Search This Blog

Friday, November 29, 2013

Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura (Dari Kegemilangan Kemaharajaan Melayu hingga Warisan Emas Untuk Indonesia)

Monday, August 17, 2009

Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura (Dari Kegemilangan Kemaharajaan Melayu hingga Warisan Emas Untuk Indonesia)


Istana Asherayah Al-Hasyimiyah zaman Raja Siak



Istana Asherayah Al-Hasyimiyah saat ini


Kerajaan Siak Sri Indrapura didirikan pada tahun 1723 M oleh Raja Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah putera Raja Johor (Sultan Mahmud Syah) dengan istrinya Encik Pong, dengan pusat kerajaan berada di Buantan. Konon nama Siak berasal dari nama sejenis tumbuh-tumbuhan yaitu siak-siak yang banyak terdapat di situ.

Sungai Siak yang mengalir di kota Siak Sri Indrapura dilihat dari jembatan Tengku Agung Sulthanah Latifah




Sebelum kerajaan Siak berdiri, daerah Siak berada dibawah kekuasaan Johor. Yang memerintah dan mengawasi daerah ini adalah raja yang ditunjuk dan di angkat oleh Sultan Johor. Namun hampir 100 tahun daerah ini tidak ada yang memerintah. Daerah ini diawasi oleh Syahbandar yang ditunjuk untuk memungut cukai hasil hutan dan hasil laut.

Pada awal tahun 1699 Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan Mahmud Syah II mangkat dibunuh Magat Sri Rama, istrinya yang bernama Encik Pong pada waktu itu sedang hamil dilarikan ke Singapura, terus ke Jambi. Dalam perjalanan itu lahirlah Raja Kecik dan kemudian dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung Minangkabau.

Sementara itu pucuk pimpinan Kerajaan Johor diduduki oleh Datuk Bendahara tun Habib yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.

Setelah Raja Kecik dewasa, pada tahun 1717 Raja Kecik berhasil merebut tahta Johor. Tetapi tahun 1722 Kerajaan Johor tersebut direbut kembali oleh Tengku Sulaiman ipar Raja Kecik yang merupakan putera Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.

Dalam merebut Kerajaan Johor ini, Tengku Sulaiman dibantu oleh beberapa bangsawan Bugis. Terjadilah perang saudara yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar pada kedua belah pihak, maka akhirnya masing-masing pihak mengundurkan diri. Pihak Johor mengundurkan diri ke Pahang, dan Raja Kecik mengundurkan diri ke Bintan dan seterusnya mendirikan negeri baru di pinggir Sungai Buantan (anak Sungai Siak). Demikianlah awal berdirinya kerajaan Siak di Buantan.

Namun, pusat Kerajaan Siak tidak menetap di Buantan. Pusat kerajaan kemudian selalu berpindah-pindah dari kota Buantan pindah ke Mempura, pindah kemudian ke Senapelan Pekanbaru dan kembali lagi ke Mempura. Semasa pemerintahan Sultan Ismail dengan Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin (1827-1864) pusat Kerajaan Siak dipindahkan ke kota Siak Sri Indrapura dan akhirnya menetap disana sampai akhirnya masa pemerintahan Sultan Siak terakhir.




Pada masa Sultan ke-11 yaitu Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin yang memerintah pada tahun 1889 ? 1908, dibangunlah istana yang megah terletak di kota Siak dan istana ini diberi nama Istana Asseraiyah Hasyimiah yang dibangun pada tahun 1889. Dan oleh bangsa Eropa menyebutnya sebagai The Sun Palace From East (Istana Matahari Timur).




Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi. Dan masa itu pula beliau berkesempatan melawat ke Eropa yaitu Jerman dan Belanda.
Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yang masih kecil dan sedang bersekolah di Batavia yaitu Tengku Sulung Syarif Kasim dan baru pada tahun 1915 beliau ditabalkan sebagai Sultan Siak ke-12 dengan gelar Assayaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir terkenal dengan nama Sultan Syarif Kasim Tsani (Sultan Syarif Kasim II).


Sultan As-Sayyidi Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin II atau Sultan Syarif Kasim II (lahir di Siak Sri Indrapura, Riau, 1 Desember 1893) adalah sultan ke-12 Kesultanan Siak. Dia dinobatkan sebagai sultan pada umur 21 tahun menggantikan ayahnya Sultan Syarif Hasyim.

Riau di bawah Kesultanan Siak pada masa kepemimpinan Sultan Syarif Kasim Sani (Sani=dua). Ketika Jepang kalah, ikatan Hindia Belanda lepas, Sultan Syarif Kashim menghadapi 3 pilihan: berdiri sendiri sperti dulu?, bergabung dg Belanda? atau bergabung dg Republik? Sultan sebagai sosok yg wara' dan keramat melakukan istikharah. Saya kuat menduga Allah memberitahu SSK agar bergabung dg Republik karena kekayaan Riau yg sangat berlimpah dan berlebihan kalau sekedar dikuasai sendiri.Maka Sultan menentukan pilihan bergabung dg Rep. Mendukung NKRI. BERGABUNG, bukan menyerahkan diri.



Sultan menurunkan modal 13 juta Golden (3x nilai kompleks gedung Sate, Bandung), bersama2 dg para komisaris lainnya di PT. NKRI (Deli, Asahan Siak, Yogya, Solo, Kutai kartanegara, Pontianak, Ternate, Tidore, Bali, Sumbawa-daerah-daerah yg termasuk Zelfbestuuren-berpemerintahan sediri pd jaman pendudukan Belanda di nusantara).
Bersamaan dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau pun mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak dan tak lama kemudian beliau berangkat ke Jawa menemui Bung Karno dan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia sambil menyerahkan Mahkota Kerajaan serta uang sebesar Sepuluh Ribu Gulden.


Dan sejak itu beliau meninggalkan Siak dan bermukim di Jakarta. Baru pada tahun 1960 kembali ke Siak dan mangkat di Rumbai pada tahun 1968.


Beliau tidak meninggalkan keturunan baik dari Permaisuri Pertama Tengku Agung maupun dari Permaisuri Kedua Tengku Maharatu.
Pada tahun 1997 Sultan Syarif Kasim II mendapat gelar Kehormatan Kepahlawanan sebagai seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Makam Sultan Syarif Kasim II terletak ditengah Kota Siak Sri Indrapura tepatnya disamping Mesjid Sultan yaitu Mesjid Syahabuddin.

Diawal Pemerintahan Republik Indonesia, Kabupaten Siak ini merupakan Wilayah Kewedanan Siak di bawah Kabupaten Bengkalis yang kemudian berubah status menjadi Kecamatan Siak. Barulah pada tahun 1999 berubah menjadi Kabupaten Siak dengan ibukotanya Siak Sri Indrapura berdasarkan UU No. 53 Tahun 1999.

No comments:

Post a Comment

Mengenal Bahasa dan Dialeg Melayu yang Ada di Riau

Mengenal Bahasa dan Dialeg Melayu yang Ada di Riau

Salam ta'zim,


Sahabat muda-mudi, bahasa merupakan ciri khas budaya dan menunjukkan jati diri suatu bangsa. Bahasa melayu merupakan bahasa ibu yang berasal dari Nusantara tercinta kita ini. Dari sini lah bahasa melayu tersebut terus berkembang sesuai dengan sub-sub dialek lokal yang ada di Nusantara

Jumlah penutur bahasa Melayu di Indonesia sangat banyak, bahkan dari segi jumlah sebetulnya melampaui jumlah penutur Bahasa Melayu di Malaysia, maupun di Brunei Darussalam. Bahasa Melayu dituturkan mulai sepanjang pantai timur Sumatera, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu hingga pesisir Pulau Kalimantan dan kota Negara, Bali.


Riau merupakan negeri pusat perkembangannya budaya dan sastra melayu. Dari negeri inilah berkembang bahasa melayu Riau yangmerupakan pokok dari bahasa-bahasa negeri-negeri di Nusantara. Sebut saja Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan negeri-negeri lainnya.
Perkembangan bahasa dan sastra melayu mencapai puncak kejayaannya pada masa kerajaan Riau-Lingga yang diangkat dan dikembangkan oleh Raja Ali Haji di Pulau Penyengat. Dari Pulau Penyengat lah bahasa melayu itu menjadi gemilang di negeri Nusantara.

Negeri berbudaya melayu membuat orang sering menjadi penasaran akan ke khas annya. Salah satunya ialah bahasa melayu. Lalu bagaimanakah bahasa dan dialeg melayu di Riau sendiri?


Dalam jurnal kali ini saya akan membahasa secara umum mengenai bahasa melayu yang berkembang di provinsi Riau dan Kepulauan Riau.



PROVINSI RIAU DAN KEPULAUAN RIAU


Bahasa melayu Riau ada sejak dahulu kala, perkembangannya semakin cemerlang mana kala dibukanya ada banyaknya bandar-bandar baru di negeri ini seiring berkembangnya kerajaan-kerajaan melayu yang terdapat di negeri ini. Seperti Kerajaan Siak, Kerajaan Pekan Tua, Kerajaan Pelalawan, Kerjaan Indragiri, Kerajaan Kandis, Kerajaan Rokan, Kerjaan Kampar, Gunung Sahilan, Kuntu Darussalam, dan lain-lain.


Pada hakikatnya, pengucapan Bahasa melayu Riau sama dengan bahasa Indonesia sekarang. Masyarakat,para cendekiawan, tokoh, raja ataupun sultan yang memerintah negeri ini pun juga demikian.
Misalnya :

Daulat Tuanku

Kamu hendak kemana?

Hamba hendak pergi ke seberang

Saya nak pergi ke Pekan

Apabila banyak berkata-kata ,disitulah jalan masuk dusta

Sehingga lafal, dialeg yang digunakan disini ialah benar-benar lafal yang sebenarnya, dan tentunya menggunakan loghat melayu.

Dialeg Melayu Riau dengan bahasa pergaulan dalam masyarakat sama dengan dialek Johor-Riau kini menjadi asas kepada pembentukan Bahasa Melayu standard di Malaysia. Ciri utama dialek ini adalah akhiran ‘a’ yang dibunyikan sebagai ‘ě’. Seperti contoh:


Saya - disebut sayě

Apa – disebut Apě

Berapa – disebut Berapě


Bagaimanapun akhiran ‘a’ untuk kata-kata yang diadotasi dari perkataan Indonesia dikekalkan seperti sebutan asal :

Anda – disebut anda

Merdeka - disebut Merdeka



bunyi akhiran ‘r’ tergugur pada kata-kata seperti berikut:


Besar - disebut Besa (dengan sebutan a yang betul)


lebar - disebut Leba (dengan sebutan a yang betul)


sabar - disebut Saba (dengan sebutan a yang betul)




Bunyi ‘o’ diguna menggantikan kata-kata yang berakhir dengan sebutan ‘ur”

Tidur – disebut Tido


Telur – disebut Telo




Pengguguran bunyi ‘r’ ditengah kata sebelum huruf konsonen seperti berikut:

Kerja - disebut Keja (a menjadi sebutan ě)


Pergi - disebut Pegi


Berjalan - disebut Bejalan




Bagaimanapun terdapat viarasi kecil di dalam dialek ini mengikut kawaan-kawasan tertentu. Di Provinsi Riau (Riau daratan) bahasa melayu Riau dapat dibedakan menjadi dialeg Riau pesisir dan dialeg Riau pedalaman.

Perlu diketahui, bahasa melayu di riau daratan sebetulnya tidak kenal dengan kata "dang" atau "do".. misal : "wuiih,, mantap dang!" atau "Bukunya gak ada do..."

kata-kata tersebut berasala dari bahasa minang yang dibawa oleh para perantau minang ke Riau. Sehingga kata-kata itu ikut terserap di dalam bahasa masyarakat dan generasi mudanya.



Dialeg Riau Pesisir

Bahasa melayu Riau pesisir atau Riau bahagian hilir berkembang sangat mirip dengan bahasa melayu Riau kepulauan dan semenanjung atau dilage loghat melayu Riau utama seperti yang saya bahas diatas. Dimana loghat dan dialeg kata-kata yang berakhiran 'a' menjadi 'e' lemah.

Misal contoh gampang sejagad raya :D


Bahasa Indonesia : Kamu hendak pergi kemana?


Bahasa melayu Riau : awak anak pergi kemana (dibaca : awak nak pegi kemane?)


Bahasa Indonesia : saya mau pergi jalan-jalan ke kota, tak sabar rasanya


Bahasa melayu Riau : saya nak pergi jalan ke kota ( dibaca :saye nak pegi ke kote)


Bahasa Indonesia : "Harus kutonton tuh film! Gak sabar rasanya!"


Bahasa melayu Riau : "Mestilah kutonton film itu! Tak sabarpon rasanye "



Bahasa Riau yang kental dengan melayu nya dan menjadi standar bahasa-bahasa di negeri semenanjung ini dapat anda jumpai di :



* Bengkalis dan Kepulauan Meranti (Bengkalis, Selat Panjang, Bukit Batu)


Di Bengkalis merupakan urat nadi daripada perkembangan tradisi dan bahasa melayu di Riau. Dialeg nya kental seperti bahasa melayu Riau-Johor.

Contoh nama-nama daerah yang ada di Kabupaten Bengkalis :


buket batu, paret rodi, mangkopot, sungai pakneng, lubok alam, ae puteh, ketam puteh, penampi. disana masih asli bahasanya. mirip sama melayu yang di malaka malah.


Namun di beberapa tempat terutama daerah pasar, dialeg melayu Bengkalis pun kita jumpai sedikit perbedaan, dimana kata halus yang berakhiran 'e' lemah menjadi 'o'.

contoh :

Saya - disebut sayě disebut juga sayo

Apa – disebut Apě disebut juga apo

Berapa– disebut Berapě disebut juga berapo

Bunga - Bungě disebut juga bungo


Yah kurang lebih mirip bahasa melayu Riau pedalaman. Kuat dugaan saya ini terjadi akibat akulturasi di tanah Bengkalis,apakah itu dari Riau pedalaman, bahasa Sumatera (ex : minang, jambi, Palembang, dll.). Pemakai dialeg ini biasanya para pedagang dan muda-mudi nya. Sementara bagi yang tua - tua masih asli kental dengan 'e' lemah.


Di Bengkalis, dialeg dan bahasa melayu juga dipengaruhi sedikit oleh Bugis , karena masyarakat Bugis juga yang umumnya perantau juga banyak bermukin di Bengkalis.


Namun , pemandangan tradisi dan bahasa ini akan berbeda bila kita berada di Duri ataupun daerah-daerah poros Pekanbaru-Duri-Dumai. Daerah di sekitaran itu merupakan kawasan urban. Di situ memang bilangan orang Melayu nya udah OUTNUMBER. Kalau mau mendengar dialek asli melayu di kawasan Duri, Mandau ataupun poros Pekabaru-Duri-Dumai, komunitasnya terlalu terbatas ke perkampungan tertentu dan tentu saja kantor-kantor pemerintahan.




* Rokan Hilir



Di Rokan Hilir hampir sama dengan di Bengkalis, bahasa melayunya kental mirip dengan bahasa melayu Johor - Riau - Lingga. Namun juga tak sedikit yang kata-katanya berakhiran dengan 'o' seperti halnya bahasa Riau Pedalaman (Kampar dan Rokan Hulu). Asumsi saya ,mungkin dialeg ini dipergunakan oleh masyarakat Rokan Hilir yang wilayahnya dekat atau berbatasan langsung dengan Rokan Hulu

Seperti :

Orang - Uyang

Tidak hendak - Tak ondak

Berlayar - Belaya

Beli - Boli

Barang - Ba ang

Jemur - Jemor

Rumah - Umah

Cukup - Cukuik

Lihat - Tengok

Esok - Isok

Selain dipengaruhi oleh bahasa melayu Riau pedalaman, Rokan Hilir juga dipengaruhi sedikit oleh bahasa melayu deli, batak dan pesisir timur.





* Siak




Sama dengan Bahasa melayu di Bengkalis, selain banyak terdapat kata-kata berakhiran 'e' lemah juga cukup banyak kata-kata yang berakhiran 'o'. Di Siak juga pernah ada kerajaan Siak yang merupakan kerajaan melayu islam terbesar di Sumatera yang turut andil dalam mengembangkan tradisi, adat-isitadat, budaya dan bahasa melayu secara luas keseluruh pelosok-pelosok negeri-negeri yang di bawah naungan kerajaan Siak, seperti Siak,Bengkalis, Rokan, Pekanbaru, dan Kampar.

Kalau di Bengkalis dan Siak juga terdapat perubahan kata-kata sapaan tertentu, contoh : Kamu = "Miko"




* Dumai


Juga sama dengan Bengkalis. Bahasa Melayu juga masih kental disini bahkan di kota pelabuhan di pesisir timur Sumatea ini juga masih terdapat perkampungan masyarakat melayu yang masih melestarikan tradisi dan budayanya.

Di Dumai, bahasa melayu nya kayak melayu kepulauan dengan perubahan kata-kata tertentu pada kata sapaan


contoh : Kamu = "Mike"




* Pelalawan



Di Pelalawan pernah terdapat kerajaan Pekantua dan Kerajaan Pelalawan. Dua Kerajaan ini merupakan satu galur daripada kerajaan Melaka. Sehingga bahasa melayu yang mirip dengan bahasa melaka juga berkembang disini. Namun bahasa dan tradisi di Pelalawan juga turut di pengaruhi oleh tradisi dan budaya dari ranah Kampar. Dan disini pula pertama kalinya nenek moyang orang Kampar bermula merantau dari kampar ke Semenanjung dan kembali lagi ke Kampar melalui Semenanjung Kampar di Pekantua.




* Indragiri Hulu



Di Indragiri Hulu dahulunya merupakan bahagian negeri dari Kerajaan Indragiri yang bermula dari Keritang Indragiri Hulu. Bahasa melayu Riau yang kental dengan loghat dan dialeg yang mirip dengan bahasa melayu Johor-Riau-Lingga masih lestari hingga saat ini. Jika anda pergi ke Rengat ataupun sekitarnya ,dan menemukan anak-anak bermain bercengkrama seperti halnya tokoh serial kartun Malaysia, Upin dan Ipin. Di Bahagian Indragiri Hulu di pedalaman maka bahasa nya pun dipengaruhi oleh bahasa Kuantan.

contoh :

Saya - saye - awak

kecil - kecik - kocik

kedai - kedai - kodai



* Indragiri Hilir



Sama dengan Indragiri Hulu, Indragiri Hilir dan Indragiri Hulu merupakan wilayah satu kesatuan di bawah kerajaan Idnragiri. bahasa melayu riau yang kental namun juga dipengaruhi oleh bahasa Banjar, khususnya di Tembilahan. Karena masyarakat perantau asal Banjar juga banyak berada disini. Namun apabila anda ke Mandah ataupun ke pantai solop bahasa melayu yang dipakai adalah standar bahasa melayu Riau terutama di desa-desa yang masih teguh memegang adat dan tradisi budaya nenek moyangnya.

Bahasa di Indragiri Hilir merupakan campuran antara komunitas banjar dengan melayu pesisir dan kepulauan.



* Pekanbaru

Pekanbaru merupakan ibukota provinsi Riau. Jantung dari segala denyut nadi perekonomian dan pemerintahan dari segala penjuru negeri. Tentulah saat ini Pekanbaru berkembang menjadi kota besar yang pesat perkembangannya. Tidak lagi kita temukan mayoritas masyarakat yang berbahasa melayu disini. Seperti halnya kota-kota besar lainnya di Indonesia, Pekanbaru merupakan kota yang masyarakatnya heterogen. Selain daripada masyarakat Riau sendiri, Pekanbaru asli, juga ada masyarakat minangkabau, jawa, batak, Medan, Sunda, Bugis, Banjar, Palembang, Aceh, dan sebagainya.

Bahasa melayu Riau asli Pekanbaru juga masih ada meski Pekanbaru juga diramaikan oleh bahasa-bahasa warga pendatang, karena pada hakikatnya Pekanbaru zaman dulunya merupakan daerah kampung melayu yang didiami penduduk melayu Siak yang sangat sedikit populasinya pada saat itu.

Seperti yang kita ketahui, Pekanbaru dahulunya adalah negeri bahagian dari Kerajaan Siak, dan sebagai negeri pembatas antara Riau pesisir dan Riau pedalaman sehinngga budaya tradisi Riau daratan bercampur baur disini terlebih ketika bandar Pekan telah dibuka oleh Sultan Siak. Karena dibawah naungan Kerajaan Siak kala itu yang memindahkan pusat pemerintahannya di Senapelan , maka tentulah segala budaya,adat istiadat, tradisi dan budaya Siak berkembang di Senapelan,Pekanbaru.
BACA : SEJARAH BAHASA DAN TRADISI ASLI PEKANBARU


Betul, bahasa dan tradisi melayu di Pekanbaru yang ditutur oleh penduduk asli Pekanbaru sangat mirip dengan bahasa asli Siak, Perawang, dan Gasib.

Seperti : (pakai frasa paling gampang sejagat aja,,, "Kamu Hendak Pergi Ke mana?")

Bahasa melayu Pekanbaru : "Awak tuh nak pegi kemane?" atau "Awak nak pegi kemano?" atau bisa juga "Kau nak pegi kemana?"

Selain bahasa melayu Pekanbaru, juga banyak terdapat bahasa melayu Kampar, karena Pekanbaru juga merupakan daerah yang sangat dekat dan dikelilingi oleh daerah Kampar ,sehingga perpaduan tradisi dan bahasa itu juga berkembang terutama daerah-daeah Pekanbaru di kawasan daratan atas, barat dan selatan.

Pekanbaru sekarang adalah kawasan urban seperti halnya dengan kota-kota besar yang lain, penduduknyapun heterogen. Di situ memang bilangan orang Melayu nya udah OUTNUMBER. Kalau mau mendengar dialek asli melayu di Pekanbaru, komunitasnya terlalu terbatas ke perkampungan tertentu di pinggir sungai (dan tentu saja kantor2 pemerintahan).


Dialek Riau Pedalaman


* KAMPAR , ROKAN HULU , KUANTAN SINGINGI


Sekilah sejarah , di Rokan Hulu terdapat kerajaan Rokan, Di Kampar terdapat kerajaan Kampar, Kuntu Darussalam, Kerajaan Gunung Sahilan. Di Kuatan juga terdapat kerajaan Kuantan.

Kawasan Riau bahagian Hulu atau Riau pedalaman meliputi Kampar, Rokan Hulu, dan Kuantan Singingi. Bahasa Riau pedalaman ini, merupakan bahasa asli melayu Sumatera dan mirip dengan dialek minangkabau.
Secara adat juga mirip dengan minangkabau. Namun bisa dikatakan pula bahwsannya daerah-daerah ini adalah daerah dengan bahasa dan adat asli melayu darat di Sumatera.

Dan untuk diketahui juga bahasa melayu di Riau pedalaman juga mirip dengan bahasa melayu di Negeri Sembilan dan Pahang. Bahkan nenek moyang atau tetua masyarakat di Negeri Sembilan, Pahang, Kuantan, Perak di Malaysia selain berasal dari minangkabau,  mereka juga ada yg berasal dari atau perantau-perantau atau masyarakat dari Kampar, Kuantan dan Rokan Hulu. Paling banyak adalah perantau dari Kampar.

Namun sangat berbeda dengan bahasa minangkabau sesungguhnya.Bahkan bila kita tarik lagi lebih ke dalam lagi hingga ke daerah Pangkalan di perbatasan Riau-Sumbar juga hampir sama dialeknya dengan masyarakat Kampar. Disana masyarakatnya juga lebih condong ke Pekanbaru.

Namun, bila kita lebih menulusuri lebih dalam ke ranah Kampar,Kuantan dan Rokan Hulu, ternyata di setiap desa atau kampung masih terdapat perbedaan bahasa-bahasa di negeri itu sendiri. Di Kuantan, misalnya, di setiap kampung itu berbeda bahasanya.


* Kampar


Kampar sangat identik dengan sebutan Kampar Limo Koto. Limo Koto terdiri dari Kuok, Bangkinang, Air Tiris, Salo, dan Rumbio. Terdapat banyakpersukuan yang masih dilestarikan hingga kini. Sangat penting rasanya anak kemenakan mendapat penjelaskan posisi adat kampar sebagai sebuah budaya asli masyarakat kampar bukan saduran dari minangkabau . Karena budaya suku turun ke ibu adalah produk hindu..bukan produk minang, ungkap situs-situs sejarah yang menjadi jati diri suku ocu.
Dijelaskan bahwa minanga tamwan dalam prasasti kedukan bukit bukan berarti minang, tapi pertemuan dua sungai kampar kanan dan kiri yang menjadi pusat kerajaan sriwijaya, masyarakat kampar harus tahu bahwasanya pagaruyung adalah kerjaan yang jauh lebih muda (zaman maja pahit) dan bukan pusat budaya Kampar.
Kaji dan analisis dua keterangan sejarah melalui BAKABA TAMBO ADAT MINANG KABAU dan buat perbandingan dengan kajian SULALAT AL-TSALATSIN, itu jati diri suku ocu.
Bahasa yang dipakai di Limo Koto, yang juga kemudian menjadi bahasa Kampar adalah bahasa Ocu. Di samping itu, Limo Koto juga memiliki semacam alat musik tradisional Calempong dan Oguong.

Di samping julukan BUMI SARIMADU kabupaten Kampar juga terkenal dengan julukan SERAMBI MEKKAH di propinsi Riau,ini disebabkan masyarakatnya yang 100% beragama Islam (etnis ocu),demikian juga dengan pakaian yang sehari-hari yang dipakai bernuansa melayu muslim.

Masyarakatnya sendiri merupakan masyarakat dari suku Ocu yang merupakan salah satu bagian dari suku yang ada dalam imperium Melayu Riau, Suku Ocu mempunyai ciri dan kateristik yang khas. Bahasa Ocu juga menjadi bahasa sehari hari, dalam kosa katanya banyak kemiripan dengan bahasa Minang Sumatra Barat namun dalam vocal dan dialek sangat kental dengan Melayu lagi lagi ini menjadikan bahasa Ocu khas.

Selain mengikuti pemerintahan yang ada, masyarakat Kampar juga patuh dan diatur oleh sistim pemerintahan adat yang diatur dalam kelembagaan adat mulai dari tingkat kampuong, nagohi (negeri) hingga koto dan Andiko 44 sebagai federasi yang memerintah Kampar secara keseluruhan, dan perangkat pemerintahan ini disebut dengan Ninik Mamak yang dipimpin oleh Penghulu.

contoh :

saya - awak - deyen
anda - kau
pergi - poyi
pekan - pokan
kecil - kocik
kedai - kodai
mau - mo
abang - Ochu atau abang
kakak - kakak
abang lelaki tertua - onshu



* Kuantan Singingi


Menurut sejarah, daerah ini dikenal dengan sebutan Rantau Nan Kurang Oso Duo Pulua”, artinya negeri tempat perantauan yang mempunyai sembilan belas koto (negeri) atau dua puluh kurang satu koto. Daerah Kuantan pada bagian barat (hulu) berbatasan dengan Provinsi Sumatera barat, pada bagian timur (hilir) berbatasan dengan Desa Batu Sawa, pada bagian selatan berbatasan dengan Provinsi Jambi, dan bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Kampar.

Bahasa Kuantan namanya. Dan sukunya disebut Melayu Kuantan dan beradat juga dekat ke minangkabau.
Di Kuantan Singingi bahasa Kuantan boleh jadi berbeda dialek antara tiap-tiap desa. Bahasa dan dialek Kuantan mirip dengan bahasa minang

Harap dipahami bahwa adat-budaya di Kuansing itu merupakan perbancuhan dari pengaruh Datuk Perbatih dengan Datuk Tumenggung. Kerajaan Kuantan ada pada abad ke-7 Masehi sedangkan Pagaruyung antara abad ke13 dan 14. Jadi, tak bisa disimpulkan secara sempit bahwa adat-budaya Kuansing itu berasal dari Minangkabaiu dan sebagainya. Dan arsitektur digambar ini merupakan 100% Minang, karena merupakan tempat tinggal Keluarga Raja Pagaruyung

Ada juga di beberapa daerah Kuantan yang berbatasan dengan daerah Indragiri juga ada mix bahasa Kuantan dan bahasa melayu Indragiri.

Bahasa Kuantan , misalnya :

 - hampir sama dengan bahasa Kampar
ada pula tata ucap seperti ini :
 "Kamu Hendak Pergi Ke mana?" -  "Kau Nak Poii Ka Mano?"
Jalur, disebut "Jalu" atau "Jalue"
Teluk, disebut "Taluk" dan "Toluk"



* Rokan Hulu


Di Pasirpengaraian dan Dalu-dalu saja (bukan yang Ujungbatu ), tidak akan ada orang Melayu Rohul (yang mengamalkan sistem patrialisme) mau dibilang bahasanya mirip bahasa Minang. Kalau pun harus mengalah pada akulturasi, memang betul bahasa Melayu Rohul itu "mix 3 bahasa" antara Mandailing, Melayu, dan Minang. Bahkan orang Mandailing pun banyak yang lebih mengakui diri mereka sebagai melayu ketimbang batak. Contohnya saja Soeman Hasibuan mengaku kalau dirinya seorang melayu.



kesimpulan (pakai frasa paling gampang sejagat aja,,, "Kamu Hendak Pergi Ke mana?")

ROKAN dan KAMPAR : "Awak Nak Poii Ka Mano?" atau "Kau Nak Poii Ka Mano"

Panggilan sapaan :

Saya ,disebut "awak" atau "ambo"

Panggilan abang , disebut "abang" , "Ochu" , atau "Udo"

panggilan kakak , disebut "kakak" namun ada juga yang memanggil dengan "uni"

Panggilan adik, "adek" , "adiak".


Di Rokan Hulu,

Saya = "Aku"
Istilah "pemanis kata" seperti "Ojeee", "Ondee", dan "do" jg sering dipakai..
Dan walaupun mirip bahasa minang, daerah ini tidak menggunakan kata "Ciek" untuk mengacu angka "Satu".

Orang (dalam melayu : oghang) = "Ughang"
Pasar = "Pokan"
Kedai = "Kodai"


"Tak Ada"


Rokan Hulu : Indoww laiii / indak laiii (Lai di baca panjang di vokal "iii" )

Kampar dan Kuantan : Indak ado

Namun secara adat upacara , semisal kalau perkawinan memakai pantun adat berbahasa Melayu Pesisir ... Yang logat "e" lemah itu.


Perbedaan bahasa melayu di Riau daratan batasnya di Pekanbaru. Disini semua tercampur.

Anggap lah siak, dumai, bengkalis, kepulauan mempunyai dialek yang sama.

sedangkan untuk Kampar Raya kebanyakan berbahasa "ocu"..

kenapa bahasa melayu Riau pedalaman(Kampar, Rohul, Kuansing) dibilang mirip bahasa minang?

jawabannya simpel aja. karena telinga orang melayu pesisir dan kepulauan mendengar bahasa orang Riau Pedalaman sangat mirip dengan bahasa minang.

Saya ketika pertama kali mendengar juga berpikir seperti itu, setelah punya temen banyak orang Kampar, Kuansing,dan Rohul dan sedikit bisa bahasa itu baru saya mengerti perbedaannya.

kasus ini sama halnya kalo kita berbahasa melayu di jawa.. akan dianggap berbahasa minang karena memakai akhiran "o". karena itu asing ditelinga mereka.
walaupun ga semua yang memakai akhiran "o" itu orang minang.

Bangga Berbahasa Melayu





catatan : Penulisan ini merupakan kesimpulan sementara dan tidak bisa dijadikan kajian ilmiah, terimakasih

Arsitektur dan Ragam Corak Rumah Melayu

Sunday, March 7, 2010

Arsitektur dan Ragam Corak Rumah Melayu

SUMBER CORAK

Kali ini saya akan memaparkan bagaimana bentuk , desain ,dan ragam corak sebuar rumah adat khas melayu, khususnya Melayu Riau dan Sumatera pada umumnya. Rumah Balai Adat Melayu Riau adalah contoh objek yang akan saya bahas di rubrik kali ini, selamat membaca :)


Untuk versi lebih lengkap kunjungi Laman ini :)



Corak dasar Melayu Riau umumnya bersumber dari alam, yakni terdiri atas flora, fauna, dan benda-benda angkasa. Benda­benda itulah yang direka-reka dalam bentuk-bentuk tertentu, baik menurut bentuk asalnya seperti bunga kundur, bunga hutan, maupun dalam bentuk yang sudah diabstrakkan atau dimodifikasi sehingga tak lagi menampakkan wujud asalnya, tetapi hanya menggunakan namanya saja seperti itik pulang petang, semut beriring, dan lebah bergantung.



Di antara corak-corak tersebut, yang terbanyak dipakai adalah yang bersumber pada tumbuh-tumbuhan (flora). Hal ini terjadi karena orang Melayu umumnya beragama Islam sehingga corak hewan (fauna) dikhawatirkan menjurus kepada hal­hal yang berbau "keberhalaan". Corak hewan yang dipilih umumnya yang mengan­dung sifat tertentu atau yang berkaitan dengan mitos atau kepercayaan tempatan. Corak semut dipakai -walau tidak dalam bentuk sesungguhnya, disebut semut beriring­karena sifat semut yang rukun dan tolong-menolong. Begitu pula dengan corak lebah, disebut lebah bergantung, karena sifat lebah yang selalu memakan yang bersih, kemudian mengeluarkannya untuk dimanfaatkan orang ramai (madu). Corak naga berkaitan dengan mitos tentang keperkasaan naga sebagai penguasa lautan dan sebagainya. Selain itu, benda-benda angkasa seperti bulan, bintang, matahari, dan awan dijadikan corak karena mengandung nilai falsafah tertentu pula.


Ada pula corak yang bersumber dari bentuk-bentuk tertentu yakni wajik, lingkaran, kubus, segi, dan lain-lain. Di samping itu, ada juga corak kaligrafi yang diambil dari kitab Alquran.


Pengembangan corak-corak dasar itu, di satu sisi memperkaya bentuk hiasan. Di sisi lain, pengembangan itu juga memperkaya nilai falsafah yang terkandung di dalamnya.


NAMA-NAMA CORAK



Dengan mengacu kepada sumber-sumber yang telah disebutkan di atas, lahirlah beragam nama corak Melayu Riau. Berikut ini diperikan nama-nama corak tersebut.

Corak dari Tumbuh-tumbuhan

Motif yang bersumber dari tumbuh-tumbuhan (flora), antara lain, sebagai berikut ini.

Bunga




Corak bunga jumlahnya relatif banyak. Di antaranya ialah bunga bakung, bunga melati, bunga kundur, bunga mentimun, bunga hutan, bunga kiambang, bunga cengkih, bunga setaman, bunga serangkai, bunga berseluk, bunga ber­sanggit, btanga sejurai, bunga kembar, bunga tunggal, kembang selari, bunga­bungaan, dan lain-lain.


Kuntum

Corak kuntum, antara lain, ialah kuntum tak jadi, kuntum merekah, kuntum serangkai, kuntum bersanding, kuntum kembar, kuntum berjurai, kuntum jeruju, kuntum setanding, kuntum tak sudah, kuntum sejurai, dan sebagainya.



Daun

Corak daun, di antaranya, ialah daun bersusun, daun sirih, daun keladi, daun bersanggit bunga, susun sirih pengantin, susun sirih sekawan, daun berseluk, dan lain-lain.

Buah

Corak yang bersumber dari buah juga banyak terdapat dalam ragam hias Melayu Riau. Di antaranya ialah tampuk manggis, buah hutan, buah delima, buah anggur, buah setangkai, pisang-pisang, pinang-pinang, buah kasenak, buah mengkudu, delima mereka, dan lain-lain.

Akar-akaran

Corak yang berasal dari akar-akaran, antara lain, ialah kaluk pakis atau kaluk paku, akar bergelut, akar melilit, akar berpilin, akar berjuntai, akar-akaran, belah rotan, pueuk rebung, dan sebagainya.



Corak dari Hewan

Jenis Unggas

Corak dari jenis unggas, antara lain, ialah itik dan itik pulang petang, ayam jantan, ayam bersabung, burung punai, burung bangau, burung serindit, burung balam atau balam dua setengger, burung kurau, kurau mengigal, garuda menyambar, burung merak, merak sepasang, siku keluang, dan lain-lain



RAGAM ORNAMEN



Bangunan BALAI ADAT MELAYU RIAU pada umumnya diberi ragam hiasan, mulai dari pintu,jendelah,vetilasi sampai kepuncak atap bangunan,ragam hias disesuaikan dengan makna dari setiap ukiran.


Selembayung



Selembayung disebut juga “ selo bayung “ dan “tanduk buang” adalah hiasan yang terletak bersilangan pada kedua ujung perabung bangunan.pada bangunan balai adat melayu ini setiap pertemuan sudut atap di beri selembayung yang terbuat dari ukiran kayu.


Singap

Menurut para budayawan melayu selembayung ini mengandung beberapa makna antara lain:



· tajuk rumah.Selembayung menbangkitkan “cahaya” rumah.

· Pekasih rumah, yaitu lambang keserasian dalam kehidupan rumah tangga.

· Tangga dewa yaitu sebagai lambang tempat turun para dewa, mambang,akuan,soko,keramat,dan sidi yang membawa keselamat bagi manusia.

· Dalam upacara bedukun,selembayung yang terdapat pada”balai ancak” nyamengandung makna yang mirip dengan tanggan dewa

· Rumah beradat yaitu sebagai tanda bahwa bangunan itu adalah tempat kediaman

Orang berbangsa,balai atau tempat kediaman orang patut-patut.

· Tuah ruamah bermakna sebagai lambang bahwa bangunan itu mendatangkan tuah kepada pemiliknya.

· Motif ukuran selembayung(daun-daunan dan bunga)melambangkan perwujudan kasih sayang.tahu adat dan that diri.





Sayap layang-layang atau sayap layang



Hiasan ini terdapat pada keempat cucuran atap.Bentuknya hampir sama dengan selembayung, setiap bangunan yang berselembayung haruslah memakai sayap layangan sebagi padanannya.



Menurut para budayawan melayu selembayung ini mengandung beberapa makna antara lain:



· Letak nya pada keempat sudut cucuran atap sebagai lambang “empat pintu hakiki”

· Lambang kebebasan,yang tergambar dalam sayap layang-layang ini adalah kebebasan yang tahu batas dan tahu diri.


lebah bergantung


Hiasan perabung



Hiasan perabung ini terletak di sepanjang perabung ini,disebut “kuda berlari”. Hiasan ini amat jarang dipergunakan .hiasan ini dipergunakan pada perabung istana. Balai kerajaan. Balai adat atau kediaman resmi penguasa tertinggi di wilayahnya



Menurut para budayawan melayu hiasan perabung ini mengandung beberapa makna antara lain:



· Lambang kekuasan yaitu pemilik bangunan itu adalah penguasa tertinggi di wilayahnya

· Ukiran ditengah-tengah berlenggek-lenggek disebut kuyit-kuyit atau gombak-gombak. Ukiran ini melambangkan pusat kekuasaan.







Hiasan lebah bergantung

Hiasan yang terletak dibawah cucuran atap (lesplang ) dan kadang-kadang di bawah anak tangga disebut “lebah bergantung” atau” ombak-ombak”.Lambang ini berpijar pada motif hiasan, yakini”sarang lebah” yang tergantung didahan kayu.



Menurut para budayawan melayu hiasan perabung ini mengandung beberapa makna antara lain:



· Sikap rela berkorban dan tidak mementingkan diri sendiri diangat dari sifat lebah yang memberikan madunya untuk kepentingan manusia.





Hiasan pada pintu dan jendela
 




Hiasan pada bagian atas pintu dan jendelah yang disebut”lambai-lambai”,melambangkan sikap ramah tamah.

Hiasan “Klik-klik” disebut kisi-kisi dan jerajak pada jendelah dan pagar.





Menurut para budayawan melayu hiasan pada jendelah dan pintu ini mengandung beberapa makna:



· melambangkan bahwa pemilik bangunan adalah orang yang tahu adat dan tahu diri.



Lambang pada lubang angin ventilasi



Menurut para budayawan melayu hiasan pada jendelah dan pintu ini mengandung beberapa makna





Lambang pada bidai

Bidai(singap)disebut juga”teban layar” atau “ebek” dan “tebar layar “



Bidai yang terdapat pada balai adat melayu riau adalah bidai tingkat tiga. Bangunan ini khusus untuk istana, balai kerajaan ,balai adat ,atau kediaman datuk-datuk dan orang besar kerajaan,jadi kita bisa membedakan bangunan yang satu dengan yang lain.







tangga








pagar


No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Sifat-Sifat Penghancur Pada Diri Sendiri

Sifat-Sifat Penghancur Pada Diri Sendiri

Thursday, September 2, 2010

Sifat-Sifat Penghancur Pada Diri Sendiri

1. Bashful
Sering menghindari perhatian karena malu

2. Unforgiving
Sulit melupakan sakit hati atas ketidakadilan yang dialami, biasa mendendam

3. Resentful
Sering memendam rasa tidak senang akibat tersinggung oleh fakta/khayalannya

4. Fussy
Bersikeras minta perhatian besar pada perincian/hal yang sepele

5. Insecure
Sering merasa sedih/cemas/takut/kurang kepercayaan

6. Unpopular
Suka menuntut orang lain untuk sempurna sesuai keinginannya

7. Hard to please
Suka menetapkan standar yang terlalu tinggi yang sulit dipenuhi oleh orang lain

8. Pessimistic
Sering melihat sisi buruk lebih dulu pada situasi apapun

9. Alienated
Sering merasa terasing/tidak aman, takut jangan-jangan tidak disenangi orang lain

10. Negative attitude
Jarang berpikir positif, sering cuma melihat sisi buruk/gelap setiap situasi

11. Withdrawn
Sering lama-lama menyendiri/menarik diri/mengasingkan diri

12. Too sensitive
Terlalu introspektif/ingin dipahami, mudah tersinggung kalau disalahpahami

13. Depressed
Hampir sepanjang waktu merasa tertekan

14. Introvert
Pemikiran & perhatiannya ditujukan ke dalam, hidup di dalam diri sendiri

15. Moody
Semangatnya sering merosot drastis, apalagi kalo merasa tidak dihargai

16. Skeptical
Tidak mudah percaya, mempertanyakan motif di balik kata-kata

17. Loner
Memerlukan banyak waktu pribadi, cenderung menghindari orang lain

18. Suspicious
Suka curiga/tidak percaya kata-kata orang lain

19. Revengeful
Sadar/tidak sadar sering menahan perasaan, menyimpan dendam, ingin membalas

20. Critical
Suka mengevaluasi/menilai/berpikir/mengkritik secara negatif

Sifat-Sifat Penghancur Pada Diri Sendiri

Thursday, September 2, 2010

Sifat-Sifat Penghancur Pada Diri Sendiri

1. Bashful
Sering menghindari perhatian karena malu

2. Unforgiving
Sulit melupakan sakit hati atas ketidakadilan yang dialami, biasa mendendam

3. Resentful
Sering memendam rasa tidak senang akibat tersinggung oleh fakta/khayalannya

4. Fussy
Bersikeras minta perhatian besar pada perincian/hal yang sepele

5. Insecure
Sering merasa sedih/cemas/takut/kurang kepercayaan

6. Unpopular
Suka menuntut orang lain untuk sempurna sesuai keinginannya

7. Hard to please
Suka menetapkan standar yang terlalu tinggi yang sulit dipenuhi oleh orang lain

8. Pessimistic
Sering melihat sisi buruk lebih dulu pada situasi apapun

9. Alienated
Sering merasa terasing/tidak aman, takut jangan-jangan tidak disenangi orang lain

10. Negative attitude
Jarang berpikir positif, sering cuma melihat sisi buruk/gelap setiap situasi

11. Withdrawn
Sering lama-lama menyendiri/menarik diri/mengasingkan diri

12. Too sensitive
Terlalu introspektif/ingin dipahami, mudah tersinggung kalau disalahpahami

13. Depressed
Hampir sepanjang waktu merasa tertekan

14. Introvert
Pemikiran & perhatiannya ditujukan ke dalam, hidup di dalam diri sendiri

15. Moody
Semangatnya sering merosot drastis, apalagi kalo merasa tidak dihargai

16. Skeptical
Tidak mudah percaya, mempertanyakan motif di balik kata-kata

17. Loner
Memerlukan banyak waktu pribadi, cenderung menghindari orang lain

18. Suspicious
Suka curiga/tidak percaya kata-kata orang lain

19. Revengeful
Sadar/tidak sadar sering menahan perasaan, menyimpan dendam, ingin membalas

20. Critical
Suka mengevaluasi/menilai/berpikir/mengkritik secara negatif

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Kerajaan Riau, Bagian dari Sejarah Indonesia atau Malaysia?

Kerajaan Riau, Bagian dari Sejarah Indonesia atau Malaysia?

Backflash
Pengakuan bahwa bahasa Melayu yang menjadi teras bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu Riau, secara implisit berarti juga pengakuan tentang adanya satu pusat kekuasaan yang telah memberi ruang dan kesempatan bahasa dan sastra Melayu itu tumbuh dan berkembang sehingga menjadi aspek budaya yang tinggi nilainya. Itu berarti tak lain kesultanan Melayu Riau lah yang menjadi pusat kekuasaan dan pendorong pertumbuhan budaya tersebut.


Bagi masyarakat Melayu, di Riau terutama pengakuan itu tampaknya sangat penting dan melibatkan emosi. Sebab bagaimanapun selama ini, sekalipun bahasa Melayu diakui telah memberikan sumbangan yang tidak ternilai harganya terhadap pengembangan kebudayaan nasional, namun induk yang membesarkannya hampir tak mendapat tempat yang wajar. Contohnya tak begitu sulit untuk dicari, dan orang cukup melihat buku sejarah nasional Indonesia (Nugroho Notosusanto, Dkk, 1975) yang dianggap sebagai buku babon (standar) bagi penulis sejarah Indonesia. Disitu peranan dan kedudukan Kerajaan Melayu Riau nyaris tak pernah disentuh dan disebut-sebut, bahkan tenggelam dalam kebesaran kekuasaan lain, seperti Aceh.

Lolosnya kerajaan Melayu Riau dari catatan sejarah Nasional itu, kemudian tentu saja menurun ke buku-buku pelajaran sekolah-sekolah yang bersumber dari buku babon tersebut. Di SMPT, atau SMAT misalnya, buku pelajaran sejarah Nasional tak sempat menyebut-nyebut Kerajaan Melayu itu. Apalagi buku pelajaran IPS di sekolah dasar, kecuali yang dipakai di Riau. Mengapa hal demikian bisa terjadi? Apakah sejarah kebudayaan Melayu Riau yang jatuh bangun selama 189 tahun (1722-1911) bukan merupakan bagian sejarah nasional Indonesia, tetapi menjadi bagian sejarah Johor (Malaysia)? Itulah antara lain pertanyaan-pertanyaan menarik yang sudah bergaung jauh sebelum Seminar Nasional Kebudayaa Melayu itu berlangsung.

Sayang selama seminar empat hari itu, pernyataan-pernyataan tersebut hampir tak terjawab. Dan ini pun bisa dimaklumi, terutama karena seminar itu bukanlah seminar tentang sejarah, tetapi tentang budaya yang merangkut berbagai hal secara umum. Sehingga, sekalipun dalam kelompok seminar ada kelompok aspek sejarah, tetapi permasalahan yang dibicarakan sangat beragam dan tidak merupakan suatu pembicaraan khusus tentang sejarah politik dan kekuasaan kerajaan-kerajaan yang pernah ada dan memainkan peranannya di kawasan ini. Apalagi cakupan Melayu dalam pengertian seminar tersebut, bukanlah semata-mata terpacu pada Riau, tetapi sedaya upaya ingin merangkum semua kawasan di Indonesia yang merupakan pendukung dari kebudayaan ini.

Pusat Bajak Laut
Dari sebelas makalah tentang aspek sejarah yang diperbincangkan, hanya empat makalah yang secara langsung menyinggung tentang sejarah politik dan kekuasaan kerajaan Melayu di semenanjung, terutama berkaitan dengan Kerajaan Melayu Riau. Salah satu yang cukup mengelitik adalah makalah Dr Onghokham, (UI-Jakarta) yang berjudul “Pemikiran Tentang Sejarah Riau”, sebuah makalah yang tebalnya hanya sembilan halaman.

Dr Onghokham, seperti kebanyakan sejarahwan dari luar Riau, memang masih belum bersedia untuk penegaskan mana yang dimaksud dengan kerajaan Riau itu. Akibatnya selain acuan ruangan dan waktu menjadi sering tidak jelas, juga pengistilahan yang persis tentang kesultanan. Riau itu pun sering berganti-ganti. Kadang-kadang dipakai istilah Kesultanan Riau, kadang-kadang kerajaan Bintan. Kekaburan itu, sama juga dengan penegasan ahli sejarah itu tentang jejak paling jelas dari kesultanan Riau yang dikatakan abad ke-15, berarti hampir bersamaan dengan masa keemasan kerajaan Melayu Malaka (1400-1528). Sedangkan, dalam berbagai penulisan sejarah, terutama oleh sejarahwan Riau dan Malaysia, pengertian Riau itu sendiri baru ada sekitar tahun 1978, ketika Sultan Ibrahim (1677-1685) dari Johor, memindahkan sementara ibukota kerajaannya dari Batu Sawar (Johor) kehulu Riau. Pusat pemerintahan itu kembali ke Johor tahun 1690 pada masa pemerintahan Sultan Mahmudsyah. Bagi kalangan sejarahwan di Riau sekarang ini, Kesultanan Riau baru terwujud tahun 1722, ketika orang-orang Bugis melantik Tengku Sulaiman sebagai Sultan. Bahkan masih ada pendapat lain yang justru mencatat bahwa Kesultanan Riau (yang lebih sering dipakai, Riau-Lingga) baru punya eksitensi politik dan kekuasaan pada saat lahirnya Trakat London (1824), saat wilayah eks Kesultanan Johor dibagi dua. Riau masuk bagian Sultan Riau Lingga dan dibawah pengawasan Belanda dan Singapura dan Johor, menjadi bagian Semenanjung Melaysia di bawah kekuasan Inggris.

Dr Onghokham juga melihat dalam sejarah perkembangannya Kesultanan Riau itu, atau lebih tepat Riau dahulunya itu, dalam percaturan Politik internasional tidak pernah merupakan pusat kekuasaan terpenting atau terbesar. Wilayah itu hanya menjadi pemukiman orang laut dan tempat pelarian raja-raja yang syah, atau dinasti atau wangsa sah sekitarnya digulingkan. Peranan Kesultanan Riau pada tahun-tahun setelah 1511, yaitu sebagai tempat strategis untuk melakukan gerilya laut, seperti untuk menyerang Protugis di Malaka. Sumber-sumber Protugis, menurut Dr Ong, menyebut gerilnya laut yang berpangkat di pulau Bintan itu sebagai bajak laut. Meskipun untuk pengertian ini, Onghokham perlu mengaris bawahi bahwa pada zaman itu, antara perang, politik, perdagangan dan pembajak laut tak banyak bedanya. Aksi Protugis menyerang Malaka 1511 itupun tak lain sama dengan bajak laut. Demikian juga blokade Belanda terhadap Makasar atau Banten abad ke-17.


Tetapi, bagaimanapun, Dr Onghokham membenarkan bahwa dalam soal budaya, Kepulauan Riau tidak kalah dengan sekitarnya. “Dinasti raja-raja Riau mungkin kalah dalam kekuasaan politik dan kalah dalam kekayaan dengan raja-raja sekitarnya. Namun dalam hal budaya mereka tetap unggul”. Begitu kesimpulan Dr Onghokham. Tidak disebutkan faktor apa yang mendorong lahirnya budaya yang unggul itu.

Tampaknya dalam masalah tersebut Dr Onghokham hanya mencoba mengambarkan selintas perkembangan sejarah, di satu kawasan bernama Riau, sebagai salah satu kawasan kerajaan maritim yang dalam pertumbuhannya tenggelam dalam bayang-bayang kebesaran Kesultanan Malaka.

Saham Raja Kecil
Sejarahwan lain yang berbicara dengan acuan yang lebih jelas tentang pengertian Kesultanan Riau itu, adalah Drs Suwardi Ms (UNRI Pekanbaru) dengan makalahnya “Kesultanan Melayu di Riau: Kesatuan dalam Keragaman). Pokok bahasan bukanlah tentang apa dan bagaimana Kesultanan Melayu di Riau itu, melainkan tentang kesatuan dan keragaman pemerintahan dan peranannya dalam menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai sosial budaya Melayu. Namun, dalam pembicaraan itu pengertian tentang wilayah kesatuaan kekuasaan itu lebih punya batasan dan ruangan serta waktunya.

Suwardi Ms, sejarahwan Riau yang memang sudah cukup banyak mengeluti masalah sejarah yang terjadi dikawasan Riau sekarang ini, memulai pengertian kerajaan-kerajaan Melayu dan berkembang di Riau dari tokoh kontaraversial, Raja Kecil, (Raja Kecik) yang dalam satu perebutan kekuasaan di Kesultanan Johor 1717, berhasil merampas kekuasaan dari tangan Sultan Abdul Jalil Riayatsyah. Raja Kecil, yang dikatakan anak Sultan Johor Mahmudsyah yang mati terbunuh tahun 1699, dan dibesarkan di Minangkabau itu, setelah berhasil merampas tahta kerajaan, kemudian memindahkan kekuasaan itu ke Riau, 1719. Walaupun masa kekuasaan Raja kecil ini di Riau hanya berlangsung empat tahun, namun Suwardi Ms mengganggap Raja kecil sebagi tokoh yang punya andil (saham) besar dalam upaya mewujudkan kembali kesatuan Melayu di Selat Malaka yang dahulu terpecah belah oleh kekuasaan Protugis dan Belanda. Raja kecil yang terusir dari Riau itu, kemudian memilih pusat kekuasaannya yang baru, yaitu Siak,dan kemudian secara bertahap membangun Kesultaanan baru yaitu Kesultanan Siak (1723-1945).

Berdirinya kesultanan Siak, dengan sendirinya mengucapkan pengertian bahwa dikawasan Riau (dalam pengertian geo administrasi sekarang ini) ketika itu, ada dua pusat kekuasaan. Yaitu Riau yang berpusat di Ulu Riau dengan Sultannya Sulaiman Badrul Alamsyah, dan kedua kesultanan Siak dengan penguasanyan Raja kecil. Sekalipun dalam berbagai penulisan, selalu harus ditunjukkan bahwa hulu kedua Kesultanan ini adalah satu, yaitu Kesultanan Johor yang merupakan penerus Malaka. Oleh karenanya banyak juga yang berpendapat bahwa Imperium Melayu di kawasan Semenanjung dan tenggara Asia itu jatuh bangun selama lebih dari lima abad. Dimulai dengan kesultanan Malaka (1400-1528), dilanjutkan Johor (1528-1722), dan ditutup oleh Riau dan Siak yang berakhir tahun 1945. Bahkan mungkin lebih jika dikaitkan dengan munculnya Kesultanan Pahang yang dahulu menurunkan bagian dari wilayah Riau, dan Johor yang kemudian bangkit kembali sesudah Trakat London, 1824.

Namun demikian, dalam kaitan yang lebih khusus, apa yang disebut sebagai Kesultanan Riau itu, adalah eks Kesultanan Johor. Kalau sebelum terjadi perebutan kekuasaan antara keturunan Sultan Malaka dan keturunan Bendahara Tun Habib, Kesultanan Johor itu disebut sebagai Johor, Pahang dan Riau, sesudah perbelahan itu sebutannya menjadi Riau, Johor dan Pahang. Itu bermula dari tahun 1722 saat Sultan Sulaiman dilantik dan menjadikan Riau (dalam hal ini Riau dalam pengertian ibukota dan bukan wilayah) sebagai pusat kekuasaannya. Sementara Johor dan Pahang, keduanya dijadikan daerah pegangan yang masing-masing dikuasai oleh dua Petinggi kerajaan. Johor dibawah seorang Temenggung, dan Pahang dibawah Bendahara. Tahun 1824, wilayah kekuasaan Riau ini tinggal lagi gugusan pulau Bintan, Lingga, Batam, dan Pulau Tujuh (Natuna). Sedangkan Johor dan Pahang serta Singapura masuk wilayah semenanjung dan berdiri sendiri.

Dipandang dari segi kekuasaan dan kedaulatan sebagai sebuah kerajaan yang merdeka dan berdulat, sebenarnya Kesultanan Riau itu hanya berlangsung tak lebih dari 62 tahun (1722-1784). Sebab, dengan berakhirnya perang Riau (1782-1784) dimana Riau dikalahkan oleh Belanda, maka sejak saat itu Riau sudah sepenuhnya berada dibawah kekuasaan VOC. Dalam perjanjian di atas kapal perang VOC “Utrech”, antara lain disebut bahwa Riau mengakui Belanda sebagai penguasa tertinggi, dan pengantian para Sultan dan Wakil Sultan Harus dengan seizin VOC. Riau ketika itu meskipun punya sultan dan perangkat pemerintahan, toh tak lebih dari sebuah koloni yang dalam pengertian kesombongan VOC disebut sebagai daerah “Anugerah sang ratu dan sebagai pinjaman”. Ketika terjadi peralihan kekuasaan antara Belanda dan Inggris akibat perang Eropa 1795, Riau sempat sekejap menjadi negeri merdeka. Ketika Inggris mengambil alih semua kekuasaan Belanda seperti Malaka, dan negeri-negeri lain di Semenanjung Malaysia, Riau, oleh Inggris dinyatakan bebas dan berarti sendiri. Tetapi akibat berbagi kelemahan pemerintahan ketika itu, Riau kembali jatuh ke dalam kencaman Belanda, 1815, ketika seluruh jajahan Belanda yang diambil alih Inggris dikembalikan.

Tenggelam
Jejak-jejak sejarah yang gelap dan saling berbaur itulah yang kemudian membuat Kesultanan Riau yang secara jelas adanya selama 189 tahun itu, seperti terlepas dari catatan sejarah. Ia seakan tenggelam dalam raupan tentang kebesaran sejarah Johor yang dianggap berlangsung dari 1528 sampai dengan tahun 1824, dan tenggelam dalam pengertian sebuah koloni jajahan Belanda (1824-1913), sebelum akhirnya dihapuskan sama sekali dari daftar administrasi pemerintah kolonial Belanda di Indonesia sebagai daerah kerajaan. Ia hanya menjadi sebuah karesidenan yang kemudian menjadi teras daerah kekuasaan propinsi Riau.

Jejak-jejak sejarah yang tenggelam dalam belukar dan kemudian terus terlupakan itu, bukan cuma diterima oleh Kesultanan Riau, juga Kesultanan Siak. Dalam buku-buku sejarah nasional yang dipelajari di sekolah-sekolah tampaknyaber lawan Sultan Siak terhadap VOC di Guntung dan berhasil membantai habis satu datasemen tentara VOC, tak cukup kuat untuk dicatat. Juga dengan perang Riau 1782-1784 yang menewaskan ribuan- tentara VOC dan menenggelamkan sebuah kapal perang komando VOC “Malaka Walvaren” bersama 300 pasukannya. Padahal dalam berbagai penulisan sejarah asing, seperti buku “Jan Kompeni” (C.R. Boxer, SH-1983) perang tersebut ikut dicatat.

Anti Bugis
Usaha untuk merambas belukar sejarah kerajaan-kerajaan Melayu di Riau itu, bukan tak ada. Di Riau sendiri tahun 1975 sudah ada satu seminar sejarah Riau, yang kemudian tahun 1977 diikuti dengan terbitnya buku “Sejarah Riau” (Mukhtar Luthfi, dkk 1977). Tetapi buku sejarah itu ditangguhkan pengedarannya karena ada bagian isinya yang masih jadi sengketa. Sejak awal buku itu sudak dikencam sebagai kurang obyektif dan banyak mengelapkan fakta sejarah. Dalam pembicaraan tentang Kesultanan Riau misalnya, buku itu dikencam sebagai terlalu “Siak Sentris” dan terlalu “Anti Bugis”.

Peranan yang jernih dari bangsawan dan pengusaha Melayu keturunan Bulgis, disulap demikian rupa dan tenggelam oleh berbagi figur keturunan Melayu asli yang sebenarnya tidak begitu amat menonjol. Upaya untuk mengangkat figur Raja Kecik sebagi tokoh utama pemersatu kekuatan dan kekuasaan orang Melayu setelah Malaka runtuh dan Johor tumbang, membuat penulis sejarah tersebut jadi berat sebelah.

Kepincangan dalam penulisan itu, tampaknya ada kaitan dengan upaya melawan berbagai penulisan sejarah yang sudah ada, terutama hasil kerja para penulis dari Kesultanan Riau sendiri, seperti Raja Ali Hajji dengan Tuhfat Annavis, juga terhadap silsilah Melayu Bugis, yang dianggap terlalu “Bugis sentris” pula dan mengenyampingkan sama sekali hasil kecermelangan beberapa tokoh keturunan Melayu, serta serta menyudutkan figur Raja Kecik sebagai “Si Pembuat Onar”

Sayang pertemuan ilmiah yang sudah memilih aspek sejarah sebagai salah satu masalah yang jadi bahasan, tidak sempat menampilkan penulisan tentang sejarah kesultanan-kesultanan Melayu di Riau dan jernih, sehingga belukar sejarah yang sudah semak samun itu menjadi agak lebih terang. Ada beberapa makalah lain, seperti sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur (Tengku Lukman Sinar SH, Medan), tetapi amat sedikit menyentuh tentang Kesultanan Riau yang dianggap sebagai sumber pembentukan bahasa Melayu tinggi itu. (bersambung)

Judul asli: Kerajaan Melayu Riau, Bagian dari Sejarah Indonesia Atau Malaysia?
Tulisan Jurnalistik Rida K Liamsi: Dari Seminar Kebudayaan Melayu

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Kisah Lancang Kuning

Kisah Lancang Kuning

Lancang Kuning Perlambang Riau Gemilang




Mukadimah

Daerah Riau (rumpun melayu Riau) memiliki ribuan pulau yang bertebaran dari lautan cina selatan sampai ke Selat Melaka. Alat perhubungan yang utama adalah perahu layar. Karenanya di daerah ini terdapat berpuluh macam jenis perahu, yang telah dikenal sejak berabad-abad yang silam.
Untuk pelayaran jauh dipergunakan perahu layar yang besar, sedangkan untuk pelayaran dekat dipakai perahu berukuran sedang dan kecil.
Perahu besar disebut : Kici, Pinisi, Tongkang, Kotak dan sebagainya.
Perahu berukuran sedang di sebut : Nadi, Kolek, Keteman, Jung dan sebagainya.
Perahu berukuran kecil dinamakan : Jalur, Sampan Kampar, Sampan Siak, Biduk, dan sebagainya.
Disamping itu ada pula perahu yang khusus dipergunakan untuk berperang. Yang paling terkenal adalah : Lancang dan Penjajab.
Lancang dipergunakan pula untuk kenaikan para Raja dan merupakan “Kapal Komando” dalam angkatan laut kerajaan. Lancang yang menjadi kenaikan raja dan menjadi “Kapal Komando” itu disebut “LANCANG KUNING”.
Lancang Kuning adalah sebagai lambang kebesaran, kejayaan, kekuasaan, dan kepahlawanan. Karenanya Lancang Kuning diabadikan dalam nyanyian rakyat, dijadikan salah satu unsur utama dalam upacara pengobatan tradisional (Belia dan Ancak), dan dituangkan dalam cerita-cerita rakyat serta dalam tarian rakyat.


Asal-Usul
 
 

Belum diketahui sejak kapan Lancang ini bermula dan dipergunakan di daerah Riau ini. Demikian pula penciptanya.

Namun demikian, Lancang umumnya dan Lancang Kuning khususnya sudah disebut dalam nyanyian rakyat (Lagu : Lancang Kuning), disebut dalam cerita rakyat ( Kisah : Lancang Kuning di Bukit Batu, si Lancang di Kampar Kiri, Batang Tuaka di Indragiri Hilir, Pulau Dedap di Kabupaten Bengkalis). Ditarikan dalam tarian rentak Zapin ( Tari Zapin : Lancang Kuning), dijadikan upacara pengobatan tradisional (upacara : Belian dan Ancak) dan sebagainya, maka kita cenderung berpendapat bahwa Lancang Kuning ini telah demikian berakarnya dalam kehidupan rakyat daerah ini sejak beratus-ratus tahun yang silam.
Dugaan ini dikuatkan lagi dengan disebut-sebutnya Lancang sebagai kendaraan penting dalam kisah-kisah kerajaan Riau Bintan, Kerajaan Pekantua, Kerajaan Siak Sri Indrapura, Kerajaan Rokan, Kerajaan Pelalawan, Kerajaan Keritang, Kerajaan Kandis, dan Kerajaan Indragiri, dan lainnya. Oleh sebab itu, negeri Riau disebut pula sebagai Bumi Melayu LancangKuning.
Bentuknya
Lancang umumnya berbentuk panjang, rendah dan ramping. Tiangnya dia buah yang disebut Tiang Agung dan Tiang Cantel. Pada bagian buritan terdapat rumah-rumahan yang disebut Magun.
Menurut cerita turun-temurun, nama Lancang itu berasal dari kata Kencang. Karena kendaraan ini memang sangat laju.
Bagian-bagian Lancang adalah :
Lunas : Kayu dasar pada Lancang, terletak dibagian bawah sekali. Kayu ini dipilih yang keras dan kuat. Pembuatannya tidak disambung-sambung.
Gading-gading : Kayu yang dipakukan kepada lunas menjadi kerangka Lancang. Pemasangannya melengkung seperti tulang dada manusia. Gading-gading ini pun tak boleh bersambung, dan disinilah papan dinding dilekatkan.
Sauk : Sauk adalah tempat pertemuan keduan ujung papan dinding bagian haluan dan buritan. Sauk bagian haluan lebih panjang dari sauk buritan. Bentuknya agak melengkung ke luar. Umumnya pada sauk inilah terletak perbedaan dari jenis-jenis perahu itu. (Ada sauk tegak, sauk yang menjorok ke depan agak rebah dan sebagainya).
Papan susun : Papan susun disebut juga papan tunggul. Papan ini adalah papan dinding Lancang.
Belungkang : Fungsinya sama dengan papan susun, tetapi ukurannya lebih besar dari papan susun. Letaknya paling aras. Untuk Lancang kecil, cukup dengan selembar benang saja.
Ketiap : Papan datar yang terletak di atas belungkang. Bentuknya lebar ditengah, dan lancip ujung pangkalnya.
Tajuk : Adalah kayu khusus berfungsi sebagai sambungan gading-gading, terutama kalau Lancang itu tinggi.
Sento : Kayu penghubung antara sesama gading-gading. Pemasangannya sejajar dengan papan susun, tetapi di bagian dalam.
Leper-leper : Papan yang dipasang menutupi kepala (bagian atas) tajuk.
Pisang-pisang : Balok besar yang dipasang pada bagian luar dinding Lancang, memangjang dari haluan ke buritan.
Julung-julung : Kayu yang menjorok jauh ke depan di atas sauk. Fungsinya untuk mengikat tali layar kecil (jib) dan untuk mengikatkan tali tiang layar.
Timba ruang : Ruangan khusus tempat menimba ait. Biasanya terletak dibagian tengah.
Tiang Agung : Tiang yang paling besar (tiang utama) yang terletak di bagian haluan.
Tiang Cantel : Lebih kecil dari tiang Agung. Letaknya di bagian buritan (dibelakang tiang agung).
Apilan : Sarang meriam yang terletak di haluan. Tetapi ada juga yang diletakkan pada kedua belah sisi Lancang.
Layar : Layar utama di tiang Agung. Layar Cantel di tiang Cantel. Layar Jib di haluan.
Magun : Adalah rumah-rumahan yang terletak di bagian buritan. Bentuk magun ini disesuaikan menurut yang memakainya. Kalau Raja, bentuknya seperti Balai. Bagi yang lain, bentuknya seperti rumah belah bubung. Magun diberi hiasan ukiran, umumnya magun dibuat sebuah. Tetapi adalakalanya lebih, tergantung pada besar kecilnya Lancang dan penggunaannya.
Dandan : Bangunan khusus tempat jurumudi. Bentuknya menyerupai magun, tetapi lebih kecil. Letaknya paling buritan.
Jari lipan : Dayung yang dipakai pada kedua belah sisi Lancang. Dayung ini dijulurkan keluar melalui lubang khusus.
Adang-adang : Kayu tempat mengikatkan layar.
Tali-temali : Tali daman untuk meregang layar.
Tali Bubu
Tali Andang-andang
Tali Temerang
Tali Anak
Tali Jangkar dan sebagainya
Kemudinya : Kemudi Lancang, terletak pada bagian belakang Lancang pada sauk kemudi.
Semua Lancang dilengkapi dengan perlengkapan perang. Bagi Lancang Kuning dihiasi dengan aneka macam ukiran yang ditempatkan pada beberapa tempat seperti pada Magun, pisang-pisang, sauk depan dan belakang, Dandan dan sebagainya.

UKIRAN PADA LANCANG




Pada setiap Lancang terdapat ukiran (ornamen). Pada Lancang Kuning ukiran itu lebih banyak lagi Ukiran itu dibuat dengan berbagai motif sesuai menurut penempatannya.
Ukiran-ukiran itu disebut :
- Itik Pulang petang
- Akar Pakis
- Segi Wajik
- Siku-siku
- Pucuk Rebung
- Bunga Kundur
- Bunga Manggis
- Bintang-bintang
- Awan-awan
- Sayap Layangan
- Kuntum tak jadi

Disamping ukiran diatas, dapat pula diberi variasi lain sesuai selera setempat. Terutama untuk hiasan haluan dan sauknya dibuat ornamen dalam bentuk tertentu, sesuai pula derajat pemakainya.

LANCANG KUNING DI DALAM NYANYIAN

Lagu Lancang Kuning amat dikenal di daerah ini. Siapa penciptanya tidaklah diketahui. Lagu ini diarransir oleh beberapa seniman musik dan telah berulangkali diperdengarkan baik lewat radio, televisi, maupun pertunjukkan lainnya.
Pantun aslinya terdiri dari satu bait. Sedangkan bait-bait lainnya dibuat menurut versi setempat. Pantun asli itu berbunyi :
Lancang Kuning berlayar malam
Haluan menuju ke lautan dalam
Kalau nakhoda kuranglah faham
Alamat kapal akan tenggelam

Pantun ini mengandung pengertian yang dalam. Di dalam pantun inilah sebenarnya terkandung hakekat dari Lancang Kuning itu.

Lancang Kuning sebagai lambang kejayaan, kekuasaan, kebesaran dan kepahlawanan itu kemudian oleh Sang Nakhoda, yakni Pemegang Kekuasaan. Lancang berlayar menuju ke lautan dalam, berlayar di malam hari. Ini melukiskan tujuan yang amat jauh, yang penuh tantangan dan bahaya. Bila Sang Nakhoda kurang paham, bila ia tidak dapat mengemudikan Lancang itu dengan baik, maka akan celakalah semuanya. Lancang itu akan tenggelam. Dan akan tenggelam pulalah seluruh isinya. Akan punahlah kebesaran, kejayaan, keperkasaan dan kepahlawanannya.
Mengapa tidak disebutkan Lancang Kuning berlayar siang atau berlayar soe? Atau berlayar pagi?
Penduduk daeah melayu ini dahulunya mempercayai bahwa malam adalah lambang kegelapan. Malam penuh ancaman, tantangan, mengandung aneka bahaya dan kejahatan. Sehingga bagi masyarakat melayu apabila waktu malam telah tiba, oleh keluarga wajib baginya dan anak cucu nya untuk kembali masuk ke dalam rumah atau pergi ke masjid untuk menunaikan ibadah sholat Maghrib dan selepas itu kembali ke rumah masing-masing. Sampai saat ini tradisi wajib masuk rumah bila waktu petang telah tiba masih dilakukan oleh masyarakat melayu.

Dengan demikian dapatlah ditarik semacam penafsiran bahwa :
Lancang Kuning = Negara
Nahkoda = Penguasa
Malam = Ancaman bahaya
Lautan dalam = Tujuan yang jauh

Jadi jelaslah bahwa nyanyian ini adalah sebagai nasihat yang disampaikan oleh rakyat untuk pemegang kekuasaan. Dan ini akan berkaitan pula dengan peribahasa rakyat yang berbunyi :
Kalau pandai meniti buih
Selamat badan sampai di seberang

 

Lancang Kuning di Dalam Tarian


Salah satu tarian berentak Zapin yang amat dikenal di daerah ini adalah Zapin Lancang Kuning.
Tarian ini melukiskan perjuangan pelaut-pelaut Melayu dalam menantang badai dan ombak. Dengan mengangkat sembah kepada mereka yang dihormati, serta memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mereka berlayar mengarungi samudera. Bila angin buritan bertiup Lancang meluncur laju. Tetapi bila angin sakal berhembus mereka terpaksa menentangnya dengan pendayung atau galah. Dan bila turun angin topan. Mereka berjuang dengan sekuat tenaganya. Sampai kelak mereka akan kembali ke pantai dengan sejahtera.

Tarian ini juga mengandung makna yang dalam. Hanay dengan itikad baik dan dengan kerja keras pantang menyerah, cita-cita akan dapat dicapai. Hanya kekompakkan dan kerjasama yang baik Lancang dapat diselamatkan.
Disamping Zapin Lancang Kuning, banyak pula tarian rentak Zapin yang memakai iringan musik lagu Lancang Kuning. Kesemuanya mengandung makna yang sama.

 Lancang Kuning Di Dalam Pengobatan

 
Dalam upacara pengobatan tradisional di daerah ini, Lancang Kuning memegang peranan yang amat menentukan. Upacara itu disebut Belian dan Ancak. Lancang Kuning dibuat dari pelepah rumbia dalam ukuran mini.
Lancang Kuning itu setelah diisi dengan beberapa benda-benda lainnya (beras kunyit, nasi kunyit, bertih, ayam panggang) dan alat sesajian lainnya kemudian dihanyutkan ke sungai oleh Bomo yang disebut Kemantan.
Dalam upacara pengobatan itu, Lancang itu berfungsi sebagai kendaraan untuk Kemantan dalam perjalanan gaibnya untuk mencari ramuan obat, dan sebagai kendaraan bagi hantu setan, jin dan mambang untuk pergi meninggalkan kamoung di mana si rakit berada.
Biasanya dalam upacara itu Lancang Kuning dibuat beberapa buah, dan dilengkapi dengan perahu lainnya sebagai pengiringnya.
Bila Lancang Kuning tidak ada, maka upacara itu tidak dapat dilakukan. Sebab Kemantan dan para raja jin itu hanya mau berlayar dengan Lancang Kuning.
Lancang Kuning untuk kendaraan Kemantan setelah setelah upacara selesai disimpan, sedangkan untuk jin setan dihanyutkan ke laut atau ke sungai.
Upacara menghanyutkan Lancang Kuning itu disebut menghanyutkan Lancang atau membuang Ancak dan malam pelaksanaannya disebut Malam Berhantu.
Dengan demikian dapat pula ditafsirkan bahwa Lancang Kuning merupakan kendaraan yang memegang peranan penting, tidak saja bagi kehidupan nyat, tetapi juga untuk makhluk gaib. Dan ini tentu saja merupakan kepercayaan turun-temurun dari nenek moyang masa lampau.

Bersambung ke Kisah Lancang Kuning di Bukit Batu


Referensi : Tenas Effendy

Tenun Songket Melayu Riau Pekanbaru

Tenun Songket Melayu Riau Pekanbaru



”Bertuah orang berkain songket

Coraknya banyak bukan kepalang

Petuahnya banyak bukan sedikit

Hidup mati di pegang orang”

”Kain songket tenun melayu

Mengandung makna serta ibarat

Hidup rukun berbilang suku

Seberang kerja boleh di buat”

”Bila memakai songket bergelas

Di dalamnya ada tunjuk dan ajar

Bila berteman tulus dan ikhlas

Kemana pergi tak akan terlantar”

Tenun Songket Melayu Pekanbaru merupakan kekayaan asli negeri bertuah, khasanah songket melayu Riau ini amatlah kaya dengan motif dan serat dengan makna dan falsafahnya, yang dahulu dimanfaatkan untuk mewariskan nilai-nilai asas adat dan budaya tempatan. Seorang pemakai songket tidak hanya sekedar memakai sebagai busana hiasan tetapi juga untuk memakai dengan simbol-simbol dan memudahkannya untuk mencerna dan menghayati falsafah yang terkandung di dalamnya. Kearifan itulah yang menyebabkan songket terus hidup dan berkembang, serta memberikan manfaat yang besar dalam kehidupan mereka sehari-hari.



Songket Melayu Pekanbaru pada dasarnya berasal dari (turunan) Songket Melayu Siak. Bila dilirik dari sejarah seni dan budaya melayu di Pekanbaru , bermula pada saat Kesultanan Siak memindahkan pusat pemerintahan sekaligus ibukota kerajaan dari mempura (Siak) ke Kampung Bukit, Senapelan (Pekanbaru) dan dari kawasan yang berada di tepian sungai Siak itulah bermula negeri yang bernama Pekanbaru. Pada awalnya daerah Pekanbarupun merupakan salah satu negeri bahagian dari "Negara" Kesultanan Siak ini. Dengan berpindahnya pusat Kesultanan, tentu saja semua pusat perangkat negeri dan pusat kebudayaan melayu Kerajaan Siak pun juga berpindah ke Pekanbaru, sehingga, seiring waktu bergulir, Kesenian dan kebudayaan melayu pun berkembang pesat di daerah ini. Termasuk juga seni kerajinan Songket melayu yang pada saat itu sebagai simbol busana resmi kerajaan.



Seiring bergulirnya waktu pula, hingga sampai masa Riau bergabung dengan Indonesia merdeka, berkembangnya zaman dan kemajuan teknologi, seni dan budaya asli Pekanbarupun perlahan-lahan mulai hampir pudar dan terlupakan, khususnya kerajinan tenun songket melayu ini. Dan untuk mencegah pudarnya seni dan budaya melayu, maka pemerintah pada saat itu pun mulai kembali mengangkat dan mengembangkan nilai-nilai budaya melayu sebagai ciri khas dari daerah ini. Namun tidak begitu maksimal.

Dan seiring berkembangnya era demokrasi Indonesia hingga pasca otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengembangkan dan memajukan daerah termasuk dalam hal seni dan budaya lokal, maka dimulailah ide untuk kembali mengangkat batang yang terendam di Bumi melayu Lancang Kuning ini khususnya di kota bertuah Pekanbaru.


Tenun songket Melayu Pekanbaru digagas Puan Gemilang Songket Negeri Hj Evi Meiroza Herman. Bahkan apresiasi dan prestasi beliau mendapat penghargaan khusus dari Museum Rekor Indonesia (MURI).


Muri menilai tenun songket Melayu memberikan inspirasi dan motivasi kaum perempuan. “Tenun Songket Melayu Pekanbaru menimbulkan inspirasi kreatif yang dapat dikenakan kepada seluruh negara di dunia” ungkap Paulus Pangka, Manager Muri, pada acara penganugerahan rekor Muri tersebut di halaman Bandar Serai Pekanbaru



Selalu ingin berbuat lebih banyak dan bermanfaat bagi masyarakat dan negeri tercinta adalah cerminan sikap sejati dari seorang Hj Evie Mairoza Herman, yang mempunyai gelar Puan Sri Julang Songket Negeri.

Persebatian ide dan keinginan sangat kuat dalam dirinya untuk mengembangkan dan melestarikan tenun songket peninggalan masa silam mengantarkan dia berhasil menjulang marwah Negeri Bertuah. Sehingga Kota Pekanbaru menjadi kota cemerlang di tingkat nasional. Berbagai penghargaan pun di terimanya. Mulai dari penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI) songket terpanjang di Indonesia 2005, dengan panjang songket 17 meter. Selanjutnya 2008 kembali MURI memberikan penghargaan dengan panjang songket 45 meter. Sedangkan akhir 2009, dirinya mendapat Penghargaan Upakarti Jasa Pengabdian dari Kementrian Kebudayaan Indonesia.


Jari-jari lembutnya memang tak begitu lihai menyusun benang demi benang menjadi tenunan songket yang bisa dipakai, tapi hati dan pikirannya terus bergerak, menyulam benang menjadi tenun yang lebih berani, lebih berarti, cerah dan indah dipandang mata.

Pemikiran besar mulai muncul, kata Evie Mairoza, sejak 1999. Saat itu sempat membuat dirinya gundah sehingga harus mewujudkan menjadi kenyataan. Agar terwujudnya tenun songket terkemuka, dirinya terus belajar dan bertukar pikiran dengan siapapun juga. Tidak hanya dengan tokoh budaya, tapi juga dengan para penenun terdahulu.

‘’Tak ada maksud lain dari keinginan dan hasrat yang kuat tersebut, melainkan membangkitkan kembali warisan budaya Melayu di tengah masyarakat dengan niat meningkatkan perekonomian warga melalui tenung songket,’’ kata Evie Mairoza lagi yang merasa senang dengan kerja sama dengan seluruh penenun dan masyarakat membuahkan hasil penghargaan dari Kementrian Pariwisata.

Diakuinya, songket memang sudah ada sejak lama, tapi songket yang dicerahkan dengan motif syarat makna dan filosofi bisa berkembang, terkenal, memasyarakat, meningkatkan ekonomi dan membawa nama harum negeri, itulah tujuan yang ingin dicapai dari pengabdiannya tersebut.

Pembelajaran, didukung sepenuhnya suami tercintanya, Drs H Herman Abdullah yang sehari-hari menjabat sebagai Wali Kota Pekanbaru. Menurutnya agar belajar menenun maksimal dirinya mulai mengumpulkan berbagai tenun songket terdahulu. Terutama yang berumur 50-200 tahun dan dari penenun aslinya. Bahkan diakuinya, dia tak segan-segan meminta tenunan itu untuk mempelajari setiap motif benang yang terpapar pada songket.

‘’Untuk belajar membuat motif, jujur saya tak segan untuk meminta songket kepada penenun aslinya,’’ ucapnya saat itu. Dengan belajar dan terus belajar itulah, diakuinya telah melahirkan 10 motif baru yang kemudian menjadi inovasi terbaru pada tenun songket dengan gaya dan warna berbeda namun tidak meninggalkan motif aslinya. Dari ke 10 motif baru inilah Evie menggandeng beberapa penenun dari 14 penenun yang sudah ada di Pekanbaru untuk membuat songket dengan warna-warna baru, meski diakuinya itu bukanlah hal yang mudah.

Ceritanya, setiap kuntum bunga yang dihasilkan selalu indah dan mengundang hasrat untuk menyentuh, membeli dan memakainya. ‘’Tidak ada bunga pada tenunannya yang tidak menyenangkan mata yang memandang. Jadi berbeda sekali dengan motif tempo dulu yang selalu menawarkan pilih-pilih selera karena minimnya motif,’’ ucapnya.

Dikatakannya 10 motif songket menjadi andalannya, yaitu siku keluang, dengan artian kepribadian yang memiliki sikap dan tanggung jawab menjadi idaman setiap orang Melayu Riau. Selanjutnya motif siku awan, dengan artian budi pekerti, sopan santun dan kelembutan akhlak menjadi asas tamadun Melayu, pengayoman terhadap masyarakat dengan budi pekerti yang luhur.

Selanjutnya pucuk rebung kaluk pakis bertingkat, melambangkan kemakmuran hidup lahiriyah dan batiniah. Sifat yang penting sesuai dengan ungkapan tahu diri dengan perintah, tahu duduk dan tegaknya, tahu alur dan patutnya. Kemudian motif pucuk rebung bertabur bunga cermai, dalam motif ini melambangkan nilai kasih sayang, hormat menghormati, lemah lembut dan bersih hati menjadi acuan dalam budaya Melayu Riau.

Motif berikutnya yaitu siku tunggal, mencerminkan sikap atau perilaku orang Melayu yang amat mengutamakan persebatian iman atau perpaduan umat baik antar sesama Melayu atau pendatang. Sedangkan motif daun tunggal mata panah tabir bintang, mengandung arti nilai falsafah keluhuran dan kehalusan budi, keakraban dan kedamaian. Begitu juga dengan motif wajik sempurna melambangkan sifat Allah SWT yang maha pemurah.

Dan motif tak kalah menarik di antaranya, kata Evie Mairoza yaitu pucuk rebung bertali, yang melambangkan nilai budaya Melayu yang sangat dipengaruhi nilai-nilai Islam. Tambahnya, setelah menghasilkan beberapa motif songket tersebut dirinya terus mengembangkan kerajinan tenun tersebut. Menurutnya, yang semula di Pekanbaru hanya 14 penenun kemudian jumlahnya terus melonjak di Pekanbaru yaitu menjadi 38 penenun. ‘’Pada umumnya para penenun yang saya gandeng para tenaga muda dan masih bersemangat untuk menenun,’’ jelasnya.

Tak hanya menggandeng kata Evie lagi, tapi pembinaan dan pembiayaan terus diberikan. Namun tidak dilepas begitu saja, sebab setiap ada kesempatan dirinya selalu berkunjung ke tempat penenun tinggal dan menjalankan aktivitasnya. Ternyata dalam karya yang membawa tuah negeri Pekanbaru ini tidak hanya sekadar rangkaian benang dan motif yang ditawarkan Evie. Sebab dalam karyanya tersebut, Evie juga menyampaikan syiar agama melalui tenun songketnya.

‘’Sebagian tenun saya bertuliskan salawat yang disuguhkan kepada masyarakat dengan iringan lagu-lagu islam beriramakan melayu berjudul ’’Riau Kemilau’’,’’ jelasnya. Makanya tak heran jika ada pagelaran baik dalam kota maupun luar kota bahkan manca negara Sanggar Mahratu yang dipimpinnya sendiri menyuguhkan penampilan dan atraksi seni songket beriring salawat dipadu dengan musik dan irama lagu Melayu.
Keberhasilan dirinya juga tak cukup dengan memperkenalkan Pekanbaru melalui benang meas dari panggung ke panggung untuk melakukan atraksi perkenalan songket yang ditenunnya. Akan tetapi Evie Mairoza juga menggoreskan karyanya itu dalam buku berjudul Songket dan Budaya Melayu 2005 lalu.

Ternyata kerja kerasnya itu benar-benar menghasilkan prestasi maksimal dan mencengangkan dan membawa semangat baru untuk terus maju mengangkat marwah negeri. ‘’Pujian dan elu-eluan bukan segalanya, tapi saya tetap akan melangkah bagaimana tenunan songket benar-benar membudaya dan dicintai masyarakat luas Riau dan khususnya di Pekanbaru ini,’’ ujarnya.




Angkat Kebudayaan jadi Sumber Ekonomi

Seorang Evie Mairoza tak akan berhenti berkarya, mungkin hal inilah bisa diucapkan setiap ide cemerlangnya terus dituangkan untuk kepentingan masyarakat Pekanbaru. Karena dorongan suami tercintanya, Drs H Herman Abdullah MM terhadap dirinya sangat besar, makanya dia tak berpuas hati sampai di situ saja untuk berbuat.

Kemudian dirinya saat sekarang sedang berupaya mengangkat kebudayaan menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat. Sudah pasti ini sangat menari disimak. Sebab jika hidup berbudaya sudah pasti mengangkat martabat dan marwah seseorang. Karena orang berbudaya naik setingkat lebih tinggi dibandingkan mereka yang tak mengenal budaya.



Bayangkan bagaimana jika budaya sudah menjadi adat (kebiasaan) dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian bayangkan lagi jika adat menjadi sumber rezeki yang mampu mengangkat perekonomian masyarakat. Tentu tidak ada yang sulit jika kita mau membuka diri. Jika ada kemauan di situ ada jalan. Budaya mengangkat marwah, budaya menjadi adat sudah lazim didengar. Akan tetapi adat menjadi sumber perekonomian masyarakat, adalah sebuah gagasan cemerlang, Evie Mairoza Herman yang sudah dikenal dengan gelar Puan Sri Julang Songket Negeri Pekanbaru ini.

Dirinya menggagas lahirnya sebuat adat resam menjadi sumber perekonomian rakyat. Hati dan pikiran Evie Mairoza, memang tak pernah berhenti untuk berkarya dan mengembangkan potensi negeri yang suda ada menjadi sesuatu yang membanggakan. Tenunan benang-benang emas menjadi butir-butir penghargaan yang mengagumkan yang telah dia terima selama ini.

Karyanya di bidang tenun menenun yang ditunjukkan untuk mengangkat perekonomian masyarakat kurang mampu, tetap terus berlangsung hingga saat sekarang. Sekarang ini, ide untuk mengangkat budaya serupa dari sisi yang berbeda telah pun dirancangnya, yakni pernak-pernik adat pelaminan pengantin Melayu yang tetap disandingkan dengan tenung songket sebagai simbol kebudayaan Melayu.

Simbol-simbol budaya di dalam tradisi pengantin Melayu sangat banyak,sangat menarik dan unik. Terutama mulai dari acara merisik, mengantar belanja, malam berinai, tepung tawar dan masih banyak lainnya. Namun jika ditelusuri semua peralatan yang melengkapi perhelatan ini jika digesa dengan baik dan sesuai adat, sudah pasti akan mengangklat harga dan martabat keluarga pengantin perempuan.

Mungkin lebih dari soal marwah, pernak-pernik perlengkapan tersebut jika diolah dengan baik dan bagus, maka akan menjadi kerajinan yang mampu mengangkat perekonomian keluarga. Apalagi keluarga pengantin akan membeli dengan jumlah besar untuk seluruh tamu undangan yang datang dalam acara pernikahan tersebut.

Evie Mairoza mencontohkan, cenderamata yang dibawa pulang tamu undangan. Keluarga pengantin selalu membeli dengan jumlah besar tapi berasal dari daerah lain atau dari luar Pekanbaru, terutama di Jogjakarta dan Bandung. ‘’Dengan begitu tentu uang akan berputar di dua daerah tersebut. Makanya kita berharap pernak-pernik atau cenderamata yang dibawa pulang tamu berasal di Pekanbaru. Dengan begitu tentu harga lebih murah dan perekonomian para masarakat kerajinan tangan kita terangkat, ’’ jelas Evie Mairoza lagi.

Kemudian dia juga mencontohan hal lainnya, yakni saat pengantin pria mengantar belanja. Banyak pernak-pernik yang diperlukan seperti keranjang tempat hantaran. Jadi pengerajin lokal Pekanbaru bisa menyediakan peralatan ini dalam jumlah besar lengkap dengan isinya serta dilengkapi dengan simbol-simbol negeri pada setiap sisinya.

‘’Telur merah yang dibawa pulang tamu, juga sisi lain budaya yang bisa diharap dengan baik dan lagi-lagi menghasilkan uang dan mengangkat perekonomian warga,’’ lanjutnya lagi. Dengan begitu semakin bermakna dan terpandang jika semua pernak-pernik dalam perhelatan ini dilengkapi makna-makna sehingga keluarga penganti mengetahui apa yang tidak diketahuinya selama ini. ‘’Tak kenal maka tak mau. Tak kenal maka tak sayang,’’ ujar Evie Mairoza lagi.

Mungkin orang berusaha keras memakai adat Melayu dalam perkawinan tapi tidak mengetahi maknanya sehingga kesannya hanya setengah-setengah. Oleh sebab itu kalau mereka tahu makna dan simbol adat itu, marwah keluarga akan terangkat. Misalnya, kata Evie Mairoza, cenderamata yang dibawa pulang oleh tamu seperti telur merah. Itu perlu disosialisasikan lengkat dengan maknanya.

‘’Jika semua lengkap, marwah pengantin perempuan dan keluarganya akan jadi sanjungan. Bukan sebaliknya menjadi bahan perbincangan yang tidak enak didengar. Semua pernak-pernik ini akan menjadi sumber ekonomi. Dan sisi kerajinan seperti inilah perlu kita angkat,’’ jelasnya lagi.

Soal pengrajin di Pekanbaru, kata Evie Mairoza, sudah ada, bahkan lumayan banyak. Hanya saja menjadi persoalan, penetapan makna setiap pernak-pernik yang diperlukan dalam adatpernikah. Oleh sebab itu dia berharap, Lembaga Adat Melayu (LAM) bergegas menetapkan makan dan mensosialisasikan kepada setiap sanggar pengantin yang ada sehingga akan lebih tersosialisasi dengan baik jika itu dilakukan. Menurutnya, jika sudah ada penetapan makna, akan lebih bagus jika diseminarkan secara terbuka. Seminar ini juga sebagai salah satu bentuk sosialiasi kepada masyarakat agar mengetahui makna setiap simbol yang ada dalam pernikahan Melayu. Dikatakannya, sebagian besar warga Pekanbaru sudah menggunakan tradisi Melayu meski hanya sebentar.

‘’Maklum saja di pekanbaru ini sangat hetrogen. Misalnya masyarakat dari luar tetap akan memakai adat Melayu, meskipun mereka juga memakai adat mereka. Oleh sebab itu walaupun mereka memakai adat Melayu sebentar tapi ini perlu dipadatkan segala maknanya melalui simbol-simbol tadi. Walaupun memakai adat Melayu hanya sebentar tapi tepat dan bermarwah, sehingga tak terkesan hanya asal-asalan saja. Sebab selama ini masyarakat dari luar tak tahu simbol-simbol adat Melayu tersebut,’’ ucapnya.

Dikatakannya, pernak-pernik tersebut kini sudah banyak dijual masyarakat di Pasar Bawah. Sebagian merupakan hasil karya pengrajin kota lain, namun tak sedikit pula pernak pernik itu hasil karya masyarakat Kota Pekanbaru. ‘’Jika pasaran ini dikuasai warga Pekanbaru secara utuh, lagi-lagi Pekanbaru akan menjadi pusat perdagangan, dan dampaknya dirasakan utuh oleh warga Pekanbaru,’’ tegasnya.



Evie juga mencontohkan pernak-pernik lain yang jika digarap dengan serius dan dilengkapi dengan makna khusus akan mengandung makna yang tinggi. Misalnya, kata dia, meja beralas tenun songket motif pucuk rebung sebagai tempat hantaran belanja. Menurutnya, selama ini, hantaran belanja hanya diletakkan di lantai oleh tuan rumah. Padahal dengan meja khusus dan alas khusus yang mengandung makna, marwah pengantin perempuan dan keluarga terangkat setingkat.

‘’Selama ini, hantaran belanja dipamerkan di lantai. Setelah itu dibawa ke kamar, diangkat lagi ke tempat lain. Jadi tidak bermarwah. Coba kalau diletakkan di meja khusus beralaskan kain tenun pucuk rebung, maknanya akan berbeda. Dari sisi ekonomi, pengrajin alas meja dapat duit. Berputar lagi ekonomi warga ,’’ kata istri Wali Kota Pekanbaru ini.

Keinginannya untuk menjadikan simbol kebudayaan sebagai sumber perekonomian masyarakat tersebut diharapkan akan tercapai seperti yang telah dilakukan terhadap tenun songket. Tenun songket yang dirancang penuh dengan makna pada setiap garis dan baris benangnya itu, kini menjadi sumber pendapatan bagi kaum ibu di Pekanbaru.

Ini terbukti dengan semakin banyaknya jumlah pengrajin tenun songket. Konsumen yang datang memesan juga selalu bertambah setiap harinya.ang dikembangkan benar-benar mampu menjadi sumber ekonomi yang pastinya mendukung pekanbaru sebagai kota perdagangan.

Begitu juga diharapkan pada keperluan pernak-pernik pengantin nantinya. Setelah makna dari setiap simbol ditetapkan, dilanjutkan dengan produksi yang banyak sehingga akan diketahui masyarakat banyak. Dengan demikian pesanan akan terus berdatangan kepada pengrajin. ‘’Kalau saya hanya mendukung saja. Tukang mengajak mengayo-ayokan saja karena yang tahu segala makna itu pasti LAM. Kalau soal pembinaan kepada pengrajin, itu memang tugas saya bersama pengurus PKK. Itu sudah kita lakukan, bahkan kita sudah punya pengrajinnya. Sosialisasi lagi yang perlu, baik segi makna simbol ataupun penggunaannya,’’ beber Evie.

Kembali kata Evie, berhasilnya kerajinan tangan pernak pernik penuh dengan adat dan budaya tersebut tak terlepas dari sosialisasi.


Tenun Songket

Tenunan yang lazim di sebut songket itu dalam sejarah yang panjang telah melahirkan beragam jenis motif, yang mengandung makna dan falsafah tertentu. Motif-motif yang lazimnya di angkat dari tumbuh-tumbuhan atau hewan (sebagian kecil) di kekalkan menjadi variasi-variasi yang serat dengan simbol-simbol yang mencerminkan nilai-nilai asas kepercayaan dan budaya melayu.



Selanjutnya, ada pula sebagian adat istiadat tempatan mengatur penempatan dan pemakaian motif-motif di maksud, serta siapa saja berhak memakainya. Nilainya mengacu kepada sifat-sifat asal dari setiap benda atau makhluk yang dijadikan motif yang di padukan dengan nilai-nilai luhur agama islam. Dengan mengacu nilai-nilai luhur yang terkandung di setiap motif itulah adat resam tempatan mengatur pemakaian dan penempatannya, dan menjadi kebanggaan sehingga diwariskan secara turun temurun .
Orang tua-tua menjelaskan bahwa kearifan orang melayu menyimak islam sekitarnya memberikan mereka peluang besar dalam memilih atau menciptakan motif. Hewan yang terkecil seperti semut, yang selalu bekerja sama mampu membuat sarang yang besar, mampu mengangkat barang-barang yang jauh lebih besar dari badannya, dan bila bertemu selalu berangkulan, memberi ilham terhadap pencintaan motif untuk mengabadikan perihal semut itu dalam motif tersebut sehingga lahirlah motif yang dinamakan motif semut beriring.



Begitu pula halnya denagn itik yang selalu berjalan beriringan dengan rukunnya melahirkan motif itik pulang petang atau itik sekawan. Hewan yang selalu memakan yang manis dan bersih (sari bunga), kemudian menyumbangkannya dengan mahkluk lain dan bentuk madu dan selalu hidup berkawan-kawan dengan damainya melahirkan pula motif lebah bergantung atau lebah bergayut.



Bunga-bungaan yang indah, wangi dan segar melahirkan motif-motif bunga yang mengandung nilai dan filsafah keluhuran dan kehalusan budi, keakraban dan kedamaian seperti corak bunga setaman, bunga berseluk daun dan lain-lain. Burung balam, yang selalu hidup rukun dengan pasangannya, melahirkan motif balam dua setengger sebagai cermin dari kerukunan hidup suami istri dan persahabatan. Ular naga, yang di mitoskan menjadi hewan perkasa penguasa samudra, melahirkan motif naga berjuang serindit mencerminkan sifat kearifan dan kebijakan. Motif puncak rebung dikaitkan dengan kesuburan dan kesabaran. Motif awan larat dikaitkan dengan kelemah-lembutan budi, kekreatifan, dan sebagainya.

Dahulu setiap pengrajin diharuskan untuk memahami makna dan falsafah yang terkandung di dalam setiap motif. Keharusan itu dimaksudkan agar mereka pribadi mampu menyerat dan menghayati nilai-nilai yang dimaksud, mampu menyebarluaskan, dan mampu pula menempatkan motif itu sesuai menurut alur dan patutnya. Karena budaya melayu sangat ber-sebati dengan ajaran islam, inti sari ajaran itu terpateri pula dengan corak seperti bentuk segi empat dikaitkan dengan sahabat Nabi Muhammad SWT yang berempat, bentuk segi lima dikaitkan dengan rukun islam, bentuk segi enam dikaitkan dengan rukun iman, bentuk wajik dikaitkan dengan sifat Allah yang maha pemurah, bentuk bulat dikaitkan dengan sifat Allah yang maha mengetahui dan penguasa alam semesta, dan sekitarnya. Menurut orang tua melayu Riau, makna dan falsafah di dalam setiap motif, selain dapat meningkatkan minat-minat orang untuk menggunakan motif tersebut, juga dapat menyebar-luaskan nilai-nilai ajaran agama Islam yang mereka anut, itu lah sebabnya dahulu pengrajin diajarkan membuat atau meniru corak.

No comments:

Post a Comment