Search This Blog

Sunday, May 5, 2013

Vanuatu Negara Pertama Akui Kemerdekaan Aceh

Vanuatu Negara Pertama Akui Kemerdekaan Aceh
 
Semarang, CyberNews. Negara Republik Vanuatu menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Aceh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengakuan itu ditandai dengan peresmian hubungan diplomatik antara Pemerintah Republik Vanuatu dan Pemerintah Negara Aceh serta pembukaan kantor Kedutaan Negara Aceh di Port Villa, ibu kota Vanuatu, Minggu (17/8), bertepatan dengan peringatan kemerdekaan RI ke-58.

Perdana Menteri Negara Aceh Malik Mahmud dalam siaran pers yang diterima SM CyberNews, Minggu malam, mengungkapkan, bagi rakyat Aceh, peristiwa ini merupakan pengakuan pertama oleh negara lain atas hak bangsa Aceh untuk menentukan masa depan politik mereka sejak Belanda menyatakan perang dan mendaratkan pasukan kolonialnya di bumi Aceh pada 26 Maret 1873. Selain Negara Aceh, dua wilayah NKRI yang hari ini diakui kemerdekaannya oleh Pemerintah Vanuatu adalah Papua dan Maluku. Peresmian dilakukan oleh Wakil Perdana Menteri Vanuatu Serge R Vohor.

Atas nama rakyat Aceh dan Kepala Negara Aceh Tengku Hasan Tiro, Malik Mahmud mengungkapkan penghargaan setinggi-tingginya atas langkah bijaksana dan berani yang diambil oleh Presiden dan Perdana Menteri Republik Vanuatu dalam mendukung perjuangan bangsa Aceh untuk melepaskan diri dari Indonesia.

"Perwakilan diplomatik kami akan melakukan usaha-usaha khusus untuk lebih meningkatkan lagi hubungan-hubungan bilateral unik yang telah ada antara rakyat Aceh dan Vanuatu, dan untuk memperkuat persahabatan dan kerja sama strategis ke tingkat yang lebih tinggi di masa depan. Kami menyatakan seikhlas-ikhlasnya komitmen kami untuk menghormati undang-undang, nilai-nilai serta norma-norma kehidupan yang berlaku di negara tuan rumah kami (Vanuatu)," papar Malik Mahmud.

Dengan pengakuan kedaulatan ini, Malik menilai pemerintah dan rakyat Vanuatu telah memberikan harapan kepada bangsa Aceh bahwa masih ada pemerintah-pemerintah yang bersedia bertindak berani mengakui kedaulatan bangsa Aceh. "Kami memandang masa depan dengan keyakinan akan hubungan bersahabat yang berkepanjangan dan untuk kebaikan bersama, serta mengambil kesempatan ini untuk menyerukan kepada seluruh bangsa Aceh supaya terus berjuang hingga kemerdekaan tercapai," ujarnya.

Awal Maret 2003 lalu, Pemerintah Indonesia pernah melakukan protes keras kepada Pemerintah Vanuatu yang memberikan dukungan politik terhadap Organisasi Papua Merdeka (OPM). Apalagi dikabarkan negara itu telah mengizinkan OPM membuat kantor perwakilan di sana.

Nama Vanuatu memang asing di telinga orang Indonesia. Negara kepulauan di lautan Pasifik ini termasuk negara miskin yang dahulunya dikenal dengan nama "Hebrida Baru". Negara ini ditemukan oleh Pedro Fernandez dari Portugal tahun 1606, kemudian diberi nama oleh navigator Inggris James Cook tahun 1774. Luas Vanuatu kurang lebih sama dengan luas Kabupaten Sarolangun Bangko di Provinsi Jambi.

Negara Vanuatu bernama asli Republic Blong Vanuatu dengan luas wilayah 14.763 Km2. Negara berbentuk republik ini beribu kota di Villa. Negara dikepalai oleh seorang presiden dan pemerintahannya dipimpin oleh seorang perdana menteri. Penduduknya beragama Presbyterian, Kristen dan Animisme. Bahasa nasional ada tiga: Bilasma, Prancis dan Inggris. Mata uang Vanuatu adalah Vatu. Lagu kebangsaannya "Umi Yumi; Man Blong". Mangan menjadi sumber alam utama, dengan hasil tani seperti kelapa, coklat, kopi dan ternak.
 

Vanuatu Negara Pertama Akui Kemerdekaan Aceh


Semarang, CyberNews. Negara Republik Vanuatu menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Aceh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengakuan itu ditandai dengan peresmian hubungan diplomatik antara Pemerintah Republik Vanuatu dan Pemerintah Negara Aceh serta pembukaan kantor Kedutaan Negara Aceh di Port Villa, ibu kota Vanuatu, Minggu (17/8), bertepatan dengan peringatan kemerdekaan RI ke-58.

Perdana Menteri Negara Aceh Malik Mahmud dalam siaran pers yang diterima SM CyberNews, Minggu malam, mengungkapkan, bagi rakyat Aceh, peristiwa ini merupakan pengakuan pertama oleh negara lain atas hak bangsa Aceh untuk menentukan masa depan politik mereka sejak Belanda menyatakan perang dan mendaratkan pasukan kolonialnya di bumi Aceh pada 26 Maret 1873. Selain Negara Aceh, dua wilayah NKRI yang hari ini diakui kemerdekaannya oleh Pemerintah Vanuatu adalah Papua dan Maluku. Peresmian dilakukan oleh Wakil Perdana Menteri Vanuatu Serge R Vohor.

Atas nama rakyat Aceh dan Kepala Negara Aceh Tengku Hasan Tiro, Malik Mahmud mengungkapkan penghargaan setinggi-tingginya atas langkah bijaksana dan berani yang diambil oleh Presiden dan Perdana Menteri Republik Vanuatu dalam mendukung perjuangan bangsa Aceh untuk melepaskan diri dari Indonesia.

"Perwakilan diplomatik kami akan melakukan usaha-usaha khusus untuk lebih meningkatkan lagi hubungan-hubungan bilateral unik yang telah ada antara rakyat Aceh dan Vanuatu, dan untuk memperkuat persahabatan dan kerja sama strategis ke tingkat yang lebih tinggi di masa depan. Kami menyatakan seikhlas-ikhlasnya komitmen kami untuk menghormati undang-undang, nilai-nilai serta norma-norma kehidupan yang berlaku di negara tuan rumah kami (Vanuatu)," papar Malik Mahmud.

Dengan pengakuan kedaulatan ini, Malik menilai pemerintah dan rakyat Vanuatu telah memberikan harapan kepada bangsa Aceh bahwa masih ada pemerintah-pemerintah yang bersedia bertindak berani mengakui kedaulatan bangsa Aceh. "Kami memandang masa depan dengan keyakinan akan hubungan bersahabat yang berkepanjangan dan untuk kebaikan bersama, serta mengambil kesempatan ini untuk menyerukan kepada seluruh bangsa Aceh supaya terus berjuang hingga kemerdekaan tercapai," ujarnya.

Awal Maret 2003 lalu, Pemerintah Indonesia pernah melakukan protes keras kepada Pemerintah Vanuatu yang memberikan dukungan politik terhadap Organisasi Papua Merdeka (OPM). Apalagi dikabarkan negara itu telah mengizinkan OPM membuat kantor perwakilan di sana.

Nama Vanuatu memang asing di telinga orang Indonesia. Negara kepulauan di lautan Pasifik ini termasuk negara miskin yang dahulunya dikenal dengan nama "Hebrida Baru". Negara ini ditemukan oleh Pedro Fernandez dari Portugal tahun 1606, kemudian diberi nama oleh navigator Inggris James Cook tahun 1774. Luas Vanuatu kurang lebih sama dengan luas Kabupaten Sarolangun Bangko di Provinsi Jambi.

Negara Vanuatu bernama asli Republic Blong Vanuatu dengan luas wilayah 14.763 Km2. Negara berbentuk republik ini beribu kota di Villa. Negara dikepalai oleh seorang presiden dan pemerintahannya dipimpin oleh seorang perdana menteri. Penduduknya beragama Presbyterian, Kristen dan Animisme. Bahasa nasional ada tiga: Bilasma, Prancis dan Inggris. Mata uang Vanuatu adalah Vatu. Lagu kebangsaannya "Umi Yumi; Man Blong". Mangan menjadi sumber alam utama, dengan hasil tani seperti kelapa, coklat, kopi dan ternak.

HUBUNGAN RAHASIA INDONESIA DENGAN YAHUDI


HUBUNGAN RAHASIA INDONESIA DENGAN YAHUDI

Pemerintah boleh bilang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Tapi fakta di lapangan, menunjukkan hal yang sebaliknya. Pemerintah RI dan Israel justru membina hubungan baik dengan Israel. Sebuah pengkhianatan?

Hubungan ‘mesra’ Indonesia-Israel dimulai sejak pemerintahan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Tahun 1999, Gus Dur merencanakan untuk membuka kembali hubungan perdagangan dengan negeri penjajah itu, yang telah terputus sejak tahun 1967. Rencana itu pun diwujudkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Luhut Binsar Pandjaitan pada tahun 2001. Menteri ini menandatangani Surat Keputusan Menperindag No.23/MPP/01/2001 tertanggal 10 Januari 2001 yang melegalkan hubungan dagang antara RI dengan Zionis-Israel.

Kemesraan itu pun terus berlanjut pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada 13 September 2005, Menteri Luar Negeri Hassan Wirayudha bertemu dengan Menlu Israel, Silvan Shalom, di New York, AS. Hassan mengaku pertemuan itu tidak membahas pemulihan hubungan diplomatik. “Kami tidak bicara masalah hubungan diplomatik. Israel sangat tahu posisi Indonesia seperti apa,” katanya. Saat itu pemberitaan di sejumlah media massa asing ramai menyiarkan keinginan Israel untuk membangun hubungan diplomatik dengan Indonesia. Menurut media asing itu, Jerusalem (Israel) telah mengirimkan surat tentang hal itu kepada Jakarta.

Fakta itu sempat membuat SBY kelimpungan. Dengan gerakan tangan dan bahasa tubuh khas, SBY, berkata, “Tidak ada yang gelap, karena, sekali lagi, kita ingin membantu perjuangan bangsa dan rakyat Palestina,” ujar SBY di kantor Perwakilan Tetap Republik Indonesia di New York waktu itu. Sayang jawaban itu tak bisa memberikan makna apa-apa dari pertemuan rahasia tersebut. Sejak itu hubungan kedua negara makin intensif. Memang hubungan ini tidak dijalankan oleh para eksekutif/pejabat negara tapi oleh para pengusaha. Tahun 2006 lalu misalnya, sebuah misi dagang Kamar Dagang dan Industri Indonesia berkun-jung ke Israel. Saat itu Ketua Kadin Indonesia Mohammad Hidayat menan-datangani perjanjian ekonomi kedua negara. ”Indonesia bisa menjadi pasar utama bagi ekspor barang-barang Israel ke Asia Tenggara,” kata Presiden Israel Manufacturers Association, Shraga Brosh dalam acara itu. Sedangkan Hidayat mengatakan kerja sama ini bisa membantu perusahaan-perusahaan Israel untuk melakukan kegiatan di Indonesia.

Kunjungan ini sekaligus menegaskan bahwa telah terjalin kontak yang intensif antara kedua negara di sektor perdagangan. Lihat saja data volume data volume perdagangan Indonesia-Israel selama tahun 2005 mencapai 154 juta dolar. Dari nilai ini, Israel hanya mengekspor 14 juta dolar, sedang Indonesia mengekspor 140 juta dolar ke Israel terutama, terutama untuk barang elektronika, plastik, dan karet. Negara Zionis itu menargetkan volume perdagangan kedua negara bakal mencapai 600 juta dolar di tahun 2010.
Zionis mengincar berbagai proyek penting di Indonesia misalnya proyek pembangunan PLT-Geothermal di Sumatera senilai 200 juta dolar yang dimenangkan oleh Ormat Technology, perusahaan engineering Israel di bidang energi geothermal. Selain itu, Indonesia menjadi sasaran pemasaran produk-produk teknologi biomedik.

Seorang dokter bedah Indonesia yang sering bepergian ke medan konflik di seluruh dunia seperti Afghanistan, Irak, Lebanon, Palestina, Somalia, dan lain-lain mengungkapkan banyak peralatan ICU yang ada di rumah-rumah sakit besar di negeri ini dibeli dari Israel. Dalam kaitan itu, lanjutnya,  pemerintah Indonesia telah mengirimkan tenaga-tenaga medis Indonesia ke sana untuk pelatihan ICU (Intensive Care Unit). Menurutnya, seperti dikutip eramuslim,  rumah-rumah sakit besar yang ada di Indonesia, terutama di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, sudah lazim mengirim tenaga-tenaga medisnya untuk mendapat pelatihan ICU di Israel.

Selain dunia medis, menurut data yang didapatkan situs tersebut, TNI juga telah melakukan pembelian sejumlah senjata api jenis senapan sniper seperti Galil-Galatz keluaran Israeli Military Industries (IMI) beberapa tahun lalu. Kasus ini pernah mengemuka dan menjadi perdebatan publik beberapa waktu lalu namun isunya menguap begitu saja seiring berjalannya waktu.

Bahkan, menurut Jenderal (Pur) Soemitro dalam memoarnya berjudul, ”Soemitro dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkaptib,” menegaskan hubungan yang harmonis antara intelijen Israel, Mossad, dan TNI. Ia menulis: ”David, Raviv, dan Yosi Melman dalam buku mereka Every Spy Prince menulis bahwa Indonesia pernah mengadakan hubungan dengan Mossad. Katanya, Mossad mengirimkan utusan, satu tim dari posnya di Singapura ke Jakarta lalu mengadakan pembicaraan yang berbuah: Pihak Israel menyeleng-garakan latihan buat tentara Indonesia dan intelijennya. Mossad, katanya, telah menganggap pilihan yang bagus, dan intelijen Israel membuka perwakilan-nya di Jakarta dengan ‘berwajah dagang’. Indonesia mengirimkan tenaganya ke Israel untuk mendapatkan pelatihan di sana. Saya sendiri tidak pernah punya hubungan langsung dengan pihak Israel, tidak pernah. Paling-paling, saya ingat, saya pernah datang ke Jl Tosari (kalau tidak salah) memenuhi undangan mata rantai Israel yang ada di Jakarta. Yang saya benar-kan waktu itu mengdakan hubungan dengan Israel, dan itu sehubungan dengan penumpasan PKI, adalah intelijen kita. Dalam hal ini Pak Sutopo Yuwono, Pak Kharis Suhud, dan Nicklany. Tiga orang ini yang saya izinkan. Kami mengadakan hubungan dengan Mossad dan dengan MI-6 (Inggris). Kedua-duanya amat peka mengenai masalah komunis. Amerika (CIA) kalah dalam hal ini. Apalagi setelah terjadinya Water-gate. Hancur intelijen Amerika waktu itu. Kerja sama Indonesia waktu itu dengan intelijen itu (Mossad dan MI-6) adalah meliputi komunisme, dan itu berjalan baik.”

Sebuah blog intelijen di internet mengungkapkan bahwa saat ini malah intelijen Israel telah masuk ke Indonesia. ”Mereka bergerak tidak dalam jumlah yang besar, tetapi sangat efektif karena beberapa agen yang telah mendapat pelatihan melalui “paket wisata rohani” sehingga bisa masuk Israel. Keberadaan beberapa agen lokal yang telah dilatih tersebut kemudian membina beberapa informan, tanpa si informan tahu untuk siapa sebenarnya dia bekerja, karena yang penting mereka menerima bayaran. Dalam pengamatan saya, jumlah agen Mossad yang aktif di Indonesia hanya sekitar 2-3 orang saja, saling bergantian dan hampir selalu berjalan minimal berdua. Pusat komunikasi dan komando tetap berada di Singapura, lagi pula mereka secara mobile bisa bermarkas di mana saja,” tulisnya. Tujuan infiltrasi itu, menurutnya, secara umum memang ditargetkan untuk memperoleh pengaku-an atau pembukaan hubungan diploma-tik. Meski Indonesia bukan negara Islam, tetapi pengakuan keberadaan Israel sa-ngatlah penting dan strategis.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa telah ada hubungan yang ‘harmo-nis’ antara Indonesia dan Israel dengan bungkus di luar masalah diplomatik. Bisa perdagangan, pariwisata atau yang lainnya. Hanya saja hubungan itu disem-bunyikan karena jelas hubungan itu tidak sesuai dengan prinsip bangsa Indonesia khususnya umat Islam yang anti penja-jahan. Bagaimana pun bentuk hubungan itu tidak dapat dibenarkan.

Dalam perkembangannya, prinsip itu dikalahkan oleh mereka yang menjadikan bisnis/uang sebagai segalanya dalam hidup. Para pengkhianat bangsa seakan tak peduli lagi dengan nilai-nilai. Inilah jebakan sukses yang ditanamkan oleh kaum Zionis di negeri ini: menghalalkan segala cara!

***jejak yahudi di indonesia*****

Jauh sebelum Indonesia merdeka kaum Zionis sebenarnya telah masuk ke Indonesia. Ridwan Saidi, salah tokoh yang peduli terhadap sejarah Indonesia, dalam bukunya Fakta & Data Yahudi di Indonesia II, menyatakan masuknya Zionis ke Indonesia dibawa oleh kaum Freemansonry. Mereka masuk dengan mendirikan perkumpulan teosofi pada tahun 1875 yang bernama Nederlandsch Indische Theosofische Vereeniging (Perkumpulan teosofi Hindia Belanda).

Karenanya, warga Yahudi sudah ada sejak masa kolonial Belanda, khususnya di Jakarta. Pada abad ke-19 dan 20 sampai menjelang Belanda hengkang dari Indonesia, ada sejumlah Yahudi yang membuka toko-toko di Noordwijk (kini Jl Juanda) dan Risjwijk (Jl Veteran) — dua kawasan elite di Batavia kala itu–seperti Olislaeger, Goldenberg, Jacobson van den Berg, Ezekiel & Sons dan Goodwordh Company. Situs swaramuslim menyebutkan, sejumlah kecil pengusaha Yahudi pernah meraih sukses. Mereka adalah pedagang-pedagang tangguh yang menjual berlian, emas dan intan, perak, jam tangan, kaca mata dan berbagai komoditas lainnya. Jumlah kaum Yahudi ini ratusan. Karena mereka pandai berbahasa Arab, mereka sering dianggap keturunan Arab. Apalagi memang banyak di antara mereka yang datang dari Negara Arab karena Negara Israel belum ada. Mereka memiliki persatuan yang kuat. Setiap Sabat (hari suci umat Yahudi), mereka berkumpul bersama di Mangga Besar, yang kala itu merupakan tempat pertemuannya.

Kaum Yahudi ini umumnya memakai paspor Belanda dan mengaku sebagai warga kincir angin. Tak heran di masa kolonial, warga Yahudi ada yang mendapat posisi tinggi di pemerintahan, termasuk gubernur jenderal AWL Tjandra van Starkemborgh Stachouwer (1936-1942).

Dalam buku Jejak Freemason & Zionis di Indonesia disebutkan bahwa gedung Bappenas di Taman Surapati dulunya merupakan tempat para anggota Freemason melakukan peribadatan dan pertemuan. Mereka bernyanyi sambil membaca kitab Talmut dan Zabur, dua kitab suci mereka. Menurut Herry Nurdy, penulis buku tersebut, Gedung Bappenas di kawasan elit Menteng, dulunya bernama gedung Adhuc Stat dengan logo Freemasonry di kiri kanan atas gedung-nya, terpampang jelas ketika itu. Anggota Freemason menyebutnya sebagai loji atau rumah syetan. Disebut rumah syetan, karena dalam peribadatannya anggota gerakan ini memanggil arwah-arwah atau jin dan syetan. Dalam buku “Menteng Kota Taman Pertama di Indo-nesia” karangan Adolf Hueken, SJ, disebutkan, awalnya gedung yang kini berperan penting merencanakan pemb-angunan Indonesia itu adalah bekas loge-gebouw, tempat pertemuan mereka. Loge-gebouw atau rumah arloji sendiri adalah sebuah sinagog, tempat peribadatan kaum Yahudi. Jejak mereka juga tampak di sepanjang Jalan Medan Merdeka Barat dengan berbagai gedung pencakar langitnya. Menurut Ridwan Saidi, semasa kolonial Belanda, Jalan Medan Merdeka Barat bernama Jalan Blavatsky Boulevard. Nama Blavatsky berasal dari nama Helena Blavatsky, seorang tokoh Zionis-Yahudi asal Rusia yang giat mendukung gerakan Freema-sonry. Wanita yang lahir tahun 1875, oleh pusat gerakan Zionis di Inggris, Fremasonry, diutus ke New York. Di sana  ia mendirikan perhimpunan kaum Theosofi. Blavatsky dikenal sebagai propagandis utama ajaran Theosofi. Pada tahun 1853, saat perjalanannya dari Tibet ke Inggris, Madame Blavatsky pernah mampir ke Jawa (Batavia). Selama satu tahun di Batavia, ia mengajarkan Theosofi kepada para elit kolonial dan masyarakat Hindia Belanda. Sejak itu, Teosofi menjadi salah satu ajaran yang berkembang di Indonesia. Salah satu ajaran Theosofi yang utama adalah menganggap semua ajaran agama sama. Ajaran ini sangat mirip dan sebangun dengan pemahaman kaum liberal yang ada di Indonesia.  Menurut cerita Ridwan Saidi, di era tahun 1950-an, di Jalan Blavatsky Boulevard pernah berdiri sebuah loge atau sinagog. Gedung itu tak lain adalah gedung Indosat. Tak heran jika perusahaan itu dikuasai oleh Singtel, sebuah perusahaan telekomunikasi Yahudi asal Singapura. Bisa jadi sekarang menjadi sinagog lagi.

Selain di Jakarta, kaum Yahudi membangun komunitas di Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Khusus di Surabaya, kaum Yahudi membentuk komunitas sendiri di beberapa kawasan kota lama, seperti Bubutan dan Jalan Kayon. Di Jalan Kayon No 4, Surabaya, hingga kini berdiri sebuah sinagog, tempat peribadatan kaum Yahudi. Selama ini gerakan mereka tidak gampang terdeteksi masyarakat karena berkedok yayasan sosial dan amal.

Pada 1957, ketika hubungan antara RI-Belanda putus akibat kasus Irian Barat (Papua), tidak diketahui apakah seluruh warga Yahudi meninggalkan Indonesia. Konon, mereka masih terdapat di Indonesia meski jumlahnya tidak lagi seperti dulu. Yang pasti Yahudi dan jaringan gerakannya sudah lama menancapkan kukunya di Indonesia. Mereka ingin menaklukkan Indonesia, sebagai negeri dengan mayoritas Muslim terbesar. 

=====like/share  berbagi bagi ilmu pengetahuan tiada kerugian nya=======

PENULIS berbasis di jakarta dari GARDA REVOLUSIONER SUMATRA.
by:bioarabasta.

HUBUNGAN RAHASIA INDONESIA DENGAN YAHUDI


Pemerintah boleh bilang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Tapi fakta di lapangan, menunjukkan hal yang sebaliknya. Pemerintah RI dan Israel justru membina hubungan baik dengan Israel. Sebuah pengkhianatan?

Hubungan ‘mesra’ Indonesia-Israel dimulai sejak pemerintahan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Tahun 1999, Gus Dur merencanakan untuk membuka kembali hubungan perdagangan dengan negeri penjajah itu, yang telah terputus sejak tahun 1967. Rencana itu pun diwujudkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Luhut Binsar Pandjaitan pada tahun 2001. Menteri ini menandatangani Surat Keputusan Menperindag No.23/MPP/01/2001 tertanggal 10 Januari 2001 yang melegalkan hubungan dagang antara RI dengan Zionis-Israel.

Kemesraan itu pun terus berlanjut pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada 13 September 2005, Menteri Luar Negeri Hassan Wirayudha bertemu dengan Menlu Israel, Silvan Shalom, di New York, AS. Hassan mengaku pertemuan itu tidak membahas pemulihan hubungan diplomatik. “Kami tidak bicara masalah hubungan diplomatik. Israel sangat tahu posisi Indonesia seperti apa,” katanya. Saat itu pemberitaan di sejumlah media massa asing ramai menyiarkan keinginan Israel untuk membangun hubungan diplomatik dengan Indonesia. Menurut media asing itu, Jerusalem (Israel) telah mengirimkan surat tentang hal itu kepada Jakarta.

Fakta itu sempat membuat SBY kelimpungan. Dengan gerakan tangan dan bahasa tubuh khas, SBY, berkata, “Tidak ada yang gelap, karena, sekali lagi, kita ingin membantu perjuangan bangsa dan rakyat Palestina,” ujar SBY di kantor Perwakilan Tetap Republik Indonesia di New York waktu itu. Sayang jawaban itu tak bisa memberikan makna apa-apa dari pertemuan rahasia tersebut. Sejak itu hubungan kedua negara makin intensif. Memang hubungan ini tidak dijalankan oleh para eksekutif/pejabat negara tapi oleh para pengusaha. Tahun 2006 lalu misalnya, sebuah misi dagang Kamar Dagang dan Industri Indonesia berkun-jung ke Israel. Saat itu Ketua Kadin Indonesia Mohammad Hidayat menan-datangani perjanjian ekonomi kedua negara. ”Indonesia bisa menjadi pasar utama bagi ekspor barang-barang Israel ke Asia Tenggara,” kata Presiden Israel Manufacturers Association, Shraga Brosh dalam acara itu. Sedangkan Hidayat mengatakan kerja sama ini bisa membantu perusahaan-perusahaan Israel untuk melakukan kegiatan di Indonesia.

Kunjungan ini sekaligus menegaskan bahwa telah terjalin kontak yang intensif antara kedua negara di sektor perdagangan. Lihat saja data volume data volume perdagangan Indonesia-Israel selama tahun 2005 mencapai 154 juta dolar. Dari nilai ini, Israel hanya mengekspor 14 juta dolar, sedang Indonesia mengekspor 140 juta dolar ke Israel terutama, terutama untuk barang elektronika, plastik, dan karet. Negara Zionis itu menargetkan volume perdagangan kedua negara bakal mencapai 600 juta dolar di tahun 2010.
Zionis mengincar berbagai proyek penting di Indonesia misalnya proyek pembangunan PLT-Geothermal di Sumatera senilai 200 juta dolar yang dimenangkan oleh Ormat Technology, perusahaan engineering Israel di bidang energi geothermal. Selain itu, Indonesia menjadi sasaran pemasaran produk-produk teknologi biomedik.

Seorang dokter bedah Indonesia yang sering bepergian ke medan konflik di seluruh dunia seperti Afghanistan, Irak, Lebanon, Palestina, Somalia, dan lain-lain mengungkapkan banyak peralatan ICU yang ada di rumah-rumah sakit besar di negeri ini dibeli dari Israel. Dalam kaitan itu, lanjutnya, pemerintah Indonesia telah mengirimkan tenaga-tenaga medis Indonesia ke sana untuk pelatihan ICU (Intensive Care Unit). Menurutnya, seperti dikutip eramuslim, rumah-rumah sakit besar yang ada di Indonesia, terutama di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, sudah lazim mengirim tenaga-tenaga medisnya untuk mendapat pelatihan ICU di Israel.

Selain dunia medis, menurut data yang didapatkan situs tersebut, TNI juga telah melakukan pembelian sejumlah senjata api jenis senapan sniper seperti Galil-Galatz keluaran Israeli Military Industries (IMI) beberapa tahun lalu. Kasus ini pernah mengemuka dan menjadi perdebatan publik beberapa waktu lalu namun isunya menguap begitu saja seiring berjalannya waktu.

Bahkan, menurut Jenderal (Pur) Soemitro dalam memoarnya berjudul, ”Soemitro dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkaptib,” menegaskan hubungan yang harmonis antara intelijen Israel, Mossad, dan TNI. Ia menulis: ”David, Raviv, dan Yosi Melman dalam buku mereka Every Spy Prince menulis bahwa Indonesia pernah mengadakan hubungan dengan Mossad. Katanya, Mossad mengirimkan utusan, satu tim dari posnya di Singapura ke Jakarta lalu mengadakan pembicaraan yang berbuah: Pihak Israel menyeleng-garakan latihan buat tentara Indonesia dan intelijennya. Mossad, katanya, telah menganggap pilihan yang bagus, dan intelijen Israel membuka perwakilan-nya di Jakarta dengan ‘berwajah dagang’. Indonesia mengirimkan tenaganya ke Israel untuk mendapatkan pelatihan di sana. Saya sendiri tidak pernah punya hubungan langsung dengan pihak Israel, tidak pernah. Paling-paling, saya ingat, saya pernah datang ke Jl Tosari (kalau tidak salah) memenuhi undangan mata rantai Israel yang ada di Jakarta. Yang saya benar-kan waktu itu mengdakan hubungan dengan Israel, dan itu sehubungan dengan penumpasan PKI, adalah intelijen kita. Dalam hal ini Pak Sutopo Yuwono, Pak Kharis Suhud, dan Nicklany. Tiga orang ini yang saya izinkan. Kami mengadakan hubungan dengan Mossad dan dengan MI-6 (Inggris). Kedua-duanya amat peka mengenai masalah komunis. Amerika (CIA) kalah dalam hal ini. Apalagi setelah terjadinya Water-gate. Hancur intelijen Amerika waktu itu. Kerja sama Indonesia waktu itu dengan intelijen itu (Mossad dan MI-6) adalah meliputi komunisme, dan itu berjalan baik.”

Sebuah blog intelijen di internet mengungkapkan bahwa saat ini malah intelijen Israel telah masuk ke Indonesia. ”Mereka bergerak tidak dalam jumlah yang besar, tetapi sangat efektif karena beberapa agen yang telah mendapat pelatihan melalui “paket wisata rohani” sehingga bisa masuk Israel. Keberadaan beberapa agen lokal yang telah dilatih tersebut kemudian membina beberapa informan, tanpa si informan tahu untuk siapa sebenarnya dia bekerja, karena yang penting mereka menerima bayaran. Dalam pengamatan saya, jumlah agen Mossad yang aktif di Indonesia hanya sekitar 2-3 orang saja, saling bergantian dan hampir selalu berjalan minimal berdua. Pusat komunikasi dan komando tetap berada di Singapura, lagi pula mereka secara mobile bisa bermarkas di mana saja,” tulisnya. Tujuan infiltrasi itu, menurutnya, secara umum memang ditargetkan untuk memperoleh pengaku-an atau pembukaan hubungan diploma-tik. Meski Indonesia bukan negara Islam, tetapi pengakuan keberadaan Israel sa-ngatlah penting dan strategis.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa telah ada hubungan yang ‘harmo-nis’ antara Indonesia dan Israel dengan bungkus di luar masalah diplomatik. Bisa perdagangan, pariwisata atau yang lainnya. Hanya saja hubungan itu disem-bunyikan karena jelas hubungan itu tidak sesuai dengan prinsip bangsa Indonesia khususnya umat Islam yang anti penja-jahan. Bagaimana pun bentuk hubungan itu tidak dapat dibenarkan.

Dalam perkembangannya, prinsip itu dikalahkan oleh mereka yang menjadikan bisnis/uang sebagai segalanya dalam hidup. Para pengkhianat bangsa seakan tak peduli lagi dengan nilai-nilai. Inilah jebakan sukses yang ditanamkan oleh kaum Zionis di negeri ini: menghalalkan segala cara!

***jejak yahudi di indonesia*****

Jauh sebelum Indonesia merdeka kaum Zionis sebenarnya telah masuk ke Indonesia. Ridwan Saidi, salah tokoh yang peduli terhadap sejarah Indonesia, dalam bukunya Fakta & Data Yahudi di Indonesia II, menyatakan masuknya Zionis ke Indonesia dibawa oleh kaum Freemansonry. Mereka masuk dengan mendirikan perkumpulan teosofi pada tahun 1875 yang bernama Nederlandsch Indische Theosofische Vereeniging (Perkumpulan teosofi Hindia Belanda).

Karenanya, warga Yahudi sudah ada sejak masa kolonial Belanda, khususnya di Jakarta. Pada abad ke-19 dan 20 sampai menjelang Belanda hengkang dari Indonesia, ada sejumlah Yahudi yang membuka toko-toko di Noordwijk (kini Jl Juanda) dan Risjwijk (Jl Veteran) — dua kawasan elite di Batavia kala itu–seperti Olislaeger, Goldenberg, Jacobson van den Berg, Ezekiel & Sons dan Goodwordh Company. Situs swaramuslim menyebutkan, sejumlah kecil pengusaha Yahudi pernah meraih sukses. Mereka adalah pedagang-pedagang tangguh yang menjual berlian, emas dan intan, perak, jam tangan, kaca mata dan berbagai komoditas lainnya. Jumlah kaum Yahudi ini ratusan. Karena mereka pandai berbahasa Arab, mereka sering dianggap keturunan Arab. Apalagi memang banyak di antara mereka yang datang dari Negara Arab karena Negara Israel belum ada. Mereka memiliki persatuan yang kuat. Setiap Sabat (hari suci umat Yahudi), mereka berkumpul bersama di Mangga Besar, yang kala itu merupakan tempat pertemuannya.

Kaum Yahudi ini umumnya memakai paspor Belanda dan mengaku sebagai warga kincir angin. Tak heran di masa kolonial, warga Yahudi ada yang mendapat posisi tinggi di pemerintahan, termasuk gubernur jenderal AWL Tjandra van Starkemborgh Stachouwer (1936-1942).

Dalam buku Jejak Freemason & Zionis di Indonesia disebutkan bahwa gedung Bappenas di Taman Surapati dulunya merupakan tempat para anggota Freemason melakukan peribadatan dan pertemuan. Mereka bernyanyi sambil membaca kitab Talmut dan Zabur, dua kitab suci mereka. Menurut Herry Nurdy, penulis buku tersebut, Gedung Bappenas di kawasan elit Menteng, dulunya bernama gedung Adhuc Stat dengan logo Freemasonry di kiri kanan atas gedung-nya, terpampang jelas ketika itu. Anggota Freemason menyebutnya sebagai loji atau rumah syetan. Disebut rumah syetan, karena dalam peribadatannya anggota gerakan ini memanggil arwah-arwah atau jin dan syetan. Dalam buku “Menteng Kota Taman Pertama di Indo-nesia” karangan Adolf Hueken, SJ, disebutkan, awalnya gedung yang kini berperan penting merencanakan pemb-angunan Indonesia itu adalah bekas loge-gebouw, tempat pertemuan mereka. Loge-gebouw atau rumah arloji sendiri adalah sebuah sinagog, tempat peribadatan kaum Yahudi. Jejak mereka juga tampak di sepanjang Jalan Medan Merdeka Barat dengan berbagai gedung pencakar langitnya. Menurut Ridwan Saidi, semasa kolonial Belanda, Jalan Medan Merdeka Barat bernama Jalan Blavatsky Boulevard. Nama Blavatsky berasal dari nama Helena Blavatsky, seorang tokoh Zionis-Yahudi asal Rusia yang giat mendukung gerakan Freema-sonry. Wanita yang lahir tahun 1875, oleh pusat gerakan Zionis di Inggris, Fremasonry, diutus ke New York. Di sana ia mendirikan perhimpunan kaum Theosofi. Blavatsky dikenal sebagai propagandis utama ajaran Theosofi. Pada tahun 1853, saat perjalanannya dari Tibet ke Inggris, Madame Blavatsky pernah mampir ke Jawa (Batavia). Selama satu tahun di Batavia, ia mengajarkan Theosofi kepada para elit kolonial dan masyarakat Hindia Belanda. Sejak itu, Teosofi menjadi salah satu ajaran yang berkembang di Indonesia. Salah satu ajaran Theosofi yang utama adalah menganggap semua ajaran agama sama. Ajaran ini sangat mirip dan sebangun dengan pemahaman kaum liberal yang ada di Indonesia. Menurut cerita Ridwan Saidi, di era tahun 1950-an, di Jalan Blavatsky Boulevard pernah berdiri sebuah loge atau sinagog. Gedung itu tak lain adalah gedung Indosat. Tak heran jika perusahaan itu dikuasai oleh Singtel, sebuah perusahaan telekomunikasi Yahudi asal Singapura. Bisa jadi sekarang menjadi sinagog lagi.

Selain di Jakarta, kaum Yahudi membangun komunitas di Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Khusus di Surabaya, kaum Yahudi membentuk komunitas sendiri di beberapa kawasan kota lama, seperti Bubutan dan Jalan Kayon. Di Jalan Kayon No 4, Surabaya, hingga kini berdiri sebuah sinagog, tempat peribadatan kaum Yahudi. Selama ini gerakan mereka tidak gampang terdeteksi masyarakat karena berkedok yayasan sosial dan amal.

Pada 1957, ketika hubungan antara RI-Belanda putus akibat kasus Irian Barat (Papua), tidak diketahui apakah seluruh warga Yahudi meninggalkan Indonesia. Konon, mereka masih terdapat di Indonesia meski jumlahnya tidak lagi seperti dulu. Yang pasti Yahudi dan jaringan gerakannya sudah lama menancapkan kukunya di Indonesia. Mereka ingin menaklukkan Indonesia, sebagai negeri dengan mayoritas Muslim terbesar.

=====like/share berbagi bagi ilmu pengetahuan tiada kerugian nya=======

PENULIS berbasis di jakarta dari GARDA REVOLUSIONER SUMATRA.
by:bioarabasta.

Semangat Mengibarkan Merah Putih di Pedalaman Gayo

Semangat Mengibarkan Merah Putih di Pedalaman Gayo

suaraleuserantara May 4, 2013 0
Kampung Perdamaian, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Bener Meriah.(Foto: Suara Leuser Antara/BsG)
Kampung Perdamaian, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Bener Meriah.(Foto: Suara Leuser Antara/BsG)
REDELONG |SuaraLeuserAntara|: Meski berada didaerah pedalaman, semangat masyarakat setempat untuk mengibarkan merah putih terlihat di Kampung Perdamaian, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah.
Menurut warga setempat, semenjak seruan mengibarkan merah putih sebagai bentuk penolakan terhadap bendera dan lambang Aceh, sampai saat ini kami masih mengibarkan Merah putih siang dan malam ungkap Nasri, warga setempat kepada Susra Leuaer Antara, Sabtu (4/5/2013).
“ Kami sebenarnya tidak paham dengan kisruh bendera dan lambang Aceh saat ini, karena kekurangan informasi dan tak ada informasi apapun tentang bendera tersebut ”. Ujarnya.
“ Namun demikian sebagai warga negara Indonesia, mengibarkan merah putih, menurut saya pasti tidak salah. Kecuali bendera lain yang melanggar hukum.” Ungkap Nasri.
“ Kami tidak menurunkan bendera ini sebelum ada pemberitahuan untuk diturunkan” jelas Nasri.
Kampung Perdamain berjarak 20 kilo meter dari Kampung Belang Rakal, mayoritas masyarakatnya untuk menopang ekonomi keluarga sebagai petani kopi. Meski kampung tersebut masih terisolir namun semangat kecintaan terhadap NKRI masih mereka tunjukan.
Semasa konplik Aceh kampung tersebut banyak ditinggalkan para warga petani disana, akibatnya banyak kebun terlantar. Menurut Nasri kampung ini dulunya sudah ramai, namun sekarang tidak seramai dahulu kenang Nasri.
“ Awalnya saya juga bertanya-tanya dalam hati, kenapa mengibarkan bendera siang dan malam ? Hal ini mengingatkan saya semasa konflik Aceh. Akhirnya seorang tetangga yang mengetahui alasan mengibarkan bendera ini adalah bentuk penolakan terhadap bendera dan lambang Aceh.” Pungkas Nasri. (BsG)

Zaini dan Muzakir Jangan Mimpi Bisa Redam ALA

Zaini dan Muzakir Jangan Mimpi Bisa Redam ALA

suaraleuserantara May 4, 2013 1
407425_493362170716058_1209807487_n
TAKENGEN |SuaraLeuserAntara|: Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf jangan pernah bermimpi bisa meredam atau menghentikan keinginan rakyat di wilayah Aceh Leuser Antara untuk berjuang demi pemekaran.
“ Walau puluhan miliar Gubernur Aceh menggelontorkan uang “suap” ke kabupaten di wilayah ALA dengan alasan untuk pembangunan dan kesejahteraan daerah, namun itu tidak bisa meredakan rakyat untuk terus meneriakkan pemekaran ALA. Gubernur jangan mimpi, berniat aja tidak boleh, apalagi mimpi meredam ALA ,” ungkap aktivis mahasiswa Aramiko kepada Suara Leuser Antara, Sabtu (4/5/2013).
Walaupun bagaimana Zaini dan Muzakir harus membagi uang tersebut ke kabupaten kota di Aceh, karena itu bukan uang mereka, Itu adalah uang Negara Indonesia.” Alah, mereka nggak usah lah sok-sok berjuang untuk rakyat ALA dan ABAS, bohong semua. Kalau cuma bagi-bagi uang negara, anak kecil juga bisa ,” ungkap Aramiko.
Persoalannya saat ini mekarnya ALA dan ABAS harus terjadi. Karena pemimpin di Aceh telah mengkotak-kotakan rakyat, sehingga dihawatirkan terjadi konflik horizontal.” Pemimpin Aceh jauh dari harapan dan tidak bisa dijadikan contoh untuk persatuan. Mereka hanya mementingkan kelompknya sendiri ,” pungkas Aramiko Aritonang.
Aramiko juga mengatakan, adapun yang mengaku mantan pengurus KP3-ALA Gayo Lues yang saat ini menolak ALA adalah orang yang sudah tidak sehat lagi, karena mendapat iming-iming dari propinsi.” Penghianat itu selalu ada dalam perjuangan, jadi kami anggap biasa saja ,” ahir Aramiko.(MF)

Seruan Gubernur: “Hormati Bendera, Kibarkan ditempat Muslihat”

GUBERNUR Aceh, Zaini Abdullah di sela-sela melayat ke kediaman Almarhum Abu Panton sekaligus ziarah ke makam ulama kharismatik tersebut di Pantonlabu, Aceh Utara. 
Menyerukan masyarakat untuk menghormati bendera Bulan-bintang dengan tidak mengibarkan di sembarang tempat seperti di hutan atau di atas pepohonan.
“Kibarkan bendera Aceh pada tempat-tempat muslihat dan pada saat diperlukan, lebih baik tunggu keputusan final (yang mengatur tentang bendera Aceh),” kata Gubernur.
“Mari kita jaga dan hormati bendera Aceh. Tak perlu gegabah, tunggu keputusan dulu lebih baik, bagi yang sudah dikibarkan, ya sudah karena itu antusias masyarakat sendiri,” kata Doto Zaini.
050513_5.jpg
Zaini Abdullah ziarah ke makam ulama Aceh, Abu Panton
Kehadiran Gubernur Aceh bersama rombongan ke rumah duka Abu Panton disambut istri almarhum, Ummi Zainabon, serta adik kandung almarhum yaitu Tgk Zainal Abidin, Tgk H Abubakar, dan Tgk Usman.
Setelah jamuan makan bersama, Gubernur menuju ke Makam Abu Panton yang letaknya di belakang Musalla Asrama Putra Dayah Malikussaleh. 
Saat Gubernur datang, banyak peziarah larut sambil membaca Alquran di makam Abu Panton.
Gubernur Zaini Abdullah mengatakan, Abu Panton adalah ulama yang paling peduli terhadap sosial dan perdamaian Aceh.
“Saya sudah lama kenal dengan Abu Panton, beliau adalah ulama berkharisma tinggi, punya hubungan baik dengan pemerintah RI dan juga dengan ulama di Malaysia,” kata Dato Zaini.
“Abu Panton juga bagian dari perintis perdamaian Aceh yang patut dihargai jasanya,” demikian Gubernur Aceh. (*/serambi)

Warga Aceh di Norwegia Gelar Takziah untuk Abu Panton

Warga Aceh di Norwegia Gelar Takziah untuk Abu Panton

mesjid mevlana, norwayStavanger – Seratusan warga Aceh yang menetap di Rogaland, Norwegia melakukan takziah dan doa bersama untuk Almarhum Tgk H Ibrahim Bardan atau Abu Panton, ulama kharismatik asal Aceh Utara yang meninggal dunia di Rumah Sakit Herna, Medan, Senin 29 April 2013 lalu.
Acara takziah dan doa bersama ini digelar di Mesjid Mevlana, Stavanger setelah Shalat Ashar jam 18.00 WIB waktu Norwegia, Rabu (01/05/13). Acara yang dipimpin oleh Tgk Qadir Abdullah ini berlangsung tertib dan lancar.
Sebelum acara takziah dan doa bersama dimulai, Tgk Qadir Abdullah sedikit menceritakan kisah tentang almarhum Tgk H Ibrahim Bardan atau Abu Panton. Ia menceritakan dari awal Abu Panton memimpin dayah Dayah Malikussaleh di Gampong (desa) Rawa Itek. “Abu Panton merupakan salah satu ulama besar yang ada di Aceh dan banyak sekali jasa-jasa beliau untuk Aceh,” ujarnya.
Di Mesjid Mevlana ini, warga Aceh yang menetap di Rogaland selalu mengadakan acara doa bersama dan berbagai acara lain yang berkenaan dengan agama Islam. (Bahar_Nor/sp)

TPM: Libatkan Ulama dan Tokoh Masyarakat dalam Pembahasan Bendera dan Lambang

TPM: Libatkan Ulama dan Tokoh Masyarakat dalam Pembahasan Bendera dan Lambang

Banda Aceh – Tim Pengacara Muslim Aceh, meminta Pemerintah Aceh dan Kemendagri melibatkan ulama dan tokoh masyarakat Aceh dari berbagai unsur, yang merefleksikan keterwakilan islam, sejarah, adat istiadat dan ke ciri khas Aceh dalam membahas koreksi Mendagri atas  Qanun Aceh No 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh.
“Qanun adalah sebuah regulasi yang mengikat seluruh masyarakat Aceh, untuk itu peraturan dimaksud  harus dapat diterima secara baik oleh masyarakat Aceh,” ujar salah satu Tim Pengacara Muslim Aceh, Safaruddin S.H, Minggu (05/05/2013).
Safaruddin menuturkan, dalam setiap penyusunan regulasi untuk Aceh, harus selalu mendahulukan nilai nilai keislaman dan baru di ikuti dengan norma lainnya.
Menurut Safruddin, Qanun bendera dan lambang Aceh yang disahkan DPRA beberapa waktu lalu, selain bertentangan dengan PP 77 tahun 2007, juga dinilai bertentangan dengan nilai- nilai islam yang telah digariskan dalam Al Qur’an, serta menjadi pedoman hidup seluruh umat Islam di dunia.
Penggambaran Buraq pada lambang Aceh kata Safar, termasuk dalam kategori mendustai ayat- ayat Al Qur’an, dan melecehkan Nabi Muhammad SAW. Hal itu lanjut Safar,  sama seperti kaum musrikin mendustakan Malaikat- Malaikat Allah.
Safaruddin juga mengutip salah satu Firman Allah SWT yang maknanya  ‘Mereka menjadikan malaikat malaikat yang mereka itu adalah hamba Allah Yang Maha Permurah, sebagai seorang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaikat malaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggungjawaban” [QS.az-Zukhruf (43):19]
Lebih jauh Safaruddin menyebutkan, permasalahan yang timbul dan menjadi dalam Qanun bendera dan lambang Aceh, akibat dalam penyusunannya tidak melibatkan unsur Ulama dan tokoh masyarakat Aceh dari beragam unsur.
“DPRA mengedepankan arogansinya dalam penyusunan Qanun itu, ini juga tidak sejalan dengan sejarah kejayaan Kerajaan Aceh masa lalu, di mana kala itu, sebuah aturan publik selalu melibatkan para ulama dan tokoh masyarakat dari beragam unsur,” kata Safar.
Dalam Al Qur’an kata Safar, menolak keyakinan seperti itu sebagaimana tersebut  antara lain dengan firman- Nya  “Tanyakanlah kepada mereka (orang orang kafir Mekkah): ‘Apakah untuk Tuhanmu anak-anak perempuan dan anak-anak laki-laki, atau apakah kami menciptakan malaikat-malaikat berupa perempuan dan menyaksikan (nya). Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka dengan kebohongannya benar-benar mengatakan: ‘Allah beranak. Apakah Tuhan memilih (mengutamakan) anak perempuan daripada anak laki-laki? Apakah yang terjadi padamu? Bagaimana (caranya) kamu menetapkan? Maka,apakah kamu tidak memikirkan? Atau apakah kamu memunyai bukti yang nyata?”. [QS.ash-Shaffat (37): 149-156].
“Aceh sebagai daerah khusus dan ber syariat Islam serta  disebut Serambi Mekkah, karena ketaqwaannya rakyatnya kepada Allah SWT, maka itu harus dihormati oleh semua pihak. Termasuk dalam setiap kebijakan menyangkut publik Aceh,” imbuhnya.
Beranjak dari polemik yang berpotensi menimbulkan konflik baru,  TPM Aceh menyeru kepada Pemerintah Aceh dan Mendagri, agar dalam pembahasan hasil evaluasi Qanun Bendera dan Lambang Aceh, sebaiknya melibatkan multi unsur. Terpenting juga menurut Safaruddin, hasil pembahasan, Bendera dan Lambang Aceh harus mampu mencerminkan nilai- nilai ke- Acehan berazaskan islam, dan mampu menjadi pemersatu , bukan malah menjadi pemicu perpecahan umat di Aceh, yang sedang menikmati perdamaian setelah sekian lama hidup dalam suasana konflik. (Sp)

Berita Pembukaan Kantor OPM di Papua Cuma Cari Sensasi

Berita Pembukaan Kantor OPM di Papua Cuma Cari Sensasi

Jakarta –  Kabar pembukaan Kantor Perwakilan Papua Merdeka di Inggris hanya untuk mencari sensasi. Ini dilakukan agar berita tentang Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan gerakan separatisnya mendapat perhatian publik.
Demikian disampaikan Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil kepada Aktual.co, Minggu (5/5).
“Ya seperti itu. Tapi, sensasi atau tidak, Indonesia harus tetap waspada,” imbuh anggota Komisi VIII DPR RI ini.
Pemerintah harus membenahi hubungan diplomatik dengan Inggris.
“Atau jangan-jangan ini merupakan cara Inggris menekan Indonesia,” tambahnya.
Sumber: Aktual.co

Dubes Inggris Berikan Klarifikasi Terkait Pembukaan Kantor OPM

Dubes Inggris Berikan Klarifikasi Terkait Pembukaan Kantor OPM

Jakarta – Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Mark Canning, memberikan penjelasan terkait dibukanya kantor Organisasi Papua Merdeka di Oxford, Inggris. Dalam rilisnya kepada wartawan, Sabtu (4/5/2013), Canning menegaskan Pemerintah Inggris tidak terlibat kejadian itu.
“Dewan Kota Oxford seperti halnya dewan-dewan lainnya di Inggris, bebas mendukung tujuan apapun yang mereka inginkan. Mereka bukan bagian dari pemerintah. Segala bentuk tindakan mereka tidak ada hubungannya dengan pemerintah Inggris dalam hal ini,” ujarnya.
Canning menegaskan posisi pemerintah Inggris cukup jelas, yaitu menghargai Papua sebagai bagian dari Indonesia dan ingin Papua mencapai kesejahteraan dan perdamaian, sama seperti provinsi-provinsi lainnya diseluruh Indonesia.
Namun, Canning melanjutkan, pemerintah Inggris juga sependapat dengan pernyataan perwakilan Komisi HAM PBB Navi Pilay yang pada Jumat lalu, 3 Maret 2013, bahwa masih ada beberapa keprihatinan dugaan pelanggaran HAM di Papua yang harus ditangani.
Secara pribadi, Canning pun menyadari bahwa ada usaha-usaha yang dilakukan untuk memperbaiki keadaan, seperti mengatasi masalah ekonomi dan pembangunan sosial. Inggris pun dalam hal ini sepenuhnya mendukung usaha-usaha tersebut.
“Kami terus berkoordinasi dengan pihak-pihak yang ingin memajukan Papua termasuk Gubernur Papua yang baru, Bapak Lukas Enembe, yang minggu lalu saya temui,” kata Canning.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto, Jumat 3 Mei 2013, menyatakan pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri akan segera memanggil Dubes Inggris untuk Indonesia terkait gerakan Organisasi Papua Merdeka yang membuka kantor resmi di Oxford, Inggris. (Pz/Islampos)
Sumber: Islampos.com

7 Mei, Tim 14 Mulai Bahas Bendera dan Lambang Aceh di Batam

7 Mei, Tim 14 Mulai Bahas Bendera dan Lambang Aceh di Batam

Jakarta – Pemerintah pusat dan Aceh telah sepakat untuk membahas kembali polemik Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. Tim khusus dari Aceh dan Jakarta masing- masing berjumlah 7 orang, dijadwalkan melakukan pembahasan bersama mulai Selasa (07/05/2013) di Batam.
Sebagaimana dikutip Rakyat Merdeka Online, Minggu (05/05/2013), setelah pertemuan Menteri Dalam Negeri dan Gubernur Aceh pada Rabu (01/05/2013) lalu, disepakati pembahasan secara berturut-turut dilaksanakan pada tanggal 7 Mei, 14, 24 dan 31 Mei di Batam melalui tim 7 masing -masing.
Pada pertemuan itu nantinya, tim dari Aceh dan Jakarta akan membahas satu persatu dari 11 poin klarifikasi Kemendagri terhadap Qanun Bendera dan Lambang Aceh yang masih terjadi beda persepsi.
“Kedua, mereka (Pemprov Aceh) juga sepakat dengan koreksi kita, bahwa azan itu tidak diperlukan dalam pengibaran bendera. Sedangkan 11 item lainnya itu yang terus kita diskusikan untuk mencapai titik temu,” kata Jurubicara Kemendagri Donny Moenek Sahmen kepada Rakyat Merdeka Online, (Sabtu, 04/05/2013).
Dari beberapa kali pertemuan antara Pemerintah Aceh dan pusat, baru dua poin klarifikasi atas Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2013 yang telah diaminkan Pemerintah Aceh yakni,  tidak dicantumkan Mou Helsinki dalam konsideran Qanun tersebut, karena sudah ditampung dalam UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Serta pengibaran bendera tidak boleh diiringi kumandang azan.
Polemik Bendera dan Lambang Aceh terus berlangsung sejak DPR Aceh mengesahkan Qanun tersebut pada 22 Maret lalu. Kemudian Kemendagri berpandangan bahwa, format dan design bendera yang  diinginkan Pemerintah Aceh, sebagaimana tertuang dalam Qanun itu bertentangan denganPP Nomor 77/2007 tentang Lambang Daerah.
Sementara Pemerintah Aceh sampai kini terus bersikukuh, bahwa Bendera dan Lambang yang dulunya dipakai oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM), tidak dimaksudkan sebagai simbol kedaulatan atau sebagai usaha memerdekakan Aceh dari NKRI, melainkan sebagai lambang daerah. (Sd)

Kemendagri Bantah Sepakati Bendera GAM Jadi Bendera Resmi Aceh

Kemendagri Bantah Sepakati Bendera GAM Jadi Bendera Resmi Aceh

Jakarta – Kementerian Dalam Negeri membantah telah menyepakati dan membolehkan bendera mirip milik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dijadikan sebagai bendera resmi Provinsi Aceh.
“Tidak ada dan tidak benar ada kesepakatan seperti itu. Karena tidak sesuai dengan UU maupun PP 77/07,” jelas Jurubicara Kemendagri, Donny Moenek Sahmen kepada Rakyat Merdeka Online(Sabtu, 04/05/2013).
Penjelasan Donny ini terkait pernyataan anggota Dewan Pembina Partai Gerindra yang juga anggota Komisi III DPR Martin Hutabarat sebelumnya.
“Kesepakatan Pemerintah melalui Mendagri dengan Pemerintah Provinsi Aceh kemarin yang memperbolehkan bendera mirip bendera GAM dijadikan sebagai bendera resmi Aceh pantas diapresiasi. Namun sekaligus juga kita minta agar Pemerintah Pusat jangan diskriminatif terhadap rakyat Papua,” kata Martin.
Donny menjelaskan, sampai saat ini masih berlangsung pembahasan/evaluasi/klarifikasi terkait Qanun dimaksud. “Bahwa pembahasan melalui komunikasi yang intens dan dialogis antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh masih terus berlangsung untuk mencapai titik temu,” ungkap
Setelah pertemuan Menteri Dalam Negeri dan Gubernur Aceh pada Rabu (1/5) kemarin, disepakati pembahasan secara berturut-turut dilaksanakan pada tanggl 7 Mei, 14, 24 dan 31 Mei di Batam melalui TIM 7.
Karena, dari tiga belas item, baru dua item yang disepakati antara kedua belah pihak. Pertama tidak dicantumkan Mou Helsinki dalam konsideran karena sudah ditampung dalam UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.
“Kedua, mereka (Pemprov Aceh) juga sepakat dengan koreksi kita, bahwa azan itu tidak diperlukan dalam pengibaran bendera. Sedangkan 11 item lainnya itu yang terus kita diskusikan untuk mencapai titik temu,” tegasnya.
Kemendagri tetap berpandangan bahwa, format dan design bendera harus mengacu PP Nomor 77/2007 tentang Lambang Daerah. “Baik mekanisme, tata cara pemanfaatan dan pemasangan bendera itu ada ketentuannya. Itu yang dimaksud PP 77/2007,” tandasnya. [zul]
Sumber: RMOL.COM

Pemakaian Simbol GAM Di Aceh Dikhawatirkan Picu Konflik Baru

Pemakaian Simbol GAM Di Aceh Dikhawatirkan Picu Konflik Baru

Jakarta - Polemik bendera Aceh berlambang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) masih belum menemui titik temu. Pemerintah pusat dan daerah Aceh harus segera mencari jalan keluar. Jika tidak polemik seputar Qanun (peraturan daerah) bendera dan simbol Aceh bisa menimbulkan konflik baru.
Pengibaran bendera Aceh yang terjadi baru-baru ini banyak menuai kontroversi, ada yang pro dan kontra terhadap bendera yang di nilai mirip dengan bendera separatis GAM itu.
DPR Aceh telah mengesahkan Qanun No 3/2013 pada 22 Maret 2013, tentang Bendera dan lam­bang Aceh. Dalam Qanun dise­but­kan bahwa bendera dan lam­bang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai atribut resmi Pe­merintah Aceh.
Sementara Ke­men­terian Dalam Negeri (Ke­men­dagri) menyebutkan peneta­pan bendera dan lambing GAM sebagai bendera Aceh berben­turan dengan Peraturan Pemerin­tah No 77/2007, yang melarang dae­rah mengadopsi atribut ke­lompok.
Pengamat politik, Aidul Fitri­ciada Azhari berpedapat, polemik bendera dan lambang Aceh bukan semata soal hukum, dalam artian adanya pertentangan antara Qa­nun dan peraturan perundang-un­dangan nasional. Menurut dia, po­lemic ini juga ini soal di luar as­pek yuridis terkait kegagalan Pemerintah dalam berkomunikasi dengan Pemerintah Daerah Aceh.
“Jadi, selama ini ada proses komunikasi hukum dan politik yang macet antara Pusat dan Aceh, sehingga Qanun Aceh tiba-tiba mengadopsi lambang GAM. Ini bukti kontrol Pusat tidak berhasil terhadap Aceh,” katanya kepada Rakyat Merdeka, ke­marin Sabtu (04/05/2013).
Azhari menilai, solusi penye­lesaian polemik adalah kembali kepada kesepahaman Helsinki dan ketentuan yang ada dalam Un­dang-undang Pemerintahan Aceh. Persoalan mengenai ben­dera, kata dia, tinggal menge­ja­wantahkan Nota Kesepahaman antara Peme­rin­tah RI dan GAM itu.
“Aceh memang provinsi yang memiliki status daerah istimewa dan mempunyai otonomi khusus. Namun Aceh harus tahu bahawa mereka sudah sepakat masih menjadi bagian NKRI,” tegasnya.
Azhari membeberkan, penga­tu­ran tentang bendera dan lam­bang Aceh telah dituangkan da­lam Pasal 246 UU No 11 Th 2005 ten­tang Pemerintahan Aceh. Esen­­sinya, lambang dan bendera itu mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Aceh, serta bukanlah simbol kedaulatan.
Lantas apa saja keistimewaan dan kekhususan Aceh yang telah dirumuskan undang-undang itu ? “Ini memang masih multitafsir, tapi saya yakin permasalahan ini da­pat diselesaikan dengan baik tanpa melukai rakyat Aceh dan pemerintah,” jawab dia.
Sosiolog Universitas Gadjah Ma­da (UGM), Arie Sudjito me­nga­takan penyelesaian polemik Qanun Aceh sebaiknya disele­sai­kan secara hukum dengan meni­lik kembali posisi Undang-un­dang Nomor 11 tahun 2006 ten­tang Pemerintahan Aceh.
“Kalau terjadi sengketa (Qa­nun) antara Aceh dan pusat, maka Pemerintah Aceh bisa mengaju­kan ‘judicial review‘ ke Mahka­mah Konstitusi,” katanya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin mengata­kan, pemakaian lambang GAM di bendera Aceh merupakan ben­tuk perlawanan rakyat Aceh. Ia pun menyarankan agar peng­gu­naan lambang yang diatur dalam Qanun nomor 3 tahun 2013 ten­tang bendera dan lambang Aceh di­kaji kembali.
Juru Bicara Kementerian Da­lam Negeri (Kemendagri), Rey­donnyzar Moenek menya­takan, pemerintah pusat dan pe­me­rintah Aceh sudah membentuk tim kecil untuk membahas pole­mic soal bendera Aceh.
Reydonnyzar menyatakan, tim kecil tersebut beranggotakan 14 orang, masing-masing 7 orang dari Pemerintah Aceh dan 7 orang dari Pusat. Tim tersebut memba­has butir-butir klarifikasi Qanun Lambang dan Bendera yang be­lum disepakati. “Tim tersebut ke­mudian akan mencari kesa­maan-kesamaan pemikiran yang dapat membawa pada penyele­saian,” kata dia.
Dia mengungkapkan, pemba­hasan oleh tim kecil tersebut akan dilakukan secara rutin selama sat­u bulan ini. “Mulai dari tang­gal 7 Mei di Batam kemudian tang­­gal 14 di Jakarta, tanggal 24, serta tanggal 30-31 kemungkinan di­lang­sungkan di Aceh,” kata Don­ny sapaan akrab Rey­donny­zar kepada Rakyat Merdeka, ke­marin.
Donny berharap, polemik ben­dera Aceh ini tidak berlangsung alot. Dirinya yakin pertemuan tim kecil akan melahirkan titik temu, terutama menyangkut masalah format dan desain bendera agar qanun itu bisa sesuai.
“Kita (pusat dan Aceh) sedang mencari titik temu dan tidak bisa se­pakat mufakat sekali jadi, tetap harus ada proses yang perlu kita dia­logkan dan komunikasikan. Kita harap polemik Qanun ini bisa se­gera diselesaikan,” harap dia.
Zaini Abdullah, Kami Tidak Akan Pisah Dari Republik Indonesia
Gubernur Aceh ini mengga­ransi bahwa bendera Aceh bu­kanlah bendera kedaulatan. Ben­dera kedaulatan hanyalah satu, bendera merah putih.
“Itu bukan sesuatu yang men­jadi bendera kedaulatan, itu tidak benar. Aceh sekarang kan sudah damai. Bendera kedaulatan ada­lah merah putih, sedangkan ben­dera ini adalah bendera kekhu­susan di Aceh,” ujar dia kepada Rak­yat Merdeka, kemarin.
Zaini memastikan, Aceh tidak akan lepas dari NKRI dengan ada­nya bendera Aceh tersebut. Qanun soal bendera Aceh, kata dia, sudah sesuai dengan prose­dur UUD 1945. “Tidak ada mak­sud untuk Aceh itu keluar dari In­donesia,” tegasnya
.
Mengenai bendera Aceh yang menyerupai bendera Gerakan Aceh Merdeka, Zaini menga­ta­kan kewenangan merevisi lam­bang bendera Aceh ada di tangan DPRA.
“DPR itu sebagai wakil rakyat yang menetapkan Undang-Undang atau Qanun di Aceh,” katanya.
Zaini mengklaim, pembentu­kan Qanun bendera dan lambang Aceh sudah sesuai UUD 1945. “Jadi itu tidak ada persoalan apa-apa. Ini sah-sah saja, karena tidak di luar rel. Ini on the track, jadi ti­dak ada masalah,” tegasnya.
“Saya yakin sekali tidak ada per­soalan. Ini sah-sah saja, kare­na tidak di luar rel, ini on the track. Apa yang telah kami dapat se­karang setelah pertemuan de­ngan presiden, kami setuju semua ini di-cooling down dan kita cari solusi sebaik-baiknya,” papar dia.
Mengenai pembentukan tim kecil untuk pengesahan Qanun, gubernur menyatakan sudah di­capai kesepakatan, dan tim ter­sebut mulai bertemu pekan depan di Batam. Ia pun optimistis, me­lalui serangkaian pertemuan, tim kecil ini akan diperoleh solusi yang terbaik untuk menentukan bendera dan lambang.
“Sudah ada kemauan yang baik dari Pusat dan Aceh untuk segera menyelesaikan masalah  bendera dan lambang. Itu dulu yang ter­penting,” tuturnya.
Sebelumnya, Gubernur Aceh juga telah bertemu dengan Presi­den Susilo Bambang Yudhoyono, Menko Polhukam Djoko Suyan­to, dan Menteri Dalam Negeri Ga­mawan Fauzi untuk menya­ma­kan persepsi mengenai ben­dera Aceh ini.
Abdul Malik Haramain, Bendera Aceh Tidak Boleh Berbau Separatis
Anggota Komisi II DPR ini meminta, pemerintah Aceh mau kompromi terhadap bendera mereka. Dikatakan, meskipun Aceh memiliki keistimewaan, namun Aceh tetaplah menjadi ba­gian dari Negara Kesatuan Re­publik Indonesia (NKRI).
“Pemerintah Aceh tidak bo­leh egois, jangan mau menang sendiri. Bagaimanapun UUD 45 melarang penggunaan lam­bing sparatis. Jadi seharusnya mereka memahami,” ujar Malik ketika berbincang dengan Rak­yat Merdeka, kemarin.
Ketua DPP Partai Kebang­kitan Bangsa (PBB) Bidang Ke­pemu­daan ini memahami, ka­­lau Aceh berhak memiliki ben­­dera karena adanya Mo­ra­to­rium of Agree­ment (MoU) Hel­sinski. Kendati demikian, lambang pada bendera tersebut tidak boleh menyerupai lam­bang gerakan sparatis. Pera­turan Pemerintah 77 tahun 2007 pun menegaskan hal itu.
“Pemerintah Aceh dan ma­sya­rakatnya jangan mengar­ti­kan MoU Helsinski secara par­sial. Meskipun ada MoU Hel­sins­ki, tapi Aceh itu kan sama saja dengan Papua dan Yogya­karta, sama-sama daerah isti­me­wa yang berada di bawah NKRi,” tegas Malik.
Anggota DPR dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Timur II ini mendesak pemerintah pu­sat dalam hal ini Kementerian Da­lam Negeri segera memberi­kan pemahaman kepada peme­rintah Aceh dan warganya, su­pa­ya tidak salah menafsirkan tentang keistimewaan daerah­nya.
“Mereka harus paham, kalau simbol yang mereka gunakan tidak boleh bertentangan, kare­na bisa menyakitkan rakyat In­do­nesia lainnya,” tegas dia.
Anggota Badan Legislatif DPR ini menyarankan agar pe­merintah segera melakukan re­visi terhadap undang-undang ten­tang symbol atau lambang kedaerahan. Menurut dia, perlu dicantumkan secara tegas ten­tang larangan penggunaan sim­bol lambang separatis. Tu­juan­nya agar ke depan tidak ada lagi daerah yang seperti ini.
“Qanun Aceh Nomor 3 Ta­hun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh itu kan seting­kat perda, dan berdasarkan ke­tentuan yang ada, perda harus tun­duk dan tidak boleh berten­tangan dengan undang-undang. Sehingga apabila ada daerah lain yang mengalami kasus se­perti Aceh akan jelas ketentuan­nya. Selama mereka memutus­kan berada di bawah NKRI, maka menjadi daerah istimewa atau tidak, tetap saja harus tun­duk kepada undang-undang In­donesia,” pungkasnya.
Gamawan Fauzi, Pusat Dan Aceh Sedang Rumuskan Pemilihan Qanun
Mendagri ini mulai ber­sikap lentur terkait polemik mengenai bendera Aceh. Jika sebelumnya, dia bersikap tegas bahwa bendera Aceh yang sama persis dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) harus diubah, kali ini Mendagri mem­buka ruang kompromi.
Gamawan mengatakan, agar bendera Aceh itu tidak sama per­sis dengan bendera GAM, ma­­ka bisa saja ditambah de­ngan gambar lain. “Kita cari so­lusi. Kalau tidak persis seperti GAM, bisa ada tambahan bin­tang atau rencong misalnya. Ini yang akan kita cari titik-titik te­mu itu,” ujar dia.
Dia membeberkan, saat ini pemerintah Pusat dan Peme­rintah Aceh sepakat memben­tuk tim kecil (timcil) berang­go­takan 14 orang, masing-ma­sing 7 orang dari Pemerintah Aceh dan 7 orang dari Pusat. Tim ter­sebut membahas butir-butir kla­rifikasi Qanun Lambang dan Ben­dera yang belum disepakati.
“Kita telah sepakati ada tim kecil yang bekerja membahas substansi. Kita harapkan segera selesai,” pungkasnya.
Akil Mochtar, Lambang Tak Boleh Ancam Kedaulatan
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menilai keberadaan bendera Aceh yang dilandasi qanun Nomor 3 Tahun 2013 ten­tang Bendera dan Lambang Aceh tidak mengandung ma­salah. Menurut dia, keberadaan qanun itu secara prosedural tidak bertentangan dengan UUD 1945.
“Jika ada bendera di Aceh, itu tidak masalah. Karena di Un­dang-undang (UU) Aceh juga ada kewenangan itu. Secara pro­sedural itu tidak ada ma­salah,” ujar dia.
Akil mengatakan, seharusnya pemerintah tidak perlu khawatir dengan keberadaan bendera yang mirip dengan lambang Ge­rakan Aceh Merdeka (GAM). Sebab, antara pemerintah pusat dengan GAM telah terikat per­janjian Helsinki yang me­nye­pakati Aceh merupakan bagian dari Indonesia dan akan taat pada hukum yang berlaku.
“Dengan perjanjian Helsinki kan sudah selesai. Mengenai substansinya, itu harus dikon­sul­tasikan antara pemerintah pu­sat dan pemerintah daerah, se­hingga tidak mengancam ke­daulatan,” katanya.
Lebih lanjut, Akil menam­bah­kan, jika masyarakat Aceh ada yang keberatan dengan qa­nun itu, maka dapat mengaju­kan uji materi ke Mahkamah Agung (MA). “Kalau ada war­ga Aceh yang tidak setuju, dia bisa mengajukan gugatan ke MA,” ujar dia
Akil menjelaskan, satuan dae­rah yang bersifat khusus diakui da­lam Undang-Undang Dasar 1945. Daerah tersebut bisa mem­buat peraturan yang mengacu pada UUD. Atas dasar ini, Un­dang-Undang Daerah Aceh mem­beri kewenangan ke­pada pe­merintah daerahnya un­tuk mem­buat lambang daerah. “Ti­dak hanya Aceh. Di Undang-Un­­dang otonomi khusus peme­rin­tahan Papua juga ada,” kata dia.
Akil mengakui, saat ini ada perdebatan mengenai konsep bendera Aceh yang menyerupai bendera Gerakan Aceh Merde­ka (GAM). Namun menurut Akil, hal ini tidak perlu dirisau­kan oleh semua pihak karena ti­dak akan mengancam kedaula­tan. Dalam UUD 1945, kata Akil, telah ditetapkan bahwa ben­­dera negara Indonesia ialah Sang Merah Putih.
Kendati tidak memper­ma­sa­lah­kan, namun Akil menya­ran­kan, penentuan Qanun dibicara­kan kembali antara pemerintah pusat dan daerah. “Silahkan Pemerintah Daerah Aceh dan pemerintah pusat musyawarah­kan,” tutup dia. [Harian Rakyat Merdeka]