Search This Blog

Sunday, November 17, 2013

Deklarasi Kekerabatan Indonesia

Deklarasi Kekerabatan Indonesia

Deklarasi Kekerabatan Indonesia

DALAM UPACARA CERAU PENDAULATAN  KASEH SELAMAT
KEBAWAH DULI YANG MAHA MULIA SRIBADUGA
MAHARAJA SRINALA PRADITHA ALPIANSYAHRECHZA FACHLEVIE WANGSAWARMAN
SEBAGAI KEPALA ADAT BESAR REPUBLIK INDONESIA
PADA TAHUN PABARU 1 KARTIKA 1946 BERTEPATAN 25 NOPEMBER 2009
Kami dari Para Pewaris Kerajaan, Kesultanan se Nusantara,
Kami dari Para Kepala dan Pimpinan Suku se Indonesia
Kami dari Para Pemangku adat, budayawan, pelestari khasanah budaya Bangsa,

Menyatakan dengan sepenuh hati, segenap jiwa raga, demi kokohnya hubungan kekerabatan sebagai sebuah Bangsa, bahwa seluruh dan segenap warga Bangsa adalah satu saudara yang tak terpisahkan satu dengan yang lainnya.
Semua kita adalah darah yang sama untuk menciptakan kemuliaan, keindahan dan kemartabatan Bangsa yang semerbak mewangi.
Menyatakan dengan sepenuh hati, segenap jiwaraga bahwa ikatan bathin antara warga Bangsa, dan tetesan darah setiap anak Bangsa merupakan tetesan darah seluruh Bangsa Indonesia, yang patut dibela, dipertahankan dan dijaga disemua ruang dan waktu.
Menyatakan dengan sepnuh hati, segenap jiwaraga, bahwa persuadaran, kekerabatan adalah anugrah yang tiada terkira dari Yang Maha Kuasa untuk dijadikan energi bagi kemaslahatan Bangsa dan luhurnya peradaban..
Muara Kaman, 25 Nopember 2009
1. Kerajaan Selaparang Lombok
Putra Anom Lalu Suherman Hidayat, SH
Pewaris Kerajaan
2. Kerajaan Bantaeng Sulawesi
Ir. H. Andi Anwar Qamran, M.Si
Karaeng / Raja / Pemangku Adat
3. Kesultanan Dhasa Nawalu Tapanuli
Patuan Bona Bulu
Raja Panusuk
Bersepakat:

1. Kerajaan Kutai Mulawarman
Alpiansyahrechza Fachlevie Wangsa Warman
Gelar KDYMM Sri Baduga Maharaja Sri Nala Praditha

2. Etno Forum
Perhimpunan Kepala Suku se Indonesia
Shri Lalu Gde Pharmanegara
President / Ketua Umum Pengurus Nasional

3. Kalasunda
Ir. Roza Mintaredja

4. Kepala Adat Dayak,
Yuinus Ngayoh

SRI RATU SAADONG KE VII DAN RAJA KUTAI MULAWARMAN MENJALIN SILATURAHMI UNTUK MEWUJUDKAN NUSANTARA JAYA.

SRI RATU SAADONG KE VII DAN RAJA KUTAI MULAWARMAN MENJALIN SILATURAHMI UNTUK MEWUJUDKAN NUSANTARA JAYA.

SRI RATU SAADONG KE VII DAN MAHARAJA KUTAI MULAWARMAN MENJALIN SILATURAHMI UNTUK MEWUJUDKAN NUSANTARA JAYA

Pertemuan Maharaja Kutai Mulawarman ( Maharaja Sri Nala Peraditha Alpiansyahrechdza Fachlevie Wangsawarman ) dan Sri Ratu Saadong VII yakni Raja Tengku Putri Anis ( Raja Perempuan Kelantan ),diawali pertemuan dengan Tokoh Masyarakat Tenggarong,Haji Khairul Anuar dalam rangka membahas pendirian sebuah yayasan yang diberi nama Nusantara Jaya.Pertemuan ini sebelumnya dilangsungkan pada tanggal 22 Disember 2009,dalam pertemuan kekerabatan di Hotel Lesung Batu,di Tenggarong dan selanjutnya Sri Ratu Saadong berkunjung ke Samarinda bertemu dengan Sri Raja Nata Jaya(Drs.Yurnalis Ngayoh) sebagai Kepala Adat Besar Dayak Kalimantan Timur,serta menghadiri pertemuan dengan Awang Ferdian selaku Anggota DPDRI di Tenggarong Seberang.Sampai tanggal 30 Disember 2009 Sri Ratu Saadong VII ke Muara Kaman dan disambut dalam Upacara Adat Bedudus Tatacara Adat Kerajaan Kutai Mulawarman dan dihadiri oleh Pemangku Adat,Mangku Adat,Kepala Adat dari Kecamatan Kota Bangun,dihadiri Kepala Adat Besar Kota Bangun,Sri Adipati Jamhar,dari Kecamatan Kenohan dihadiri oleh Haji Sri Raja Ardiwansyah Pranawijaya sebagai Pemangku Adat Penjunjung Setia Kerajaan Kutai Mulawarman dan dari Kecamatan Sebulu dihadiri oleh Sri Raja Idris Kartapati sebagai Pemangku Adat Gunung Tongkahan dan dari kerabat Kerajaan Kutai Mulawarman dihadiri oleh Perdana Menteri,Mangku Bumi,dan para Menteri lainnya dan dihadiri pula oleh Shri Lalu Gde Pharmanegara Parman gelar Sri Raja Mamancar Negara sebagai Nala Duta Kerajaan Kutai Mulawarman dari Gumi Sasak Lombok Salabaran Nusa Tenggara Barat,juga dihadiri para dewan Nala Duta Kerajaan Kutai Mulawarman dari Kutai Kartanegara.

Maka pada tanggal 31 Desember 2009,dilaksanakan Upacara Adat Kasih Selamat menyambut Duli Yang Maha Mulia Sri Ratu Saadong VII yang didampingi Raja Sazali Raja Hassan selaku Dato’ Penghulu Paduka Seri Setia Diraja,Ibunda tercinta,Raja Fauziah Syed Yaacob Abdullah yakni Permaisura Sri Inang Diraja selaku Menteri Usrah Kesultanan Kelantan,Kakanda Raja Tengku Putra Eedi Mega Raja Sazali yakni Sri Kaya Diraja Empat Belas Lipatan selaku Majlis Orang Kaya-kaya Diraja Kesultanan Kelantan,Adinda pertama yang dikasihi,Raja Tengku Putra Mohd Hussin Raja Sazali yakni Dato’ Panglima Adiwarna selaku Dewan Pertahanan Istana Kesultanan Kelantan,Adinda Tengah Raja Tengku Putri Farhanis Shafifi Raja Sazali selaku Penaung Pergerakan Belia Putra Putri Kesultanan Kelantan,Adinda Muda Raja Tengku Putri Farra Arisha Raja Sazali selaku Penjunjung Kesenian Dan Warisan Kesultanan Kelantan dan yang terakhir Adinda Bongsu Raja Tengku Putri Solfie Salsabilla Raja Sazali selaku Penjunjung Setia Kesultanan Kelantan.Upacara Adat Kasih Selamat ini diselenggarakan di Muara Kaman oleh Kerajaan Kutai Mulawarman bertepatan dengan malam Tahun Baru 2010.Tanggal 1 hingga 2 Januari 2010 diadakan pembahasan tentang Program Kerja Yayasan Nusantara Jaya yang dinaungi(Penasihat dan Pengawas) Sri Ratu Saadong VII sedangkan sebagai (Pengerusi) Ketua Yayasan Maharaja Sri Nala Peraditha Alpiansyahrechza Fachlevie Wangsawarman.Yayasan ini bertujuan untuk mengumpulkan seluruh Raja-raja Nusantara mahupun Raja-raja yang ada di dunia ini bersama-sama berganding bahu berbakti kepada Agama,nusa dan bangsa demi memartabatkan kemuliaan serta ketinggian nilai ketokohan seseorang Raja.Selain itu,Yayasan Nusantara Jaya ini juga bertujuan untuk membawa kesejahteraan kepada rakyat di nusantara dengan cara menjalankan program kerjanya di bidang Kebudayaan (Seni Parawisata), Pertanian, Penternakan, Perikanan, Perkebunan, dan program utama yang akan dilaksanakan iaitu pesta Raja Nusantara Kerajaan Kutai Mulawarman ditetapkan sebagai Tuan Rumah yang bertujuan untuk membahas masalah kebutuhan kerajaan-kerajaan,menumbuh kembangkan seni budaya kerajaan,mengembangkan usaha Home industri (kerajinan tradisional rakyat) serta pembinaan ekonomi kerakyatan. Sri Ratu SaadongVII bersama Maharaja Kutai Mulawarman pada tanggal 3 Januari 2010 menghadiri acara Hut Kota Bangun ke 86 dan pisah sambut tahun 2009 Tahun Baru 2010 dan kemudian pada tanggal 5 Januari 2010 Sri Ratu Saadong VII berkunjung di Kediaman Sultan Kutai Kartanegara diterima oleh Sultan Salehuddin II yg sebelumnya beliau mengunjungi, Museum Negeri Mulawarman di Tenggarong disambut oleh Sekretaris Kabupaten dan Putera Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara.Melihat langsung Kalung Uncal yang merupakan lencana Kerajaan Kutai Mulawarman yang terbuat dari emas 18 karat dengan berat 170 gram dengan relif Dewa Rama memanah rusa yang di India kalung ini disebut ‘UNCHLE’ yang artinya rusa dan kalung tersebut dikalungkan kepada Sri Ratu Saadong VII oleh Putera Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara kerana beliau berhak dan sebelumnya sudah mendapat restu dan perkenan daripada Sri Paduka Maharaja Kutai Mulawarman dari Muara Kaman selaku Pewaris Takhta budaya Kerajaan Tertua di Nusantara dan menurutnya kalung tersebut tidak boleh dipakai oleh sembarang orang kerana kalung tersebut adalah lencana kebesaran.Maka dengan sendirinya Sri Ratu Saadong VII berhak pula duduk di takhta Kerajaan Kelantan sebagai keturunan Raja-raja Nusantara.Hal ini dibuktikan dengan silsilah Sri Ratu Saadong VII sendiri adalah bermula dari Arab,Gujerat(India)Raja Champa(Kemboja),Majapahit(Jawa Timur),R aja Goa (Sulawesi). Pattani (Thailand), Sulu (Phillipina), Siak Inderapura (Sumatera), Aceh (Sumatera), Perak dan Kelantan di Malaysia.

MAJELIS KERAPATAN AGUNG ADAT NUSANTARA

MAJELIS KERAPATAN AGUNG ADAT NUSANTARA

ANGGARAN DASAR
MAJELIS KERAPATAN AGUNG ADAT NUSANTARA Muqadimah
Amanah kebudayaan bangsa ini haruslah menjadi tanggungjawab seluruh komponen bangsa, pemerintah, pewaris dan wargabangsa. Kesadaran akan amanah besar dalam mempertahankan nilai luhur negeri ini menjadi suatu kewajiban yang melekat pada dzat kehidupan setiap diri dan generasi rakyat Indonesia.
Alamat kemartabatan bangsa Indonesia haruslah dipertahankan dan diraih kembali menjadi suatu keagungan yang dijunjung tinggi oleh semua pihak. Alamat kemartabatan yang dahulu pernah harum mewangi dan menjadi taman bagi pengembangan budipekerti di dunia ini haruslah kembali menjadi istana di jiwa masing – masing kita.
Kemuliaan yang harus terus dijaga nilai, logika dan prasyarat dalam pola tertibnya terindah, sehingga memenuhi kedalaman makna, keelokan budi, keindahan bentuk dan sebagai wujud keberserahdirian pada Yang Maha Segala Maha.
Negeri yang ditakdirkan sangat kaya ini, gemah ripah loh jinawi, subur makmur tentram kerta raharja, adalah surga yang diwujudkan dimuka bumi, haruslah disyukuri dengan keimanan, kesyukuran dan langkah konkrit untuk menjaga melesatarikannya. Upaya itulah yang menjadi pandu harapan bagi seluruh ikatan persaudaran, darah yang mengalir disetiap anak bangsa, darah kecintaan yang penuh kesyukuran pada illahi, betapa negeri ini penuh anugrah, dan ampunan dari Yang Maha Kuasa.
Untuk itu, ketika nadi kebangsaan itu, berkumpul, menyatu dan menyatakan diri dalam suatu pemahaman yang paripurna tentang keberadaan dan makna kehadirian insane di bumi sebagai khalifah fil ardh, maka terpanggillah untuk melakukan upaya sungguh – sungguh untuk melestarikan, memberikan perlindungan terhadap khasanah budaya bangsa yang tersisa disetiap lokus; didarat maupun dilaut, digunung maupun dingarai, di istana maupun digua – gua, sebagai bagian yang tiada terpisah dari tafsir petanda dalam lintasan ruang dan waktu.
Fakta persaudaran bangsa ini adalah, ternyata seluruh kita lahir bersaudara berkait darah satu dan lainnya. Kita semua adalah suatu genetic dan jiwa yang sama, dari sabang sampai merauke. Semua berhubungan kawinmawin, ikat mengikat, saling jalin, temali darah yang sangat kokoh dan menjadi sebuah entitas yang tiada tersangsikan lagi. inilah buktinyata Sang Maha Pencipta menggariskan kita semua untuk hidup sebagai sebuah bangsa yang diberkahi, negeri yang makmur dalam Negara kesatuan republic Indonesia. Sebagai wujud keterpanggilan itu, para raja, sultan, ratu, panembahan, penglingsir, pemangku adat, pimpinan lembaga adat, membulat tekad untuk bekerja sungguh sungguh demi pelestarian khasanah kebudayan dan peradaban ini, dengan membentuk sebuah organisasi beserta ketentuan sbb:

BAB. 1 NAMA, KEDUDUKAN DAN AZAS
Pasal 1,. Nama, kedudukan dan hari lahir organisasi
Organisasi ini bernama MAJELIS KERAPATAN AGUNG ADAT NUSANTARA
1. Organisasi atau disingkat Majelis.
2. Organisasi ini berkedudukan di ibukota Republik Indonesia.
3. Organisasi ini digagas tanggal 27 Maret 2010 ( tanggal dua puluh tujuh bulan maret tahun dua ribu sepuluh), dan didirikan pada hari ini, tanggal 27 Maret 2010 ( tanggal dua puluh tujuh bulan maret tahun dua ribu sepuluh), untuk jangka waktu yang tidak ditentukan.
4. Hari Pendirian tanggal 27 Maret 2010 ( tanggal dua puluh tujuh bulan maret tahun dua ribu sepuluh), tersebut diyatakan sebagai Hari Rahmat Organisasi
Pasal 2. Azas
Organisasi ini berazaskan Pancasila
Pasal 3 Sifat
1. Organisasi ini bersifat independent, dan bukan merupakan bagian dari organisasi lain.
2. Organisasi ini dapat bekerjasama degnan pihak manapun, baik didalam maupun luarnegeri, sesuai dengan hokum yang berlaku.
3. Organisasi merupakan induk organisasi kerajaan, kesultanan dan keraton di indonesia, dapat membentuk organisasi, forum dan perhimpunan, aliansi lain sepanjang tidak keluar dari azas dan tujuan organisasi.
BAB 2, TUJUAN DAN USAHA
Pasal 4. tujuan umum
Organisasi ini bertujuan untuk melestarikan, melindungi khasanah kebudayaan, dalam kemartabatan, kemuliaan dan kejayaaan bangsa Indonesia.
Pasal 5. tujuan khusus
1. Melestarikan warisan budaya, benda cagar budaya, dan seluruh sumberdaya pewarisan bangsa.
2. Memperjuangkan martabat, harkat dan marwah bangsa Indonesia dalam kearifan sekaligus mengembalikan kejayaan bangsa Indonesia yang pernah diraihnya dahulu.
3. Menampakan wajah Indonesia dalam diplomasi nasional maupun internasional sebagai bentuk perlindungan nilai – nilai Negara kesatuan republic Indonesia.
4. Memberikan perlindungan terhadap seluruh warisan budaya dan nilai – nilai yang terkandung didalamnya.
5. Menguatkan nilai – nilai kemartabatan, kemuliaan seluruh wargabangsa Indonesia.
6. Menguatkan kearifan tradisional sebagai modal dasar pembangunan dalam berbagai aspek dan dimensnya.
7. Meningkatkan kesejahteraan para pewaris dan pelestari khasanah budaya bangsa.
8. Mengelola sumberdaya kebudayaan sebagai sumberdaya ekonomi, social dan integritas insani.
Pasal 6. usaha
Dalam upaya mencapai tujuan organisasi ini, dilakukan usaha;
1. Bekerjasama dengan pemerintah, dan pihak pihak lain dalam pelestarian dan perlindungan khasanah budaya bangsa.
2. Memperkuat kemartabatan and kemuliaan bangsa secara keseluruhan dalam ketauladan dan budipekerti yang agung.
3. Mengembangkan media pengembangan khasanah kebudayaan nasional dalam bentuk film, jurnal, website, dan media lainnya.
4. Menyelenggarakan berbagai kegiatan dalam rangka memperkokoh kemartabatan dan kemuliaan berbasis kearifan tradisional, keagungan keraton dan pengalaman kejayan kerajaan – kerajaan di Indonesia.
5. Melakukan upaya menyeluruh untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, para pewaris, pemangku adat, pemimpin komunitas dan seluruh kerabat/ sentana / zuriyat keraton dan kerajaan se Indonesia.
6. Melakukan upaya untuk meningkatkan pendapatan rakyat dengan pengelolaan sumbedaya alam, sumberdaya budaya, sumberdaya genentik, sumberdaya pengetahaun tradisi, sumberdaya folklore dalam kemartabatan dan kemuliaannya yang agung dan berkeindahan.
7. Mengembangkan kelembagaan dalam upaya partisipasi pembangunan dan penguatan sumberdaya kerajaan dan kesultanan.
8. mewakili seluruh komponen budaya dalam forum – forum nasional dan internasional yang menyangkut kearifan keraton dan kejayaan-kejayaannya.
9. Melestarikan ilmu, pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh keraton, kerajaan dan kesultanan di Indonesia.
10. Memperjuangkan hak-hak tradisi dan hak yang melekat pada masing –masing keraton, kerajaan dan kesultanan sebagai bentuk khasanah budaya bangsa.
11. Mengupayakan usaha-usaha yang halal dan baik yang dapat mendukung tujuan organisasi
BAB 3. KEANGGOTAN, KOMPONEN ORGANISASI
Pasal 7. anggota
Anggota adalah para kerajaan, kesultanan, keraton, kedatuan dan istilah yang dipersamakan dengan itu.
Pasal 8. komponen organisasi
1. Komponen organisasi terdiri dari Dewan Pimpinan Tertinggil, Dewan Pertimbangan Agung, Dewan Pimpinan Wilayah dan dewan pertimbangan wilayah.
2. Dewan Pimpinan Tertinggil adalah para anggota yang berkenan menjadi pengurus ditingkat nasional dan menerima amanah nasional dan internasional.
3. Dewan Pimpinan Tertinggil mengangkat dan mengusulkan Dewan Pembina, Dewan Penasehat, Dewan Pakar dan Dewan Kehormatan.
4. , Dewan Pertimbangan Agung,adalah pelaksana tugas dan tatalaksana organisasi secara nasional
5. Dewan Pimpinan Wilayah adalah para anggota dalam wilayah tertentu yang berkenan menerima amanah wilayah ditingkat propinsial.
6. Bila diperlukan atas persetujuan Dewan Pimpinan Tertinggil , Dewan Pertimbangan Agung, maka Dewan Pimpinan Wilayah dapat membentuk Dewan Pertimbangan Agung Wilayah.
7. Bila diperlukan atas persetujuan Dewan Pimpinan Tertinggil, Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Pimpinan Wilayah, maka para anggota pada suatu kabupaten / kota tertentu dapat membentuk Dewan Pertimbangan Agung Daerah.
8. Dalam hal pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Daerah, maka seluruh anggota didaerah tersebut harus berkenan diamanahkan sebagai Dewan Pimpinan Daerah.
9. Dewan Pimpinan Tertinggil dapat berbentuk matriks, yang terdiri dari: Dewan Pimpinan Tertinggil, Dewan Pakar, Dewan Kehormatan, Dewan Pembina .
10. Tata aturan dan pembagian peran, tugas dan tanggung jawab antar komponen akan diatur dalam anggaran rumah tangga/ ART dan Peraturan Organisasi / PO yang merupakan turunan semangat dari Anggaran Dasar / AD ini.
BAB 4. INSTITUSI PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Pasal 9. Pengambilan keputusan dalam organisasi ini adalah:
1. Sidang Majelis Agung Kerajaan dan Kesultanan Indonesia ( Sidang Majelis Agung )
2. Sidang Majelis Madya Kerajaan dan Kesultanan Indonesia ( Sidang Majelis Madya)
3. Rapat Kerja Nasional ( Rakernas )
4. Pertemuan Majelis Agung Kerajaan dan Kesultanan Indonesia ( Pertemuan Majelis Agung)
5. Pertemuan Majelis Madya Kerajaan dan Kesultanan Indonesia ( Pertemuan Majelis Madya)
6. Rapat Kerja Wilayah ( Rakerwil)
7. Konferensi Raja dan Sultan ( KRS)
8. Rapat Konsultasi Dewan Pertimbangan Agung
9. Rapat Konsultasi Dewan Pertimbangan Wilayah
Pasal 10. Fungsi – fungsi institusi pengambilan keputusan
1. Sidang Majelis Agung adalah pengambilan keputusan tertinggi organsiasi untuk perubahan anggaran dasar / anggaran rumah tangga dan pemilihan wali amanah organisasi.
2. Sidang Majelis Madya adalah pengambilan keputusan strategis organisasi yang diselenggaran diantara 2 sidang agung
3. Rakernas adalah wahana sosialisasi, perencanaan and evaluasi program.
4. Pertemuan Majelis Agung adalah forum dialog raja – raja / sultan ditingkat regional.
5. Pertemuan Majelis Madya adalah pensepakatan strategis ditingkat regional.
6. Rakerwil adalah wahana sosialisasi, perencanaan dan evaluasi program tingkat regional.
7. KRS adalah pertemuan para raja, sultan, datu untuk menghasilkan rekomendasi atau memorandum
8. Rakon DPA adalah rapat konsultasi DPA dengan DPT, DPW, DPAW dan multipihak lainnya.
9. Rakon DPAW adalah rapat konsultasi DPAW dengan DPW, DPA, para raja dan mulitipihak lainnya.
BAB V. KEKAYAAN ORGANISASI
Pasal 11 sumber kekayaan organisasi
Kekayaan organisasi ini didapat dari:
1. Sumbangan pendiri dan penggagas organisasi
2. iuran anggota
3. sumbangan donator dan bantuan yang tidak mengikat
4. anggaran pemerintah republic Indonesia
5. kerjasama yang saling menguntungkan
6. usaha – usaha lain yang sah
pasal 12. aturan kekayaan
1. Penggunaan kekayaan organsisasi diatur dalam anggaran rumah tangga
2. besarnya iuran anggota dan sumbangan diatur dalam anggaran rumah tangga
3. Besarnya iuran anggota dan kerjasama para pihak diatur dalam anggaran rumah tangga
Pasal 13.
1. Laporan keuangan organisasi dilakukan secara transparan dan akuntabel
2. Laporan keuangan berkala dilakukan pada sidang majelis agung dan pertemuan majelis agung dan institusi pengambilan keputusan lainnya.
3. Pertanggung jawaban keuangan pada sidang majelis agung dan pertemuan majelis agung dilakukan dengan jasa auditor.
BAB VI. PERUBAHAN DAN PEMBUBARAN
Pasal 14. perubahan
Organsiasi ini hanya dapat diubah oleh sidang majelis agung yang dihadiri oleh 2/3 ( dua pertiga) dari seluruh peserta yang berhak hadir.
Pasal 15. pembubaran
1. Organisasi ini hanya dapat dibubarkan oleh sidang majelis agung dengan suara bulat.
2. apabila organisasi ini bubar, maka kekayaan organisasi akan diserahkan pada organisasi sejenis yang memiliki tujuan dan usaha yang sama dengan organsiasi ini.
Jakarta, 27 Maret 2010
ANGGARAN RUMAH TANGGA
MAJELIS KERAPATAN AGUNG ADAT NUSANTARA
BAB. I Hak dan Kewajiban Anggota
Hak dan kewaijban
Pasal 1. Hak Dewan Pimpinan Tertinggil
1. Dewan Pimpinan Tertinggil, memiliki hak untuk mewakili dan mengatasnamakan kepentingan organisasi sesuai dengan kepatutannya.
2. Dewan Pimpinan Tertinggil berhak untuk mengusulkan gagasan dan mengemukakan pendapat atas nama organisasi
3. Dewan Pimpinan Tertinggil berhak mendapatkan fasilitas yang memadai sesuai dengan kepatutan dan kebutuhannya.
4. Dewan Pimpinan Tertinggil berhak mendapatkan informasi tentang organisasi
5. Dewan Pimpinan Tertinggil berhak untuk mengetahui semua program dan keuangan organisasi
Pasal 2. Kewajiban Dewan Pimpinan Tertinggil
1. Dewan Pimpinan Tertinggil berkewajiban untuk memelihara etika, sikap saling menghormati dan menghargai sesuai dengan kemuliaan yang disandangnya.
2. Dewan Pimpinan Tertinggil berkewajiban untuk membiayai organisasi sesuai dengan rancangan anggaran yang disepakati
3. Dewan Pimpinan Tertinggil berkewajiban menjalankan amanah organisasi sesuai dengan kebersediaan, kesempatan dan tanggungjawab masing – masing maupun kolektif.
4. Dewan Pimpinan Tertinggil berkewajiban memberikan arahan kepada Dewan Pertimbangan Agung, baik diminta maupun tidak diminta
Pasal 3. Hak Dewan Pertimbangan Agung
1. Dewan Pertimbangan Agung berhak mendapatkan anggaran yang memadai untuk menjalankan operasional organisasi secara baik dan hikmah.
2. Dewan Pertimbangan Agung berhak mewakili kepentingan organisasi sesuai dengan kewenangan yang melekat padanya.
3. Dewan Pertimbangan Agung berhak mengatasnamakan organisasi untuk kerjasama dan hubungan antar lembaga sesuai dengan amanah Dewan Pimpinan Tertinggil.
4. Dewan Pertimbangan Agung berhak mendapatkan fasilitas yang memadai untuk menjalankan tugas-tugasnya.
5. Dewan Pertimbangan Agung berhak untuk mengkoordinasi, mendapatkan informasi untuk kepentingan organisasi
Pasal 4. Kewajiban Dewan Pertimbangan Agung
1. Dewan Pertimbangan Agung berkewajiban menjalan opreasional organisasi secara baik dan akuntabel sesuai dengan standar operasional organisasi
2. Dewan Pertimbangan Agung berkewajiban melaporkan seluruh program dan kegiatannya pada Dewan Pimpinan Tertinggil,
3. Dewan Pertimbangan Agung berkewajiban melayani, mendukung dan menfasilitasi seluruh kepentingan anggota organisasi sesuai kebutuhan dan harapan anggota.
4. Dewan Pertimbangan Agung berkewajiban menjaga nama baik organisasi baik didalam maupun diluarnegeri.
Pasal 5. Hak dan Kewajiban Dewan Pimpinan Wilayah, dan Dewan Pertimbangan Agung Daerah
1. Hak dan kewajiban dewan pimpinan wilayah merupakan derivasi hak dan kewajiban Dewan Pimpinan Tertinggil ditingkat propinsi.
2. Hak dan kewajiban dan Dewan Pertimbangan Agung Daerah, tergantung pada pelimpahan wewenang yang diberikan oleh Dewan Pimpinan Wilayah dan Dewan Pertimbangan Agung Wilayah masing – masing.
BAB II. Tata Cara Pengangkatan Komponen Organisasi
Pasal 6. Tatacara pengangkatan Dewan Pimpinan Tertinggil
1. Dewan Pimpinan Tertinggil dipilih secara kolektif pada Sidang Majelis Agung
2. Pemilihan Ketua Umum ditetapkan secara langsung dan satu paket dalam pemilihan Dewan Pimpinan Tertinggil
3. Dewan Pimpinan Tertinggil meminta kebersediaan para pihak untuk menjadi Dewan Pembina, Dewan Pakar, Dewan Penasehat dan Dewan Kehormatan, sesuai dengan kriteria, kebersediaan dan kesepakatan.
4. Dewan Pimpinan Tertinggil mengesahkan Dewan Pertimbangan Agung
Pasal 7. Tatacara pengangkatan Dewan Pimpinan Wilayah dan Dewan Pertimbangan Agung Daerah
1. Pemilihan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah melalui mekanisme Pertemuan Majelis Agung dan selanjutnya dituntaskan sebuah tim formatur yang dibentuk oleh sidang Majelis itu untuk mengisi komposisi Dewan Pimpinan Wilayah secara keseluruhan
2. Dewan Pimpinan Tertinggil mengeluarkan Surat Keputusan Dewan Pimpinan Wilayah, berdasarkan hasil dari Pertemuan Majelis Agung Propinsi dan pertimbangan dari Dewan Pembina yang berasal dari propinsi yang temaksud. Dengan dasar itulah Dewan Pimpinan Tertinggil melantik seluruh komponen Dewan Pimpinan wilayah.
3. Dewan Pertimbangan Agung membentuk Dewan Pertimbangan Agung Wilayah sesuai dengan Sidang Majelis Agung Propinsi, arahan Dewan Pimpinan Tertinggil, dan permintaan dari Dewan Pimpinan Wilayah yang terpilih dengan mempertimbangkan potensi dan sumberdaya yang tersedia.
4. Dewan Pertimbangan Agung Daerah ditunjuk oleh Dewan Pimpinan Wilayah untuk suatu kabupaten / kota tertentu sesuai dengan pertimbangan dan potensi wilayah masing-masing.
BAB III. Tatacara Penempatan Lokasi dan Tatacara Penyelenggaraan Rapat
Pasal 8. Penetapan Lokasi
1. Lokasi Sidang Majelis Agung ditetapkan oleh Sidang Majelis Agung sebelumnya
2. Lokasi Sidang Majelis Madya dan Rakernas ditetapkan oleh Dewan Pimpinan Tertinggi
3. Lokasi Rakon DPA ditetapkan oleh Dewan Pertimbangan Agung
4. Lokasi Pertemuan Majelis Agung dan Rakerwil ditetapkan oleh Dewan Pimpinan Wilayah
5. Konferensi Raja dan Sultan disesuaikan lokasi sesuai kebutuhannya.
Pasal 9. Tata cara penyelenggaran Rapat majelis
1. Penyelenggaran Sidang Majelis Agung dan Pertemuan Majelis Agung harus didahului dengan pembentukan Dewan Penyelenggara sebagai Organizing Comitte yang khusus untuk itu.
2. Penyelenggaraan Sidang Majelis Madya dan Rakernas dapat dibentuk panitia dengan tanggungjawab operasional tetap ditangani oleh Dewan Pertimbangan Agung
3. Penyelenggaraan Rapat Koordinasi Dewan Pertimbangan Agung dilakukan sewaktu-waktu oleh Dewan Pertimbangan Agung dengan sepengetahuan Dewan Pimpinan Tertinggi
4. Penyelenggaran Rakerwil dapat dibentuk panitia dengan penanggung jawab pada Dewan Pertimbangan Agung Wilayah.
5. Rapat-rapat lain diatur sesuai dengan kepatutan dan kondisi senyatanya dimasing –masing wilayah dan daerah.
BAB IV. Lambang, Lagu dan atribut Organisasi
Pasal 10. Lambang
1. Lambang organisasi majelis Kerapatan Agung Adat Nusantara adalah bergambar kepulauan nusantara dan Burung Rajawali diatas pita diatasnya terdapat mahkota kerajaan dan bertuliskan Jangka Jaya baya Pralampita
2. Makna, warna dan ukuran lambang ditentukan oleh Pedoman tersendiri
3. Lambang organisasi didaftarkan secara hukum
Pasal 11. Lagu
1. Mars Majelis adalah lagu ”Nusantara Jaya” ciptaan Maharaja Kutai Mulawarman.
2. Hymne Majelis adalah lagu ”Peralampita Nusantara” ciptaan Maharaja Kutai Mulawarman.
3. Pengumandangan Mars dan Hymne Majelis akan diatur dalam tatacara keprotokolan.
4. Lagu-lagu dan tembang yang dianggap sebagai lagu dan tembang dari organisasi haruslah disahkan oleh Dewan Pimpinan Tertinggi
5. Hakcipta Lagu dan Mars Majelis ada pada organisasi.
6. Hakcipta Lagu dan Tembang organisasi Majelis ada pada organisasi Majelis dengan mempertimbangkan kesejarahan penciptaan karya-karya tersebut.
Pasal 12. Atribut
1. Atribut tetap organisasi adalah Badge, pin, pataka, bendera (Panji-Panji), dan benda –benda lain yang ditetapkan sebagai atribut tetap organisasi oleh suatu keputusan tersendiri dalam Sidang Majelis Agung.
2. Uniform organisasi ditetapkan secara khusus oleh Dewan Pimpinan Tertinggi.
Bab V. Protokoler
Pasal 13. Protokoler Organisasi
1. Tatacara penyusunan tempat duduk, barisan, fasilitas yang melekat pada pimpinan organisasi ditetapkan secara khusus oleh Dewan Pimpinan Tertinggi
2. Tatacara penyusunan tempat duduk, barisan, fasilitas para Raja, sultan yang masih diperlakukan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia berlaku pula di organsiasi Majelis
3. Setiap level kepemimpinan organisasi harus memiliki staf khusus yang mengurus keprotokoleran para raja, sultan dan pimpinan organisasi Majelis
Pasal 14.cinderamata
1. Cinderamata organisasi akan ditetapkan design dan modelnya melalui keputusan Dewan Pimpinan Tertinggi, yang dapat berubah bervariasi sesuai dengan waktu dan kebutuhannya.
2. Cinderamata dari masing –masing keraton, kerajaan dan kesultanan merupakan bagian khasanah cinderamata bangsa indonesia yang didudukan sesuai dengan harkat dan martabatnya semula di keraton, kerajaan dan kesultanan masing –masing.
3. Cinderamata organisasi didaftarkan secara hukum
4. Pemberian cinderamata ditetapkan sebagai acara wajib pada setiap penyelenggaran sidang majelis agung dan pertemuan agung.
BAB VI Anugrah Gelar Kehormatan
Pasal 15. Gelar Kehormatan di Organisasi
1. Untuk para pemimpin disemua tingkatan diberi sapaan ”Sri”, atau ”Seri” atau ”shri”, baik lisan maupun tulisan..
2. Untuk seluruh para raja, sultan yang masih memiliki keraton yan utuh, mendapat sapaan ” Paduka” atau ”Baginda”, baik lisan maupun tulisan
3. seluruh perangkat keraton disemua tingkatan mendapat sapaan ”Yang Mulia” atau disingkat ”YM”
4. Organisasi Majelis tidak mengeluarkan gelar-gelar khusus.
Pasal 16. Gelar Kehormatan Keraton
1. Gelar Kehormatan masing-masing keraton, kerajaan dan kesultanan adalah hak berdaulat masing –masing.
2. Pihak yang mendapat anugrah kehormatan mendapatkan apresiasi secara khusus oleh organisasi,
BAB VII Kedududukan dan kriteria Komponen Organsisasi
Pasal 17. Kriteria Dewan Pembina
1. Dewan Pembina adalah Raja, Sultan atau yang dipersamakan dengan itu, yang masih berdaulat sehingga kini.
2. Dewan Pembina adalah Raja, Sultan atau yang dipersamakan dengan itu, yang memiliki komitmen terhadap organisasi dan marwah bangsa,
3. Dewan Pembina adalah Raja, Sultan atau yang dipersamakan dengan itu, yang mengakui dan memperjuangkan kuutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 18 Kriteria Dewan Pimpinan Tertinggi
1. Dewan Pimpinan Tertinggi adalah Raja dan sultan yang masih diakui oleh masyarakat dan pemerintah Republik Indonesia.
2. Dewan Pimpinan Tertinggi adalah Raja dan sultan yang memiliki komitmen dan kesempatan untuk mengurus organisasi secara profesional.
Pasal 19. Kriteria Dewan Penasehat
Dewan Penasehat adalah sentana, zuriyat,kerabat keraton, bangsawan maupun ningrat yang memiliki kedudukan strategis didalam tatanan masyarakat indonesia.
Pasal 20. Kriteria Dewan Pakar
Dewan Pakar adalah sentana, zuriyat dan atau kerabat keraton, bangsawan maupun ningrat yang memiliki integritas keilmuan, ke-cendikia-wanan, dan tingkat keilmuan tertentu.
Pasal 21. Kriteria Dewan Kehormatan
Dewan kehormatan adalah semua warga bangsa yang memiliki komitmen konkrit terhadap pengembangan keraton, kerajaan dan kesultanan indonesia dalam berbagai bentuk dan manifestasinya.
Pasal 22. Dewan Pertimbangan Agung
Dewan Pertimbangan Agung adalah sentana, zuriyat, kerabat keraton, bangsawan dan atau ningrat yang memiliki kemampuan managerial, integritas, profesionalitas dan kesempatan untuk mengurus organisasi.
BAB VIII Kode Etik
Pasal 23. Kode Etik
1. Kode Etik Organisasi diatur sebagai bentuk kesepatakan metalmodel kerajaaan dan kesultanan indonesia, untuk upaya mengembalikan binar dan sikap ketauladannya.
2. Kode Etik wajib diikuti oleh seluruh komponen organisasi.
3. Sangsi atas pelanggaran Kode Etik adalah sangsi organisasi
Pasal 24. materi Kode Etik
Kode Etik Majelis Kerapatan Agung Adat Nusantara;
1. Bahwa seluruh raja, sultan, bangsawan dan ningrat Indonesia adalah tauladan bagi penumbuhan kembali khasanah budaya bangsa.
2. Bahwa seluruh raja, sultan, bangsawan dan ningrat indonesia haruslah selaras dengan filosofi kebangsaan yang memiliki keselarasan alam, kehidupan antara manusia dan dirinya sendiri sebagai suatu harmoni yang indah.
3. Bahwa seluruh raja, sultan, bangswan dan ningrat indonesia adalah manggala bangsa untuk menjaga kehormatan negara republik indonesia ditingkat internasional.
4. Bahwa seluruh raja, sultan, bangsawan dan ningrat indonesia adalah selalu kesatria, tanggungjawab dan berbudi luhur dalam setiap amanah yang diberikan kepadanya.
5. Bahwa seluruh raja, sultan, bangsawan dan ningrat indonesia adalah pemuka adat istiadat didaerah masing –masing.
6. Bahwa seluruh raja, sultan, bangsawan dan ningrat indonesia adalah pembela kaum lemah dan memiliki keberpihakan pada kemanusiaan.
7. Bahwa seluruh raja, sultan, bangsawan dan ningrat indonesia adalah energi pelestarian lingkungan dan alam demi keharmonisan dan selerasan hidup.
8. Bahwa seluruh raja, sultan, bangsawan dan ningrat indonesia memiliki komitmen terhadap pembelajaran, pernaskahan, keilmuan dan pengetahuan.
Disahkan di Jakarta, 27 Maret 2010
Majelis Kerapatan Agung Adat Nusantara,

Selogan Lambang Kerajaan Kutai Mulawarman

Selogan Lambang Kerajaan Kutai Mulawarman

Selogan Lambang Kerajaan Kutai Mulawarman adalah “TUAH EMBA ARAI’ Mengenai lambang Kerajaan Kutai Martapura adalah “LEMBU NGERAM’

oleh
Selogan lambang Kerajaan Kutai Martapura adalah “TUAH EMBA ARAI’ yang mengadung arti dan makna sebagai berikut :
Tuah adalah sesuatu yang bermanfaat dapat disebut ilmu, atau kekuatan dan kesaktian seseorang, bahkan suatu keberuntungan karma dalam keseharian orang kutai selalu menyebut “mudah mudahan anaku beuntung betuah” atau jika anaknya mendapat sesuatu yang dapat membanggakan orang lain dan keluarganya maka orang kutai menyebutnya “andok anak beuntung betuah” itulah semacam kebanggaan dan penghargaan pada sang anak.
Emba artinya mencari alas an untuk hidup dimana manusia harus berusaha mencari sesuatu yang dijadikan bekal hidup yang lebih baik, dalam hidup dan mati manusia harus meninggalkan hal yang berguna bagi dirinya, keluarga, dan bangsanya, karena hidup ini harus dipenuhi dengan nafkah menutut ilmu maupun nafkah secara batin.
Arai artinya menciptakan sesuatu karya yang bermanfaat bagi kehidupan baik keluarga maupun bermasyarakat sehingga dihargai, adapun karya itu berbagai hal menyangkut kehidupan manusia di dunia dan dapat dirasakan oleh orang lain.

Mengenai lambang Kerajaan Kutai Martapura adalah “LEMBU NGERAM’ yang mengadung arti dan makna secara yogini menurut ritus agama hindu aliran siswatis yang dianut oleh para raja-raja kutai jaman dahulu sebagai berikut :
Telur Sakan adal lambang cikal bakal keturunan yang melahirkan raja-raja dari keturunan orang yang dihargai dan di hormati serta dianggap sakti dan berdarah peri, karma hanya orang berdarah bangsawanlah yang boleh menjadi raja.
Wujud lembu ngeram di gambarkan berbadan binatang lembu (sapi atau kerbau), bersayap rembewang, berkepala dan berparuh serta bermahkota tumbau, berkuku sakan, artinya :
Badan lembu, adalah seorang raja harus memiliki jiwa raga baik jasmani maupun rohani yang suci dan tulus serta iklas seperti lembu tunggangan batara guru yang iklas membawanya kemana pergi dalam memberikan petuah pada umatnya  lambang dewa batara guru inilah menjadi dasar-dasar falsafah penegak derajat hidup kaum bangsawa dalam mengaromi rakyatnya.
Bersayap rembewang artinya rembewang adalah gaganeswara seekor burung yang dapat menjangkau bumi, air, laut, dan angkasa dalam menegakan kekuasan dan dapat menaungi wilayah kekuasannya artinya raja dapat menjaga ketentraman hidup rakyat disegala penjuru wilayah kekuasaanya.
Berkepala, berparuh dan bermahkota tumbau, artinya raja itu mempunyai kepandaian dengan berdiplomasi raja dapat menundukan lawanya, karma itu titah atau sabda raja adalah hukum bagi kaula dan rakyatnya, dan mahkota tumbau adalah lambang dewa kresna yang memiliki keagungan budi pekerti dan kepandaian serta sebagai dewa pemelihara alam.
Berkuku sakan, artinya kekuatan raja dalam menegakan hukum dan aturan, adalah senjata dalam mempertahankan kekuasaan serta melindungi rakyatnya.

Begitula mistis yang terkandung dalam cerita legenda tersebut, mengenai berbagai persoalan terjadi di negeri kutai sejaman itulah kerajaan ini telah pula dikenal sampai ke luar negeri bahkan kerajaan kutai ini berkuasa selama 1255 tahu lamanya, hingga Negara kerajaan ini menjadi Negara kerajaan pertama di Nusantara. Berdirinya ayu dan rebahnya ayu mengandung arti dan makna bahwa upacara tersebut memiliki awal dan akhir, serta upacara besawai menjamu, merangin,  berarti upacara ini mempunyai wawasan luas menghormati semua kemumulan, kejuntaian, serta pengalasan yang ada ditanah Kutai pada zaman dahulu.

DEKLARASI KERAJAAN KUTAI MULAWARMAN

DEKLARASI KERAJAAN KUTAI MULAWARMAN

DEKLARASI KERAJAAN KUTAI MULAWARMAN

DENGAN DASAR PENGAKUAN MASYARAKAT ADAT DALAM INSTRUMEN HUKUM NASIONAL DALAM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
PENGAKUAN TENTANG MASYARAKAT ADAT
DALAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
Istilah Masyarakat Adat mulai Mendunia setelah pada tahun 1950, dengan melalui ILO sebuah  Badan Dunia di PBB mempopulerkannya lewat isu gelobal tetang Dana World Bank (Bank Dunia) yang ditujukan pada Pendanaan Proyek Pembangunan Sejumlah Negara, melalui kebikjakan OMP (1982), dan OD (1991) yang bertujuan agar adanya keadilan pembangunan setelah kehadiran sejumlah perusahaan transnasional dibidang Pertambangan yang beroprasi diwilayah Masyarakat adat yang adalah masyarakat pribumi, Secara singkat dapat dikatakan bahwa secara praktis dan untuk kepentingan memahami dan memaknai Deklarasi “masyarakat adat” dan “masyarakat/penduduk pribumi” digunakan silih berganti dan mengandung makna yang sama. Pandangan yang sama dikemukakan dalam merangkum konsep orang-orang suku dan populasi/orang-orang asli dari Departemen Urusan Sosial Ekonomi PBB dengan merujuk kepada Konvensi ILO 107 Tahun 1957,  atas rekomendasi No 104 tentang Perlindungan dan Integrasi Penduduk Asli dan Masyarakat Suku dengan diperbaharuinya Konvensi ILO No. 169 Tahun 1989. Deklarasi Masyarakat Hak Asasi Adat (atau Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Masyarakat Adat, atau disebut juga Deklarasi Masyarakat Adat) menyatakan “secara praktis ternyata mereka yang menyebut dirinya sebagai orang asli atau orang suku  yang Dalam Konvensi ILO No.169 tahun 1989, menyatakan bahwa: Bangsa, suku, dan masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa invasi dan penjajahan, yang berkembang di daerah mereka, menganggap diri mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang berada di daerah mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut. Mereka bukan merupakan bagian yang dominan dari masyarakat dan bertekad untuk memelihara, mengembangkan, dan mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya; sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu sukubangsa, sesuai dengan pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka. Realitas Sosial-Budaya Yang Ada di Indonesia, keberadaan entitas masyarakat adat ternyata cukup beragam, serta memperlihatkan dinamika perkembangan yang berpariasi, maka secara garis besar, entitas masyarakat adat tersebut Adalah Kelompok Masyarakat Lokal yang Masih Kukuh berpegang pada perinsip pertapa Bumi  yang sama sekali tidak mengubah cara hidup seperti adat Bertani, Berpakaian, Pola Konsumi, dan Lain-lainya. Bahkan Mereka tetap eksis dengan tidak berhubungan dengan pihak luar dan mereka memilih menjaga menjaga kelestarian Sumber Daya Alam, Maka berdasarkan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Tentang Masyarakat Hukum Adat Beserta Hak-hanya di muat dalam Pasal 18b pada Ayat 1. Berbunyi Negara Mengakui dan Menghormati Satuan-satuan Pemerintah Daerah yang bersipat khusus atau bersipat istimewa yang diatur Undang-undang, ayat 2. Menyatakan Negara Mengakui dan Menghormati Kesatuan-kesatuan masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perinsip Negara Kesatuan republik Indonesia, yang diatur undang-undang.
Atas Dasar Hukum Perubahan atau amandemen Undang-Undang Dasar 1945, itulah yang merupakan mandat kotitusi yang harus ditaati oleh penyelengaraan Negara, untuk mengatur pengakuan dan penguatan dan penghormatan atas keberadaan masyarakat adat dalam suatu bentuk undang-undang. Pasal lain yang berkaitan dengan masyarakat adat, adalah pasal 281, ayat 3 yang menyebutkan Indititas Budaya dan Hak Masyarakat tradisonal dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradapan.
KETENTUAN UMUM TENTANG KERAJAAN KUTAI MULAWARMAN
SEBAGAI LEMBAGA PELESTARI BUDAYA DAN ADAT
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.72 Tahun 2005 Tentang Desa yang berkaitan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 5 Tahun 2007 Tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan berbunyi bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 89, ayat 1). Di Desa dapat dibentuk Lembaga Kemasyarakatan dan ditegaskan dalam pasal 99. Serta berpedoman pada Perda Kab.Kukar No13 tahun 2006 Tentang Lembaga Kemasyarakatan dan Lembaga Adat yang mengacu pada Pasal 97 Peraturan Pemerintah No.72 tahun 2005. Yang berbunyi 1). Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga kemasyarakatan diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat maka Dengan persetujuan bersama DPRD Kukar dan Bupati Kukar memutuskan, Menetapkan Peraturan Daerah Tentang Lembaga Kemasyarakatan Dan Lembaga Adat.
PEMBENTUKAN LEMBAGA ADAT
Didalam Peraturan Menteri dalam negeri Nomor 5 Tahun 2007 Didalam Pasal 2 Ayat 3 disebutkan Pembentukan Lembaga kemasyarakatan Desa Ditetapkan Dalam Peraturan Desa dengan Berpedoman Pada Peraturan daerah, dan dalam Pasal 7 Permendagri, disebutkan bahwa Lembaga Adat Merupakan Salah satu Jenis Lembaga Kemasyarakatan maka dengan membaca kembali Bab XI Pasal 31 ayat 1, Ketentuan Lebih Lanjut Mengenai Lembaga Kemasyarakatan di Desa dan Kelurahan Diatur Peraturan Daerah Kab/Kota dengan Memperhatikan Kondisi Sosial Masyarakat Maka Kami Berpedoman Pada Perda Kab.Kukar No.13 Tahun 2006 Tentang Lembaga Kemasyarakatan Dan Lembaga Adat. Bahwa Adat Istiadat Warisan Budaya Leluhur yang  tumbuh dan berkembang di Kecamatan Muara Kaman yang sesuai dengan Kondisi Sosialnya yang berasal dari Adat Istiadat Dan Asal-Muasal Dibuatnya Kampung Disetiap Desa dalam Wilayah Kecamatan Muara Kaman yang disesuaikan Batas Hulayat dan Silsilah Orang-Orang yang Bertempat Tingal di masing-masing Desa tersebut maka Kondisi tersebut disesuaikan dengan isi Perda Kab. Kukar Nomor 13 tahun 2006,  yang Didalam, bab VII Nama, Bentuk Dan Kedudukan Lembaga Adat pasal 6. Ayat 1).  Maka dengan Demikian Kerajaan Kutai Mulawarman adalah organisasi yang disebut Lembaga Pelestari Budaya dan Dikuatka Dengan Terbentuknya Forum Komunikasi Kerabat Mulawarman dan Lembaga Adat Besar Kecamatan Muara Kaman dan Lembaga Adat Besar Republik Indonesia.

Konvensi Masyarakat Hukum Adat, 1989


1
Konvensi Masyarakat
Hukum Adat, 1989
K169
K169
K169
K169
K169
2
K169 - Konvensi Masyarakat Hukum Adat, 1989
Cetakan Pertama, 2007
Cetakan Kedua, 2009
ISBN 978-92-2-023217-0
Penggambaran-penggambaran yang terdapat dalam publikasi-publikasi ILO, yang sesuai dengan praktik-praktik
Persatuan Bangsa-Bangsa, dan presentasi materi yang berada didalamnya tidak mewakili pengekspresian opini
apapun dari sisi International Labour Office mengenai status hukum negara apa pun, wilayah atau teritori atau
otoritasnya, atau mengenai delimitasi batas-batas negara tersebut.
Referensi nama perusahaan dan produk-produk komersil dan proses-proses tidak merupakan dukungan dari
International Labour Office, dan kegagalan untuk menyebutkan suatu perusahaan, produk komersil atau proses
tertentu bukan merupakan tanda ketidaksetujuan.
Publikasi ILO dapat diperoleh melalui penjual buku besar atau kantor ILO lokal di berbagai negara, atau langsung
dari ILO Publications, International Labour Office, CH-1211 Geneva 22, Switzerland. Katalog atau daftar publikasi
baru akan dikirimkan secara cuma-cuma dari alamat diatas.
Dicetak di Jakarta
3
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan
PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan
untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan produktif dalam kondisi yang
merdeka, setara, aman, bermartabat. Tujuan-tujuan utama ILO ialah
mempromosikan hak-hak kerja, memperluas kesempatan kerja yang layak,
meningkatkan perlindungan sosial, dan memperkuat dialog dalam
menangani berbagai masalah terkait dengan dunia kerja.
Organisasi ini memiliki 180 negara anggota dan bersifat unik di antara
badan-badan PBB lainnya karena struktur tripartit yang dimilikinya
menempatkan pemerintah, organisasi pengusaha dan serikat pekerja/buruh
pada posisi yang setara dalam menentukan program dan proses
pengambilan kebijakan.
Standar-standar ILO berbentuk Konvensi dan Rekomendasi ketenagakerjaan
internasional. Konvensi ILO merupakan perjanjian-perjanjian internasional,
tunduk pada ratifikasi negara-negara anggota. Rekomendasi tidak bersifat
mengikat—kerapkali membahas masalah yang sama dengan Konvensi—
yang memberikan pola pedoman bagi kebijakan dan tindakan nasional.
Hingga akhir 2006, ILO telah mengadopsi 187 Konvensi dan 198
Rekomendasi yang meliputi beragam subyek: kebebasan berserikat dan
perundingan bersama, kesetaraan perlakuan dan kesempatan, penghapusan
kerja paksa dan pekerja anak, promosi ketenagakerjaan dan pelatihan kerja,
jaminan sosial, kondisi kerja, administrasi dan pengawasan ketenagakerjaan,
pencegahan kecelakaan kerja, perlindungan kehamilan dan perlindungan
terhadap pekerja migran serta kategori pekerja lainnya seperti para pelaut,
perawat dan pekerja perkebunan.
Lebih dari 7.300 ratifikasi Konvensi-konvensi ini telah terdaftar. Standar
ketenagakerjaan internasional memainkan peranan penting dalam
penyusunan peraturan, kebijakan dan keputusan nasional.
Pengantar
4
K169 - Konvensi Masyarakat Hukum Adat, 1989
5
Konvensi Masyarakat Hukum Adat*,
1989
K169
K169
K169
K169
K169
Konvensi mengenai Masyarakat Hukum Adat di Negara-Negara Merdeka
(Catatan: Tanggal berlakunya Konvensi: 5 September 1991.)
Konvensi
: K169
Te m p at
: Jenewa
Sidang Konferesi yang ke
: 76
Tanggal diterima dan ditetapkannya Konvensi ini secara resmi
: 27
Juni 1989
Diklasifikasikan dalam pokok bahasan mengenai
: Masyarakat Hukum
Adat
Pokok bahasan
: Masyarakat Hukum Adat
Lihat ratifikasi-ratifikasi yang telah dilakukan terhadap Konvensi ini
Tampilkan naskah Konvensi ini melalui Internet dalam bahasa
: Perancis,
Spanyol
Status
: Instrumen terbaru. Konvensi ini secara resmi diterima dan ditetapkan
setelah tahun 1985 dan saat ini dianggap terbaru.
Konferensi Umum Organisasi Perburuhan Internasional,
Setelah disidangkan di Jenewa oleh Badan Pimpinan Kantor Perburuhan
Internasional, dan setelah mengadakan pertemuan dalam Sidangnya yang
ke-76 pada tanggal 7 Juni 1989, dan
Memperhatikan standar-standar internasional yang terkandung dalam
Konvensi dan Rekomendasi Tahun 1957 mengenai Penduduk-penduduk
Pribumi dan Adat, dan
*
Indigenous and tribal peoples
diterjemahkan menjadi Masyarakat Hukum Adat sesuai
dengan istilah yang dipergunakan Komnas HAM dan Mahkamah Konstitusi. Terjemahan
lain yang umum digunakan adalah masyarakat adat dan masyarakat tradisional.
6
K169 - Konvensi Masyarakat Hukum Adat, 1989
Mengingat ketentuan-ketentuan Deklarasi Universal Hak-Hak Manusia,
Perikatan Internasional ihwal Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
Perikatan Internasional ihwal Hak-Hak Sipil dan Politik dan banyak instrumen
internasional mengenai pencegahan diskriminasi, dan
Menimbang bahwa perkembangan-perkembangan yang telah terjadi dalam
hukum internasional sejak tahun 1957, dan juga perkembangan-
perkembangan dalam situasi masyarakat hukum adat di seluruh wilayah
dunia, telah menyebabkan standar-standar internasional yang baru
mengenai pokok persoalan ini menjadi patut diterima dan ditetapkan
dengan suatu pandangan untuk menyingkirkan orientasi dari standar-
standar sebelumnya yang mementingkan pembauran
Mengenali dan mengakui aspirasi masyarakat hukum adat ini untuk
melakukan pengendalian terhadap institusi-institusi, cara hidup dan
perkembangan ekonomi mereka sendiri dan untuk mempertahankan serta
mengembangkan jati diri, bahasa dan agama mereka, di lingkungan Negara
tempat mereka tinggal, dan
Memperhatikan bahwa di banyak bagian dunia, masyarakat hukum adat
ini tidak dapat menikmati hak-hak asasi mereka sederajat dengan penduduk
lainnya di Negara tempat mereka tinggal, dan bahwa undang-undang,
nilai-nilai, adat-istiadat, dan sudut pandang mereka sering kali telah terkikis,
dan
Meminta diberikannya perhatian pada sumbangan tersendiri dari
masyarakat hukum adat bagi keanekaragaman budaya dan keselarasan
sosial dan ekologi insan manusia dan bagi kerja sama dan pemahaman
internasional, dan
Memperhatikan bahwa ketentuan-ketentuan berikut telah dibingkai dalam
kerja sama Perserikatan Bangsa-Bangsa, Organisasi Pangan dan Pertanian
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan
Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Organisasi Kesehatan Dunia,
dan juga Institut Suku Indian Antar Amerika, pada tingkat yang sepatutnya
dan di bidang masing-masing, dan bahwa diusulkan untuk melanjutkan
kerja sama dalam mempromosikan dan menjamin diterapkannya ketentuan-
ketentuan ini
7
Setelah memutuskan untuk secara resmi menerima dan menetapkan usulan-
usulan tertentu yang menyangkut revisi sebagian dari Konvensi Masyarakat
Hukum Adat, 1957 (No. 107), yang merupakan butir keempat agenda
sidang, dan
Setelah memutuskan bahwa usulan-usulan ini harus dituangkan dalam
bentuk suatu Konvensi internasional yang merevisi Konvensi Masyarakat
Hukum Adat, 1957;
secara resmi menerima dan menetapkan, pada tanggal dua puluh tujuh
Juni tahun seribu sembilan ratus delapan puluh sembilan ini, Konvensi
berikut ini, yang dapat disebut sebagai Konvensi Masyarakat Hukum Adat
Tahun, 1989,
BAGIAN I. KEBIJAKAN UMUM
Pasal 1
1. Konvensi ini berlaku bagi
a. masyarakat hukum adat di negara-negara merdeka yang kondisi
sosial, budaya dan ekonominya membedakan mereka dari unsur-
unsur lain masyarakat nasional, dan yang statusnya diatur secara
keseluruhan maupun sebagian oleh adat atau tradisi mereka
sendiri atau oleh undang-undang atau peraturan-peraturan
khusus;
b. masyarakat hukum adat di negara-negara merdeka yang
dianggap sebagai pribumi karena mereka adalah keturunan dari
penduduk yang mendiami negara yang bersangkutan, atau
berdasarkan wilayah geografis tempat negara yang bersangkutan
berada, pada waktu penaklukan atau penjajahan atau penetapan
batas-batas negara saat ini dan yang, tanpa memandang status
hukum mereka, tetap mempertahankan beberapa atau seluruh
institusi sosial, ekonomi, budaya dan politik mereka sendiri.
2. Penjatidirian terhadap diri sendiri sebagai masyarakat hukum adat
dianggap sebagai kriteria mendasar untuk menetapkan kelompok-
kelompok yang baginya berlaku ketentuan-ketentuan Konvensi ini.
8
K169 - Konvensi Masyarakat Hukum Adat, 1989
3. Penggunaan istilah
suku
dalam Konvensi ini tidak boleh kemudian
diartikan sebagai mempunyai implikasi yang menyangkut hak-hak yang
dapat dilekatkan pada istilah tersebut di bawah hukum internasional.
Pasal 2
1. Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk menyusun, dengan
partisipasi dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan, aksi yang
terkoordinasi dan sistematis untuk melindungi hak-hak dari masyarakat
hukum adat ini dan untuk menjamin dihormatinya keutuhan mereka.
2. Aksi seperti itu meliputi langkah-langkah untuk:
a. memastikan bahwa para anggota dari masyarakat hukum adat
ini mendapat manfaat berdasarkan kesetaraan derajat dari hak-
hak dan kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh undang-
undang dan peraturan-peraturan nasional kepada anggota-
anggota lainnya dari penduduk negara tempat mereka tinggal;
b. mengupayakan terwujudnya secara penuh hak-hak sosial,
ekonomi dan budaya dari masyarakat hukum adat ini dengan
penghormatan terhadap identitas sosial dan budaya mereka,
adat-istiadat dan tradisi mereka, serta institusi-institusi mereka;
c. Membantu para anggota dari masyarakat hukum adat yang
bersangkutan untuk menghapus kesenjangan sosial ekonomi
yang dapat terjadi antara pribumi dan anggota-anggota lain
masyarakat nasional, dengan cara yang sesuai dengan aspirasi
dan cara hidup mereka.
Pasal 3
1. Masyarakat Hukum Adat berhak menikmati hak-hak mereka sebagai
manusia dan kebebasan-kebebasan yang bersifat mendasar tanpa
halangan atau diskriminasi. Ketentuan-ketentuan Konvensi berlaku
tanpa diskriminasi terhadap anggota laki-laki maupun anggota
perempuan dari masyarakat hukum adat ini.
2. Bentuk paksaan atau ancaman pemaksaan tidak boleh digunakan untuk
melanggar hak-hak sebagai manusia dan kebebasan-kebebasan yang
9
bersifat mendasar dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan,
termasuk hak-hak yang terkandung dalam Konvensi ini
Pasal 4
1. Upaya-upaya khusus ditetapkan sebagaimana semestinya untuk
menjaga dan melindungi keselamatan warga, institusi, harta benda,
tenaga kerja, budaya dan lingkungan hidup dari masyarakat hukum
adat yang bersangkutan.
2. Upaya-upaya khusus semacam itu tidak boleh bertentangan dengan
harapan-harapan yang dengan bebas dinyatakan dari masyarakat
hukum adat yang bersangkutan.
3. Dinikmatinya hak-hak umum sebagai warga negara, tanpa diskriminasi,
tidak boleh dikorbankan dengan cara apapun oleh upaya-upaya khusus
semacam itu.
Pasal 5
Dalam menerapkan ketentuan-ketentuan Konvensi ini:
(a) Nilai-nilai dan praktik-praktik sosial, budaya, agama, dan spiritual
[rohani] masyarakat hukum adat ini diakui dan dilindungi, dan hakikat
dari masalah-masalah yang mereka hadapi baik sebagai kelompok
maupun sebagai individu diperhatikan sebagaimana seharusnya
(b) Keutuhan dari nilai-nilai, praktik-praktik dan institusi-institusi dari
masyarakat hukum adat ini dihormati;
(c) Ditetapkan kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk mengurangi
kesulitan-kesulitan yang dialami oleh masyarakat hukum adat ini dalam
menghadapi kondisi-kondisi baru dalam kehidupan dan pekerjaan,
dengan partisipasi dan kerja sama dari masyarakat hukum adat yang
mengalami kondisi-kondisi baru tersebut
Pasal 6
1. Dalam menerapkan ketentuan-ketentuan Konvensi ini, pemerintah:
(a) mengkonsultasikannya dengan masyarakat hukum adat yang
bersangkutan, melalui prosedur-prosedur sebagaimana
25
BAGIAN IX. KETENTUAN-KETENTUAN UMUM
Pasal 34
Hakikat dan ruang lingkup dari upaya-upaya yang akan diambil untuk
melaksanakan Konvensi ini ditetapkan secara luwes, dengan memperhatikan
kondisi-kondisi yang menjadi ciri tiap-tiap negara.
Pasal 35
Penerapan dari ketentuan-ketentuan Konvensi ini tidak boleh merugikan
apa yang merupakan hak dari dan manfaat bagi masyarakat hukum adat
yang bersangkutan menurut Konvensi-konvensi dan Rekomendasi-
rekomendasi lainnya, perjanjian-perjanjian antar negara, atau undang-
undang nasional, keputusan-keputusan, adat kebiasaan atau kesepakatan-
kesepakatan.
BAGIAN X. KETENTUAN-KETENTUAN AKHIR
Pasal 36
Konvensi ini merevisi Konvensi Masyarakat Hukum Adat, 1957.
Pasal 37
Ratifikasi resmi dari Konvensi ini disampaikan kepada Direktur Jenderal
Kantor Perburuhan Internasional untuk didaftarkan.
Pasal 38
1. Konvensi ini bersifat mengikat hanya bagi negara-negara Anggota
Organisasi Perburuhan Internasional yang ratifikasinya telah didaftarkan
pada Direktur Jenderal.
2. Tanggal berlakunya Konvensi ini dihitung dua belas bulan setelah
tanggal ratifikasi Konvensi ini oleh dua negara Anggota didaftarkan
pada Direktur Jenderal
26
K169 - Konvensi Masyarakat Hukum Adat, 1989
3. Selanjutnya, tanggal berlakunya Konvensi ini bagi masing-masing
Anggota dihitung dua belas bulan sesudah tanggal ratifikasi Anggota
tersebut didaftarkan.
Pasal 39
1. Anggota yang telah meratifikasi Konvensi ini dapat membatalkannya
setelah lewat waktu 10 tahun terhitung dari tanggal Konvensi ini mulai
berlaku, dengan suatu undang-undang yang disampaikan kepada
Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional untuk didaftarkan.
2. Tiap-tiap Anggota yang telah meratifikasi Konvensi ini dan yang tidak,
dalam tahun berikutnya setelah lewat kurun waktu sepuluh tahun yang
disebutkan dalam ayat 1, menggunakan hak pembatalan yang
dimungkinkan dalam Pasal ini, akan terikat untuk kurun waktu sepuluh
tahun lagi dan, sesudah itu, dapat membatalkan Konvensi ini saat
berakhirnya tiap-tiap kurun waktu sepuluh tahun menurut ketentuan-
ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal ini.
Pasal 40
1. Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional memberitahu
segenap negara Anggota Organisasi Perburuhan Internasional tentang
pendaftaran semua ratifikasi dan pembatalan yang disampaikan
kepadanya oleh negara Anggota Organisasi.
2. Pada waktu memberitahu negara Anggota Organisasi tentang
pendaftaran dan ratifikasi kedua yang disampaikan kepadanya, Direktur
Jenderal meminta negara Anggota Organisasi untuk memperhatikan
tanggal berlakunya Konvensi.
Pasal 41
Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional menyampaikan kepada
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mendaftarkan, sesuai
dengan Pasal 102 dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, rincian-rincian
lengkap dari semua ratifikasi dan tindakan-tindakan pembatalan yang
didaftarkannya menurut ketentuan-ketentuan dari Pasal-pasal terdahulu.
27
Pasal 42
Pada waktu-waktu yang dipandang perlu, Badan Pimpinan Kantor
Perburuhan Internasional menyampaikan kepada Konferensi Umum laporan
mengenai pelaksanaan Konvensi ini dan mempelajari keinginan untuk
menempatkan masalah revisi Konvensi ini, baik seluruhnya maupun
sebagian, dalam agenda Konferensi.
Pasal 43
1. Apabila Konferensi menerima dan menetapkan suatu Konvensi baru
yang merevisi Konvensi ini seluruhnya atau sebagian, maka, kecuali
Konvensi yang baru tersebut menetapkan lain-
a. ratifikasi oleh suatu negara Anggota terhadap Konvensi perevisi
yang baru tersebut akan secara
ipso jure
(menurut jalannya hukum
itu sendiri) langsung menyebabkan dibatalkannya Konvensi ini,
sekalipun terdapat ketentuan-ketentuan Pasal 39 di atas, apabila
dan pada waktu Konvensi perevisi yang baru tersebut telah
berlaku;
b. terhitung sejak tanggal berlakunya Konvensi perevisi yang baru
tersebut, Konvensi ini tidak dapat diratifikasi lagi oleh negara
Anggota
2. Konvensi ini bagaimanapun juga tetap berlaku dalam bentuk dan isinya
yang sebenarnya bagi negara-negara Anggota yang telah
meratifikasinya tetapi belum meratifikasi Konvensi perevisinya.
Pasal 44
Bunyi naskah versi bahasa Inggris dan versi bahasa Perancis dari Konvensi
ini sama-sama resmi
28
K169 - Konvensi Masyarakat Hukum Adat, 1989