Search This Blog

Sunday, June 2, 2013

Mantan GAM Armada Saleh: Kecewa Terhadap Pemerintah Aceh

Mantan GAM Armada Saleh: Kecewa Terhadap Pemerintah Aceh

suaraleuserantara June 2, 2013 0

Tulisan ini adalah ungkapan rasa kecewa mantan pejuang GAM terhadap pemerintahan Aceh saat ini
Armada Saleh (Foto: Suara Leuser Antara)
Armada Saleh (Foto: Suara Leuser Antara)
Oleh: Armada Saleh

Aceh Sumatera National Liberation Front (ASNLF), merupakan cetusan yang muncul dari luapan amarah seorang tokoh Aceh kharismatik Almarhum Yang Mulia Teungku Muhammad Hasan Di Tiro, yang menyaksikan sendiri pelecehan Pemerintah Pusat Republik Indonesia terhadap  Aceh.

Pada awal Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 18 Agustus 1945 dengan ditetapkannya Pancasila menjadi Ideologi dasar negara menggantikan Piagam Jakarta yang sudah disepakati sebelumnya.

Alinea Pertama yang berbunyi: “Ketuhanan yang maha Esa dengan kewajiban melaksanakan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dirubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perubahan ini telah memicu Perselisihan/Perpecahan yang berujung pada pemberontakan Darul Islam dibawah Pimpinan KARTOSWIRYO di pulau Jawa, Teungku Daud Beureueh di Aceh dan Kahar Muzakar di Sulawesi.

Pemberontakan Darul Islam di Aceh juga di picu oleh penurunan status Provinsi Aceh menjadi Keresidenan Aceh dibawah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, pada tahun 1951 (Keputusan Presiden RI). Inilah jawaban Soekarno terhadap tuntutan Aceh yang menginginkan berlaku Syariat Islam di Aceh.

Kemarahan Rakyat Aceh sudah tidak terbendung, pertumpahan darah tidak dapat dihindari, pemberontakan ini berakhir pada tahun 1961 dengan 3 butir perjanjian damai yang disepakati antara Republik Indonesia dan Aceh.

Aceh merupakan Daerah Istimewa: 1. Bidang Budaya, 2. Bidang Pendidikan, 3. Bidang Agama. Namun demikian keistimewaan ini tidak pernah di Undangkan oleh Pemerintah, sehingga Aceh merasa dibohongi dan dilecehkan.

Pada tahun 1958 Yang Mulia Teungku Muhammad Hasan Ditiro pernah mengusulkan kepada pemerintah pusat di Jakarta dengan tulisannya yang diberi judul “Demokrasi Untuk Indonesia”. Beliau mengusulkan bentuk Negara Republik Indonesia yang paling aman dan akan bertahan lama adalah berupa Negara Federal (Negara Persatuan), bukan kesatuan.

Usul ini ternyata tidak mendapat sambutan dari pemerintah pusat. Bahkan selama pemerintahan presiden Soeharto, Aceh dijadikan sebagai sapi perahan. Minyak, Gas dan Hutan Aceh dikuras habis oleh Pusat.

Aceh hanya menerima hadiah berupa bencana longsor dan banjir. Atas restu dari Almarhum Teungku Daud Beureueh, maka pada akhir tahun 1976 Yang Mulia Teungku Muhammad Hasan Ditiro memproklamasikan “Aceh Merdeka” sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah Republik Indonesia.

Kekayaan Aceh yang diangkut ke Jakarta berupa hasil tambang dan penggundulan hutan, sebahagian di kembalikan ke Aceh berupa timah panas. Pemberontak yang diberi julukan “Gerombolan Pengacau Liar Hasan Tiro”  di Bombadir dari laut, darat dan udara.

Darahpun tumpah membasahi tanah Aceh selama 30 tahun. Perang Saudara”  telah merenggut banyak nyawa, bahkan korban bukan hanya di pihak GAM dan Masyarakat biasa.

Penulis juga bergabung dalam Barisan Gerakan yang dipimpin oleh Yang Mulia Teungku Muhammad Hasan Ditiro tersebut sejak di Bai’at oleh Teungku Ilyas Leube di Banda Aceh pada tahun 1975.

Sebelum tertangkap di Medan pada bulan April 2003, penulis bertugas sebagai salah seorang pimpinan sipil gerakan, berdampingan dengan Teungku Ilham Ilyas Leube untuk wilayah Dataran Tinggi Gayo.

Dari LP klas 1 A Porong, Sidoarjo, Jawa Timur penulis menyaksikan lewat televisi, serangan dahsyat yang dikirimkan Allah SWT ke dataran Aceh berupa tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 yang merenggut ratusan ribu korban nyawa dan bangunan serta lahan pertanian musnah.

Ternyata bencana ini membuka hati dan kesadaran kedua belah pihak untuk lebih intent merumuskan perdamaian, mengakhiri permusuhan.

Saat yang diharapkanpun tiba, pada tanggal 15 Agustus 2005 kesepakatan damai di tanda tangani oleh kedua belah pihak yang bertikai, disaksikan oleh Uni Eropah di kota Helsinki, Finlandia.

Kami yang berjumlah 73 orang yang tersebar di berbagai LP di Jawa Timur mendapat Amnesti dari Presiden Republik Indonesia, selanjutnya kembali ke Aceh dengan penuh harap dan tekad untuk tetap Damai.

Dengan demikian  Insya Allah Aceh dapat berbenah mengejar ketertinggalan dari provinsi lainnya di Indonesia. Walaupun keadilan yang sangat diinginkan oleh semua lapisan rakyat Aceh belum terwujud sampai kini, setidaknya dalam kondisi damai, sektor pendidikan, kegiatan ekonomi dan pertanian sudah mulai bergairah kembali.

Yang Mulia Teungku Muhammad Daud Beureueh hanya menuntut berlaku Syariat Islam di Aceh. Yang Mulia Teungku Muhammad Hasan Ditiro menginginkan Indonesia merupakan Negara Federal (termasuk Provinsi Aceh).

Butir-butir perjanjian damai memberikan kenyataan yang lebih luas dari apa yang diperjuangkan oleh kedua Tokoh Kharismatik Aceh tersebut diatas.

Syariat Islam telah di undangkan. Aceh ditetapkan sebagai daerah Istimewa dengan predikat Otonomi Khusus . Keistimewaan yang sebahagian telah di undangkan, dan Sebahagian besar masih dalam rumusan di DPR Aceh.

Insya Allah semua akan terlaksana dengan baik dan tuntas selama Niat senantiasa diutamakan untuk tetap damai. Saat ini masyarakat Aceh sangat membutuhkan perbaikan kondisi sosial, terutama di daerah yang tidak terjangkau oleh Program BRR (Badan Rehabilitas dan Rekontruksi) pasca tsunami, yaitu daerah pegunungan.

Program Pemberatasan kemiskinan seharusnya menjadi prioritas utama dalam menentukan kebijakan pemerintah daerah Aceh pasca tsunami dan konflik saat ini.

Pemerintah dan DPR Aceh terkesan memaksakan kehendak dengan menetapkan prioritas utama:

- Qanun Wali Nanggroe, yang mengharuskan setiap calon dapat berbahasa Aceh dengan baik dan benar (Mendiskreditkan bahasa daerah lainnya yang ada di Aceh).

-Penetapan Qanun Bendera Aceh yang sangat mirip Bendera GAM semasa konflik. (Terkesan mengabadikan permusuhan dengan Republik Indonesia).

-Dengan sengaja menentukan berbagai kebijakan yang mengesankan keinginan untuk segera berpisah dari Republik Indonesia.

Semua kebijakan tersebut diatas sangat potensial memecah belah rasa persatuan dan kesatuan dalam masyarakat Aceh sendiri yang sangat merindukan kedamaian. Dalam masa konflik, penulis rela bergabung bersama pejuang yang tangguh menyusuri hutan belantara dan rimba Aceh yang sangat bersahabat.

Ratusan tentara pejuang menemui ajalnya dengan penuh keyakinan  akan memperoleh Syahid dalam membela keadilan dan menegakkan syariat Islam di bumi Serambi Mekah.

Penulis meyakini bahwa Perjuangan Yang Mulia Teungku Daud Beureueh dan Yang Mulia Teungku Muhammad Hasan Ditiro bukan untuk memisahkan Aceh dari Republik Indonesia.

Tetapi demi untuk tegaknya Syariat Islam dan Keadilan di bumi Aceh (Yang Mulia Teungku Muhammad Hasan Ditiro dalam bukunya “Demokrasi untuk Indonesia”). Hasil perjuangan yang sudah dicapai berupa butir-butir kesepakatan damai merupakan medan perjuangan politik yang harus dituntaskan dengan bijaksana dan cerdas.

Namun demikian memprioritaskan bendera GAM berkibar menjadi bendera pemersatu rakyat Aceh adalah Satu keputusan yang sangat keliru, bahkan menjadi sumber perpecahan.

Untuk saat ini rakyat Aceh memerlukan perbaikan kesejahteraan, bukan bendera dan lambang daerah. Kebutuhan masyarakat Aceh yang sangat mendesak saat ini adalah berupa Qanun Ekonomi, Pertanian dan Perdagangan serta kebebasan mengelola hasil bumi Aceh atau Tambang yang dapat mempercepat pencapaian kesejahteraannya (MOU Helsinki Pasal 1.3.1 s/d 1.3.9).

Sudah seharusnya Pemerintah Aceh memberikan arahan skala prioritas dalam hal pembahasan Qanun Aceh kepada DPR Aceh yang anggotanya mayoritas bukan sarjana dan relatif extrem.

Bukan justru memacu ego mereka untuk berhadapan dengan penuh kebencian terhadap pemerintah pusat. Sebagai salah seorang anggota masyarakat Aceh yang cinta damai dan sekaligus sebagai mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM, penulis hanya dapat menyampaikan himbauan kepada segenap aparat pemerintahan Aceh.

Kiranya dapat mendengar dan mempertimbangkan saran dan masukan dari masyarakat, karena merekalah yang akan merasakan secara langsung akibat dari kebijakan pemerintah yang berdampak bencana.

SOLUSI DAMAI
Pergolakan di Aceh yang dikenal dengan “Gerakan Aceh Merdeka” (GAM) di bawah pimpinan Yang Mulia Tengku Muhammad Hasan Ditiro, didukung oleh mayoritas masyarakat Aceh, baik yang berdomisili di dalam maupun di luar Aceh.

Pimpinan yang kharismatik tersebut berlaku adil dan bijaksana, mencintai dan menghormati semua suku bangsa yang hidup di bumi Serambi Mekah ini.

Semua keputusan dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi besar Muhammad SAW, bahkan sebelum bendera “Aceh Merdeka” dikibarkan di puncak Gunung Halimun, beliau masih mambuka kesempatan untuk berdiskusi.

Sikap dan keikhlasan beliaulah yang telah menuai dukungan luas dari mayoritas masyarakat Aceh. Sangat jauh berbeda dengan kenyataan paska Aceh damai yang dirasakan saat ini.

Visi semula yang diimpikan oleh pencetus ide perjuangan untuk “Aceh Mulia” telah terlupakan, maka sudah sepantasnyalah mayoritas suku bangsa yang berdomisili di Aceh menyuarakan penolakan terhadap kebijakan pemerintah Aceh yang menjurus kepada “Berakhirnya Damai”.

Keputusan pemerintah Aceh menetapkan bendera GAM sebagai bendera Aceh merupakan pernyataan resmi pemerintah Aceh bahwa setiap jengkal tanah Aceh dan masyarakatnya adalah mantan Separatis GAM.

Masyarakat yang tidak terdaftar sebagai mantan GAM tentu sangat berkeberatan dipaksakan berdiri dengan sikap sempurna memberi hormat kepada bendera Aceh tersebut yang pernah menjadi trauma di hati mereka.

Mempertimbangkan penolakan sebagian masyarakat Aceh dari hal Qanun Bahasa, Lambang dan Bendera, yang telah di syahkan oleh DPR Aceh dan Pemerintahan Aceh,

Penulis menyarankan bahwa semua Kabupaten yang tidak sepakat dengan Qanun tersebut agar memberikan pernyataan resmi dari DPR Kabupaten yang bersangkutan, di Syahkan oleh Bupati/Walikota masing-masing.

Kabupaten dan Kotamadya tersebut di himpun dalam satu atau dua kelompok untuk segera dibentuk satu atau dua provinsi baru terpisah dari provinsi Aceh. Hal ini lebih menjamin agar tidak terjadi Konflik horizontal antara masyarakat di Aceh.

Mencari penyelesaian Qanun bendera melalui ”REFERENDUM” sebagaimana yang diusulkan oleh DPR Aceh pada pertemuan di Makasar tanggal 17 Mei yang lalu merupakan usul yang tidak selayaknya diutarakan dalam suasana Aceh damai saat ini.

Wallahu A’lam
Wassalam
Penulis: Armada Saleh