Search This Blog

Sunday, May 25, 2014

SUKU GAYO DI DATARAN TINGGI TANOH GAYO - INDONESIA


Thursday, 27 December 2012


Gayo Lues di Kab Gayo Lues

SUKU GAYO LUES

DI KAB. GAYO LUES


Suku Gayo Lues, adalah sub-suku Gayo yang berdiam di kabupaten Gayo Lues dan beberapa kecamatan di Aceh Tenggara, juga sebagian kecil terdapat di Aceh Selatan provinsi Aceh. Pemukiman suku Gayo Lues ini yang berada di kabupaten Gayo Lues, berada di gugusan pegunungan Bukit Barisan, sebagian besar wilayahnya merupakan area Taman Nasional Gunung Leuser yang terisolasi di provinsi Aceh.




Kebudayaan dan adat-istiadat sub-suku Gayo Lues, hampir tidak ada perbedaan dengan sub-suku Gayo lainnya, seperti Gayo Serbejadi (Lukup), Gayo Kalul, Gayo Lut dan Gayo Deret. Hanya saja dibedakan dari dialek yang digunakan, mereka memiliki dialek yang berbeda dengan sub-bahasa Gayo lainnya.


Walaupun memiliki dialek yang berbeda dengan kelompok Gayo lainnya, tapi mereka bukanlah suku yang berbeda dengan suku Gayo lainnya, mereka tetaplah suku Gayo. Mungkin karena wilayah mereka yang berbeda dan terpisah dengan etnis Gayo lainnya, serta dialek yang mereka ucapkan sedikit berbeda, oleh karena itu mereka disebut sebagai Gayo Lues.



Masyarakat suku Gayo Lues, mayoritas memeluk agama Islam, yang pada masa dahulu dibawa oleh orang Aceh dan orang Minangkabau yang keturunannnya juga banyak bermukim di wilayah ini. Mereka adalah penganut Islam yang taat, sehingga beberapa kebudayaan mereka banyak mengandung unsur Islami.

Suku Gayo Lues walaupun hidup di pegunungan yang termasuk daerah terisolasi, tetapi mereka menerima kehadiran pendatang dengan tangan terbuka. Mereka memiliki sikap yang ramah terhadap siapapun, sehingga wilayah Gayo Lues saat ini telah banyak dimasuki pendatang dari berbagai wilayah dari daerah Sumatra, dan dapat hidup berdampingan secara damai. Kehidupan masyarakat suku Gayo Lues, pada umumnya hidup pada bidang pertanian, seperti bercocok tanam sayur-sayuran, cabe merah, serai wangi, kakao, tembakau dan kopi arabica.

Gayo Kalul di Kab. Aceh Tamiang

 

SUKU GAYO KALUL 

DI KAB. ACEH TAMIANG

By: Wendy Hutahaean


Gayo Kalul people or sometimes called Gayo Kaloy people is a Gayo ethnic that live in Kabupaten Aceh Tamiang. The culture and custom of Gayo Kalul people has some differences to another Gayo people because the location is separated in the western part of Aceh Tamiang. It is influenced by the culture of Melayu Tamiang people because the intense interaction between this Gayo people with them. Generally Gayo culture has some similarities to Batak Alas, Batak Singkil, Batak Gayo and Batak Karo. Nowadays their culture mostly influenced by Islamic culture. 






A. The Land

The land of Gayo Kalul people covered some districts in western part of Kabupaten Aceh Tamiang, which are:

1. Kec. Tamiang Hulu, capital in Pulau Tiga
2. Kec. Bandar Pusaka, capital in Babo (Pemekaran Kecamatan Tamiang Hulu) 
3. Kec. Sekerak, capital in Sekrak (Pemekaran Kecamatan Tamiang Hulu)
4. Kec. Kejuruan Muda, capital in Sungai Liput
5. Kec. Tenggulun, capital in Tenggulon (Pemekaran Kecamatan Kejuruan Muda)

However, in eastern part of Kabupaten Aceh Tamiang, Melayu Tamiang people live. The districts are:

1. Kec. Banda Mulia, capital in Telaga Meuku
2. Kec. Bendahara, capital in Seuneubok Dalam Sungai Iyu
3. Kec. Karang Baru, capital in Karang Baru (ibukota Kabupaten Aceh Tamiang) 
4. Kec. Kota Kuala Simpang, capital in Kota Kuala Simpang
5. Kec. Manyak Payed, capital in Tualang Baru
6. Kec. Rantau, capital in Rantau Pauh
7. Kec. Seruway, capital in Peukan Seruway



Kebudayaan dan adat-istiadat sub-suku Gayo Kalul, hampir tidak ada perbedaan dengan sub-suku Gayo lainnya, seperti Gayo Serbejadi (Lukup), Gayo Deret, Gayo Lut dan Gayo Lues. Hanya saja dibedakan dari dialek yang digunakan, mereka memiliki dialek yang berbeda dengan sub-bahasa Gayo lainnya. Beberapa kata dari bahasa Gayo Kalul memiliki beberapa perbedaan, tapi masih dapat dipahami oleh puak Gayo lainnya, misalnya dalam penyebutan orang, kalau dalam bahasa Gayo pada umumnya menyebut kata "orang" adalah "jema", sedangkan dalam bahasa Gayo Kalul menjadi "urang". Walaupun terdapat beberapa perbedaan dalam perbendaharaan kata dalam bahasa Gayo Kalul, tetapi mereka masih dapat saling berkomunikasi dengan puak Gayo lainnya.



Masyarakat Gayo Kalul, pada umumnya hidup sebagai petani di ladang dan kebun yang berada di sekitar wilayah pemukiman mereka. Saat ini banyak dari mereka yang telah bekerja di sektor swasta dan pemerintahan. Tidak sedikit dari mereka yang mulai merantau ke wilayah lain, seperti ke Banda Aceh, Medan hingga sampai ke pulau Jawa.


Batak Kluet people are related to Batak Alas, Batak Gayo, Batak Singkil and Batak Karo because they have some similarities in language, costums and cultures. Eventhough they live in Aceh Province but their cultures are closer to Batak than Aceh. Besides that, they have similar marga such as Monte in Batak Kluet that have the same ancestor to Munthe in Batak Alas, Munte in Batak Gayo, and Ginting Munthe in Batak Karo. 
  
B. Marga

Batak Kluet people have "marga" that shows the identity of their original ancestor or family. This familiy name is derived from  father lineage (patrilineal) that will be continued to his male descent continiously. Female descent will follow the family name of her husband after mariage. The example of marga in Batak Kluet that live in Kabupaten Aceh Tenggara are:
1.      Marga Bangko,
2.      Marga Deski,
3.      Marga Keling,
4.      Marga Kepale Dese,
5.      Marga Keruas,
6.      Marga Pagan,
7.      Marga Selian
8.      Marga Acih,
9.      Marga Beruh,
10.   Marga Gale,
11.   Marga Kekaro,
12.   Marga Mahe,
13.   Marga Menalu,
14.   Marga Mencawan,
15.   Marga Munthe,
16.   Marga Pase,
17.   Marga Pelis,
18.   Marga Pinim,
19.   Marga Ramin,
20.   Marga Ramud,
21.   Marga Sambo,
22.   Marga Sekedang,
23.   Marga Sugihen,
24.   Marga Sepayung,
25.   Marga Sebayang,
26.   Marga Terigan. 

 
C. Language

Pemakai bahasa Kluet semakin hari semakin berkurang. Bahasa Kluet dipakai di wilayah timur laut Tapaktuan dan di sekitar Kutacane, Aceh. Pada tahun 2000, jumlah pemakai bahasa ini mencapai 195.000 orang. Bahasa Kluet terbagi atas 3 dialek yaitu Dialek Paya Dapur, Manggamat dan Krueng Kluet.


D. Religion

Menurut Prof. Van Vollenhoven, anthropologi, ahli bahasa, dan pakar budaya pada jaman Penjajahan Belanda, menemukan banyak kesamaan adat istiadat asli (sebelum dipengaruhi agama yg masuk belakangan), kesamaan budaya, kesamaan asal etnis, dan kesamaan dasar rumpun bahasa antara Batak Karo dan Pakpak dengan Suku Kluet, Gayo, Alas dan Singkil. Van Vollenhoven mengklasifikasikan Rumpun Adat ini sebagai Rumpun Budaya Batak.

Refference:


 

 

Batak Bebesen di Kab. Aceh Tengah

SUKU BATAK BEBESEN

DI KAB. ACEH TENGAH

by: Wendy Hutahaean


Suku Batak 27, atau suku Batak Bebesen, adalah suatu kelompok masyarakat yang berada di dalam adat istiadat suku Batak Gayo, yang dahulunya berasal dari tanah Batak tanah Utara yang bermigrasi ke wilayah Tanah Gayo. Suku Batak 27 ini bermukim di wilayah Bebesen, yang masih termasuk wilayah adat suku Gayo.

Traditional Clothes of Batak Bebesen

Dahulu banyak orang Batak dari tanah Utara datang ke Tanah Gayo dengan bermacam-macam cara, yang kini bermukim di sebelah barat Danau Laut Tawar, Pengasingan serta Celala, sekarang keturunannya tidak dapat dibedakan lagi. Akan tetapi, ada satu kenangan yang masih melekat dalam benak orang Gayo, yaitu yang terjadi terhadap anak buah Reje Cik Bebesan dan Ketol. Seterusnya adalah pada keturunan salah seorang reje yang ternama dan terkemuka di Tanah Gayo yang mendiami bagian timur daerah aliran sungai Jemer yaitu, Reje Linge. Orang Gayo yang dimaksud ialah orang Gayo Bebesen yang berdiam di bagian barat Danau Laut Tawar yang kalau bertengkar dengan kampung tetangganya sering diejek Batak Bebesan atau Batak 27.

Traditional Music of Batak Bebesen

Dalam cerita rakyat tersebut dikisahkan tentang seorang yang bernama Lebe Keder, yang datang untuk menuntut bela kematian kawannya yang meninggal karena dibunuh dan hartanya dirampok. Ketika itu, sebanyak 20 orang Batak, yang salah satunya bernama Lebe Keder, lewat Alas dan Tanah Gayo, berangkat menuju Aceh, dengan tujuan untuk masuk Islam dan belajar mengaji. Selain untuk ongkos dan belanja sendiri, mereka juga membawa titipan ongkos untuk pulang bagi tujuh teman mereka. Melihat pundi-pundi penuh dengan uang, timbul niat jahat dalam hati salah seorang raja Gayo, yaitu Reje Bukit, yang memerintah di bagian barat Danau Laut Tawar yang mengajaknya bermain judi.


Traditional Headcover of Batak Bebesen

Ternyata, pada waktu itu, Reje Bukit bernasib sial. Dia kalah dan mau tidak mau harus merelakan sebagian kekayaannya berpindah ke dalam pundi-pundi orang Batak Utara tadi. karena dihantui oleh perasaan marah, kesal, malu dan iri, Reje Bukit nekad memancung salah seorang di antara mereka, lalu menggantungkan kepalanya di atas sebatang pohon bambu tidak jauh dari Bebesan. Karena itulah tempat itu disebut Pegantungan sampai saat ini. Kesembilan belas orang-orang Batak Utara pun merasa takut dan langsung melarikan diri menuju Aceh untuk menemui kawan-kawannya, sekaligus bermaksud untuk mengadukan kezaliman reje Gayo tersebut kepada raja Aceh. Sultan memberi mereka restu untuk memerangi reje Gayo itu dan yakin bahwa mereka akan dapat mengalahkannya, tetapi Reje Bukit sendiri tidak boleh dibunuh.

Pada serangan balasannya, ke 26 orang dari Batak Utara ini mengalahkan pasukan Reje Bukit. Reje Bukit sendiri, dalam keadaan panik, melarikan diri dan tersesat ke dalam suatu paya (rawa-rawa) dekat kampung Kebayakan, sehingga tempat itu disebut Paya Reje sampai saat ini. Setelah itu dibuatlah perjanjian yang menyatakan bahwa Reje Bukit bersama anak buahnya ditunjuk untuk menempati kampung Kebayakan sekarang dan ke-26 orang Batak Utara tersebut, yang semua sudah masuk Islam, menempati wilayah yang sekarang sudah menjadi kampung induk Raja Cik, yaitu kampung Bebesen. Di tempat ini mereka berkembang dan keturunannya disebut sebagai suku Batak Bebesen atau suku Batak 27.

Dalam kalangan suku Batak 27 ini juga berkembang tradisi marga-marga yang masih dipertahankan oleh mereka hingga saat ini. Marga-marga tersebut adalah Munthe, Cibero, Melala, Lingga dan Tebe.



Batak Bebesen Dance - Tari Uti Rotan


Batak Gayo Serbejadi di Aceh Timur

SUKU GAYO SERBEJADI

DI KAB. ACEH TIMUR



Suku Gayo Serbejadi (Lokop, Lukup), adalah sub-suku Gayo yang berdiam di kabupaten Aceh Timur provinsi Aceh. Konon suku Gayo Serbejadi ini, adalah kelompok masyarakat yang berasal dari orang Gayo Lues, Deret dan Lut, yang bermigrasi ke wilayah ini. Hidup selama berabad-abad menyatu membentuk suatu komunitas yang sedikit berbeda dengan etnis Gayo lainnya, sehingga mereka disebut sebagai etnis Gayo Serbejadi atau Gayo Lukup. Mereka memiliki budaya yang sedikit berbeda dengan kelompok Gayo lainnya. Tetapi walaupun begitu mereka tetap mengakui diri mereka sebagai Urang Gayo, dengan embel-embel Serbejadi.

Traditional Clothes of Gayo Serbejadi
Orang Gayo Serbejadi ini memiliki bahasa yang agak berbeda dengan bahasa Gayo lainnya, tapi walaupun begitu, di antara mereka masih dapat berkomunikasi dengan baik dengan etnis Gayo lainnya. Mereka mengatakan suku Gayo cuma satu, hanya saja karena sejak dahulu mereka telah tersebar-sebar ke beberapa wilayah, sehingga sebutan untuk mereka juga jadi berbeda-beda.

Traditional Dance of Gayo Serbejadi

Masyarakat suku Gayo Serbejadi mayoritas adalah pemeluk agama Islam. Mereka adalah pemeluk Islam yang taat. Sehingga segala kebudayaan dan adat-istiadat yang mereka amalkan mengandung unsur Islami. Walaupun mereka taat dalam beragama, tetapi mereka menerima segala kalangan dari berbeda agama untuk hidup berdampingan di wilayah mereka. Wilayah pemukiman mereka saat ini banyak dimasuki pendatang dari berbagai wilayah di Sumatra, bahkan dari luar Sumatra.

Traditional House of Gayo Serbejadi

Kehidupan masyarakat suku Gayo Serbejadi ini pada umumnya hidup sebagai petani, perladangan, dan bercocok tanam sayur-sayuran, cabe merah, kakao, tembakau dan kopi arabica yang tersebar di berbagai wilayah pemukiman suku Gayo Serbejadi.



Kabupaten Aceh Timur

Wilayah pemukiman suku Gayo Lues di Aceh Timur meliputi 4 kecamatan, yaitu:
1. Kecamatan Serbejadi
2. Kecamatan Peunaron
3. Kecamatan Simpang Jernih
4. Kecamatan Banda Alam.


Gayo Serbejadi Song - Jarak Ni Kampung





Batak Gayo Deret in Kab. Aceh Tengah

SUKU GAYO DERET

DI KAB. ACEH TENGAH


Suku Gayo Deret, disebut juga sebagai Gayo Linge, adalah sub-suku Gayo yang berdiam di daerah Linge dan sekitarnya (masih merupakan bagian wilayah kabupaten Aceh Tengah di provinsi Aceh. Kebudayaan dan adat-istiadat sub-suku Gayo Deret, hampir tidak ada perbedaan dengan sub-suku Gayo lainnya, seperti Gayo Serbejadi (Lukup), Gayo Kalul, Gayo Lut dan Gayo Lues. Hanya saja dibedakan dari dialek yang digunakan, mereka memiliki dialek yang berbeda dengan sub-bahasa Gayo lainnya.

Traditional Clothes of Batak Gayo Deret

Di wilayah Gayo Deret inilah dahulunya pernah berdiri sebuah kerajaan besar sekitar abad X, yang bernama Kerajaan Linge (Kerajaan Lingga). Kerajaan Lingga ini adalah kerajaan yang didirikan oleh orang-orang Gayo pada masa lalu, yang raja pertamanya bernama Genali. Konon, orang Gayo lah pemeluk Islam lebih dahulu daripada orang Aceh yang menjadi mayoritas di provinsi Aceh ini.

Traditional Dance of Batak Gayo Deret
Orang Gayo Deret, dilihat dari adat-istiadat dan budaya, tidak jauh berbeda dengan adat-istiadat dan budaya dari puak Gayo yang lain. Hanya terdapat perbedaan istilah saja dalam penyebutan beberapa istilah budaya dan adat-istiadat mereka. Menurut mereka orang Gayo Deret dengan puak Gayo lainnya, adalah sama, hanya karena terpisah oleh wilayah yang berbeda saja, maka mereka disebut sebagai Gayo Deret. Sedangkan istilah Deret sendiri, tidak diketahui berasal dari mana. Tetapi beberapa orang tua dari masyarakat Gayo Deret mengatakan bahwa Deret, adalah nama seseorang yang dahulunya diberi tugas oleh sang Raja mereka untuk memelihara seluruh jenis binatang yang berada di wilayah adat mereka ini.

Traditional House of Batak Gayo Deret

Kehidupan masyarakat Gayo Deret juga semakin maju dari tahun ke tahun, mereka semakin menunjukkan eksistensi sebagai orang Gayo, walau berada di tengah-tengah budaya mayoritas suku Aceh di provinsi Aceh ini. Dahulu mereka dalam berkomunikasi dengan masyarakat lain di luar komunitas mereka, biasanya mengaku sebagai orang Aceh, karena kuatir kalau menyebut kata "dari gayo", karena orang tidak tahu apa itu "orang gayo". Tetapi saat ini, mereka lebih berani untuk menyebut diri sebagai orang Gayo, dan bukan Aceh lagi. Karena secara budaya dan adat-istiadat, mereka berbeda dengan budaya dan adat-istiadat Aceh. Dilihat dari ciri fisik dan bahasa, orang Gayo berbeda dengan orang Aceh. Bahasa Gayo justru lebih berkerabat dengan bahasa Batak, terutama dengan bahasa Batak Karo dan Batak Pakpak.

Masyarakat Gayo Deret, awalnya hidup pada bidang pertanian, perladangan serta bercocok tanam berbagai jenis sayur-sayuran dan buah-buahan. Saat ini mereka lebih mencoba pada tanaman keras seperti kopi, kakao dan lain-lain.



Batak Gayo Lut di Kab. Bener Meriah

SUKU BATAK GAYO (LUT)

DI KAB. BENER MERIAH

Suku Gayo Lut, adalah sub-suku Gayo yang berdiam di sekitar danau Laut Tawar. kabupaten Aceh Tengah provinsi Aceh. Suku Gayo Lut, disebut sebagai Gayo Lut, karena wilayah kediaman mereka yang berada di sekitar danau Laut Tawar yang dalam bahasa Gayo disebut danau Lut Tawar. Selain disebut Gayo Lut, kadang mereka disebut juga sebagai Gayo Laut.

Traditional Clothes of Gayo Lut 
Pemukiman suku Gayo Lut, dahulunya terdiri dari rumah-rumah panggung yang panjangnya bisa mencapai 20 hingga 30 meter, dan lebarnya bisa mencapai 10 meter. Dengan bagian bawah, tempat menyimpan binatang ternak seperti sapi dan kambing. Saat ini telah banyak berubah, dan bentuk rumah dibangun sejajar dengan tanah.

Traditional House of Gayo Lut
Untuk kebudayaan dan adat-istiadat, tidak ada perbedaan dengan sub-suku Gayo lainnya, seperti Gayo Serbejadi (Lukup), Gayo Deret, Gayo Kalul dan Gayo Lues. Hanya saja dibedakan dari dialek yang digunakan, mereka memiliki dialek yang berbeda dengan sub-bahasa Gayo lainnya. Masyarakat suku Gayo Lut, mayoritas pemeluk agama Islam. Agama Islam telah lama berkembang di wilayah ini, konon menurut cerita mereka, agama Islam lebih dahulu masuk ke masyarakat Gayo dari pada ke suku Aceh.

Traditional Dance of Gayo Lut

Pada umumnya kehidupan masyarakat Gayo Lut, adalah berprofesi sebagai petani, seperti menanam padi di sawah, berladang, bercocok tanam berbagai jenis sayur-sayuran. Mereka juga menanam tanaman keras seperti kopi arabica, yang saat ini semakin berkembang dan terkenal, seperti kopi Gayo.Selain itu beberapa dari mereka hidup sebagai nelayan penangkap ikan di  danau Laut Tawar. Saat ini, tidak sedikit dari masyarakat Gayo Lut yang telah berhasil di perantauan, menjadi pengusaha ataupun pejabat pemerintahan.



Batak Gayo

THE LAND OF GAYO

By: Wendy Hutahaean


Suku Gayo adalah sebuah suku bangsa yang mendiami dataran tinggi Gayo di Aceh. Suku Gayo secara mayoritas terdapat di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan 3 kecamatan di Aceh Timur, yaitu kecamatan Serbe Jadi, Peunaron dan Simpang Jernih. Selain itu suku Gayo juga mendiami beberapa desa di kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Tenggara. Suku Gayo mayoritas beragama Islam. Suku Gayo menggunakan bahasa sehari-hari yang disebut bahasa Gayo. Suku Gayo berbeda dengan suku Aceh. Secara fisik, bahasa dan budaya suku Gayo lebih mirip dengan suku Alas, Singkil, Kluet, Batak Karo dan Batak Pakpak.

Sekitar abad 11 Masehi di tanoh Gayo terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Linge (Lingga) yang didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak. (dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda). Raja Lingga I, disebutkan mempunyai 4 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga (Ali Syah), Meurah Johan (Djohan Syah) dan Meurah Lingga(Malamsyah).

Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri atau Lambri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.

Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge, Aceh Tengah. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk. Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.

Masyarakat Gayo hidup dalam komunitas kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri dari:

- Reje
- Petue
- Imem
- Rayat

Saat ini beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imem, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat. Sebuah kampong biasanya dihuni oleh beberapa kelompok klen (belah). Anggota-anggota suatu belah merasa berasal dari satu nenek moyang, masih saling mengenal, dan mengembangkan hubungan tetap dalam berbagai upacara adat. Garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matrilokal (angkap).

Kelompok kekerabatan terkecil disebut saraine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah (klen). Pada masa sekarang banyak keluarga inti yang mendiami rumah sendiri.

Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tari saman dan seni bertutur yang disebut didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian Seperti: Tari bines, Tari Guel, Tari munalu,sebuku(pepongoten), guru didong, dan melengkan (seni berpidato berdasarkan adat), yang juga tidak terlupakan dari masa ke masa.

Masyarakat Gayo juga memiliki berbagai jenis makanan khas suku Gayo yaitu :

- Masam Jaeng
- Gutel
- Lepat
- Pulut Bekuah
- Cecah
- Pengat

Bahasa Gayo adalah bahasa yang dipakai sebagai bahasa sehari-hari oleh masyarakat suku Gayo di Kabupaten Aceh Tengah. Bahasa Gayo ini mempunyai keterkaitan dengan bahasa suku Batak Karo di Sumatera Utara. Bahasa Gayo digunakan dan terkonsentrasi di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan kecamatan Serba Jadi di kabupaten Aceh Timur. Ketiga daerah ini merupakan wilayah inti suku Gayo. Bahasa ini termasuk kelompok bahasa yang disebut "Northwest Sumatra-Barrier Islands" dari bahasa Austronesia.

Pengaruh dari luar yaitu bahasa di luar bahasa Gayo turut mempengaruhi variasi dialek tersebut. Bahasa Gayo yang ada di Lokop, sedikit berbeda dengan bahasa Gayo yang ada di Gayo Kalul, Gayo Lut, Linge dan Gayo Lues. Hal tersebut disebabkan karena pengaruh bahasa Aceh yang lebih dominan di Aceh Timur. Begitu juga halnya dengan Gayo Kalul, di Aceh Tamiang, sedikit banyak terdapat pengaruh Melayu karena lebih dekat ke Sumatera Utara. Kemudian, Gayo Lues lebih dipengaruhi oleh bahasa Alas dan bahasa Karo karena interaksi yang lebih banyak dengan kedua suku tersebut lebih-lebih komunitas Gayo yang ada di kabupaten Aceh Tenggara.

Dialek pada suku Gayo, menurut M.J. Melalatoa, dialek Gayo Lut terdiri dari sub-dialek Gayo Lut dan Deret; sedangkan Bukit dan Cik merupakan sub-subdialek. Demikian pula dengan dialek Gayo Lues terdiri dari sub-dialek Gayo Lues dan Serbejadi. Sub-dialek Serbejadi sendiri meliputi sub-sub dialek Serbejadi dan Lukup (1981:53). Sementara Baihaqi Ak., dkk menyebut jumlah dialek bahasa Gayo sesuai dengan persebaran suku Gayo tadi (Gayo Lut, Deret, Gayo Lues, Lokop/Serbejadi dan Kalul). Namun demikian, dialek Gayo Lues, Gayo Lut, Gayo Lukup/Serbejadi dan Gayo Deret dapat dikatakan sama atau amat berdekatan. Di Gayo Lut sendiri terdapat dua dialek yang disana dinamakan dialek Bukit dan Cik (1981:1).

Dalam bahasa Gayo,  (memanggil seseorang) dengan panggilan yang berbeda, untuk menunjukan tata krama, sopan santun dan rasa hormat. Pemakaian ko dan kam, yang keduanya berarti kamu (anda) Panggilan ko biasa digunakan dari orang tua dan/atau lebih tua kepada yang lebih muda. Kata kam sendiri lebih sopan dibandingkan dengan ko. Bahasa Gayo Lut dinilai lebih sopan dan halus dibandingkan dengan bahasa Gayo lainnya.

A. Wilayah Gayo Deret

1. Kec.
2. Kec.
3. Kec.
4. Kec.
5. Kec.
6. Kec.




B. Wilayah Gayo Lut

1. Kec.
2. Kec.
3. Kec.
4. Kec.
5. Kec.
6. Kec.

C. Wilayah Gayo Lues

1. Kec.
2. Kec.
3. Kec.
4. Kec.
5. Kec.
6. Kec.

D. Wilayah Gayo Serbajadi

1. Kec.
2. Kec.
3. Kec.
4. Kec.
5. Kec.
6. Kec.

E. Wilayah Gayo Kaloy

1. Kec.
2. Kec.
3. Kec.
4. Kec.
5. Kec.
6. Kec.

F. Wilayah Gayo Bebesan

1. Kec.
2. Kec.
3. Kec.
4. Kec.
5. Kec.
6. Kec.


Bersambung,....!