Search This Blog

Tuesday, November 19, 2013

ACEH DALAM SEJARAH (EBook Tentang Aceh)

ACEH DALAM SEJARAH (EBook Tentang Aceh)

Mesjid Baiturahman tahun 1895
Di dalam buku-buku pelajaran sejarah dan media massa nasional, beberapa tahun sebelum terciptanya perdamaian di Nangroe Aceh Darussalam, kita sering mendengar istilah ‘pemberontakan rakyat Aceh’ atau ‘pemberontakan Aceh’ terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sejak zaman kekuasaan Bung Karno hingga presiden-presiden penerusnya, sejumlah ‘kontingen’ pasukan dari berbagai daerah—terutama dari Jawa—dikirim ke Aceh untuk ‘memadamkan’ pemberontakan ini. Kita seakan menerima begitu saja istilah ‘pemberontakan’ yang dilakukan Aceh terhadap NKRI.

Namun tahukah kita bahwa istilah tersebut sesungguhnya bias dan kurang tepat? Karena sesungguhnya—dan ini fakta sejarah—bahwa Naggroe Aceh Darussalam sebenarnya tidak pernah berontak pada NKRI, namun menarik kembali kesepakatannya dengan NKRI. Dua istilah ini, “berontak” dengan “menarik kesepakatan” merupakan dua hal yang sangat berbeda.

Sudah Merdeka Sebelum NKRI Lahir
NKRI secara resmi baru merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Sedangkan Nanggroe Aceh Darussalam sudah berabad-abad sebelumnya merdeka, memiliki hukum kenegaraan (Qanun)nya sendiri, menjalin persahabatan dengan negeri-negeri seberang lautan, dan bahkan pernah menjadi bagian (protektorat) dari Kekhalifahan Islam Tuki Utsmaniyah.

Jadi, bagaimana bisa sebuah negara yang merdeka dan berdaulat sejak abad ke-14 Masehi, bersamaan dengan pudarnya kekuasaan Kerajaan Budha Sriwijaya, dianggap memberontak pada sebuah Negara yang baru merdeka di abad ke -20?

Nanggroe Aceh Darussalam merupakan negara berdaulat yang sama sekali tidak pernah tunduk pada penjajah Barat. Penjajah Belanda pernah dua kali mengirimkan pasukannya dalam jumlah yang amat besar untuk menyerang dan menundukkan Aceh, namun keduanya menemui kegagalan, walau dalam serangan yang terakhir Belanda bisa menduduki pusat-pusat negerinya.

Sejak melawan Portugis hingga VOC Belanda, yang ada di dalam dada rakyat Aceh adalah mempertahankan marwah, harga diri dan martabat, Aceh Darussalam sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat berdasarkan Qanun Meukuta Alam yang bernafaskan Islam.

Saat itu, kita harus akui dengan jujur, tidak ada dalam benak rakyat Aceh soal yang namanya membela Indonesia. Sudah ratusan tahun, berabad-abad Kerajaan Aceh Darussalam berdiri dengan tegak bahkan diakui oleh dunia Timur dan Barat sebagai “Negara” yang merdeka dan berdaulat.

Istilah “Indonesia” sendiri baru saja lahir di abad ke-19. Jika diumpamakan dengan manusia, maka Aceh Darussalam adalah seorang manusia dewasa yang sudah kaya dengan asam-garam kehidupan, kuat, dan mandiri, sedang “Indonesia” masih berupa jabang bayi yang untuk makan sendiri saja belumlah mampu melakukannya.

Banyak literatur sejarah juga lazim menyebut orang Aceh sebagai “Rakyat Aceh”, tapi tidak pernah menyebut hal yang sama untuk suku-suku lainnya di Nusantara. Tidak pernah sejarah menyebut orang Jawa sebagai rakyat Jawa, orang Kalimantan sebagai rakyat Kalimantan, dan sebagainya. Yang ada hanya rakyat Aceh. Karena Aceh sedari dulu memang sebuah bangsa yang sudah merdeka dan berdaulat. (Sumber : http://swaramuslim.net)

Untuk lebih mendalam tentang pemahaman ini berikut saya muat beberapa E-Book yang relavan yang di sadur dari www.acehbooks.org.

1. Aceh pada Masa Kerajaan Iskandar Muda
2. Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh
3. Aceh Dimata Kolonial Karangan Snouck Hurgronje
4. Aceh Sepanjang Abad
5. Aceh Sepintas Lalu
6. Tjut Njak Dhien
7. Djeumpa Atjeh / H.M. Zainuddin
8. Gadjah putih; Iskandar Muda / M. Junus Djamil
9. Hikajat Soeltan Atjeh Marhoem (Soeltan Iskandar Moeda)
10. Hikajat prang di Edi pada boelan Mei 1889

Saya berikan 10 dulu, kalau sambutannya bagus akan saya teruskan. E-Book tentang Aceh ini lumayan banyak sekitar 200-an yang berbahasa Melayu dan Indonesia.

Semoga berkenan.

Pengakuan Hak Masyarakat Adat Berpotensi Konflik

Pengakuan Hak Masyarakat Adat Berpotensi Konflik

Senin, 15 Juli 2013 | 14:15 WIB
Metrotvnews.com, Jakarta: Sekertaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan menilai Keputusan MK tentang Hutan Adat dalam Keputusan MK No 35/PUU/X/2012 akan menimbulkan konflik baru bila tidak segera ditindaklanjuti pemerintah dalam bentuk regulasi turunan.

Dalam Keputusan tersebut, MK mengukuhkan secara konstitusi tentang kewajiban negara untuk mengakomodasi hak masyarakat adat dalam mengelola hutannya. Memperkuat keputusan tersebut, MK juga mengeluarkan keputusan No 45/PUU-IX/2011 di mana MK membatalkan definisi kawasan hutan dalam UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan serta mendefinisikan ulang penunjukan kawasan hutan yang tidak boleh sepihak. 

"Banyak sekali wilayah hutan masyarakat adat yang telah berubah menjadi lahan konsesi. Dengan dilandasi pengakuan secara legal oleh MK masyarakat adat merasa punya hak untuk mengambil kembali hutan mereka, kondisi ini bisa berubah menjadi konflik bila tidak segera ditindaklanjuti," tegas Abdon dalam diskusi di Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) Jakarta, Senin (16/7).

Pihaknya, lanjut Abdon, menyarankan agar Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) yang mengatur inventarisasi hutan yang berada dalam hak ulayat.

"Jadi dengan inventarisasi tersebut status hukumnya kan bisa jadi jelas. Jangan sampai negara melakukan pembiaran terhadap potensi-potensi konflik terkait perebutan hak hutan adat. Masyarakat adat merasa haknya sudah diakui secara konstitusi tapi kok ngga ada praktek perubahan juga di lapangan," papar Abdon.

Terkait inventarisasi hak atas hutan yang dibawahi Masyarakat Hukum Adat (MHA) AMAN sendiri menurut Abdon telah melakukan sejak lima tahun silam. "Kita telah memiliki Peta Wilayah Adat MHA, dengan cakupan inventarisasi wilayah hutan MHA di 33 provinsi," jelas Abdon.

Dalam peta tersebut, lanjut Abdon, selain peta wilayah geografis juga dicantumkan sejarah dan Hukum Adat yang berlaku di wilayah ulayat yang bersangkutan.

"Dengan adanya peta tersebut, bila ada konflik di masa mendatang terkait perebutan hak antara masyarakat adat dengan pihak luar maka pemerintah sudah punya rekomendasi untuk menyelesaikanya," jelas Abdon.

Peta Wilayah Adat tersebut di serahkan AMAN kepada KLH untuk bisa dijadikan baseline dalam inventarisasi wilayah adat di Indonesia. KLH sendiri mengatur tentang keberadaan MHA dan wilayah-wilayah hukumnya dalam Pedoman Tata Cara Keberadaan MHA, Kearifan Lokal, dan Hak MHA.

"Pedoman dan tata cara keberadaan MHA ini kita akui, turunan dari amanat hukum Protokol Nagoya yang sudah kita ratifikasi," ujar Menteri Lingkungan Hidup (MenLH) Balthasar Kambuaya dalam kesempatan yang sama.

Di Indonesia sendiri KLH mencatat ada 555 etnis masyarakat, lebih kurang terdapat 70.640 komunitas desa, dan 30 juta jiwa yang berpotensi sebagai MHA.

"Meski jumlahnya banyak sayangnya keberadaan MHA ini tidak begitu diakui oleh negara dan kerap harus menempuh jalur konflik untuk mempertahankan hak ulayatnya," ujar Balthasar.

Untuk mengakomodir hal tersebut menurut Balthasar KLH telah meratifikasi Protokol Nagoya terkait keanekaragaman hayati termasuk pengakuan dan hak MHA. KLH juga telah menandatangani kerjasama inventarusasi keberadaan MHA dan kearifan lokal.

"Dengan adanya peta rekomendasi dari AMAN ini kita akan bisa mulai memverifikasi untuk selajutnya ditindaklanjuti dengan pengakuan MHA di wilayah ulayatnya," ujar Balthasar.

Peta yang diserahkan tersebut menurut Abdon baru memuat 2,6 juta hektare hutan masyarakat adat yang dibawahi sekitar 360 MHA karena itu perjanjiannya dengan KLH akan selalu ada pemukhtahiran setiap tahunnya.

"Kami prediksi saat ini ada 15 ribuan MHA yang memiliki hak adat atas 40 juta hektar hutan di Indonesia. Sementara hutan kita sendiri kan sebelum ada konsesi jumlahnya sekitar 126 juta hektar, sekarang sudah menyusut jadi sekitar 80 juta hektare yang separuhnya hak masyarakat adat. Penting sekali hutan yang tersisa ini untuk dijaga karena kebetulan inilah hutan kita yang paling bagus masih tersisa untuk menjaga keseimbangan alam dunia," ujar Abdoni menandaskan. (Soraya Bunga Larasati)

Editor: Asnawi Khaddaf

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Serahkan Peta Wilayah Adat Ke BIG Dan UKP4

Badan Informasi Geospasial

Bersama Menata Indonesia yang Lebih Baik
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Serahkan Peta Wilayah Adat Ke BIG Dan UKP4

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Serahkan Peta Wilayah Adat Ke BIG Dan UKP4

Hajat hidup jutaan warga Indonesia termasuk masyarakat adat amat bergantung pada hutan dan hasil-hasilnya. Sistem kepemilikan hak atas tanah yang ada saat ini amat kompleks, juga masih tumpang tindih disana-sini. Salah satunya menyangkut hak pengelolaan atas tanah antara negara dan masyarakat adat, tak terkecuali di dalam kawasan hutan. Kejelasan atas pengukuhan kawasan hutan dan pengakuan hak adat, dengan demikian menjadi strategis, terutama untuk menekan angka konflik dan memperbaiki tata kelola kawasan hutan. Memperbaiki tata-kelola hutan dan kepemilikan lahan sejalan dengan usaha pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan.
Upaya meng-integrasikan peta adat ke dalam One Map Indonesia ini penting agar masyarakat yang bergantung hidupnya pada hutan dapat tetap hidup secara lestari dengan hutan tanpa harus terasing dari tanah adatnya. One Map Indonesia adalah referensi tunggal satu peta Indonesia, dalam hal ini referensi ke Informasi Geospasial Dasar (IGD) Badan Informasi Geospasial, sebagai penyelenggara IGD, sebagaimana amanat Undang-Undang no.4 Tentang Informasi Geospasial. Momentum penyatuan antara lain, penyeragaman standar dan referensi peta, kembali diperoleh dengan adanya inpres 10/2011 yang menginstruksikan penerbitan peta indikatif penundaan izin baru (PIPIB). Untuk itu pada Rabu, 14 November 2012 bertempat di kantor Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Jakarta, Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN) dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) menyerahkan  Peta Wilayah Adat yang sudah terdaftar di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) kepada Badan Informasi Geospasial (BIG) dan UKP4. Penyerahan dilakukan oleh Sekjen AMAN, Abdon Nababan dan Koordinator Nasional JKPP, Kasmita Widodo kepada Kepala BIG, Asep Karsidi dan Kepala UKP4, yang juga ketua Satgas RED+, Kuntoro Mangkusubroto. Pada tahap awal peta wilayah adat yang diserahkan sejumlah 265 peta wilayah adat dengan total luasan 2.402.222,824 Ha.
Peta wilayah adat yang diserahkan tersebut berisi beragam informasi geospasial yang penting untuk memperkaya one Map Indonesia. Peta tersebut vital bagi pemerintah dalam rangka memperbaiki tata kelola pertanahan maupun kehutanan, demikian papar Kuntoro, pada sambutan pembukaan acara penyerahan peta wilayah adat tersebut. Sementara itu dalam sambutannya Kepala BIG, Asep Karsidi mengatakan, peta wilayah adat ini merupakan Informasi Geospasial Tematik (IGT) yang dapat diintegrasikan ke dalam peta BIG. IGT tentang sebaran informasi masyarakat adat harus dijadikan satu tema dalam analisa spasial yang bertujuan untuk menjaga kelestarian hutan dan masyarakat adat serta mencegah adanya konflik. Sekjen AMAN, Abdon Nababan, mengatakan, sampai saat ini AMAN dan JKPP sudah memetakan lebih dari 6 juta Ha wilayah adat di seluruh Indonesia.

Oleh: Yudi Irwanto

Masyarakat Adat dan Kawasan Lindung - Kemenangan dalam tingkat global

Masyarakat Adat dan Kawasan Lindung - Kemenangan dalam tingkat global

Down to Earth Nr 59  November 2003
Dalam kongres kelima World Park Congress (Kongres Taman Dunia) yang diselenggarakan di Durban, Afrika Selatan, pada tanggal 8-17 September 2003, gerakan masyarakat adat mengalami kemajuan pesat. Lebih dari 130 wakil-wakil masyarakat adat menghadiri pertemuan besar tersebut. Pertemuan itu sendiri dilaksanakan oleh IUCN yang mengumpulkan organisasi-organisasi konservasi setiap sepuluh tahun sekali.
Pernyataan yang dikeluarkan oleh masyarakat adat dalam kongres itu menekankan fakta bahwa hak-hak mereka yang telah diakui secara tradisional 'secara sistematis telah dilanggar di kawasan-kawasan lindung, termasuk hak hidup.” Pernyataan ini mengacu pada kebijakan membangun kawasan rlindung yang mengabaikan rakyat. Kebijakan itu bahkan terkadang dilakukan dengan kekerasan dengan cara memindahkan secara paksa penduduk, atau menempatkan mereka dalam suatu wilayah dengan batasan ketat penggunaan sumber daya alam dan tanah.
Pernyataan yang dikeluarkan menegaskan: “Masyarakat Adat adalah pemilik hak, bukan sekedar rekanan.” Wakil-wakil masyarakat adat berhasil melakukan tekanan untuk mendapat pengakuan tentang hak-hak mereka dan kawasan-kawasan lindung yang diusulkan.
Kongres itu telah menyepakati Rencana Aksi dengan target yang kongkrit serta kebijakan untuk mencapai apa yang disebutnya sebagai 'paradigma baru untuk kawasan-kawasan rlindung.” Kongres itu juga mengadopsi sejumlah Rekomendasi berkaitan dengan Masyarakat Adat, termasuk dalam pasal 5.24 tentang Masyarakat Adat dan Kawasan-kawasan Lindung. Termasuk di dalam pasal itu adalah rekomendasi-rekomendasi bahwa pemerintah, organisasi-organisasi intra-pemerintah, ornop, komunitas lokal dan masyarakat sipil, harus:
  • MENJAMIN bahwa kawasan lindung yang sekarang ini ada dan yang akan dibuat kemudian akan menghargai hak-hak masyarakat adat;
  • MENGHENTIKAN pemukiman dan pengusiran paksa masyarakat adat dari tanah mereka dalam kaitannya dengan kawasan lindung, juga pemaksaan penghentian mobilitas masyarakat adat;
  • MENJAMIN bahwa pembentukan kawasan lindung didasarkan pada persetujuan tanpa paksaan (prior informed consent) dari masyarakat adat, selain juga didasarkan pada perhitungan dampak sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan yang pelaksanaannya melibatkan partisipasi aktif masyarakat adat;
  • MENERAPKAN undang-undang dan kebijakan yang mengakui dan menjamin hak-hak masyarakat adat terhadap tanah nenek moyang dan sumber mata air...”
Ganti Rugi
Rekomendasi 5.24 juga memasukkan usulan yang diajukan kelompok-kelompok masyarakat adat dan diterima oleh Kongres, untuk membahas masalah ketidak adilan pada masa lampau, dengan pembentukan:
“mekanisme-mekanisme partisipatoris untuk ganti rugi lahan-lahan masyarakat adat, wilayah dan sumber daya mereka yang telah diambil untuk kawasan lindung tanpa kesepakatan sukarela ataupun persetujuan mereka, serta menyediakan kompensasi yang layak dan adil yang didasarkan pada cara-cara yang layak secara budaya dan transparan.”
Selain juga pembentukan:
“Komisi Kebenaran dan Rekonsialisi tingkat tinggi yang mandiri tentang Masyarakat Adat di kawasan-kawasan lindung.”
Jika rekomendasi itu diterapkan maka ia akan memberikan pengaruh besar bagi komunitas-komunitas masyarakat adat di Indonesia yang hidup mereka telah dirusak oleh penerapan taman-taman nasional dan kawasan lindung lainnya. Namun, kendala utama penerapan kebijakan itu di Indonesia tetap saja disebabkan oleh kegagalan pemerintah untuk mengakui secara layak hak-hak ulayat masyarakat adat dan sumber daya mereka. Ujian sesungguhnya bagi badan-badan konservasi yang bekerja di Indonesia adalah apakah mereka akan mengakui hak-hak adat, serta menjalankan kebijakan-kebijakan yang mengungkap ketidak adilan pada masa lalu berdasarkan klaim-klaim hak adat. Atau sebaliknya, apakah nantinya mereka malah menerapkan pilihan yang secara politik 'aman' dengan memberikan konsesi-konsesi kepada masyarakat adat yang tidak akan bertentangan dengan posisi pemerintah Indonesia.

Pertambangan di Kawasan Lindung
Para eksekutif utama perusahaan-perusahaan pertambangan, gas dan minyak, termasuk Shell, BP dan mantan ketua Rio Tinto, Sir Robert Wilson, telah ikut ambil bagian dalam diskusi panel WPC mengenai kawasan-kawasan lindung dan industri-industri ekstraktif. Ini adalah bagian dari inisiatif sekretariat IUCN untuk mengadakan diskusi formal dengan industri-industri ekstraktif-sebuah langkah yang ditentang oleh beberapa anggota IUCN seperti ornop dan kelompok masyarakat adat. Dalam pernyataan penutupan mereka di kongres tersebut, wakil-wakil masyarakat adat mengatakan: "Lobi pihak-pihak pertambangan terus menerus menolak usulan bahwa mereka seharusnya menghargai hak kami untuk mengatakan Tidak. IUCN seharusnya mendengar tuntutan ini.
Rakyat dan Taman Nasional
Dalam laporan terbaru yang disusun oleh WRM dan FRP berjudul “Salvaging Nature, Indigenous Peoples, Protected Areas and Biodiversity Conservation,” terdapat analisis mengenai ketegangan antara kebijakan konservasi dan hak-hak masyarakat adat.
Laporan itu menjelaskan bahwa sejak tahun 1990-an, organisasi-organisasi konservasi telah mencoba melanjutkan penerapan suatu model konservasi keragaman hayati negara-negara Utara. Sementara itu, pada saat bersamaan mereka juga berupaya mengakomodasikan kebutuhan-kebutuhan masyrakat adat yang memiliki, menggunakan atau mengklaim mayoritas lahan-lahan yang dijadikan wilayah konservasi di negara-negara dunia ketiga. Upaya-upaya tersebut-dengan hanya menunjukkan sedikit keberhasilan-terdiri dari pembentukan kebijakan wilayah penyangga, pembentukan cagar alam dan lingkungan manusia, pemberian kesempatan kerja bagi masyarakat lokal sebagai penjaga hutan dan juga pemandu ekowisata dan upaya yang terbaru adalah manajemen bersama kawasan-kawasan rlindung dengan komunitas-komunitas lokal.
Laporan itu mendokumentasikan adopsi secara bertahap, yang terjadi sejak tahun 1970-an, bahasa baru yang dikembangkan oleh organisasi-organisasi konservasi dengan memberikan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat sesuai dengan hukum internasional. Laporan itu menegaskan bahwa prinsip-prinsip baru itu-dalam berbagai kasus-belum diterapkan dalam praktek. Argumentasi ini didasarkan pada bukti-bukti yang dikumpulkan oleh Forest People Programe selama lebih dari tujuh tahun dalam berbagai konferensi di Amerika Latin, Asia Tenggara, Afrika Selatan dan Tengah. Dalam konferensi tersebut terungkap berbagai kasus yang disampaikan secara langsung oleh komunitas-komunitas adat tentang pengalaman mereka tinggal di kawasan-kawasan lindung.
Laporan itu juga mengritik organisasi-organisasi konservasi besar di dunia dan menguraikan bagaimana keterkaitan pencarian dana (fundraising) dan hubungan-hubungan keuangan dengan perusahaan lebih menjadi prioritas dibandingkan penerapan komitmen mereka untuk mengakui hak-hak masyarakat adat.
Salvaging Nature mengidentifikasikan sejumlah kendala serius yang muncul seiring dengan upaya pengakuan secara efektif hak-hak masyarakat adat dalam praktek konservasi sebagai berikut:
  • Sikap diskriminatif yang kental dalam lingkungan nasional terhadap masyarakat adat;
  • Tidak adanya inisiatif pembaharuan terhadap kebijakan-kebijakan dan produk hukum pemerintah berkait dengan masyarakat adat (khususnya di Asia dan Afrika yang mana pemerintahan mereka telah menerapkan kebijakan integrasi dan asimilasi masyarakat adat);
  • Undang-Undang dan kebijakan nasional yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat untuk memiliki dan mengelola lahan mereka;
  • Undang-Undang dan kebijakan-kebijakan konservasi nasional yang didasarkan pada prinsip lama kebijakan konservasi yang menyingkirkan masyarakat adat;
  • Kurangnya pelatihan staf dan kemampuan badan-badan konservasi serta ornop untuk bekerja dengan komunitas (cabang-cabang nasional badan-badan konservasi besar kemungkinan besar tidak mendapatkan informasi mengenai kebijakan-kebijakan dan prinsip-prinsip baru yang berlaku dalam lingkungan internasional)
  • Kegagalan badan-badan konservasi asal Amerika Serikat untuk menerapkan kebijakan bagi masyarakat adat.
Salah satu kesimpulan utama dalam laporan itu adalah perlunya tindakan segera dari para pemimpin dalam lingkungan konservasi untuk memperhitungkan persoalan-persoalan masyarakat adat.
“Sekarang ini adalah saatnya bagi badan-badan konservasi untuk memulai pekerjaan mereka di lingkungan hunian masyarakat adat berdasarkan asumsi bahwa mereka sedang berurusan dengan orang yang memiliki hak sah untuk memiliki dan menguasai sumber daya alam mereka.”
Meskipun demikian, terdapat juga peringatan terhadap gagasan yang menyatakan bahwa apabila suatu wilayah berada dalam kepemilikan dan kontrol masyarakat adat, maka semua persoalan akan selesai. Komunitas-komunitas masyarakat adat menyadari bahwa tekanan dari luar dan perubahan-perubahan dalam sistem ekonomi dan organisasi sosial mereka menuntut mekanisme-mekanisme baru untuk mengawasi dan menggunakan sumber daya mereka secara berkelanjutan. Dalam kaitan ini, dukungan dari luar tetap dibutuhkan. Namun, bantuan ini harus muncul dalam bentuk kemitraan dan bukan upaya untuk mengambil alih kontrol. Seperti yang dikemukakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Hutan-Hutan Tropis pada tahun 1996:
”Masyarakat adat mengakui bahwa keahlian yang dimiliki organsiasi konservasi tetap dibutuhkan untuk pengembangan diri mereka dan juga berupaya menciptakan hubungan yang saling menguntungkan atas dasar rasa saling percaya, transparansi dan akuntabilitas.”
(Sumber: The Durban Action Plan (Rencana Aksi Durban), World Park Congress. Lihat The Indigenous People's Declaration to the Vth World Park Congress, Durban, 8-17 September 2003, Sidang Penutupan WPC 8-17 September - Pernyataan Masyarakat Adat; Salvaging Nature)

Masyarakat Adat Menginginkan Ganti Rugi atas hilangnya hutan mereka
Dalam Kongres Hutan Dunia ke XII pada bulan September lalu di Quebec, masyarakat-masyarakat adat telah menyerukan tuntutan ganti rugi dan kompensasi atas pencabutan hak-hak mereka serta hilangnya hutan. Tuntutan itu adalah bagian dari Wendake Action Plan (Rencana Aksi Wendake) yang disusun Forum Hutan Masyarakat Adat dalam Kongres Kehutanan. Untuk informasi lebih lengkap, lihat www.forestpeoples.org

Salvaging nature, Indigenous Peoples, Protected Areas and Biodiversity Conservation

Oleh Marcus Colchester
(Tersedia juga dalam bahasa Spanyol dan Prancis).
Edisi Revisi, 2003: 155 halaman. WRM dan FPP. Harga 10 poundsterling.
Tel: +44 (0)1608 652893 atau lihat www.forestpeoples.org.

Inilah Rekomendasi Masyarakat Adat Nusantara




Rabu, 25 April 2012 | 23:45

Inilah Rekomendasi Masyarakat Adat Nusantara

Kongres AMAN di Tobelo, Halmahera Utara, Maluku Utara
Kongres AMAN di Tobelo, Halmahera Utara, Maluku Utara (sumber: istimewa)
Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) 19-24 April di Tobelo, Halmahera Utara, Maluku Utara menghasilkan sejumlah hal strategis.

Perhelatan ini juga diramaikan  sarasehan dan festival kuliner (20-21 April). Sebanyak 1.669 suku dari seluruh Indonesia ikut ambil bagian dalam ajang temu antarsuku dam masyarakat adat se-Indonesia.

Sebagai salah satu bagian terpenting dari Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) IV di Tobelo, Halmahera Utara, komunitas-komunitas masyarakat adat yang tergabung dalam AMAN membagi setiap anggota dalam tiga komisi untuk membahas masalah Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), kerangka program AMAN ke depan, serta serangkaian rekomendasi.

Direktur Informasi dan Komunikasi di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Jopi Peranginangin menyampaikan hal itu dalam rilisnya, Rabu (25/4).

Dari perombakan-perombakan yang dilakukan pada lebih dari 40 pasal AD/ART, terdapat empat perubahan penting. Dalam hal struktur kepemimpinan, Dewan Nasional AMAN (DAMAN) yang tadinya terdiri dari 42 orang kini hanya berjumlah 14 orang, terdiri dari dua orang dari masing- masing region yang berjumlah tujuh: Sumatra, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, dan Papua.

Jopi menerangkan, dalam hal pemilihan anggota DAMAN, terdapat penegasan dalam hal perimbangan antara laki-laki dan perempuan.

"Karena itu, masing-masing region mencalonkan satu laki-laki dan satu perempuan untuk duduk di DAMAN. Perubahan lain adalah anggota baru AMAN dapat didaftarkan pada kongres."

Sementara itu, untuk menjawab berbagai problematika yang terjadi di komunitas-komunitas adat di seantero nusantara, kongres menetapkan beberapa kerangka Program Kerja AMAN untuk lima tahun ke depan.

Dari Komisi lainya yang membahas osial budaya, AMAN perlu mengembangkan dan mendokumentasikan seluruh budaya adat baik secara digital maupun nondigital kepada generasi muda penerus adat demi pelestarian yang berkelanjutan.

Di samping itu, urai dia, perlu dibuat strategi promosi budaya adat guna memperkenalkannya kepada dunia. Sedangkan di bidang ekonomi, potensi-potensi ekonomi komunitas berdasarkan eko-region dan pengembangan basis-basis ekonomi masyarakat adat yang berprinsip pada dasar nilai-nilai budaya adat dinilai perlu diangkat.

Di bidang penguatan organisasi, perlu ada pengembangan sistem pembelaan masyarakat adat, sistem informasi dan komunikasi, meningkatkan kapasitas kader, perlindungan hak-hak, pembentukan unit usaha, membangun jaringan, serta penguatan knowledge sharing antarmasyarakat adat.

Namun tidak kalah pentingnya, ujar Jopi, program-program bidang politik harus menyelenggarakan pendidikan politik untuk masyarakat adat serta mendorong pemerintah dan penegak hukum untuk mengakui peradilan adat secara total.

Dalam jangka pendek, program yang wajib dijalankan antara lain advokasi AMAN untuk RUU Desa dengan beranjak dari substansi yang ada dianggap penting oleh AMAN.
Untuk itu, menurut Jopi, AMAN harus tetap mengawal pembentukan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (PPMA) serta memperluas hubungan antara organisasi masyarakat adat dengan masyarakat sipil lainnya.

Dari hasil rapat di Aula Gonzalo, Komisi 3 menjabarkan bagaimana masyarakat adat menyambut baik berbagai perkembangan dalam dinamika legislasi nasional yang memihak kepada masyarakat adat.

"Akan tetapi, AMAN melihat masih banyak tantangan besar dalam bidang sosial, ekonomi, budaya, politik, maupun wilayah dan sumber daya alam," imbuhnya.

Penulis: /BER

Rumusan dan Rekomendasi Dialog Nasional ‘Merumuskan Kedudukan Peradilan Adat dalam Sistem Peradilan Nasional’


Rumusan dan Rekomendasi Dialog Nasional ‘Merumuskan Kedudukan Peradilan Adat dalam Sistem Peradilan Nasional’

Rumusan dan Rekomendasi Dialog Nasional ‘Merumuskan Kedudukan Peradilan Adat dalam Sistem Peradilan Nasional’

Hotel Royal Kuningan, Jakarta, 10 Oktober 2013
Rumusan
1. Ada dua titik berangkat yang digunakan untuk membicarakan isu peradilan komunitas atau peradilan adat dalam sistem peradilan nasional, yakni titik tolak berbasis: (1) kerangka pikir ideologis dan (2) fakta sosial (situasi empirik). Dalam kerangka pikir ideologis, Indonesia ikut mengalami dampak dari digunakannya konsep hukum dan pembangunan, yang marak digunakan pada tahun 1970-an. Konsep ini menjadikan hukum sebagai instrumen pembangunan dengan perspektif negara-negara maju (donor), yang notabene alergi terhadap hukum lokal. Ideologi ini memang mulai bergeser dengan pendekatan yang memberi akses lebih besar kepada masyarakat pencari keadilan (access to justice). Konsep yang tampil belakangan ini dipandang memiliki kecocokan falsafah dengan alam pikir masyarakat/komunitas setempat, lebih mengedepankan proses (harmoni dan damai) daripada “kesamaan” produk (untuk mengejar kepastian hukum), di samping lebih efisien (tempat, waktu, bahasa).
2. Secara historis, peradilan-peradilan desa (Jawa) dan peradilan-peradilan pribumi (luar Jawa) sebenarnya diberi tempat dalam Pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa itu posisi peradilan adat ini memiliki kejelasan yurisdiksi. Namun, setelah Indonesia merdeka, ada kekhawatiran untuk mempertahankan eksistensi peradilan adat karena memrepresentasikan ide politik keterbelakangan. Hal ini didukung oleh perlakuan negara (terutama yang baru merdeka) untuk secepatnya mengunifikasi sistem peradilannya, mengingat peradilan adalah simbol kekuasaan negara dan sebagai alat pengembalian tertib sosial.
3. Ada keraguan dalam memetakan posisi kedudukan peradilan adat dalam sistem peradilan nasional. Disepakati bahwa duduk persoalannya terletak pada ketidakjelasan politik hukum negara kita, sehingga berada dalam kondisi “antara ada dan tiada.” Sebagai terminologi ada pengakuan terhadap hukum rakyat atau hukum adat ini, yang ditampilkan dalam berbagai istilah (hukum yang hidup, nilai-nilai dalam masyarakat, hukum asli bangsa Indonesia, dan sebagainya). Terlepas adanya asas legalitas formal dan penyederhanaan sistem peradilan menurut UU No. 1 Darurat 1951 yang dapat ditafsirkan sebagai penafikan terhadap peradilan adat, ternyata ada cukup basis legislasi yang masih memberi celah bagi pengakuan putusan-putusan peradilan adat, termasuk yurisprudensi. Secara lokal, peradilan adat seperti Peradilan Gampong dan Peradilan Damai di Aceh dan Papua juga memperlihatkan adanya eksistensi tersebut.
4. Apabila peradilan adat ingin diposisikan ke dalam sistem peradilan nasional, maka setidaknya ada tiga tawaran posisi:
a. peradilan adat mandiri, yaitu sebagai lingkungan kelima setelah peradilan umum, agama, tata usaha negara, dan militer; (kendati tetap menyisakan persoalan terkait yurisdiksi, personalia, dll).
b. peradilan adat dimasukkan ke dalam peradilan umum, dengan menjadikan peradilan adat setingkat dengan peradilan negara; (di sini tetap ada persoalan terkait misalnya dengan komposisi hakim karir dan hakim adat, personalia hakim adat ini ad-hoc atau permanen, serta variasi upaya hukumnya ke tingkat pengadilan tingkat kedua atau langsung ke Mahkamah Agung).
c. tidak perlu ada peradilan adat yang dibentuk secara formal, tetapi nilai-nilainya diakomodasi dalam putusan-putusan pengadilan seperti sekarang (dengan penekanan hakim-hakim harus menguasai hukum adat setempat).
5. Peserta diskusi memberi catatan kritis terhadap masing-masing tawaran pemosisian peradilan adat ini, antara lain:
a. apakah perlu sistem peradilan adat ini harus diintegrasikan ke dalam sistem peradilan nasional (apakah langkah ini tidak justru menjadikan formalisasi sistem peradilan adat; seberapa penting yurisdiksi peradilan adat ini harus berbagi dengan yurisdiksi peradilan negara)?
b. ada keraguan terhadap kemampuan pemerintah untuk memperkaya sistem peradilan kita dengan peradilan adat ini karena dalam beberapa kasus pemerintah sendiri masih kesulitan membentuk pengadilan-pengadilan formal, khususnya akibat adanya pemekaran daerah (hal ini ada kaitannya juga dengan ketersediaan anggaran);
c. apakah tidak cukup memberdayakan model pendekatan yang sudah ada, sehingga hakim diminta lebih progresif memanfaatkan celah yang sudah ada? Di sini digunakan konsep yang mendekatkan peradilan kepada rakyat dengan model “peradilan terapung” (meniru model perpustakaan keliling, SIM keliling dll.).
d. apakah tidak sebaiknya lembaga adat di desa yang diperkuat? (kendati ada kesulitan dalam penyelesaian kasus-kasus pidana; sementara negara cukup mengakui putusan-putusan peradilan desa tersebut).
e. seberapa siap daerah-daerah untuk menggunakan sistem peradilan adat ini, mengingat adanya keanekaragaman kedalaman internalisasi hukum adat ini ke dalam kenyataan kehidupan sehari-hari masyarakatnya?
f. bagaimana mengantisipasi pihak-pihak yang memanfaatkan keberadaan peradilan adat ini untuk mengamankan kepentingan subjektif mereka?
Catatan-catatan yang diberikan sekaligus merupakan rekomendasi agar berbagai opsi yang ditawarkan perlu diperdalam dalam forum yang lebih terfokus guna lebih siap disampaikan kepada otoritas pembentuk hukum.

Jakarta, 10 Oktober 2013

Rumusan dan Rekomendasi Dialog Nasional ‘Merumuskan Kedudukan Peradilan Adat dalam Sistem Peradilan Nasional’


Rumusan dan Rekomendasi Dialog Nasional ‘Merumuskan Kedudukan Peradilan Adat dalam Sistem Peradilan Nasional’

Rumusan dan Rekomendasi Dialog Nasional ‘Merumuskan Kedudukan Peradilan Adat dalam Sistem Peradilan Nasional’

Hotel Royal Kuningan, Jakarta, 10 Oktober 2013
Rumusan
1. Ada dua titik berangkat yang digunakan untuk membicarakan isu peradilan komunitas atau peradilan adat dalam sistem peradilan nasional, yakni titik tolak berbasis: (1) kerangka pikir ideologis dan (2) fakta sosial (situasi empirik). Dalam kerangka pikir ideologis, Indonesia ikut mengalami dampak dari digunakannya konsep hukum dan pembangunan, yang marak digunakan pada tahun 1970-an. Konsep ini menjadikan hukum sebagai instrumen pembangunan dengan perspektif negara-negara maju (donor), yang notabene alergi terhadap hukum lokal. Ideologi ini memang mulai bergeser dengan pendekatan yang memberi akses lebih besar kepada masyarakat pencari keadilan (access to justice). Konsep yang tampil belakangan ini dipandang memiliki kecocokan falsafah dengan alam pikir masyarakat/komunitas setempat, lebih mengedepankan proses (harmoni dan damai) daripada “kesamaan” produk (untuk mengejar kepastian hukum), di samping lebih efisien (tempat, waktu, bahasa).
2. Secara historis, peradilan-peradilan desa (Jawa) dan peradilan-peradilan pribumi (luar Jawa) sebenarnya diberi tempat dalam Pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa itu posisi peradilan adat ini memiliki kejelasan yurisdiksi. Namun, setelah Indonesia merdeka, ada kekhawatiran untuk mempertahankan eksistensi peradilan adat karena memrepresentasikan ide politik keterbelakangan. Hal ini didukung oleh perlakuan negara (terutama yang baru merdeka) untuk secepatnya mengunifikasi sistem peradilannya, mengingat peradilan adalah simbol kekuasaan negara dan sebagai alat pengembalian tertib sosial.
3. Ada keraguan dalam memetakan posisi kedudukan peradilan adat dalam sistem peradilan nasional. Disepakati bahwa duduk persoalannya terletak pada ketidakjelasan politik hukum negara kita, sehingga berada dalam kondisi “antara ada dan tiada.” Sebagai terminologi ada pengakuan terhadap hukum rakyat atau hukum adat ini, yang ditampilkan dalam berbagai istilah (hukum yang hidup, nilai-nilai dalam masyarakat, hukum asli bangsa Indonesia, dan sebagainya). Terlepas adanya asas legalitas formal dan penyederhanaan sistem peradilan menurut UU No. 1 Darurat 1951 yang dapat ditafsirkan sebagai penafikan terhadap peradilan adat, ternyata ada cukup basis legislasi yang masih memberi celah bagi pengakuan putusan-putusan peradilan adat, termasuk yurisprudensi. Secara lokal, peradilan adat seperti Peradilan Gampong dan Peradilan Damai di Aceh dan Papua juga memperlihatkan adanya eksistensi tersebut.
4. Apabila peradilan adat ingin diposisikan ke dalam sistem peradilan nasional, maka setidaknya ada tiga tawaran posisi:
a. peradilan adat mandiri, yaitu sebagai lingkungan kelima setelah peradilan umum, agama, tata usaha negara, dan militer; (kendati tetap menyisakan persoalan terkait yurisdiksi, personalia, dll).
b. peradilan adat dimasukkan ke dalam peradilan umum, dengan menjadikan peradilan adat setingkat dengan peradilan negara; (di sini tetap ada persoalan terkait misalnya dengan komposisi hakim karir dan hakim adat, personalia hakim adat ini ad-hoc atau permanen, serta variasi upaya hukumnya ke tingkat pengadilan tingkat kedua atau langsung ke Mahkamah Agung).
c. tidak perlu ada peradilan adat yang dibentuk secara formal, tetapi nilai-nilainya diakomodasi dalam putusan-putusan pengadilan seperti sekarang (dengan penekanan hakim-hakim harus menguasai hukum adat setempat).
5. Peserta diskusi memberi catatan kritis terhadap masing-masing tawaran pemosisian peradilan adat ini, antara lain:
a. apakah perlu sistem peradilan adat ini harus diintegrasikan ke dalam sistem peradilan nasional (apakah langkah ini tidak justru menjadikan formalisasi sistem peradilan adat; seberapa penting yurisdiksi peradilan adat ini harus berbagi dengan yurisdiksi peradilan negara)?
b. ada keraguan terhadap kemampuan pemerintah untuk memperkaya sistem peradilan kita dengan peradilan adat ini karena dalam beberapa kasus pemerintah sendiri masih kesulitan membentuk pengadilan-pengadilan formal, khususnya akibat adanya pemekaran daerah (hal ini ada kaitannya juga dengan ketersediaan anggaran);
c. apakah tidak cukup memberdayakan model pendekatan yang sudah ada, sehingga hakim diminta lebih progresif memanfaatkan celah yang sudah ada? Di sini digunakan konsep yang mendekatkan peradilan kepada rakyat dengan model “peradilan terapung” (meniru model perpustakaan keliling, SIM keliling dll.).
d. apakah tidak sebaiknya lembaga adat di desa yang diperkuat? (kendati ada kesulitan dalam penyelesaian kasus-kasus pidana; sementara negara cukup mengakui putusan-putusan peradilan desa tersebut).
e. seberapa siap daerah-daerah untuk menggunakan sistem peradilan adat ini, mengingat adanya keanekaragaman kedalaman internalisasi hukum adat ini ke dalam kenyataan kehidupan sehari-hari masyarakatnya?
f. bagaimana mengantisipasi pihak-pihak yang memanfaatkan keberadaan peradilan adat ini untuk mengamankan kepentingan subjektif mereka?
Catatan-catatan yang diberikan sekaligus merupakan rekomendasi agar berbagai opsi yang ditawarkan perlu diperdalam dalam forum yang lebih terfokus guna lebih siap disampaikan kepada otoritas pembentuk hukum.

Jakarta, 10 Oktober 2013

Hutan Masyarakat Adat


Hutan Masyarakat Adat

Diskusi Hutan Masyarakat Adat
Palangka Raya – 10/9/ 2013. Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Tengah menyelenggarakan Fokus Group Discussion (FGD), “Hutan Masyarakat Adat,” di aula BAPELKES Palangka Raya. FGD ini bertujuan untuk menggali  rekomendasi untuk mengisi kekosongan hukum pasca Putusan MK No.35/PUU-X/2012 yang disahkan pada 16 Mei 2013 lalu. Hadir beberapa pengurus daerah AMAN Kalteng, akademisi dari Universitas Palangka Raya, Instansi Pemerintah Provinsi, dan media lokal.
Narasumber dalam FGD ini dari Pengurus Besar AMAN, Kementrian Hukum dan HAM wilayah Kalimantan Tengah, dan Pemerintah Provinsi Kalteng (Biro Hukum SETDA, Dinas Kehutanan, dan Badan Lingkungan Hidup). Masing-masing narasumber menyampaikan paparannya tentang Putusan MK  terkait UU Kehutanan dan hutan adat berdasarkan ruang lingkup kerjanya masing-masing.
“Jika kita masih mendorong skema hutan desa ke dalam wilayah adat, itu berarti kita belum berkontribusi pada reformasi sektoral kehutanan. Dengan adanya putusan MK ini hutan adat bukan lagi hutan Negara. Namun hutan adat tetap masuk ke dalam kawasan hutan, tapi  dikategorikan menjadi hutan hak,” papar Erasmus Cahyadi dari Pengurus Besar AMAN
Putusan MK memang mengeluarkan hutan adat dari hutan negara. Tetapi ada atau tidaknya hutan adat itu sangat tergantung dari ada atau tidaknya masyarakat adat itu sendiri. Karena itu maka harus disusun kebijakan seperti PP Hutan Adat dan Perda Pengukuhan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat.
Hal ini juga sejalan dengan langkah strategis yang telah diambil Kementrian Kehutanan.“Diantaranya mempercepat penyelesaian RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat dan berkoordinasi dengan Kemendagri untuk mendorong Pemda segera mendata dan melakukan penelitian dan mengukuhkan keberadaan masyarakat hukum adat “ ucap Dominggus dari Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng.
“Mengapa kita harus membuat aturan tetapi wilayah belum jelas? seharusnya kita mendorong pemerintah untuk membuat PP yang mendorong pemetaan wilayah adat” ucap Marinus peserta dari PD AMAN Barito Timur.
Selain mengusulkan pemetaan wilayah adat yang didukung oleh pemerintah. Peserta FGD lainnya mengharapkan Putusan MK ini disosialisasikan oleh pemerintah bersama lembaga yang terkait sampai ke tingkat komunitas. “Kalau tidak ada sosialisasi sampai ke tingkat komunitas, ini sama dengan menghambat tindak lanjut dari putusan MK sendiri,” tambah Adi peserta dari Komunitas Bundar.
Usulan itu langsung direspon oleh Matius Hosang, Narasumber dari Badan Lingkungan Hidup (BLH)  Provinsi Kalteng. “Walaupun saat ini ada MOU antara AMAN dan BLH, tapi ada atau tidak ada MOU itu, kita semua harus bekerjasama dalam menjaga kelestarian lingkungan”.
Beberapa usulan dari narasumber dan peserta  disusun menjadi sebuah draft rekomendasi untuk Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Kemudian draft ini akan dikembalikan kepada pihak yang terlibat dalam FGD ini, untuk disepakati menjadi sebuah rekomendasi menyangkut hutan masyarakat adat.*** Pebri