berdosa dibariskan di lapangan lalu ditembaki. Aksi ini mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno. Melalui berbagai gejolak dan perundingan, pada 1959, Aceh memperoleh status propinsi daerah istimewa.

Beureueh merasa dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan struktur kepemimpinan adat dan tak menghargai peranan ulama dalam kehidupan bernegara. Padahal, rakyat Aceh itu sangat besar kepercayaannya kepada ulama. Gerilya dilakukan. Tetapi, Bung Karno mengerahkan tentaranya ke Aceh. Tahun 1962, Beureueh dibujuk menantunya El Ibrahimy agar menuruti Menhankam AH Nasution untuk menyerah. Beureueh menurut karena ada janji akan dibuatkan UU Syariat Islam bagi rakyat Aceh (baru terwujud tahun 2001).

GAM lahir di era Soeharto. Saat itu, sedang terjadi industrialisasi di Aceh. Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan segala penghormatan rakyat Aceh. Efek judi melahirkan prostitusi, mabuk-mabukan, bar, dan segala macam yang bertentangan dengan Islam dan adat rakyat Aceh. Kekayaan alam Aceh dikuras melalui pembangunan industri yang dikuasai orang asing melalui restu pusat. Sementara rakyat Aceh tetap miskin.

Pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat memprihatinkan. Melihat hal ini, Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang sudah tenang kemudian bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan rakyat, adat Aceh dan agama Islam. Pertemuan digagas tahun 1970-an. Mereka sepakat meneruskan pembentukan Republik Islam Aceh, yakni sebuah negeri yang mulia dan penuh ampunan Tuhan. Kini mereka sadar, tujuan itu tak bisa tercapai tanpa senjata. Lalu diutuslah Zainal Abidin menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di Amerika.

Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Tiro akan mengirim senjata ke Aceh. Zainal tak lain adalah kakak Tiro. Sayang, senjata tak juga dikirim hingga Beureueh meninggal. Hasan Asleh, Jamil Amin, Zainal Abidin, Hasan Tiro, Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi berkumpul di kaki Gunung Halimun, Pidie. Di sana, pada 24 Mei 1977, para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh mendirikan GAM. Selama empat hari bersidang, Daud Beureueh ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi. Sementara Hasan Tiro yang tak hadir dalam pendirian GAM itu ditunjuk sebagai wali negara. GAM terdiri atas 15 menteri, empat pejabat setingkat menteri dan enam gubernur. Mereka pun bergerilya memuliakan rakyat Aceh, adat, dan agamanya yang diinjak-injak Soeharto.

 
Miliki Pabrik Senjata dan Berlatih di Libia
Setelah didirikan, GAM mendapat dukungan rakyat. Hubungan dengan dunia internasional terus dibangun. Kekuatan bersenjata pun disusun. Berapa anggota GAM, bagaimana kekuatannya, jaringan internasionalnya, dan dananya?

Masih ingat deadline maklumat pemerintah 12 Mei 2003 lalu. Hingga batas waktu ultimatum, pemerintah tak juga mengeluarkan keputusan sebagai tanda awal operasi militer ke Aceh. Konon, saat itu pemerintah menghitung kekuatan TNI di sana. Ada kekhawatiran, TNI bakal dilibas GAM melalui perang gerilya. Secara tidak langsung, kabar ini menyiratkan ketangguhan kekuatan bersenjata GAM. Sesungguhnya jumlah anggota GAM itu sebagian besar rakyat Aceh.

Filosofinya begini. Jika rakyat terus ditindas, maka seluruh rakyat itu akan bangkit melawan. Dan, hal seperti inilah yang terjadi di bumi Serambi Mekah itu. Perlawanan GAM mendapat simpati luar biasa dari rakyat Aceh. Rakyat yang lama ternista dan teraniaya. Sambil berkelakar, Panglima Tertinggi GAM dan Wakil Wali Negara Aceh Tengku Abdullah Syafei (alm) sempat mengatakan, bayi-bayi warga Aceh telah disediakan senjata AK-47 oleh GAM. Mereka akan dididik dan dilatih sebagai tentara GAM dan segera pergi berperang melawan TNI.

Sejatinya, basis perjuangan GAM dilakukan dalam dua sisi, diplomatik dan bersenjata. Jalur diplomasi langsung dipimpin Hasan Tiro dari Swedia. Opini dunia dikendalikan dari sini. Sementara basis militer dikendalikan dari markasnya di perbatasan Aceh Utara-Pidie. Seluruh kekuatan GAM dioperasikan dari tempat ini.

Termasuk, seluruh komando di sejumlah wilayah di Aceh dan di beberapa negara seperti Malaysia, Pattani (Thailand), Moro (Filipina), Afghanistan, dan Kazakhstan. Tetapi, kerap GAM menipu TNI dengan cara mengubah-ubah tempat markas utamanya. Di seluruh Aceh, GAM membuka tujuh komando, yaitu komando wilayah Pase Pantebahagia, Peurulak, Tamiang, Bateelik, Pidie, Aceh Darussalam, dan Meureum. Masing-masing komando dibawahi panglima wilayah.

 
Sejak berdiri tahun 1977, GAM dengan cepat melakukan pendidikan militer bagi anggota-anggotanya. Setidaknya tahun 1980-an, ribuan anak muda dilatih di camp militer di Libia. Saat itu, Presiden Libia Mohammar Khadafi mengadakan pelatihan militer bagi gerakan separatis dan teroris di seluruh dunia. Hasan Tiro berhasil memasukkan nama GAM sebagai salah satu peserta pelatihan.
Pemuda kader GAM juga berhasil masuk dalam latihan di camp militer di Kandahar, Afghanistan pimpinan Osama bin Laden. Gelombang pertama masuk tahun 1986, selanjutnya terus dilakukan hingga akhir 1990. Selama DOM, pengiriman tersendat. Tetapi, angkatan 1995-1998 sudah mendapat latihan intensif. Ketika DOM dicabut, prajurit dari Libia ini ditarik ke Aceh. Jumlahnya sekitar 5.000 personel dan dijadikan pasukan elite GAM (semacam Kopassus).
Jalur ke Libia memang agak mudah. Dari Aceh, para pemuda Aceh itu dikirim melalui Malaysia lalu menuju Libia. Jalur lainnya dari Aceh lalu ke Thailand menuju Afghanistan dan melanjutkan ke Libia. Dari jalur ketiga, yakni melalui Aceh menuju Filipina Selatan dan ke Libia. Tiga jalur penting ini hampir selalu lolos dari jangkauan petugas imigrasi, polisi, dan patroli TNI-AL. Di era Syafei hingga sekarang dipegang Muzakkir Manaf, personel GAM terdiri atas pasukan tempur, intelijen, polisi, pasukan inong baleh (pasukan janda korban DOM) dan karades (pasukan khusus) serta Lasykar Tjut Nyak Dien (tentara wanita).
Wakil Panglima GAM Wilayah Pase Akhmad Kandang (alm) pernah mengklaim, jumlah personel GAM 70 ribu. Anggota GAM 490 ribu. Jumlah itu termasuk jumlah korban DOM 6.169 orang. Sumber resmi Mabes TNI cuma menyebut sekitar enam ribu orang. Mantan Menhan Machfud MD menyebut 4.869 personel. Dari jumlah itu, 804 di antaranya dididik di Libia dan 115 dilatih di Filipina — Moro. Persediaan senjatanya terdiri atas pistol, senapan, GLM, mortir, granat, pelontar granat, pelontar roket, RPG, dan bom rakitan.
Jenis senapan di antaranya AK-47, M-16, FN, Colt, dan SS-1. Dari mana persenjataan itu diperoleh? Ada jalur internasional yang menyuplainya. Sejumlah negara disebut antara lain, gerakan separatis Pattani Thailand, Malaysia, gerakan Islam Moro Filipina, eks pejuang Kamboja, gerakan separatis Sikh India, gerakan Elan Tamil, dan Kazhakstan serta Libia dan Afghanistan. GAM juga membuat pabrik senjata. Di antaranya, di Kreung Sabe, Teunom — Aceh Barat — dan di Lhokseumawe dan Nisau-Aceh Utara serta di Aceh Timur.
Jenis senjata yang diproduksi seperti bom, amunisi, senjata laras panjang dan pendek, pabrik senjata ini bisa dibongkar pasang sesuai dengan kondisi medan. Jika akan diserbu TNI, pabrik senjata telah dipindahkan ke daerah lain. Para ahli senjata disekolahkan ke Afghanistan dan Libia.
Senjata-Senjata GAM juga berasal dari Jakarta dan Bandung. Pasar gelap senjata ini dilakukan oleh oknum TNI dan Polri yang haus kekayaan. Bagi GAM, asal ada senjata, uang tidak masalah. Sebab, faktanya GAM ternyata memiliki sumber dana yang sangat besar. Jumlah pembelian ke oknum TNI/Polri ini bisa trilyunan rupiah. Sebuah penggerebekan tahun 2000 oleh Polda Metro Jaya sempat menemukan kuitansi Rp 3 milyar untuk pembelian senjata GAM di pasar gelap dari oknum TNI. Kini, senjata yang dimiliki TNI juga dimiliki GAM.
Yang tak dimiliki GAM adalah senjata berat. Sebab, sifatnya yang lamban. Prinsip GAM, senjata itu harus memiliki mobilitas tinggi, mudah dibawa ke mana-mana. Sebab, strategi perangnya yang hit and run. GAM bahkan mengaku memiliki senjata yang lebih modern daripada TNI. Misalnya, senjata otomatis yang dimiliki para karades. Senjata otomatis, berbentuk kecil mungil itu bisa tahan berhari-hari dalam air. Anggota karades inilah yang biasa menyusup ke kota-kota dan menyergap anggota TNI/Polri yang teledor.
Membeli senjata tentu dengan uang melimpah. Sebab, harganya yang tak murah. Lantas, dari mana mereka mendapatkan dana? GAM memiliki donatur tetap dari pengusaha-pengusaha Aceh yang sukses di luar negeri. Di antaranya, di Thailand, Malaysia, Singapura, Amerika, dan Eropa. Dana juga didapatkan dari sumbangan wajib yang diambil dari perusahaan-perusahaan lokal dan multinasional di Aceh.
Sebagai gambaran, tahun 2000 lalu, GAM meminta sumbangan wajib kepada seorang pengusaha lokal bernama Tengku Abu Bakar sebesar Rp 100 juta. Abu Bakar diberi surat berkop Neugara Atjeh-Sumatera tertanggal 15 Februari 2000 yang ditandatangani oleh Panglima GAM Wilayah Aceh Rajek Tengku Tarzura. Mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menyebut Pupuk Iskandar Muda pernah menyetor Rp 10 milyar ke GAM untuk biaya keamanan.
GAM kerap melakukan gangguan bila tidak mendapatkan sumbangan wajib tersebut. Makanya, setiap bulan, GAM mendapat upeti dari para pengusaha ”sahabat GAM” itu. Sistem komunikasi GAM juga sangat canggih. Sistem komunikasi berlapis dilakukan GAM sebagai benteng pertahanan dan propaganda. Selain handytalky, GAM juga memiliki radio tranking, radar dan telepon satelit. GAM juga memiliki penyadap telepon. Acap kali gerakan TNI/Polri dimentahkan aksi-aksi penyadapan ini. Penggerebekan sering kali gagal total.
Sistem organisasinya yang disusun dengan sistem sel juga membantu GAM survive. Tidak mudah menemukan markas GAM. Meski, ada sebagian anggota GAM yang ditangkap. Antara anggota dan pejabat satu dengan yang lain kadang tidak berhubungan, tidak saling mengenal. Ketua Umum Forum Perjuangan dan Keadilan Rakyat Aceh (FOPKRA) Shalahuddin Al Fatah menuturkan, sejak zaman Belanda, rakyat Aceh memang tidak pernah menang. Tetapi, rakyat Aceh tidak pernah ditaklukkan. Fakta sejarah pula, gerakan rakyat Aceh menentang pusat tidak pernah menang. Tetapi, TNI tidak pernah bisa menaklukkan mereka.

Bergabungnya Aceh Kedalam Negara Indonesia

Bergabungnya Aceh Kedalam Negara Indonesia

Jauh sebelum NKRI berdiri, Aceh Darussalam telah berdaulat sebagai sebuah kerajaan merdeka dan bahkan menjadi bagian dari kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Hal ini sungguh-sungguh disadari Soekarno sehingga dia mengajak dan membujuk Muslim Aceh untuk mau bergabung dengan rakyat Indonesia guna melawan penjajah Belanda.
Saat berkunjung ke Aceh tahun 1948, Bung Karno dengan sengaja menemui tokoh Aceh, Daud Beureueh. Bung Karno selaku Presiden RI menyapa Daud Beureueh dengan sebutan “Kakanda (kakak)” dan terjadilah dialog yang sampai saat ini tersimpan dengan baik dalam catatan sejarah :

auh sebelum NKRI berdiri, Aceh Darussalam telah berdaulat sebagai sebuah kerajaan merdeka dan bahkan menjadi bagian dari kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Hal ini sungguh-sungguh disadari Soekarno sehingga dia mengajak dan membujuk Muslim Aceh untuk mau bergabung dengan rakyat Indonesia guna melawan penjajah Belanda.
Saat berkunjung ke Aceh tahun 1948, Bung Karno dengan sengaja menemui tokoh Aceh, Daud Beureueh. Bung Karno selaku Presiden RI menyapa Daud Beureueh dengan sebutan “Kakanda (kakak)” dan terjadilah dialog yang sampai saat ini tersimpan dengan baik dalam catatan sejarah :
Presiden Soekarno : “Saya minta bantuan Kakak agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.”
Daud Beureueh : “Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid.”
Presiden Soekarno : “Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Teungku Cik Di Tiro dan lain-lain, yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang bersemboyan merdeka atau syahid.”
Daud Beureueh : “Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan Syariat Islam di dalam daerahnya.”
Presiden Soekarno : “Mengenai hal itu Kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam.”
Daud Beureueh : “Maafkan saya Saudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari Saudara Presiden.”
Presiden Soekarno : “Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan Kakak itu.”
Daud Beureueh : “Alhamdulillah. Atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon (sambil menyodorkan secarik kertas kepada presiden) sudi kiranya Saudara Presiden menulis sedikit di atas kertas ini.”
Mendengar ucapan Daud Beureueh itu Bung Karno langsung menangis terisak-isak. Airmata yang mengalir telah membasahi bajunya. Dalam keadaan sesenggukan,
Soekarno berkata, : “Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi presiden. Apa gunanya menjadi presiden kalau tidak dipercaya.” Dengan tetap tenang, Daud Beureueh menjawab, “Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden. Akan tetapi sekadar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang.”
Sambil menyeka airmatanya, Bung Karno mengucap janji dan bersumpah,
Bung Karno bersumpah : “Waallah Billah (Demi Allah), kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat Islam. Dan Waallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan Syariat Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah Kakak masih ragu-ragu juga?”
Daud Beureueh menjawab, : “Saya tidak ragu Saudara Presiden. Sekali lagi, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati Saudara Presiden.”
Dalam suatu wawancara yang dilakukan M. Nur El Ibrahimy dengan Daud Beureueh, Daud Beureueh menyatakan bahwa melihat Bung Karno menangis terisak-isak, dirinya tidak sampai hati lagi untuk bersikeras meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji presiden itu.
Soekarno mengucapkan janji tersebut pada tahun 1948. Setahun kemudian Aceh bersedia dijadikan satu provinsi sebagai bagian dari NKRI. Namun pada tahun 1951, belum kering bibir mengucap, Provinsi Aceh dibubarkan pemerintah pusat dan disatukan dengan Provinsi Sumatera Utara.

Peperangan melawan Belanda

                                         Peperangan melawan Belanda

Untuk melicinkan niatnya menguasai Aceh, Kerajaan Belanda mengajak Kerajaan Inggris untuk menanda tangani suatu perjanjian dengan Inggris (Traktat Sumatera) yang isinya: Bekas jajahan Belanda di Afrika (Gold Coast -sekarang Ghana) diserahkan kepada Inggris dan jajahan Inggris di Sumatera (yaitu Bengkulu) diserahkan kepada Belanda. Untuk menguasai seluruh Sumatera jika perlu Belanda akan memerangi Aceh. Perjanjian ini ditanda tangani tahun 1871.
Ketika itu seorang anggota Parlemen Inggris Lord Standley Aderley, seorang bangsawan Inggris telah membantah dan menolak isi perjanjian itu. Ia berkata:
Belanda tidak mempunyai alasan dan tidak mempunyai sebab untuk menyerang Aceh yang tidak berbuat apa-apa kepada Belanda. Sekarang Belanda sudah menyerang Kerajaan Aceh, dan digagalkan. Kejatuhan Aceh akan menyebabkan kehancuran kemuliaan kita di seluruh Asia Timur dan Asia Tenggara, kekecewaan besar akan dirasakan oleh warga Inggris di Asia Tenggara dan oleh orang-orang Melayu di Malaysia yang kesan baik dari mereka adalah sangat penting bagi kita. Perjanjian baru antara Inggris dengan Belanda ini bukan saja merusakkan kemuliaan negara Inggris tetapi juga merusakkan kepentingan ekonomi kita. Sistem pemerintahan Belanda di Jawa bukan saja berlawanan sekali dengan kebebasan perdagangan, tetapi hampir tidak berbeda dari perbudakan, Belanda menamakannya “kerja tidak bergaji” sehingga tidak ada alasan sama sekali mengapa pemerintah Inggris mau menolong meluaskan sistem ini sampai ke Sumatera Bagian Utara, atau sekurang-kurangnya mengapa tidak dibuat pengecualian untuk Aceh, sebab Kerajaan Aceh berhak mengharap kita tidak melupakan kedaulatannya yang dari zaman purbalaka, dan sejarah yang gilang-gemilang, sebab Aceh sudah menjadi suatu kerajaan yang berdaulat ketika Belanda sendiri masih menjadi satu provinsi Spanyol.
Dalam Perang 80 Tahun Belanda Melawan Spanyol, di mana Aceh yang pertama kali mengakui kedaulatan negeri Belanda pada awal-awal kemerdekaan Belanda dari Spanyol. Dinasti pertama setelah Belanda merdeka dari Spanyol adalah dinasti Orange, dengan Price Murist sebagai Kepala Negara.
Bantahan terhadap perjanjian ini terus dilancarkan oleh beberapa anggota Parlemen Inggris baik sebelum dan sesudah meletusnya perang antara Aceh melawan Belanda, seperti: Thomas Gibson Bowles telah menjawab dalam Surat kabar LONDON TIMES, 3 Februari, 1874. Berbunyi:
Perjanjian Belanda-Inggris tahun 1871 sama sekali tidak dapat membebaskan Pemerintah Inggris dari kewajibannya menepati janji untuk mempertahankan Aceh menurut Perjanjian Pertahanan tahun 1819. Maka adalah suatu pelanggaran umum yang luar biasa dan hina sekali untuk menolak menepati kewajiban yang timbul dari Perjanjian yang sudah ditanda tangani itu”(THE TIMES, London, 3 Februari, 1874, p.10)
Selanjutnya Surat kabar VANITY FAIR, 12 September, 1874, telah mengeluarkan tajuk rencana mengenai Perjanjian Pertahanan Aceh-Inggris yang sudah dikhianati itu:
Dikatakan bahwa Inggris adalah netral dalam perang ini, tetapi Belanda dibiarkan menggunakan wilayah jajahan kita di sini sebagai basis operasi menyerang Aceh. Jadi Inggris bukan saja tidak membantu Aceh, sebagai kewajibannya menurut perjanjian, tetapi ia memberikan kepada Belanda segala bantuan untuk menaklukan Aceh. Sudah pasti ini adalah puncak dari pengkhianatan. Dan Perdana Menteri baru, Tuan Disraeli, sesudah menyela Perdana Menteri yang lama, Tuan Gladstone, dalam perkara ini, sekarang dia sendiri berbuat demikian: membantu Belanda menundukkan Aceh. Walaupun demikian masih banyak orang menyangka bahwa dalam demokrasi semua dapat diperbaiki dan diubah dengan menggantikan satu Kabinet dengan Kabinet baru, partai Pemerintah dengan Oposisi. Suatu bangsa sudah menjadi rendah sekali apabila ia tidak perduli lagi kepada kehormatannya dan kepada perkara-perkara seperti ini.”
Perkara kenyataan dalam soal ini tidak mungkin ada perdebatan: sebab semuanya adalah terang-benderang. Inggris terikat dengan Perjanjian Pertahanan untuk mempertahankan Aceh. Mula-mula Lord Granville berusaha menolak perjanjian itu. Lord Debry, yang seharusnya memperbaiki nama negerinya dan bangsanya tetapi berbuat sebagai orang-orang yang digantinya. Mereka adalah pantas menjadi Menteri-menteri dari suatu bangsa yang sudah hilang perasaan kehormatannya”.
Berkaitan dengan fakta-fakta yang telah disebutkan diatas, maka pada tanggal 26 Maret 1873, Gubernur Hindia Belanda yang berpusat di Jawa, menyatakan perang kepada Kerajaan Aceh / Sultan Mahmud Shah yang dilengkapi dengan “Ultimatum” yang berisi:
  1. Aceh menyerah kalah dengan tanpa syarat;
  2. Turunkan bendera Aceh dan kibarkan bendera Belanda;
  3. Hentikan perbuatan berpatroli di Selat Melaka;
  4. Serahkan kepada Belanda sebagian Sumatera yang berada dalam lindungan Sultan Aceh;
  5. Putuskan hubungan diplomatik dengan Khalifah Osmaniyah di Turki.
“Ultimatum” ini ditolak mentah-mentah oleh Sultan Aceh, maka terjadilah perang melawan Belanda pada 4 April 1873. Pada tanggal 26 Maret 1873, Kerajaan Belanda mengeluarkan Pernyataan perang dengan resmi atas kerajaan Aceh. Maka pasukan Belanda dibawah pimpinan Jendral J.H.R Kohler pada tanggal 5 April 1873 mulai menyerang Aceh.
Pasukan Belanda memusatkan serangannya pada Masjid Raya Baiturrahman. Setelah pertempuran berlangsung beberapa lama, Masjid Raya Baiturrahman terbakar dan dapat dikuasai Belanda. Dalam pertempuran tersebut Jendral Kohler tewas. Meskipun Masjid Raya Baiturrahman dapat dikuasai Belanda, namun hal itu tidak berlangsung lama. Belanda semakin terdesak dan pergi meninggalkan Aceh pada tanggal 29 April 1873.
Namun kemudian Belanda datang lagi. Kedatangan kembali Belanda ke Aceh dipimpin oleh Jendral J.Van Swieten. Belanda berhasil menguasai istana dan dijadikan daerah pertahanan. Walaupun istana dapat dikuasai Belanda, namun perlawanan rakyat Aceh terus berlangsung. Di bawah pemimpin-pemimpin Aceh seperti Panglima Polim, Teungku Chik Di Tiro, Teuku Ibrahim, Cut Nya Dien, Teuku Umar dll, rakyat Aceh terus berperang melawan kedzaliman dan penjajahan Kristen Belanda.
Bagaimana peperangan itu terjadi, dituliskan oleh LONDON TIMES, pada 22 April 1873 sebagai berikut:
Suatu kejadian yang luar biasa dalam sejarah penjajahan baru sudah terjadi di kepulauan Melayu, Suatu kekuatan Eropa yang besar sudah dikalahkan oleh tentara anak negeri, tentara Kerajaan Aceh. Rakyat Aceh sudah mencapai kemenangan yang menentukan. Musuh mereka bukan saja sudah kalah tetapi dipaksa lari”.
Surat Kabar THE NEW YORK TIMES, 6 Mei, 1873 menulis:
Suatu pertempuran bertumpah darah sudah terjadi di Aceh. Serangan Belanda sudah ditangkis dengan penyembelihan besar-besaran terhadap tentara Belanda. Panglima Belanda sudah dibunuh dan tentaranya lari lintang-pukang. Kekalahan Belanda itu dianggap hebat sekali dan ini terbukti dengan terjadinya debat yang hebat dalam Parlemen Belanda di Den Haag, dimana seorang anggota Parlemen sudah menyatakan bahwa kekalahan di Aceh ini adalah permulaan dari kejatuhan kekuasaan Belanda di Dunia Timur”.
Dari rangkaian peristiwa inilah sehingga New York Times, 15 Mei 1873 menulis bahwa:
Now the Achehnese education of the present generation of Christendom may be said to have fairly begun”.
Sudah tentu ulasan New York Times, didasarkan kepada fakta sejarah yang dilengkapi dengan bukti-bukti kukuh. Walaupun ulasan tersebut dalam rangka menyambut kemenangan tentara Aceh melawan serdadu Belanda dalam perang Aceh, pada 4 April 1873, namun jauh sebelum itu orang Aceh memang sudah dikenal mahir berperang, terutama dalam kurun waktu abad ke-16 sampai 17.
Kemudian pada 24 Desember, 1873, Belanda kembali menyerang Aceh dengan mengerahkan serdadu upahannya dari Jawa, Madura, Manado dan Maluku. Mereka juga menyewa ribuan penjahat dari Penjara Swiss, Prancis dan termasuk penjahat dari Afrika untuk dikerahkan mempertaruhkan nyawa mereka di Aceh. Setelah terjadinya perang periode ke II ini, maka perang melawan Belanda tidak berhenti sampai kemudian Belanda melarikan diri dari Aceh tahun 1942.
Belanda keok di Aceh! Pada tahun 1879 Belanda menyerbu Aceh dari segala penjuru dan akhirnya berhasil menguasainya. Namun demikian, daerah-daerah hutan dan pegunungan masih dikuasai rakyat Aceh. Teuku Ibrahim memimpin perang gerilya. Dalam suatu serbuan terhadap pos Belanda, Teuku Ibrahim gugur. Teuku Ibrahim meninggalkan seorang istri yang bernama Cut Nya Dien.
Perjuangan diteruskan oleh Teuku Umar. Ia masih kerabat Teuku Ibrahim. Kemudian Teuku Umar mengawini Cut Nya Dien dan bersama-sama berjuang melawan kafir-kafir kolonialis Belanda. Ingat kalau kita menonton film “Tjoet Njak’ Dhien” arahan sutradara Eros Djarot yang dibintangi oleh Christine Hakim, Cut Nya Dien selalu menyebut “kaphe-kaphe” untuk menyebut tentara-tentara Belanda. “Kaphe-Kaphe” maksudnya adalah kafir-kafir.
Kini kami sibuk memuat hewan-hewan denda penduduk. Sungguh-sungguh hal yang memalukan kita. Gubernur memerintahkan supaya rumah-rumah besar di kampung-kampung dibakar jika penduduk tidak membayar denda. Tadinya ia menginginkan supaya penduduknya ditembak mati saja, tetapi perintah itu telah kami protes…,”
Itulah bagian dari kutipan surat seorang opsir muda Belanda yang cemerlang, ditujukan kepada istrinya yang berada jauh di Belanda. Ditulis di sebuah bivak di kawasan Hutan Tamun tanggal 25 April 1897. Sebagai Kepala Staf Divisi XII Marsose, opsir yang bernama Van Daalen itu sedang memimpin pasukannya mengejar Teuku Umar di Aceh Barat.
Sebagai bagian dari pasukan elite Belanda (pasukan Marsose, Van Daalen terpaksa melaksanakan perintah yang mirip perampokan itu. Di kantung-kantung gerilya, mereka membakar rumah-rumah penduduk, memusnahkan tanaman di kebun, agar penduduk tidak punya tenaga lagi untuk melakukan perlawanan. Penduduk kampung atau pemukim yang terbukti memberi tempat berlindung bagi pejuang Aceh, dikenakan denda mencekik leher.
Kenegerian Lhong, masih di Aceh Barat, misalnya, didenda 30.000 gulden karena Teuku Umar sempat bersembunyi di sana. Suatu angka yang mustahil bisa dipenuhi penduduk miskin di kenegerian itu. Ini artinya, rumah mereka akan dimusnahkan berikut tanaman di ladang. Sedang ternak disita.
Namun, Van Daalen yang kelak menjadi gubernur, malah mendapat julukan si jagal yang kejam. Ia adalah pejabat yang terbengis selama penjajahan kolonial di Aceh. Van Daalen menggerakkan segala mesin perang, karena Kerajaan Belanda memerintahkannya untuk memenangkan perang ini secepat mungkin. Belanda baru kemudian sadar mereka terperangkap dalam perang berkepanjangan, yang nyaris membuat bangkrut kas Hindia Belanda.
Kekerasan dihadapi dengan kekerasan, itulah motto Van Daalen. Perlawanan Aceh hanya akan berakhir jika dihadapi dengan superioritas militer. Mayat-mayat kemudian bergelimpangan di sana-sini. Benar bahwa tahun 1913, atau setelah 40 tahun perang, Aceh berhasil ditaklukkan, tetapi bukan berarti perang sudah usai.
Kurang lebih 10.000 prajurit Belanda tewas dalam Perang Aceh. Belanda mengerahkan kekuatan maksimum. Invasi pertama saja tiba dengan 5.000 personel, suatu jumlah yang amat besar untuk masa itu. Bagi Belanda, Perang Aceh merupakan pengalaman pahit. Itu sebabnya hanya Aceh satu-satunya daerah yang tidak dijamah Belanda ketika kembali ke Indonesia (bekas Hindia Belanda) dengan menumpang Sekutu-NICA seusai PD II.
Peperangan yang panjang dan melelahkan ini telah mengorbankan ratusan ribu nyawa manusia dari kedua belah pihak. Demikian juga dengan dana perang yang sangat besar dikeluarkan oleh Belanda, sehingga menyebabkan semua perusahaan-perusahaan sebagai sumber ekonomi Belanda terpaksa gulung tikar sebagai konsekuensi logis dari perang yang dahsyat dan paling lama dalam sejarah mereka.
Bagi Belanda segalanya sudah menjadi tidak terkendali. Seorang penulis sejarah Belanda mengatakan:
Bangsa Belanda dan negeri Belanda tidak pernah menghadapi satu peperangan yang lebih besar daripada peperangan dengan Aceh. Menurut kurun waktunya, perang ini dapat dinamakan perang delapan puluh tahun. Menurut korbannya -1ebih seratus ribu orang yang mati- perang ini adalah suatu kejadian militer yang tidak ada bandingannya dalam sejarah bangsa Belanda”.
Untuk negeri dan bangsa Belanda, perang Aceh itu lebih daripada hanya pertikaian militer: “Selama satu abad inilah persoalan pokok politik internasional, politik nasional, dan politik kolonial Belanda”. Paul Van’ t Veer, De Acheh Oorlog, Amsterdam, 1969, p.10.
Rakyat Aceh tidak dapat dikalahkan Belanda dengan pendekatan militeristik, sebab bangsa Aceh memandang perang melawan Belanda sebagai perang suci-jihad fisabilillah- yang bermakna; orang Aceh akan berlomba-lomba untuk mati syahid menggempur musuh yang dirangsang dengan aqidah Islam yang sudah masuk ke dalam tulang sumsumnya. Itulah sebabnya perang ini telah melibatkan semua lapisan masyarakat, tidak terkecuali kaum wanitanya.
Para Ulama telah menghembuskan roh jihad dalam perang ini. Tengku Thjik di Tiro Muhammad Saman telah memimpin peperangan ini dan diikuti oleh bangsa Aceh serta keluarga di Tiro yang lain sampai kepada Tengku Tjhik Maat di Tiro yang mati syahid dalam satu peperangan di Alue Bhot, Pidie, tahun 1911.
Perang terus merebak ke seluruh Aceh. Tengku Mata Ie bersama pasukannya berjuang di sektor Aceh Besar; Tengku Tapa bersama pasukannya berjuang di sektor Timur; Tengku Paja di Bakong bersama pasukannya berjuang di sektor Utara; Tjut Ah dan Tengku di Barat bersama pasukannya berjuang di sektor Barat-selatan; Pang Jacob, Pang Bedel dan Pang Masem berjuang di sektor Tengah; Panglima Tjhik bersama pasukannya berjuang di sektor Tenggara. Akhirnya, pada tahun 1942 Belanda angkat kaki dari bumi Aceh dalam keadaan hina.
Setelah itu Belanda kapok dan tidak pernah berani lagi menginjak Aceh. Ketika tahun 1946-1948 Belanda kembali dan telah menduduki seluruh wilayah Indonesia, mereka tidak mau terperangkap kembali di Aceh. Keadaan di Aceh persis seperti dikatakan oleh seorang penulis Belanda.
Sesudah tahun 1945 pemerintah Belanda tidak kembali lagi ke Aceh, pada ketika aksi-aksi militer tahun 1946-1947, ketika bagian-bagian besar Sumatera diduduki tidak dilakukan upaya untuk menembus sampai ke Aceh. Di bagian satu-satunya dari Indonesia inilah antara tahun 1945 dan 1950 merdeka sudah menjadi kenyataan.” (Paul Van ‘t Veer. Perang Acheh, hal.254).