Search This Blog

Wednesday, June 26, 2013

Alas Gayo Mulai Sirna


Alas Gayo Mulai Sirna

suaraleuserantara June 26, 2013 0
Anan Linung, Nutu Nayu : Seorang nenek di kampung Linung Bulen kecamatan Bintang, menutu nayu diusianya yang tak muda lagi. Kamis (20/6/2013). Nayu adalah istilah gayo memproses tikar secara tradisional di dataran tinggi gayo. (foto: SuaraLeuserAntara/wyra)
Anan Linung, Nutu Nayu : Seorang nenek di kampung Linung Bulen kecamatan Bintang, menutu nayu diusianya yang tak muda lagi. Kamis (20/6/2013). Nayu adalah istilah gayo memproses tikar secara tradisional di dataran tinggi gayo. (foto: SuaraLeuserAntara/wyra)
TAKENGEN |SuaraLeuserAntara|: Ike ilagang turah i lepih (kalau sudah mulai dikerjakan harus diselesaikan-red), demikian pribahasa Gayo yang melekat pada para pembuat penganyam tikar gayo (Gayo-nayu).
Tikar gayo terbuat dari kertan (tumbuhan yang hidup dirawa-rawa). Kini Tikar Gayo sangat sulit didapatkan di dataran tinggi gayo khususnya Kabupaten Aceh Tengah, yang dahulunya merupakan suatu kebanggaan bagi masyarakat gayo sebagai tempat duduk ornag yang dimuliakan juga sebagai seserahan.
“ Sayang mengunakan untuk keseharian, kecuali untuk tamu terhormat, reje (kepala desa), imam, petue (orang yang dituakan-red),” kata Wardiana Inen Hasbenar pembuatan anyaman tikar, yang telah menekuni membuat alas gayo sejak 25 tahun hingga sekarang, dan tinggal satu-satunya perempuan yang berusia tua yang masih membuat tikar gayo, di kampung Linung Bulen Kecamatan Bintang Kabupaten Aceh Tengah.
Proses pembuatan tikar, membutuhkan kesabaran, ketekunan, ketelitian sebagai pertanda filosofi yang sangat berharga di gayo. Dengan duduk di atas alas gayo adalah orang terhormat dan memunculkan kebersamaan, penghargaan. “Siapa yang duduk di atas tikar, akan mengemban amanah hidup,” kata Purnama K Ruslan, ketua Dewan Kesenian Takengen, Minggu (23/6/2013).
Katanya lagi, bahwa langkanya tikar, salah satu keprihatinan kita sebagai masyarakat yang menghormati adat tapi alas gayo sudah punah, mengalami kepunahan yang tragis,kata bang Pur panggilan akrabnya.
Kini, tikar gayo mulai sulit didapati, seiring langkanya kolam-kolam tempat tumbuhnya kertan, dan tidak ada regenerasi para pembuat tikar yang dilakukan kaum perempuan di gayo. Sehingga tikar gayo memiliki harga yang fantastis, sekitar Rp 500 ribu. Kalah saing dengan tikar plastik yang menjamur di pasaran yang hanya dibandrol Rp 150 ribu hingga Rp 250 ribu saja.
Pembuatan tikar bagi masyarakat gayo dilakukan kaum perempuan. Dahulu, semua anak gadis yang dewasa biasa telah mampu membuat tikar, minimal mengetahui proses nayu. Kini di dataran tinggi tidak lagi dijumpai alas gayo dijual di pasaran. Pun ingin mendapatkan tikar, harus langsung ke pengrajin.
Bahan utama pembuatan tikar gayo adalah kertan, biasanya dibuat untuk tikar berukuran panjang yang disebut juga Alas Kolak (4 meter x 1,5 meter) dan Tetopang ( 3 x 1 meter).
Ada juga Cike, Sepirok, dan Beldem, sebagai bahan baku yang mirip kertan namun memiliki ukuran yang sedikit berbeda sehingga biasa digunakan untuk membuat kerajinan khas gayo lainnya seperti tempat nasi, tempat membungkus barang bawaan, bahkan untuk membungkus mayat yang hendak dibawa ke makam, terkadang ikut dikubur dalam makam.
Cike lebih banyak dibuat untuk Ampang (tempat duduk pengantin saat ijab kabul dan alas duduk orang yang dihormati-red). Sentong, tempat nasi yang terbuat dari cike atau beldem.
“Kalau warna tambahan hanya dua dalam tikar gayo, merah dan hijau,” kata Inen Aina, pembuat alas gayo, di kampung Kung, Kecamatan Pegasing Kabupaten Aceh Tengah.
Proses nayu juga tidak mudah, beberapa proses pembuatan tikar (gayo: nayu), dimulai dengan Nuling, memotong kertan di kolam. Peram, menyimpang kertan selama tiga hari sebelum dijemur.
Pepet (jepit-red), kertan yang sudah kering dijadikan kasur tidur, atau ditindih dengan benda-benda yang berat agar lebih pipih. Sale (meletakkan kertan yang sudah kering di para- para-red) biasanya orang gayo dulu menyimpannya di atas dapur hingga kering.
Ramal (mengikat kertan dan dicuci kembali). Tutu, menumbuk kertan di atas batu yang keras biasanya dilakukan tiga orang perempuan atau lebih. Tidak sekedar menumbuk karena beresiko kertan sobek. Pada proses menumbuh di atas batu ini, biasanya bisa menghasilkan suara yang indah dengan dentuman kayu di atas batu, dengan berirama.
Proses terakhir, Nayu (menganyam tikar, menjalin kertan menjadi tikar -red). Masyarakat gayo dulu membuat tikar hendak menjelang bulan ramadhan.
Selain untuk mengisi kekosongan waktu karena tidak dapat bekerja keras, juga bisa dijadikan tikar baru saat lebaran ketika menerima tamu. Terlebih bisa dijual untuk kebutuhan berlebaran.
Sebelum Ramal, ada beberapa Kertan yang diberi warna hijau dan merah dengan menggunakan kesume (pewarna buatan yang dibeli di pasar tradisional-red). Proses itu disebut dengan Rayang.
Ketika menjaling tikar, Nayu kertan yang sudah melalui tahap proses pewarnaan dijadikan sebagai motif tikar. Beberapa motif yang dikenal di kalangan masyarakat gayo, kiding lipen (kaki kelabang), tulen iken (tulang ikan), rehal, taris keben, leladu, lintem dan pinggiran tikar disebut Riris.
Uniknya lagi kelebihan ujung kertan saat membuat tikar tidak dipotong dengan gunting tapi dengan pisau, sehingga membutuhkan kesabaran juga, disebut Tetos.
Tikar gayo, ada juga disebut alas bebujung yaitu tikar yang tidak disambung, sehingga mengikuti panjang kertan itu sendiri, tidak seperti alan kolak yang bisa mencapai 4 meter.
Langus, adalah memipihkan kertan dengan tangan menggunakan sepotong bambu kering. Bila ada kekurangan kertan untuk dijalin.
Bila nayu sudah kerjakan tapi tidak juga menghasilkan tikar, bisa saja disebabkan oleh kesibukan pembuatnya biasa disebut Puyuken (kerjaan yang tidak diselesaikan-red). (wyra)

Benang Merah Raja Karo dengan Kerajaan Aceh


 Benang Merah Raja Karo dengan Kerajaan Aceh

Benang Merah Raja Karo dengan Kerajaan Aceh

Empat sebayak Karo bersama istrinya.@senina77.wordpress.com
Empat sebayak Karo bersama istrinya.@senina77.wordpress.c
Adri Istambul Lingga Gayo mengenakan pakaian kebesarannya. Setelan jas warna gelap dengan dasi merah melengkapi bulang-bulang (penutup kepala), buka bulu (kain segitiga penutup pundak belakang), dan selempang yang berwarna senada. Hari itu, Kamis pertama Juni ini, Adri menjadi penggagas sekaligus pemimpin upacara ngampeken tulan-tulan bagi leluhurnya, Raja Senina Lingga.
Merupakan keturunan langsung (golongan sembuyak) Raja Senina Lingga, Adri berasal dari kalangan bangsawan Sibayak Lingga generasi kedelapan. Dia adalah keturunan langsung dari Sibayak Lingga Raja Kin, salah satu dari lima putra Raja Senina Lingga. Menurut pemaparan Adri dalam upacara ngampeken tulan-tulan, Raja Senina Lingga dalam hidupnya menikahi sepuluh istri dan memiliki sepuluh anak: lima perempuan dan lima laki-laki.
Kelima putranya adalah Sibayak Lingga Sebanaman, Sibayak Lingga Ahad, Sibayak Lingga Raja Kin, Sibayak Lingga Mbisa, dan Sibayak Lingga Umbat.
Detail riwayat hidup para leluhur masyarakat Karo tidak terdokumentasi dengan baik. Buktinya, Adri tidak bisa menyebutkan kelahiran ataupiun kematian Raja Senina Lingga dan keturunannya dengan pasti. Raja Senina Lingga disebut wafat karena uzur pada usia 120 tahun. Sepeninggal sang Raja, Kerajaan Sibayak Lingga—yang istananya, Gerga, berada di Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo—dipimpin kelima putranya secara bergilir.
Namun kesaktian Raja Senina Lingga sangat kuat membekas dalam kenangan Adri dari cerita-cerita mitologi yang ia dapatkan dari para pendahulunya. Kesaktian Raja Senina Lingga syahdan diwarisi langsung dari ayahnya, Raja Natang Negeri. Raja Natang Negeri adalah salah satu putra dari Raja Linge I dari Kerajaan Linge (Lingga) di Tanah Gayo, Aceh. Kerajaan Linge, seperti disebutkan dalam buku Gajah Putih karangan M Junus Djamil (1959), didirikan orang Batak pada masa Kerajaan Perlak diperintah Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah abad ke 11.
Raja Linge I memiliki enam anak. Selain anak perempuan dan anak bungsunya, anak-anak Raja Linge I pergi dari istana. Natang Negeri merantau ke Tanah Karo. Ia bermukim di Desa Lingga dan mendirikan Kerajaan Sibayak Lingga. Di usia remaja, ia menikahi tiga gadis: Beru Sebayang, Beru Ginting Rumah Page, dan Beru Tarigan Nagasaribu. Dari Beru Sebayang, lahir seorang putra, Sibayak Lingga (Raja Senina Lingga). Ketika Senina Lingga menjadi penguasa, raja di Kesultanan Aceh, yang merupakan kerabatnya, memberikan pisau Bawar dan bendera bertuliskan kalimat syahadat.
“Sebagai tanda dia saudara dari Sultan Iskandar Muda dan keturunan Raja Linge. Benda pusaka itu masih kami pegang (simpan) sebagai tanda bukti keluarga saya,” ujar Adri.
Dengan pisau Bawar itu, kesaktian Raja Senima Lingga bertambah. Di masa hidupnya, raja itu menjadi pentolan dalam menyerang dan mengusir serdadu Belanda. Dalam adu strategi perang, Raja Senina Lingga tergolong piawai. Menurut cerita turun-temurun yang didengar Adri, sang Raja selalu menggenggam tombak bintang dan menunggangi kuda putih setiap kali memimpin pasukannya bergerilya melawan Belanda. Pertempuran demi pertempuran dilakukan raja itu hingga ke Desa Bintang Meriah dan Kuracane, Aceh.
Raja Senina Lingga meninggal pada usia 120 tahun. Sebelum mangkat, ia berpesan agar dimakamkan di Bukit Ndaholi, Desa Bintang Meriah. Dalam upacara kematiang, yang berlangsung empat hari empat malam, jenazahnya diarak ke seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Sibayak Lingga. Saat menuju tempat pemakaman, kepalanya terpisah dari tubuhnya. Menurut Adri, hal itu terjadi karena kesaktiannya. Tubuhnya dimakamkan di tanah, sedangkan kepalanya disimpan di geriten yang dibangun di atas makamnya.
Hanya, tengkorak Raja Senina Lingga nyaris dibakar dalam sebuah kerusuhan. Menurut Adri, kerusuhan itu dilatari peristiwa revolusi sosial pasca-Proklamasi Kemerdekaan. Kerusuhan itu mengusik makam para raja di Karo. Raja-raja yang dianggap bersekutu dengan Belanda menjadi sasaran amuk revolusi.
“Padahal leluhur kami memerangi Belanda,” ujar Adri. “Saat itu Tanah Karo dibumihanguskan. Oleh kakek saya, kepala (tengkorak) itu dibawa mengungsi ke Kutacane.”
Setelah kondisi membaik, pada 1950-an, kerabat keturunan Raja Senena Lingga kembali ke Desa Bintang Meriah dan menempatkan tengkorak itu di dalam kurung manik. “Kurung manik ini rumah persinggahan. Rumah asli Raja Senina Lingga masih berdiri di Desa Lingga,” kata Adri.
Setelah 63 tahun disimpan di rumah persinggahan, tengkorak berumur 400 tahun itu akhirnya dikembalikan ke geriten-nya di Bukit Ndaholi. Semua keturunannya, dari golongan sembuyak, kalimbubu, dan anak beru, kembali bersatu mengantarkan nini mereka ke tempat peristirahatan yang lebih tinggi.[] (sumber : majalah tempo | http:/atjehpost.com)

Ini Kata Kru SCTV Mengenali Gayo


 Ini Kata Kru SCTV Mengenali Gayo

Ini Kata Kru SCTV Mengenali Gayo

Radit-nari
Takengon-LintasGayo : Beragam cara orang mengetahui dan mengenal Gayo, seperti yang diceritakan dua orang kru SCTV, Radit dan Akem yang hadir ke Takengon Aceh Tengah 2 hari ini untuk mengisi program Ngubek-ngubek Liputan6. yang akan ditayangkan pada bulan Ramadhan mendatang.
Radit sang News Presenter, mengatakan, dirinya mengenal Gayo sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), 27 tahun silam, setelah ayahnya memberinya sebuah buku, penulisnya adalah H.M. Iwan Gayo dengan karya besarnya Buku Pintar.
“Saya mengenal Gayo dari buku yang ditulis Iwan Gayo, yang diberikan oleh ayah saya untuk bahan bacaan semasa SD”, kata David kepada LintasGayo.co, Minggu (23/06/2013) di Hip Burger Takengon.
Radit mengenang, buku yang ditulis Iwan Gayo, wartawan yang meraih penghargaan Adinegoro asal Gayo tersebut sangat membantunya dalam menorehkan prestasi di sekolah.
“Berkat buku Iwan Gayo, saya selalu dapat ranking 1 dikelas mulai dari kelas 1 hingga kelas 6, karena hanya saya yang punya buku tersebut, teman saya belum ada, buku itu berisi banyak sekali ilmu yang saya peroleh”, ujar presenter liputan6 SCTV tersebut.
Sementara pengakuan sang Kameramen, Akem, mengaku sudah mengenal Gayo sejak kecil dari tetangganya, seorang tentara.
“Saya mengenal Gayo dari tetangga saya yang seorang Danramil di Batu Sangkar. Asmara Jaya namanya, dia orangnya kuat banget, terkenal dengan tinjunya,” kata Akem bersemangat.
Dilanjutnya, jika sedang di Batu Sangkar, nyaris setiap hari Akem bertegur sapa dengan Asmara Jaya dan kerap bercerita tentang Gayo.
“Om, Asmara Jaya sering bercerita tentang Gayo, dari dialah saya kenal Gayo hingga akhirnya saya datang kesini melihat apa yang diceritakannya sekitar 20 tahun yang lalu, saat ini Om Asmara masih tinggal dekat dengan rumah orangtua saya di Sumbar”, tutur Akem.
Ke Takengon, kedua kru TV ini juga dengan seorang kru kameramen lainnya, Effendi yang merupakan putra Gayo asli asal Ketol. Effendi adik kandung Mico Kasah yang news presenter di TVRI.
“Saya asli orang Gayo, cuman merantau ke Jakarta, saya sempat bersekolah di SMAN 2 Takengon, sanak family masih banyak disini, jadi saya tak asing lagi dengan Gayo”, terang Effendi yang sejak 2006 bekerja di SCTV.
(Darmawan/Red.003)

PLTA Diserbu, Rusdi Masuk Datu Beru

PLTA Diserbu, Rusdi Masuk Datu Beru

suaraleuserantara June 26, 2013 0
Walaupun terluka dengan sebab yang belum diketahui, M. Rusdi ,60, warga Kampung Bintang, terpaksa dilarikan ke UGD RSU Datu Beru Takengen.(Foto: Suara Leuser Antara)
Walaupun terluka dengan sebab yang belum diketahui, M. Rusdi ,60, warga Kampung Bintang, terpaksa dilarikan ke UGD RSU Datu Beru Takengen.(Foto: Suara Leuser Antara)
TAKENGEN |SuaraLeuserAntara|: Aksi demo atau serbuan masyarakat ke Perusahan Listrik Tenaga Air mengakibatkan sejumlah korban, walaupun terluka dengan sebab yang belum diketahui, M. Rusdi ,60, warga Kampung Bintang, terpaksa dilarikan ke UGD RSU Datu Beru Takengen.
“ M. Rusdi ,60, jari kelingkingnya patah dan jari manisnya terluka. Kami juga belum mengetahui apa penyebab jari tersebut terluka ,” ungkap dr. Hardi Yanis Kepala Rumah Sakit Datu Beru Takengen, kepada wartawan melalui telefon selulernya, Rabu (26/6/2013).
Sedangkan salah satu korban lagi adalah Sofya ,50, yang terluka di bagian kaki. Namun pria ini tidak dibawa ke rumah sakit, karena dianggap lukanya belum terlalu parah.
Namun sebelumnya, seperti sejumlah data yang dihimpun SLA, beberapa pendemo mencoba mendobrak dan menerobos pagar yang terbuat dari seng di lokasi kerja PLTA di Kampung Bale, Kecamatan Lut Tawar, Takengen, Aceh Tengah.
Ratusan masyarakat korban luapan air PLTA ini merasa dibohongi oleh pihak perusahaan milik negara ini, yang telah berjanji akan membayar uang ganti rugi akibat banjir beberapa waktu lalu.
Lalu, puluhan anggota Polres Aceh Tengah dan Puluhan Brimob yang menjaga lokasi LTA tersebut memuntahkan gas air mata, hal tersebut dilakukan karena massa dianggap sudah mulai bringas.
Akibatnya, Rusdi dan Sofyan terluka, namu, Kapolres Aceh Tengah AKBP Artanto membantah dua orang korban yang terluka itu bukan terkena gas air mata, melainkan terkena seng pagar LTA.(izq)

KOPI GAYO

KOPI GAYO 

Geliat Kopi Ala Modern  Di Gayo

Geliat Kopi Ala Modern Di Gayo

suaraleuserantara June 25, 2013 0 TAKENGEN |SuaraLeuserAntara|: Seiring tingginya minat warga untuk menikmati kopi dengan seduan modern yakni mengunakan mesin ekspreso, ternyata para pengusaha mulai melirik bisnis ini. Pantauan media ini, setidaknya sejak 2009 hingga 2013 pengusaha kopi dengan
Read More »
Cold Brew, Cara Baru Menikmati Kopi di Jakarta

Cold Brew, Cara Baru Menikmati Kopi di Jakarta

suaraleuserantara June 20, 2013 0 Jakarta -   Sensasi Kopi  memang belum ada tandingannya. Hal tersebut ditunjukkan dengan makin menjamurnya gerai-gerai kopi di berbagai sudut Jakarta. Di mulai dari berbagai jenis franchaise ataupun kedai-kedai sederhana yang dibangun alakadarnya namun mengutamakan selera.
Read More »
Kopi, Warisan Islam pada Dunia

Kopi, Warisan Islam pada Dunia

suaraleuserantara June 18, 2013 0 Lebih dari 1,6 miliar cangkir kopi diminum setiap hari di seluruh dunia. Jumlah itu cukup untuk memenuhi sekitar 3.000 kolam renang ukuran Olimpiade setiap hari. Kopi telah menjelma menjadi industri global dan menjadi produk
Read More »
Masyarakat Amerika Minati Kopi Indonesia

Masyarakat Amerika Minati Kopi Indonesia

suaraleuserantara June 11, 2013 0 Masyarakat Amerika Utara, khususnya Amerika Serikat, rupanya sangat berminat pada kopi Indonesia. Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Krisnamurthi, mengatakannya saat berkunjung ke pameran Coffee Fest di Navy Pier, Chicago, pada 7-9 Juni 2013. “Masyarakat setempat
Read More »
Ini Adalah Usia Ideal Tanaman Kopi Produktif

Ini Adalah Usia Ideal Tanaman Kopi Produktif

suaraleuserantara June 10, 2013 0 Jakarta  |SuaraLesuerAntara| -Menurut Ucu Sumirat, peneliti dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) atau Indonesian Coffee and Cocoa Research Institute (ICCRI) yang selama ini banyak melakukan kegiatan penelitian di Lampung, usia ideal tanaman
Read More »
Bupati Ajak Tingkatkan Produktivitas dan Mutu Kopi Gayo

Bupati Ajak Tingkatkan Produktivitas dan Mutu Kopi Gayo

suaraleuserantara June 6, 2013 0 TAKENGEN |SuaraLeuserAntara|: Budidaya kopi merupakan suatu kesatuan, mulai dari tingkat petani dengan memilih lahan dan bibit yang baik, prosesing pasca panen hingga proses pemasaran Semua tahapan tersebut menurut Bupati Aceh Tengah, Ir. H. Nasaruddin,
Read More »
Jangan Takut Rasa Asam Kopi

Jangan Takut Rasa Asam Kopi

suaraleuserantara June 5, 2013 0 Bagi pecinta kopi, karakteristik rasa kopi memang digilai untuk menikmati sensasinya. Begitu juga rasa asam yang keluar pada jenis kopi tertentu, misalnya Kopi Kintamani asal Bali ataupun Kopi Gayo dari Aceh. Menurut konsultan kopi
Read More »
Kisah Edy Ginting Merawat Kopi Dengan Jeruk Keprok

Kisah Edy Ginting Merawat Kopi Dengan Jeruk Keprok

suaraleuserantara June 3, 2013 0 REDELONG |SuaraLeuserAntara|: Petani kopi dikabupaten Bener Meriah umumnya mempergunakan lamtoro sebagai pelindung kopi, namun lain halnya yang diterapkan Edy Ginting ,39, tahun warga Kampung Belang Benara, Kecamatan Weh Pesam, Kabupaten Bener Meriah. Lelaki tersebut
Read More »
Produktivitas Kopi RI Terancam Menurun

Produktivitas Kopi RI Terancam Menurun

suaraleuserantara June 3, 2013 0 JAKARTA |SuaraLeuserAntara|:Peneliti Pusat Peneilitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka/ICCRI), Ucu Sumirat, Senin 3 Juni 2013, menyatakan perkebunan-perkebunan kopi rakyat di Indonesia kebanyakan sudah melewati usia 30 tahun. Padahal, usia ideal tanaman kopi yang produktif
Read More »
Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Untuk Keberlanjutan Produksi Kopi

Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Untuk Keberlanjutan Produksi Kopi

suaraleuserantara May 30, 2013 0 Oleh: Abrar Syarif Conservation International (CI) Indonesia bersama dengan pemerintah daerah kabupaten Aceh Tengah, mengadakan workshop finalisasi rencana aksi kabupaten Aceh Tengah dalam rangka adaptasi terhadap perubahan iklim untuk keberlanjutan produksi kopi Arabika Gayo.

Tapak Tilas Mesir Bebesen, Singgasana Para Ulama Gayo


 Tapak Tilas Mesir Bebesen, Singgasana Para Ulama Gayo

Tapak Tilas Mesir Bebesen, Singgasana Para Ulama Gayo

Oleh: Muhammad Rusydi DR*
MEMANG tidak seperti biasanya jika seorang ulama menyebut dirinya ulama Kebanyakan. Daerah Gayo tepatnya di kawasan yang sering tak tampak di mata kita Mesir Bebesen. Mesir Bebesen sebuah desa yang kecil nan tenang dengan pemandangan hijau dan suara bising alunan mesin kopi Belanda yang menjadi penghibur masyarakatnya ketika suara kicauan burung di pagi hari mulai menghilang.
Awal Kata Mesir Sebagai Singgasana Sang Ulama
Dahulu daerah tersebut merupakan daerah yang terpisah dari sebuah kampung besar kampung Bebesen, di daerah ini sangat terkenal dengan yang namanya mesin kopi Belanda yang masih menggunakan aliran sungai yang kecil namun memiliki arus yang deras dan sungai itu dimanfaatkan oleh masyarakat untuk sekedar mandi mencuci pakaian terawang dan kerawang serta mencari ikan-ikan kecil sebagai lauk tambahan.
“Roda”. Dahulu para masyarakat di luar daerah menamainya dengan Roda dikarenakan terdapat roda besar yang menjadi kincir pembangkit listrik mesin kopi Belanda, dan memang mesin kopi itu adalah mesin kopi termashur pada saat masa itu.
Munculnya kata Mesir ketika pada masa  V.O.C, Agresi Militer Belanda hingga MUNA (Majelis Ulama Nanggroe Aceh) ketika para ulama Aceh yang di pimpin oleh Tgk. Muhammad Daud Beur’ueh mencari beberapa tokoh Gayo saat masa DI\TII bergejolak di bagian semenanjung sumatera bagian barat hingga Aceh, setelah menenemukan Tgk Ilyas Leube dan ketika mereka menanyakan di mana tokoh yang terkenal lainnya di Takengon dahulu disebut “Takingeun” maka masyarakat menjawab “I roda” para ulama Aceh heran bagaimanakah letak  roda maka para masyarakat menjawab “mpesir (terpisah)“, dan ketika masa itu para Ulama Aceh dan Belanda mengenal daerah tersebut dengan nama “mpesir” atau “Mesir” yang saat ini menjadi kawasan singgasana beberapa ulama Gayo.
Beberapa ulama Gayo yang tinggal di Mesir Bebesen
Abu Bakar Syamaun berdiri sebelah kanan dari Tgk Ilyas Leube
Abu Bakar Syamaun berdiri sebelah kanan dari Tgk Ilyas Leube
Abu Bakar Bin Syama’un
Merupakan beberapa tokoh pergerakan masa di DI/TII bersama seorang ulama besar lainnya d daerah kenawat Tgk. Ilyas Leube serta tokoh lainya sangat masyhur terdengar di telinga para pejuang jaman penjajahan hingga pada jaman konflik Aceh para pejuang kemerdekaan Aceh separatis GAM, beliau merupakan salah satu pencetus ideologi Pemerintahan Aceh (Membangun Demokrasi Aceh jilid 1) bersama dengan Tgk Ilyas leube, Hasan Muhammad Di Tiro (Hasan Tiro) dan para pejuang pergerakan lainnya.
Abu Bakar Bin Syamaun adalah seorang tokoh yang di kenal oleh masyarakat bebesen dan masyarakat bagian Danau Laut Tawar. Beliau lahir di Bebesen tahun1933, aktif dalam pergerakan DI/TII. Beliau dan tgk ilyas leube pernah diasingkan di daerah Bireuen dan dihilangkan identitasnya oleh para tokoh PKI masa itu, hingga sekarang sahabat macan dari Takengon ini (Tgk Ilyas Leube) memang tidak pernah menonjolkan dirinya, namun banyak penulis yang memuat tentang dirinya.
Tgk.Harun
Banyak yang kurang mengenal tokoh yang stu ini, Tgk harun merupakan kaum kalangan muda pada masa itu. Tgk Harun adalah tokoh pendidikan, beliau merupakan salah satu ulama yang memiliki kecerdasan di atara sahabatnya, ia juga pernah menjadi salah satu tokoh yang di segani oleh para MUNA pada masa itu namun karena Allah berkehendak lain beliau wafat di usia muda, namun walau demikian banyak kontribusi ygang di salurkannya kepada muda Gayo pada masa itu, hingga sekarang masih sedikit literatur tentang beliau.
Mahmud Ibrahim
Mahmud Ibrahim
Mahmud Ibrahim
Tokoh yang satu ini mungkin masih di kenal luas oleh banyak kalangan, beliau merupakan ulama yang masih hidup diantara beberapa ulama di Mesir. Dengan kecintaanya pada Gayo, ia pernah menjadi sekretaris daerah Aceh Tengah kini tokoh ulama, birokrat dan juga sejarawan ini  berhasil menyelesaikan dan meraih gelar Master of Arts (MA) pada Program Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Dengan judul tesisnya Nilai-nilai Pendidikan dalam Adat Istiadat Gayo, tokoh masyarakat Gayo yang juga Kepala Baitul Mal Kabupaten Aceh Tengah ini sangat dihormati oleh masyarakat sebagai ulama dan orang tua masyarakat Gayo.(muhammadrusydidr@yahoo.com)

Ricuh, Polisi Tembakkan Gas Air Mata Ke Arah Pendemo PLTA

Ricuh, Polisi Tembakkan Gas Air Mata Ke Arah Pendemo PLTA

suaraleuserantara June 26, 2013 
Barikade Brimob dan Polres Aceh Tengah, mengamankan lokasi proyek LTA Pesangan di Kampung Bale, Takengen, Aceh Tengah.(Foto: Suara Leuser Antara)
Barikade Brimob dan Polres Aceh Tengah, mengamankan lokasi proyek LTA Pesangan di Kampung Bale, Takengen, Aceh Tengah.(Foto: Suara Leuser Antara)
TAKENGEN |SuaraLeuserAntara|: Ratusan massa kembali datangi lokasi proyek tanggul Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Pesangen, Rabu (26/6/2013). Di sana massa merusak pagar pembatas lokasi, karena kecewa dengan janji PLTA yang akan membayar ganti rugi, hingga harus dikawal ketat pihak kepolisian.
Aksi massa sempat tak terkendali dan petugas akhirnya terpaksa menembakkan gas air mata ke arah kerumunan pendemo.
Kedatangan massa masih terkait buntunya kesepakatan antara pihak PLTA dengan warga, soal ganti rugi korban banjir yang sebelumnya dijanjikan pihak PLTA Peusangen.
Seperti pernah diberitakan SLA sebelumnya, puluhan hektar lahan pertanian warga yang berdekatan lokasi dengan proyek tanggul PLTA Pesusangen, di kawasan kampung Bale Bawah Kecamatam Lut Tawar, terendam bajir. Warga pemilik lahan merugi akibat gagal panen.
Disanalah mencuat masalah bahwa penyebab banjir diakibatkan oleh pembangunan tanggul PLTA yang membendung sebahagian aliran sungai, sebabnya warga meminta pertanggung jawaban ganti rugi dari pihak PLTA.
Persoalan inilah yang semakin larut, karena pihak PLTA tak kunjung menepati janjinya untuk membayar uang ganti rugi tersebut, padahal sudah ada 2 kali kesepakatan yang juga disaksikan Wakil Bupati Aceh Tengah. (Mhd)