Search This Blog

Tuesday, April 23, 2013

TANOH GAYO Central Atjeh

Add caption

GAYO HISTORY



Suku Gayo

Suku GAYO
COLLECTIE TROPENMUSEUM Een Gajo (Aceh) in bruidskleding naar de adat TMnr 10002771.jpg
Pengantin Pria Gayo Jaman dulu
Jumlah populasi
kurang lebih 85.000.
Kawasan dengan populasi yang signifikan
Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues
Bahasa
Bahasa Gayo
Agama
Islam
Kelompok etnik terdekat
Alas,,Mandailing, Batak dan Karo.
Suku Gayo adalah sebuah suku bangsa yang mendiami pegunungan di tengah Aceh yang populasinya berjumlah kurang lebih 85.000 jiwa. Suku Gayo secara mayoritas terdapat di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues. Suku Gayo beragama Islam dan mereka dikenal taat dalam agamanya. Suku Gayo menggunakan bahasa yang disebut bahasa Gayo.

Daftar isi

Sejarah

Pada abad ke-11, Kerajaan Linge didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan Sultan Makhdum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kesultanan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda.
Raja Linge I, disebutkan mempunyai 4 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga (Ali Syah), Meurah Johan (Johan Syah) dan Meurah Lingga (Malamsyah).
Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lam Krak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamuri atau Kesultanan Lamuri. Ini berarti Kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wih ni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge, Aceh Tengah. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.
Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Linge lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.[1]

Dinasti Lingga

  1. Adi Genali Raja Linge I di Gayo
    1. Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo. Menjadi Raja Karo
    2. Raja Meurah Johan (pendiri Kesultanan Lamuri)
    3. Meurah Silu anak dari Meurah Sinabung (pendiri Kesultanan Samudera Pasai), dan
  2. Raja Linge II alias Marah Lingga di Gayo
  3. Raja Lingga III-XII di Gayo
  4. Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh. Pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau (Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.
Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali diangkat raja-rajanya tapi hanya dua era
  1. Raja Sendi Sibayak Lingga (pilihan Belanda)
  2. Raja Kalilong Sibayak Lingga

Kehidupan sosial

Rumah Adat Gayo Pitu Ruang
Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri dari reje (raja), petue (petua), imem (imam), dan rayat (rakyat).
Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imem, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat.
Sebuah kampong biasanya dihuni oleh beberapa kelompok belah (klan). Anggota-anggota suatu belah merasa berasal dari satu nenek moyang, masih saling mengenal, dan mengembangkan hubungan tetap dalam berbagai upacara adat. Garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matrilokal (angkap).
Kelompok kekerabatan terkecil disebut sara ine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah (klan). Pada masa sekarang banyak keluarga inti yang mendiami rumah sendiri. Pada masa lalu orang Gayo terutama mengembangkan mata pencaharian bertani di sawah dan beternak, dengan adat istiadat mata pencaharian yang rumit.
Selain itu ada penduduk yang berkebun, menangkap ikan, dan meramu hasil hutan. Mereka juga mengembangkan kerajinan membuat keramik, menganyam, dan menenun. Kini mata pencaharian yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman kopi. Kerajinan membuat keramik dan anyaman pernah terancam punah, namun dengan dijadikannya daerah ini sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Aceh, kerajinan keramik mulai dikembangkan lagi. Kerajinan lain yang juga banyak mendapat perhatian adalah kerajinan membuat sulaman kerawang dengan motif yang khas.

Seni Budaya

Kubur tradisional orang Gayo
Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tari Saman dan seni bertutur yang disebut Didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian seperti tari Bines, tari Guel, tari Munalu, sebuku/pepongoten, guru didong, dan melengkan (seni berpidato berdasarkan adat).
Dalam seluruh segi kehidupan, orang Gayo memiliki dan membudayakan sejumlah nilai budaya sebagai acuan tingkah laku untuk mencapai ketertiban, disiplin, kesetiakawanan, gotong royong, dan rajin (mutentu). Pengalaman nilai budaya ini dipacu oleh suatu nilai yang disebut bersikemelen, yaitu persaingan yang mewujudkan suatu nilai dasar mengenai harga diri (mukemel). Nilai-nilai ini diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam bidang ekonomi, kesenian, kekerabatan, dan pendidikan. Sumber dari nilai-nilai tersebut adalah agama Islam serta adat setempat yang dianut oleh seluruh masyarakat Gayo.

Seni dan Tarian

Didong Tari Saman Tari Guel
Didong.jpg Saman dance.jpg Guel dance.jpg

Makanan Khas

  • Masam Jaeng
  • Gutel
  • Lepat
  • Pulut Bekuah
  • Cecah
  • Pengat
  • Gegaloh

Galeri

Sumber

  1. ^ M. Junus Djamil. 1959. Gajah Putih. Lembaga Kebudayaan Atjeh. Kutaraja

Bacaan Lanjutan

  • Bowen, John Richard, 1991,"Sumatran Politics and Poetics : Gayo History, 1900-1989", New Haven : Yale University Press.
  • Bowen, John Richard, 1993,"Return to Sender: A Muslim Discourse of Sorcery in a Relatively Egalitarian Society, the Gayo of Nothern Sumatra", in C. W. Watson and Roy Ellen (Eds.), Understanding Witchcraft and Sorcery in Southeast Asia, Honolulu-Hawaii: University of Hawaii Press.
  • Bowen, John Richard, 1993, "Muslims Through Discourse : Religion and Ritual in Gayo Society", Princeton, N.J. : Princeton University Press.
  • SNOUCK HURGRONJE, C., - Het Gajoland en zijne bewoners.
  • Ibrahim, Mahmud, 2007, "Mujahid Dataran Tinggi Gayo", Yayasan Maqamammahmuda.
  • Wiradyana, Ketut dan Setiawan, Taufiqurrahman, 2011, "Gayo Merangkai Identitas", Gudang Penerbit.

Pranala Luar

" SUKU GAYO "



                                         " SUKU GAYO "



Suku Gayo adalah sebuah suku bangsa yang mendiami pegunungan di tengah Aceh yang populasinya berjumlah kurang lebih 85.000 jiwa. Suku Gayo secara mayoritas terdapat di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues. Suku Gayo beragama Islam dan mereka dikenal taat dalam agamanya. Suku Gayo menggunakan bahasa yang disebut bahasa Gayo.

GAYO RELIGI


GAYO HISTORY



" GAYO HISTORY "

" KERAWANG GAYO "



Kerawang Gayo Central Atjeh.

HOTEL RENGGALI GAYO Central Atjeh


Pemuda dataran tinggi Gayo central Atjeh.


Kondisional, Aceh Harus Dibelah Dua




Pemerintah pusat jangan ragu menerbitkan PERPU tentang Pemekaran/Pembentukan Provinsi ALA/ Karena ALA adalah solusi mempercepat pembangunan di wilayah tengah Gayo, 23/4/2013.
Berdasarkan kajian ilmiah oleh Lembaga Center of Regional Autonomy and Studies (CRAIS) tahun 2003, menggambarkan bahwa ada 7 kriteria yang harus terpenuhi untuk pemekaran suatu daerah. Ketujuh kriteria tersebut antara lain, kemampuan ekonomi, potensi daerah, luas daerah, jumlah penduduk, sosial budaya, politik dan lain-lain.
Secara umum pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara memiliki dasar hukum yg sah, yaitu Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah. Dalam UU tersebut pada BAB III pasal 3 menjelaskan, syarat pembentukan daerah harus memenuhi 7 kriteria, 19 indikator dan 43 sub indikator.
Kemudian UU tersebut dijabarkan melalui Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000 tentang syarat pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah. Secara spesifik dalam peraturan (PP) tersebut menjelaskan, bahwa pemekaran daerah harus mencapai syarat yang telah ditentukan secara objektif. Penilaian objektif yang dimaksud yakni ambang batas kelulusan untuk pemekaran suatu daerah 2.280.
Kalau kita lihat skor nilai calon Provinsi Aceh Leuser Antara sudah melebihi ambang batas kelulusan, yakni 2.355. Sedangkan Provinsi Aceh sebagai provinsi induk, jumlah nilainya 2.380. Dari angka tersebut dapat disimpulkan bahwa Aceh sebagai provinsi induk dan ALA sebagai calon provinsi, memiliki nilai diambang batas kelulusan. Angka-angka tersebut merupakan perhitungan kuantitatif sebagai gambaran ilmiah untuk menentukan kelayakan pembentukan provinsi baru.
Selanjutnya UU No. 22/1999 direvisi, sehingga lahirlah Undang-Undang No. 32/2004 yang menjadi pedoman yang normatif untuk melihat kemampuan suatu daerah untuk dimekarkan. Berdasarkan aturan tentang pemekaran/pembentukan suatu daerah, maka sudah selayaknya Aceh dibentuk 2 provinsi.
Sebenarnya keinginan membentuk daerah otonom yakni provinsi ALA, merupakan murni aspirasi masyarakat wilayah tengah. Apalagi ide mendirikan provinsi baru ditinjau dari aspek sejarah, sudah digarap semenjak tahun 1958 yang diprakarsai oleh tokoh-tokoh diwilayah tengah masa itu. Semangat untuk melahirkan Provinsi baru tidak pernah sunyi. Semua pihak terus bergerak untuk tujuan mempercepat kemakmuran masyarakat yang berada di wilayah tengah.
Upaya-upaya yang telah dilakukan, seperti pertemuan dengan Mendagri RI dan Menkopolsoskam di Jakarta (Mei 2001), pertemuan dengan Komisi II DPR-RI (Juni 2001), Penyerahan Draf Konsep Pembentukan Provinsi ALA kepada Bapak Susilo Bambang Yudhoyono di Aceh Tengah tahun 2003, ketika itu beliau menjabat sebagai Menkopolhukam RI.
Kemudian pertemuan dengan Deputi Politik Wapres di kantor Wapres Jakarta, Pertemuan dengan Kepala Staf Teritorial (Kaster) TNI di Cilangkap, Pertemuan Brastagi, Kongres ALA di Kutacane (Mei 2005) dan terakhir Seminar Sehari 12 Januari 2013 tentang Qanun Wali Nanggroe dan ALA di Medan.
Namun sampai hari ini cita-cita masyarakat 6 kabupaten ingin membentuk Provinsi Aceh Leuser Antara belum juga terwujud. Nampaknya ada nuansa politik yang tidak kita fahami terkait Aceh, sehingga sampai hari ini pemerintah pusat belum menerbitkan Undang-undang Tentang Pemekaran/Pembentukan Provinsi ALA. Hanya saja kami tidak ingin dianalogikan kedalam sebuah permainan catur, seolah-olah kami ini seperti bidak catur yang dipaksa untuk tidak boleh menentukan sikap sendiri.
Aceh dahulunya juga termasuk salahsatu daerah yang tertinggal, dibanding dengan daerah lainnya di Indonesia. Tetapi dengan didorong oleh semangat dan keinginan yg luhur dari rakyat Aceh, sehingga pemerintah pusat melahirkan Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh menggantikan UU No. 5 Tahun 1950.
Provinsi Aceh meliputi 8 kabupaten. Yakni kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh-Tengah, Aceh-Utara, Aceh-Timur, Aceh-Barat, Aceh-Selatan dan Kota Besar-Kutaraja dan dipisahkan dari daerah otonom Provinsi Sumatera-Utara. Artinya Aceh diberikan keleluasaan untuk berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri, dengan tujuan supaya daerah Aceh dapat mengejar ketertinggalan pembangunan disemua sektor.
Pesatnya pertumbuhan pembangunan Provinsi Aceh sekarang ini, seharusnya dapat menjadi tolok ukur efek dari sebuah pemekaran daerah. Coba bayangkan kalau sekiranya Aceh sampai hari ini masih dibawah pemerintahan Sumatera Utara. Ditambah lagi Aceh selama kurun waktu 47 tahun, sudah membentuk daerah otonom sebanyak 15 kabupaten/kota, yang semula hanya 8 kabupaten dan sekarang sudah mencapai 23 kabupaten/kota.
Semestinya dengan pemekaran beberapa kabupaten di provinsi Aceh, dapat menjadi gambaran positif bagi pemerintah Aceh dan pemerintah pusat. Artinya bahwa, pemekaran provinsi ALA semata guna mempercepat pembangunan diwilayah tengah. Melihat kondisi Aceh hari ini, sangat tidak logis satu orang Gubernur mengendalikan 23 kabupaten/kota di Aceh. Berdasarkan kondisional, maka Aceh sudah layak dibelah menjadi dua provinsi, sebagai solusi yang bijak. Oleh: Zuhri Syafriwan, AB

Gayokita

Gayokita since 1978'