Search This Blog

Thursday, July 18, 2013

Kedok Amerika Dibalik Tragedi Tsunami Aceh Terbongkar (Penyebab Tsunami Ternyata Bom Nuklir AS)

Kedok Amerika Dibalik Tragedi Tsunami Aceh Terbongkar (Penyebab Tsunami Ternyata Bom Nuklir AS)


News-Item - Kita Berserah pada yang kuasa bahwa TSUNAMI di Aceh adalah musibah / cobaan untuk kita supaya kita lebih bertaqwa kepada Nya. Tetapi semua itu ada penyebabnya, mungkin kita sudah lalai dengan kemewahan duniawi sehingga kita lupa akan kewajiban kita. Ataupun ada campur tangan manusia yang tak bermoral yang ingin menghancurkan negara Islam di dunia. Berikut faktanya Tsunami di Aceh :

Dulu Presiden Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI), DR Eggi Sudjana SH Msi mensinyalir, bahwa bencana yang menimpa NAD dan sekitarnya bukanlah gempa dan gelombang tsunami yang sesungguhnya. Akan tetapi sebuah gelombang bom termonuklir yang sengaja diledakkan di bawah laut.

Pendapat Eggi tersebut dikemukakan kepada Wawasan, usai dialog menyoal seratus hari pemerintahan SBY, di kantor pengacara Taufik SH di Solo. “Melalui pendapat dan analisa yang dikemukakan pakar nuklir independen asal Australia Joe Vialls, saya sepakat, bahwa ada indikasi kuat Amerika dengan dua kapal perangnya satu diantaranya bernama USS Abraham Lincoln, berada di balik tragedi itu,” katanya.

Menurut Eggi, sebelum terjadi bencana itu, Amerika telah mengeluarkan travel warning kepada warganya agar tidak berkunjung ke Indonesia. Sementara masuknya kapal induk asing, cukup mengundang pertanyaan, kenapa diperbolehkan oleh pemerintah kita. Dengan kata lain, Jakarta tahu benar akan keberadaan kapal asing di perairan kita.

Ada temuan kejanggalan lagi, CNN selama ini memberitakan bahwa pusat gempa terjadi di dekat pulau We. Sementara yang terjadi sesungguhnya di dekat pulau Nias dengan kekuatan gempa hanya 5,4 skala richter. Namun yang terjadi adalah sebuah gelombang susulan dengan kekuatan yang lebih dahsyat. Ironisnya, perusahaan AS Exxon yang ada di sana, luput dari bencana itu. Sehingga ada dugaan keras, ada senjata pemusnah massal yang diarahkan ke sana,” paparnya.

Usai kejadian itu, lanjut dia, tentara AS di kapal induk USS Abraham Lincoln yang jumlahnya 15.600 personil langsung diterjunkan. Sementara Kopassus dan Pasukan Reaksi Cepat (PRC), yang fungsinya sebagai penanggulangan bencana sama sekali tak diturunkan. Sementara India, Srilanka dan Thailand menolak kehadiran tentara asing itu. Televisi Al Jazeera pernah menyiarkan, bahwa bencana di Aceh bukanlah akibat gelombang tsunami. Akan tetapi sebuah bom helium yang bersifat halus namun mematikan.

“Kami menduga India memang sudah tahu akan adanya bencana itu. Karena negara itu justru punya pencatat gempa, yang bisa membedakan mana gempa sungguhan dan mana gempa buatan. Di India di Tamil Nadu, merupakan pusat nuklir. Sehingga sudah terdeteksi dulu.”

Menurut Eggi, Joe Vialls tahu benar senjata termonuklir yang diledakkan di bawah laut akan menimbulkan gelombang dahsyat. Sementara jika tsunami, ketinggian gelombang maksimal, tidak akan mencapai seperti yang terjadi di Aceh. “Sejarah juga mencatat, selamanya tsunami tidak berdampak membakar korbannya, karena air. Namun sempat ditemukan tiga orang anak nelayan Aceh yang terbakar dengan tubuh penuh oli.”

Disinggung rencana besar apa di balik itu, Eggi mengatakan, AS ingin menjadikan pangkalan militernya di Aceh. Hal itu dikuatkan dengan ditolaknya percepatan militer itu untuk segera mengakhiri bantuannya di sana. Aceh juga akan dijadikan jaringan pasar bebas perdagangan AS. “Dalam kontek ini, SBY lemah, intelijen kita juga lemah. Apalagi TNI,” jelasnya.

Nah gimana menurut teman2 apa tsunami Aceh itu mutlak bencana alam atau memang ada Negara adikuasa yang merancang semuannya.

Seperti keadaan sekarang, beberapa negeri muslim di timur tengah bisa mendadak kacau secara bersamaan.


Wallahu 'Alam Bissawab

Sebab Musibah Menimpa

Sebab Musibah Menimpa

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin)
Banyak manusia yang tidak mengetahui tentang berbagai hal yang menjadi sebab terjadinya musibah, hikmah Allah l dalam hal ini, dan berbagai pengaruh bencana serta musibah—yang syar’i atau qadari (alami)—terhadap orang yang terkena musibah. Yang perlu dipahami, bukanlah suatu kemestian bahwa musibah menimpa sebagian orang karena dosa mereka lebih besar ketimbang dosa selain mereka yang tidak terkena musibah.
Musibah yang terjadi di negeri muslim dan tidak terjadi di negeri-negeri yang zalim, tidak menunjukkan bahwa negeri zalim itu selamat dari bencana. Ketahuilah, bencana yang terjadi tidak hanya berwujud gempa, tsunami, letusan gunung berapi, badai, dan yang lainnya. Akan tetapi, bencana bisa berwujud kekacauan keamanan, lemahnya perekonomian, menyebarnya penyakit, kebakaran yang menakutkan, peperangan yang menghancurkan, yang semuanya berujung pada kematian sekian ribu jiwa. Semua ini terjadi di negeri-negeri zalim yang secara lahir selamat dari bencana alam. Berapa ratus ribu jiwa penduduk Eropa yang mati selama dua kali perang dunia? Berapa banyak Amerika dan Rusia kehilangan tentaranya pada tahun-tahun terakhir invasi yang mereka lakukan?
Britania Raya (Inggris) dulu dikenal sebagai negara yang tidak pernah matahari tenggelam di sana. Uni Soviet terkenal dengan berpuluh-puluh negara bagiannya. Namun, tiba-tiba kedua negara tersebut tercerai-berai menjadi negara-negara kecil. Berapa banyak negara yang dahulu mereka cerai-beraikan serta berapa banyak mereka dahulu melakukan penindasan dan kezaliman?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata, “Sesungguhnya mayoritas manusia pada hari ini mengaitkan musibah yang terjadi—baik dalam hal perekonomian, keamanan, maupun politik—dengan sebab yang bersifat materi saja. Tidak diragukan, hal ini menunjukkan dangkalnya pemahaman, lemahnya keimanan, serta kelalaian mereka dari menelaah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Sesungguhnya, di balik sebab-sebab tersebut ada sebab lain yang bersifat syar’i. Sebab yang syar’i ini lebih kuat dan lebih besar pengaruhnya daripada sebab-sebab yang bersifat materi. Namun, sebab yang bersifat materi terkadang menjadi perantara untuk terjadinya musibah atau azab karena adanya tuntutan dari sebab yang syar’i. Allah l berfirman:
ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ ﰅ ﰆ ﰇ ﰈ ﰉ ﰊ ﰋ ﰌ ﰍ
”Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan, disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Allah ingin merasakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Rum: 41)
Kehidupan manusia yang semakin jauh dari bimbingan agama mengakibatkan terbentuknya pola pikir yang senantiasa berorientasi kepada keduniaan dan materi semata. Berbagai bencana dan musibah yang terjadi sering dicermati sebatas kejadian (fenomena) alam dan keterkaitannya dengan materi, tanpa dihubungkan dengan kehendak Allah Yang Mahakuasa, kemudian disebabkan oleh perbuatan tangan (dosa, kesalahan) manusia.
Menurut para ahli geologi, bencana adalah suatu kejadian alam. Disebut bencana apabila mengakibatkan korban dan penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, sarana dan prasarana, serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan masyarakat. Penebangan hutan menjadi penyebab utama banjir. Namun, apabila kejadian alam itu tidak sampai mengakibatkan korban dan penderitaan manusia, apalagi kerugian harta benda dan kerusakan sarana/prasarana lain, kejadian alam itu disebut sebagai fenomena alam biasa.
Bencana alam sebenarnya merupakan proses alam dengan intensitas yang melebihi normal, seperti gempa bumi, letusan gunung api, longsoran, dan gelombang badai.
Bencana dapat disebabkan oleh beberapa faktor, baik alam maupun oleh aktivitas manusia. Faktor alam yang menyebabkan bencana ada yang berasal dari luar, seperti banjir, erosi, gerakan tanah, kekeringan, dan ada yang berasal dari dalam seperti gempa bumi, gelombang pasang, letusan gunung api (hujan abu, aliran lahar panas dan dingin). Adapun bencana yang diakibatkan oleh aktivitas manusia, di antaranya adalah menurunnya kualitas lingkungan, penggundulan hutan yang mengakibatkan bencana kekeringan, erosi/banjir, gempa bumi akibat pembangunan dan penurunan tanah/amblesan, longsoran, dan akibat tindakan manusia (yang mengembangkan wilayah tanpa berwawasan lingkungan).
Menurut mereka, gempa bumi adalah getaran atau goncangan yang terjadi di permukaan bumi yang biasa disebabkan oleh pergerakan kerak bumi (lempeng bumi). Para ahli gempa mengklasifikasikan gempa menjadi dua katagori: gempa intralempeng (intraplate) yaitu gempa yang terjadi di dalam lempeng itu sendiri dan gempa antarlempeng (interplate) yaitu gempa yang terjadi di batas antara dua lempeng. Ditinjau dari proses terjadinya, ahli geologi membagi gempa bumi menjadi lima jenis.
1. Gempa bumi vulkanik (gunung api)
Menurut mereka, gempa ini disebabkan oleh aktivitas magma yang biasa terjadi sebelum gunung api meletus. Jika keaktifannya semakin tinggi, akan menimbulkan ledakan yang mengakibatkan gempa bumi. Getaran terkadang dapat dirasakan oleh manusia dan hewan di sekitar gunung berapi itu. Salah satu perkiraan meletusnya gunung tersebut ditandai dengan sering terjadinya getaran-getaran gempa vulkanik.
2. Gempa bumi tektonik
Menurut mereka, gempa ini disebabkan oleh aktivitas tektonik, yaitu pergeseran lempeng-lempeng tektonik secara mendadak, yang mempunyai kekuatan bervariasi dari sangat kecil hingga sangat besar. Gempa bumi ini sering menimbulkan kerusakan atau bencana alam di bumi. Getaran gempa yang kuat mampu menjalar ke seluruh bagian bumi. Seperti yang diketahui, kulit bumi terdiri dari lempeng-lempeng tektonik yang terdiri dari lapisan-lapisan batuan. Tiap-tiap lapisan memiliki kekerasan dan massa jenis yang berbeda. Lapisan kulit bumi tersebut mengalami pergeseran akibat arus konveksi yang terjadi di dalam bumi.
3. Gempa bumi runtuhan
Biasanya terjadi di daerah kapur atau pertambangan. Gempa bumi ini bersifat lokal dan jarang terjadi. Gempa runtuhan atau terban adalah gempa yang terjadi karena adanya runtuhan tanah atau batuan. Lereng gunung, pantai yang curam, kawasan tambang atau terowongan tambang bawah tanah, memiliki energi potensial yang besar ketika runtuh yang dapat menimbulkan getaran di sekitar daerah runtuhan. Namun, dampaknya tidak begitu membahayakan. Justru dampak yang berbahaya adalah akibat timbunan batuan atau tanah longsor itu sendiri.
4. Gempa jatuhan
Menurut mereka, gempa ini disebabkan oleh benda-benda dari luar atmosfir bumi yang jatuh dan kadang sampai ke permukaan bumi. Benda yang jatuh ini akan menimbulkan getaran bumi jika massanya cukup besar. Getaran ini disebut getaran jatuhan dan jarang sekali terjadi.
5. Gempa buatan
Gempa buatan ialah gempa bumi yang disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti peledakan dinamit, nuklir, atau palu yang dipukulkan ke permukaan bumi. Suatu percobaan peledakan nuklir bawah tanah atau bawah laut dapat menimbulkan getaran bumi yang dapat tercatat oleh seismograf di seluruh permukaan bumi, tergantung kekuatan ledakan. Ledakan dinamit di bawah permukaan bumi juga dapat menimbulkan getaran meskipun efeknya sangat kecil.
Menurut catatan sejarah, letusan gunung berapi yang paling dahsyat yang pernah diketahui dan hampir memusnahkan generasi kehidupan di masa itu adalah letusan yang terjadi di Indonesia dari Toba supervolcano (sekarang menjadi Danau Toba). Letusan itu tidak bisa dibandingkan dengan apa pun yang telah dialami di bumi ini. Bahkan, Krakatau yang menyebabkan puluhan ribu korban jiwa hanyalah sebuah sendawa kecil jika dibandingkan dengannya. Padahal, Krakatau memiliki daya ledak setara dengan 150 megaton TNT (Trinitrotoluena, satu jenis bahan peledak, -red.). Sebagai perbandingan, ledakan Bom nuklir Hiroshima hanya memiliki daya ledak 0,015 megaton. Walhasil, secara perhitungan daya musnah bom nuklir Hiroshima 10.000 kali lebih lemah dibandingkan Krakatau.
Tsunami, menurut sebagian orang, kata ini berasal bahasa Jepang, tsu: pelabuhan, dan name: gelombang. Secara harfiah berarti “ombak besar di pelabuhan.” Penyebabnya adalah perpindahan air yang disebabkan oleh perubahan permukaan laut secara vertikal (tegak) secara tiba-tiba. Perubahan ini bisa disebabkan gempa bumi yang berpusat di bawah laut, letusan gunung berapi bawah laut, longsor bawah laut, atau hantaman meteor di laut.
Banyak orang memandang semua kejadian di atas dari sisi ilmu pengetahuan alam semata. Mereka menyatakan bahwa ini hanya merupakan proses alam, tidak ada hubungannya dengan azab.
Pada hakikatnya, semua yang terjadi tidak lepas dari kehendak Allah l. Dengan demikian, musibah dan bencana bukan proses alam semata. Kalau saja proses alam itu mampu memberi manfaat (berbuat), sungguh ia akan bermanfaat dengan sendirinya. Proses alam tidak memiliki daya pengaruh melainkan dengan izin Allah l dan kehendak-Nya. Alam yang berupa tanah (baik yang padat, keras, tandus, bebatuan, lembek, maupun gembur), gunung, laut, dan yang lainnya adalah makhluk Allah l yang tergolong benda mati. Akan tetapi, jika Allah l menghendaki bumi bernapas, akan terjadi pula. Hal ini seperti dalam firman Allah l:
”Dan apabila bumi diratakan, dan ia memuntahkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong, dan ia patuh kepada Rabbnya, dan sudah semestinya bumi itu patuh, (pada waktu itu manusia akan mengetahui akibat perbuatannya).” (al-Insyiqaq: 3—5)
Sesungguhnya, Allah l telah menjadikan segala sesuatu memiliki sebab. Kebaikan memiliki sebab, demikian pula keburukan. Barang siapa menjalani sebab kebaikan, ia akan dekat untuk mencapai kebaikan. Sebaliknya, siapa yang menempuh jalan keburukan dan mengambil sebab-sebabnya, akan terjatuh padanya pula. Sebab-sebab yang disebutkan dalam syariat menjelaskan bahwa barang siapa yang terlibat dengannya, pantas diturunkan hukuman atasnya.
Di antara perkara yang menjadi sebab terjadinya musibah adalah sebagai berikut.
1. Syirik dan mendustakan (ajaran) para rasul
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t berkata dalam nasihat beliau seputar masalah gempa bumi, “Abu Syaikh al-Ashbahani telah meriwayatkan dari Mujahid t tentang tafsir ayat:
Katakanlah, ‘Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu.’ (al-An’am: 65)
Ia berkata, ‘Yaitu suara keras yang mengguntur, batu, dan angin.’
‘Atau dari bawah kaki kalian.’
Ia berkata, ‘Yaitu gempa bumi, dibenamkan ke dalam bumi (beserta segala sesuatu yang ada di atasnya)’.”
Tidak diragukan bahwa gempa bumi yang terjadi pada hari-hari ini di berbagai tempat termasuk bagian dari tanda-tanda (kekuasaan Allah l). Dengannya, Allah l ingin menakut-nakuti para hamba-Nya. Segala yang terjadi di alam ini—baik gempa bumi maupun yang lain—yang membahayakan dan merugikan manusia serta menyebabkan timbulnya berbagai macam bahaya, kesusahan, kerugian, hal yang menyakitkan, semua itu terjadi karena kesyirikan dan kemaksiatan.”
Adapun para rasul, Allah l menguatkan kedudukan mereka melalui ayat-ayat yang hissi (indrawi) maupun maknawi (abstrak) dengan berbagai argumen yang mematahkan hujjah lawan, hujjah yang tak terbantahkan, baik yang tersebar di alam luas maupun yang terdapat di dalam jiwa manusia. Allah l berfirman:
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar.” (Fushshilat: 53)
Allah l menjanjikan kenikmatan yang tetap kepada orang-orang yang beriman kepada para rasul. Di sisi lain, Dia mengancam orang-orang yang menyelisihi (mereka) dengan azab dan siksaan di dunia dan akhirat.
Di antara ayat yang memberitakan tentang peristiwa yang menimpa umat yang terdahulu adalah:
“Maka mereka mendustakan Nabi Nuh. Kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam kapal (bahtera) dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya).” (al-A’raf: 64)
2. Dosa dan kemaksiatan
Allah l berfirman:
“Maka masing-masing Kami siksa disebabkan dosanya. Di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil. Di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur. Di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan. Dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (al-‘Ankabut: 40)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Di antara perkara yang dimaklumi bersama tentang sebagian tanda (kekuasan) Allah l yang Dia tampakkan kepada kita di segala tempat, pada diri kita, dan apa yang dinyatakan oleh Allah l dalam Al-Qur’an adalah bahwa dosa dan kemaksiatan merupakan penyebab terjadinya musibah.”
Ka’b berkata, “Gempa di bumi hanya terjadi apabila dilakukan kemaksiatan di sana.”
3. Menyuburkan riba, memusnahkan sedekah (zakat)
Dalam hadits disebutkan:
مَا مَنَعَ قَوْمٌ الزَّكَاةَ إِلاَّ ابْتَلَاهُمُ اللهُ بِالسِّنِينَ
“Tidaklah suatu kaum menahan zakat, melainkan Allah l menurunkan bencana musim paceklik.” (HR. ath-Thabarani dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya)
وَلَا مَنَعَ قَوْمٌ الزَّكَاةَ إِلَّا حَبَسَ اللهُ عَنْهُمُ الْقَطْرَ
“Dan tidaklah suatu kaum menahan zakat, melainkan Allah l menahan dari mereka turunnya hujan.” (HR. al-Hakim, Ibnu Majah, dan al-Baihaqi, dari sahabat Ibnu Umar c)
Utsman bin Affan z berkata, ”Tidaklah satu kaum menghalalkan riba melainkan Allah l menimpakan kefakiran dan kebutuhan kepada mereka.”
Ibnul Qayyim t mengatakan, ”Perhatikanlah hikmah Allah l ketika menahan turunnya hujan kepada para hamba-Nya dan menimpakan kekeringan kepada mereka ketika mereka tidak mengeluarkan zakat serta menghalangi orang-orang miskin dari haknya. Bagaimana bisa mereka memandang boleh menahan hak orang-orang miskin yang ada pada mereka berupa makanan, dengan risiko Allah l menahan materi yang menjadi sebab keluarnya makanan dan rezeki, Allah l menghalanginya dari mereka. Seakan-akan, Allah l berfirman kepada mereka, ‘Kalian telah menahan hak orang-orang miskin maka hujan pun ditahan dari kalian. Lalu mengapa kalian tidak meminta turunnya hujan dengan mengeluarkan milik Allah l yang ada pada kalian?’.”
4. Ketika umat tidak beramar ma’ruf nahi mungkar
Apabila umat terdiam dan meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar, hal itu menjadi sebab hukuman bagi seluruhnya, termasuk orang-orang yang saleh di antara mereka.
Dalam sebuah riwayat dari jalan Qais bin Abi Hazim: Aku mendengarkan Abu Bakr berkata di atas mimbar, “Wahai manusia, aku memerhatikan kalian menafsirkan ayat ini:
‘Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu, tiadalah yang sesat itu memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.’ (al-Maidah: 105)
Aku telah mendengar Rasulullah n bersabda, ‘Sesungguhnya, apabila kemaksiatan telah terjadi di tengah-tengah manusia dan tidak ada yang mengingkarinya, Allah l akan menimpakan hukuman (musibah) yang merata kepada mereka’.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, an-Nasa’i, al-Baihaqi, dan Ibnu Hibban)
5. Munculnya kebid’ahan (perkara baru) dalam agama
Ketika terjadi gempa bumi di Madinah pada masa kekhalifahan Umar bin al-Khaththab z, beliau berkata, “Kalian telah mengada-adakan perkara baru dalam agama! Demi Allah, kalau ini kembali berulang, aku akan pergi dari tengah-tengah kalian.”
6. Munculnya berbagai kekejian
Dari Abdullah bin Umar c, beliau berkata, “Suatu ketika Rasulullah n menghadapkan wajah kepada kami, lalu bersabda, ‘Wahai segenap kaum Muhajirin, ada lima perkara yang jika kalian diuji dengannya—dan aku berlindung kepada Allah l agar kalian tidak sampai menjumpainya—tidaklah bermunculan perbuatan keji pada suatu kaum lalu mereka melakukannya terang-terangan melainkan akan menyebar di kalangan mereka penyakit tha’un dan kelaparan yang belum pernah terjadi pada pendahulu mereka di masa lalu’.” (HR. al-Hakim dan Ibnu Majah)
7. Musik dan minuman keras
Dari Imran bin Hushain z, Rasulullah n bersabda:
“Pada umat ini akan ada azab berupa pembenaman (ke dalam bumi), pengubahan wujud mereka, dan hujan batu.” Salah seorang kaum muslimin bertanya, “Kapan itu terjadi, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Apabila bermunculan biduanita, alat-alat musik, dan khamr banyak diminum.” (HR. at-Tirmidzi)

Mengapa Musibah Terus Mendera

                     " Mengapa Musibah Terus Mendera "

Sesungguhnya kami memuji Allâh Tabâraka wa Ta’âla atas apa yang telah Dia siapkan, berupa kesempatan yang baik ini. Yaitu, kami berkumpul di dalam kesempatan ini dengan ikhwan kami seagama dan dalam satu manhaj (jalan); mengikuti Kitabullâh, dan Sunnah Rasulullâh, serta pemahaman para Salaf yang shalih. Walaupun kita berada dalam batas geografi yang berbeda, dan tempat yang saling berjauhan, namun kemuliaan manhaj ini, kesempurnaan dan kebaikannya, tidaklah memecah-belah antar kita. Maka, jadilah pertemuan ini dalam bagian sejumlah perjumpaan yang telah mengumpulkan kami bersama saudara-saudara kami di negara ini, sejak beberapa tahun yang lalu, lewat ceramah-ceramah dan kajian-kajian ilmiah bersama.
Kami bersyukur kepada Allâh Rabbil ‘Alamin atas nikmat ini. Betapa berharganya kenikmatan ini. Rasa terima kasih juga kami haturkan kepada orang-orang yang memiliki jasa (andil) yang diberkahi dalam mengatur dan menyiapkan pertemuan-pertemuan ini. Khususnya, saudara-saudara (panitia) atau Ta’mir Masjid Istiqlal yang telah memberikan kesempatan ini. Dan ini termasuk dalam bingkai saling menolong yang terpuji secara syar’i.
Allâh Ta’ala berfirman:
(QS al Maidah/5:2)
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.
(QS al Maidah/5:2)

Maka kami ucapkan kepada mereka terima kasih yang banyak. Nabi kita shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda:
hadist
Orang yang tidak bisa berterima kasih kepada manusia,
dia tidak akan bisa bersyukur kepada Allâh.[1]

Karena itu, ungkapan syukur kita kepada orang yang berhak menerimanya,[2] merupakan bentuk syukur kepada Allâh Ta'ala.
Allâh Ta’ala berfirman:
(QS Ibrahim/14:7)
Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.
(QS Ibrahim/14:7)

Selanjutnya, syukur kita kepada Rabb kita, akan menambah nikmat Rabb kita kepada kita, dan memperbanyak karunia-Nya kepada kita.
Allâh Ta’ala berfirman :
(QS an-Nahl/16: 53)
Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu,
maka dari Allâh-lah (datangnya).
(QS an-Nahl/16: 53)
Dan sebagaimana firman-Nya:
(QS an-Nahl/16:18)
Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allâh,
niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.
(QS an-Nahl/16:18)

Jauhnya jarak kita dari sikap syukur kepada Rabb, menjadi ukuran sejauh mana keburukan, celaka dan kesesatan serta perbuatan jelek yang melanda umat, sehingga Allâh menimpakan adzab- Nya. Sebuah siksaan yang hampir-hampir tidak akan hilang, kecuali dengan kembali sepenuhnya kepada agama Allâh, mensyukuri nikmat-Nya kembali, dan memperbaharui kepada keteguhan di atas perintah Allâh Ta'ala. Karena, syukur nikmat merupakan sebab turunnya rahmat Allâh Ta'ala, dan jalan menuju keridhaan- Nya.
Sebaliknya, mengingkari nikmat menjadi faktor pencetus datangnya siksa dan merupakan jalan menuju kemurkaan-Nya. Selanjutnya, siksaan dan kemurkaan-Nya ini pasti akan menyebabkan umat menjadi lemah, terbelakang, dan terpuruk.
Orang yang melihat sembari merenung, dan orang yang memperhatikan sambil berpikir, akan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa kondisi umat ini, umat Islam, pada zaman ini, berada dalam kehinaan dan tidak lurus. Umat Islam berada atau hampir berada di bagian belakang kafilah, setelah dahulunya mereka menjadi pengendali dan terdepan.[3] Padahal, umat Islam adalah umat yang memiliki harta kekayaan, sumber daya manusia, fasilitas-fasilitas, kuantitas yang banyak, dan potensi-potensi.
Akan tetapi, kemunduran masih terus terjadi, menjadi umat yang paling rendah, terlemah dan terburuk. Mereka dikuasai (musuh), seolah-olah pedang berada di atas leher (mereka). Apakah sebabnya? Apakah penyakitnya? Dan apakah obat penyembuhnya?
Tidak mungkin yang menjadi penyakitnya adalah karena sedikitnya harta, atau kekurangan sumber daya manusia, maupun sedikitnya sumber penghasilan. Karena, semua ini melimpah.
Jadi, apakah sebenarnya penyakit umat ini? Adakah jalan untuk mengetahui obatnya, hingga bisa dimanfaatkan, dan digunakan, selanjutnya kita pun bisa keluar dari keadaan-keadaan yang berat dan susah ini, keadaan yang buruk, yang sedang menyelimuti umat ini dan hampir-hampir tidak bisa lepas darinya, kecuali dengan curahan taufik Allâh Ta'ala bagi umat ini.
Wahai saudara-saudara seagama, Kenyataannya memang pahit. Sesungguhnya, ada beberapa sebab dan bermacam-macam penyakit, hal itulah yang menjerumuskan umat ke dalam musibah-musibah, bencana-bencana dan ujian-ujian ini. Umat tidak akan dapat keluar dan melepaskan diri dari semua musibah ini, kecuali dengan taufik Allâh Ta'ala, dengan tambahan karunia dan kenikmatan dari-Nya.
Permasalahan besar seperti ini tidak mungkin diselesaikan secara parsial, hanya melalui seminar-seminar, ceramah, kajian, dengan satu atau beberapa kalimat. Semua ini kami sampaikan, untuk tujuan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, dalam rangka mengajak untuk berpegang teguh dengan tali Allâh, dalam upaya menjalin ta’awun (saling menolong) di atas kebajikan dan takwa.
Maka, kami ingin mengatakan sebagai peringatan, sesungguhnya sebab-sebab yang telah menjerumuskan umat ini ke dalam belitan bencana dan ujian ini banyak, bahkan sangat beragam. Akan tetapi, secara global bermuara pada dua bahaya besar yang telah menimpa agama umat ini. Padahal, agama merupakan sebab kelestarian umat ini, petunjuk bagi umat dalam menangani urusan mereka. Bila penyebab ini tiada, maka pengaruhnya pun sirna.
Saya hanya ingin menyebutkan dua penyakit saja, yang pertama adalah penyakit kebodohan, tidak mengerti din (agama); dan tidak mengetahui syari’at Rabbul ‘Alamin. Saya akan menyebutkan sebagian dalil-dalil tentang hal ini, insya Allâh.
Dalam Shahihain (dua kitab Shahih), Shahih Imam Bukhari dan Shahih Imam Muslim, dari sahabat yang agung, ‘Abdullâh bin ‘Amr bin al ‘Ash radhiyallâhu'anhu, dia mengatakan: Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda:
hadist
Sesungguhnya Allâh tidak akan mencabut ilmu (dari manusia) secara langsung,
tetapi Dia mencabut ilmu dengan mematikan ulama.
Sehingga ketika tidak tersisa seorang ‘alim pun,
orang-orang mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh,
lalu orang-orang bertanya kepada mereka,
lalu mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.[4]

Mereka (para pemimpin yang bodoh itu) menjadi orang-orang yang sesat atas ulah mereka ini. Tidak hanya sampai di sini saja, bahkan mereka juga menjadi orang-orang menyesatkan.
Jadi, petunjuk hadits ini begitu jelas, maknanya sangat gamblang, bahwa kedangkalan ilmu (agama) dan berkurangnya jumlah ulama (yang baik) termasuk penyakit terbesar dan penyakit terparah yang menimpa umat di halaman rumahnya sendiri, dan menimpa penduduknya, terutama cengkeraman musuh (atas diri kita).

Wahai saudara-saudaraku,
Sungguh, mengetahui penyakit ini akan membuat kita berhasil mengetahui inti dari permasalahan ini, sehingga kita akan memahaminya berdasarkan ilmu, agama, dan realita, untuk mengetahui penyakit dan obatnya; daripada mengkaji satu masalah yang tidak benar atau mengungkap sesuatu yang tidak sesuai fakta.
Jika demikian, justru penyakit itu akan semakin parah, dan pemberian obatnya pun keliru. Dampaknya, umat tidak akan merasakan manfaatnya, bahkan musibah dan ujian akan semakin meningkat.
Ilmu syar’i (agama) yang sarat kebijaksanaan ini bukanlah ibarat hiburan, dan bukan pula perkara yang hukumnya sekedar mustahab (dianjurkan) saja. Akan tetapi hukumnya adalah fardhu ‘ain (kewajiban individu) atas setiap muslim, sebagaimana sabda Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam :
hadist
Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim.
Dan tidak diragukan lagi, bahwa kata muslim (dalam hadits ini, Red.) mencakup laki-laki dan wanita. Oleh karena itu, ilmu syar’i merupakan tonggak umat, memiliki peran serta dan penjaga eksistensinya.
Allâh Ta’ala berfirman:
(QS ar-Ra’d/13:11)
Sesungguhnya Allâh tidak merobah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
(QS ar-Ra’d/13:11)

Sungguh, Allâh tidak merubah keadaan sesuatu kaum, yang sebelumnya memiliki kemuliaan, ketahanan, kekuatan, dan memiliki peran, serta keteguhan, menjadi kaum yang lemah, penuh kekurangan, tercabik-cabik dan terpuruk, sampai mereka sendiri mau merubah keadaan yang ada pada diri mereka, yang berupa gejala-gejala buruk dalam menyikapi agama.
Yang terburuk adalah kebodohan (terhadap agama), dan yang paling parah yaitu kedangkalan ilmu, sampai mereka kembali kepada masa lalunya yang mulia dan reputasinya terdahulu. Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam telah mengisyaratkan kejadian ini, mengisyaratkan kepada kenyataan, yang tidak ada seorang pun yang menolaknya.
Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda:
hadist
“Sesungguhnya menjelang hari Kiamat terdapat tahun-tahun yang menipu,
orang yang berkhianat diberi amanat,
orang yang terpercaya dianggap khianat,
orang yang berdusta dipercaya, orang yang jujur didustakan,
dan ruwaibidhah akan berbicara,”
para sahabat bertanya,”Apakah ruwaibidhah, wahai Rasulullâh?”
Beliau menjawab,
”Seorang yang hina dan bodoh berbicara tentang urusan orang banyak”.[5]

Seorang yang tafih/safih (hina, bodoh) ini, tanda dan sifat pertamanya adalah bodoh, tidak memiliki ilmu dan tidak memiliki pemahaman. Maka, marilah kita renungkan keadaan tabib (dokter) ini, dia mengobati orang lain, padahal dia sendiri sakit.
Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda tentang tabib yang mengobati badan :
hadist
Barangsiapa mengobati,
sedangkan dia (sebelumnya) tidak dikenal (dengan) keahlian dalam pengobatan,
maka dia menanggung.[6]
(Jika ini berkaitan dengan masalah pengobatan jasmani, Red.), maka bagaimana dengan terapi pengobatan (yang berhubungan dengan masalah-masalah) agama? Bagaimana mereka ini (berani) mengeluarkan fatwa kepada umat, berupa fatwa-fatwa yang menenggelamkan umat dalam kelalaian dan menambah keterpurukannya, serta menghalangi dari sebab kebangkitannya?
Semua ini dilakukan atas nama ilmu, padahal demi Allâh, itu merupakan kebodohan. Semua itu dengan disampaikan atas nama agama, padahal demi Allâh, itu merupakan kelalaian. Semua itu dikatakan atas nama petunjuk, padahal demi Allâh, itu merupakan kesesatan. Adakah setelah kebenaran selain kesesatan saja?
Dahulu, ketika para ulama membimbing dan memimpin, umat berada di atas kebaikan, umat berada di depan dan menjadi maju. Namun, ketika para ulama itu mengalami kemunduran, umat pun terpengaruh.
Tatkala Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh memimpin, dan tatkala ilmi berada di puncak pimpinan, keadaan itu menyebabkan kemajuan duniawi. Setiap orang mengetahui bahwa jihad Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh tidak hanya melalui penyebaran ilmu saja, dengan membantah ahli bid’ah dan ahli ahwa’ (orang-orang yang melakukan bid’ah dan mengikuti hawa-nafsu), menyanggah orang-orang yang menyimpang dan orang-orang yang rusak keyakinannya.
Akan tetapi, jihad beliau itu sangat kompleks dan luas. Beliau berjihad dengan pedang dan tombak, sebagaimana beliau berjihad dengan pena dan penjelasan. Inilah Syaikhul Islam, yang memimpin tentara, lasykar-lasykar Islam dan di front depan dalam pertempuran Syaqhab[7] ( شَقْحَبُ ) di Damaskus pada abad ke-8.
Beliau rahimahullâh memerangi musuh-musuh Allâh, yaitu bangsa Tartar dan para pembela mereka yang hendak menyerang umat Islam di daerahnya sendiri. Beliau menghadang mereka dengan kuat, dengan sikap yang agung, yang besar, dan indah. Sejarah selalu menyebutnya dan mempersaksikannya, karena beliau rahimahullâh memandang ilmu dengan setinggi-tingginya.
Beliau bernaung di bawah bendera sulthan, dalam ketaatan kepada Allâh Ta'ala, dan dalam perkara yang ma’ruf (baik). Bukan bertolak dari sekedar semangat yang kosong dan perasaan yang membinasakan, sebagaimana dilakukan oleh banyak orang yang mengaku ingin berjihad tanpa ilmu belakangan ini.
Mereka ini tidaklah menegakkan ilmu dengan sebenarnya, tidak mengerti kedudukan ilmu dengan bentuk sebenarnya. Akibatnya, mereka sesat dan menyesatkan, walaupun dengan menamakan agama, walaupun dengan nama jihad, walaupun dengan nama syari’at; mereka ibarat jauh panggang dari api.
Sekarang telah datang Tartar yang baru (yakni orang-orang kafir Barat, Red.). Dewasa ini, mereka menyerang umat di halaman rumahnya sendiri. Mereka menyerang wawasan umat, sejarahnya, dan kemuliannya, serta menerjang negara-negara kaum Muslimin. Akan tetapi, umat ini -sangat disayangkan- belum bisa melahirkan Ibnu Taimiyah yang lain, tidak mampu memunculkan seorang ulama yang agung, yang disegani lagi cerdas, yang menempatkan hak kepada pemiliknya, dan mengagungkan kedudukan syari’at.
Karenanya, umat terus-menerus tidak beranjak dari tempatnya, yaitu kelemahan dan kemundurannya, sampai Allâh Ta'ala mengizinkan datangnya (kemuliaan) yang baru melalui sikap kembali secara kuat menuju manhaj Allâh yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. Tidak ada jalan ke arah sana kecuali dengan ilmu, kecuali dengan ilmu, kecuali dengan ilmu. Dan, hal ini tidak akan terwujud, melainkan dengan taufik Allâh Ta'ala.
Allâh Ta'ala berfirman:
(QS al Anfal/8:29)
Jika kamu bertakwa kepada Allâh,
Dia akan memberikan furqan (pembeda antara al haq dengan kebatilan) kepadamu.
(QS al Anfal/8:29)
(QS ath-Thalaq/65:4)
Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allâh,
niscaya Allâh menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
(QS ath-Thalaq/65:4)

Oleh karena itu, ilmu merupakan batu pertama untuk melakukan ishlah (perbaikan), pada sebuah istana yang besar; yang pertama kali dimulai adalah dengan batu bata ini, agar ilmu agama ini menjadi asas yang menjadi landasan kebaikan manusia.
Akan tetapi, ilmu yang sedang kita bicarakan ini, dan selalu kita sampaikan, bagaimanakah ciri khasnya? Apakah tanda-tandanya? Apakah sebuah ilmu yang merujuk pikiran dan hawa nafsu belaka, berdasarkan persangkaan dan perkiraan semata, ataukah ilmu tersebut yang berasaskan al-Kitab dan as-Sunnah?
Ilmu yang tegak di atas cahaya, petunjuk terbaik dan perilaku paling sempurna adalah ilmu yang telah disampaikan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam.
Beliau bersabda:
hadist
Aku telah tinggalkan pada kalian dua perkara.
Kalian tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya,
(yaitu) Kitab Allâh dan Sunnahku.[8]
Inilah ilmu yang dimaksud. Inilah cahaya-cahaya dan pengaruh-pengaruhnya. Dengan ilmu, kebodohan akan hilang. Seiring dengan sirnanya kebodohan, maka siang menjadi nampak, cahayanya bersinar, dan malam pun menghilang bersama dengan kegelapan dan kesuramannya.
Bukankah waktunya sudah dekat? Benar, demi Allâh. Akan tetapi, hal ini menuntut adanya kebangkitan ilmiyah, jiwa perintis yang kuat, tidak berhenti dan tidak lemah dari diri kita. Membutuhkan kebangkitan ilmu yang tegak di atas Kitab Allâh dan Sunnah Nabi.
Saudara-saudaraku seagama,
Demikianlah penyakit pertama, yaitu kebodohan. Sedangkan obatnya adalah ilmu. Adapun penyakit kedua yaitu penyakit bid’ah, dan obatnya adalah Sunnah, penawarnya adalah ittiba‘ (mengikuti) Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam.
Allâh Tabaraka wa Ta’ala berfirman tentang beliau:
(QS an-Nur/24:54)
Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.
(QS an-Nur/24:54)

Jadi, umat ini akan bisa meraih hidayah dengan ilmu yang berasaskan Sunnah, sehingga semua bid’ah bisa dijauhi dengan segala kotorannya, kesesatannya, dan kegelapannya. Inilah yang akan dibicarakan oleh yang mulia Syaikh Salim al Hilali pada pembahasan berikutnya.
Semoga shalawat, salam dan berkah dilimpahkan kepada Nabi kita shallallâhu 'alaihi wa sallam dan keluarga beliau dan para sahabat beliau semuanya. Akhir perkataan kami adalah alhamdulillâh Rabbil-’Alamin.
[*] Ceramah Fadhilatusy-Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al-Atsari di Masjid Istiqlal, Jakarta, hari Sabtu 22 Muharram 1428H/10 Februari 2007M, yang diterjemahkan dan dengan penambahan takhrij hadits oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari, dan disunting oleh Tim Redaksi Majalah As-Sunnah.
[1]
Hadits ini kami dapati dengan lafazh:
مَنْ لَـمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَـمْ يَشْكُرِ اللهَ
Barangsiapa tidak mensyukuri manusia, dia tidak mensyukuri Allâh.
(HR Ahmad, Ibnu Abi ‘Ashim, dan Ibnu Baththah,
dari sahabat an-Nu’man bin Basyir.
Dishahihkan oleh Syaikh al Albani di dalam ash-Shahihah no. 667)
[2]
Yaitu kepada orang yang telah berbuat baik kepada kita.
[3]
Kafilah berasal dari bahasa Arab “Qafilah”, yaitu rombongan banyak orang yang bergerak pulang dari safar atau memulai safar. Rombongan ini membawa binatang tunggangannya, barang-barangnya dan perbekalannya. Maksudnya, bahwa kaum Muslimin dahulu menjadi pemimpin bangsa-bangsa, namun sekarang terbelakang.
[4]
Hadits ini disampaikan oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari –hafizhahullâh- secara makna. Adapun sebagian lafazhnya yang termaktub salah satau lafazh yang termaktub dalam Shahih al Bukhari :
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْتَزِعُ الْعِلمَ انْتِزَاعًا وَلَكِنْ يَقْبِضُهُ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَـمْ يَبْقَ عَالِـمٌ اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَيَسْتَفتُوْهُم فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Sesungguhnya Allâh tidak akan mencabut ilmu
dari hamba-hamba secara langsung,
tetapi dia mencabut ilmu dengan mewafatkan ulama.
Sehingga ketika Allâh pun tidak menyisakan seorang ‘alim pun,
lalu mereka itu ditanya, lantas berfatwa tanpa ilmu.
Akibatnya, mereka sesat dan menyesatkan.
(HR Bukhari, no 100)

[5]
Hadits ini disampaikan oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al-Halabi al-Atsari –hafizhahullâh- ini secara makna. Adapun lafazh hadits yang kami dapati adalah, salah satunya :
Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu,
orang yang berdusta dibenarkan, orang yang benar didustakan,
orang yang berkhianat diberi amanat,
orang yang amanat dianggap khianat,
dan Ruwaibidhah akan berbicara pada masa itu”.
Beliau ditanya: “Apakah Ruwaibidhah?”
Beliau menjawab,
”Seorang yang hina lagi bodoh
(berbicara tentang) urusan orang banyak.”

(HR Ibnu Majah, no. 4036, dari Abu Hurairah,
dishahihkan oleh Syaikh al Albani)

[6]
Yakni, menanggung jika ada kebinasaan atau semacamnya. HR Abu Dawud no. 4586, an-Nasa-i no. 4830, Ibnu Majah no. 3466. Dihasankan oleh Syaikh al Albani.
[7]
Syaqhab adalah nama desa kecil di dekat Damaskus, di perbatasan Hauran. Jaraknya dengan Damaskus adalah 37 km. Dinukil dari Mauqif Ibni Taimiyyah minal Asya’irah, hlm. 164.
[8]
Hadits shahih lighairihi dengan penguatnya. Riwayat Malik, 2/899, no: 1661 dengan lafazh:
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ نَبِيِّهِ
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara.
Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya:
kitab Allâh dan Sunnah NabiNya.
Silahkan lihat at-Ta’zhim wal Minnah fi Intisharis-Sunnah, hlm. 13-14, karya Syaikh Salim al Hilali.

(Mabhats: Majalah As-Sunnah Edisi 01/XI)

Bila musibah menyapa



Bila musibah menyapa

June 8th, 2012 | 2:06 pm
    Photo. Tanoh Gayo Central Atjeh.

Assalamualaikum!
Sejak akhir-akhir ini, banyak musibah berlaku kepada saya, mengapa diri ini tidak habis-habis ditimpa musibah dan masalah yang cukup berat didalam kehidupan.
Musibah, musibah, musibah.inilah antara keluhan yang sering di ungkapkan oleh manusia apabila di timpa ujian,mengapa umat islam sentiasa bersangka buruk kepada allah s.w.t apabila di timpa satu kesusahan atau musibah, adakah ini satu penyeksaan atau ujian dari allah? perkara sebegini pasti bermain dalam fikiran kita termasuk diri ini.
Saat di timpa musibah, hati sentiasa rasa resah gelisah, hidup menjadi tidak tenang tanpa panduan, kekadang membuat sesuatu pekerjaan tidak menjadi, fikiran sasau tidak tentu arah seperti berada di lautan dalam tanpa pertolongan.Apabila dirasakan terlalu berat, tidak mampu dipikul sehinggakan Sampai satu tahap, kita merasakan hidup kita sudah tidak ada harapan lagi. Lalu kita terduduk, mengeluh kepada Allah, memohon agar dihilangkan dugaan, barulah kita ingat di mana Allah pada masa itu.


Allah berfirman:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” [2:286]
Memang hidup ini tidak akan pernah sunyi dari setiap dugaan dan ujian. Apa yang boleh saya katakan, sebagai umat Islam seharusnya kita yakin sesungguhnya setiap cabaran dan ujian hidup itu adalah bukti kasih sayang Allah terhadap kita.
Sebenarnya kita tidak tahu bahawa allah amat sayang kepada kita, sebab itu allah datangkan kepada kita dengan pelbagai ujian dan musibah, kerana allah tahu kita adalah hamba yang mampu mnghadapi ujianya,jika sebaliknya allah tidak akan menguji kita jika kita hamba yang tidak mampu.
Bila kita ditimpa musibah, carilah ALLAH. mengadu dan menangislah, kerana ia akan memberikan kelegaan pada jiwa. ALLAH berfirman,
Maksudnya: (Iaitu) orang-orang yang apabila mereka ditimpa oleh sesuatu kesusahan, mereka berkata: “Sesungguhnya Kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jualah Kami kembali.” (Al Baqarah 02:156)
Nabi juga berpesan jika ditimpa musibah, supaya ditambahkan pula dengan doa:
Maksudnya : “Sesungguhnya kami milik Allah dan kepadaNya kami akan kembali (pada hari kiamat). Ya Allah! Berilah pahala kepadaku dan gantilah aku dengan lebih baik(dari musibahku).”
Dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha mengisahkan: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa ditimpa musibah, selanjutnya ia berkata:….
“Ya Allah, berikahlah pahala atas musibahku dan berikanlah ganti untukku yang lebih baik daripada musibah tersebut. Melainkan Allah memberikan ganti yang lebih baik daripada musibah yang menimpanya”
“Tidaklah seorang muslim mendapat musibah kemudian dia mengucapkan apa yang diperintahkan Allah kepadanya, inna lillahi wa inna ilaihi raajiun. Ya Allah, berikahlah pahala atas musibahku dan berikanlah ganti untukku yang lebih baik daripada musibah tersebut. Melainkan Allah memberikan ganti yang lebih baik daripada musibah yang menimpanya.” Ummu Salamah berkata,” ketika Abu Salamah meninggal dunia, aku berkata,”Adakah kaum muslim yang lebih baik dari Abu Salamah? Dia adalah keluarga pertama yang berhijrah kepada Rasulullah SAW, kemudian aku mengucapkan doa di atas lalu Allah memberi ganti untukku berupa rasulNya. Rasulullah SAW mengutuskan Hathib bin Abu Balta’ah untuk melamarku untuk beliau. Aku mempunyai anak perempuan dan aku adalah wanita pemcemburu. Beliau bersabda, ” Adapun anak perempuannya, maka aku berdoa kepada Allah mudah-mudahan Allah mencukupinya (Ummu Salamah) dengannya dan aku berdoa kepada Allah agar Allah menghilangkan sifat cemburu. Kemudian aku bernikah dengan Rasulullah SAW.”
[ Hadis Riwayat Muslim]
Jadi, bagaimanakah Islam memberikan pedoman kepada kita apabila berlakunya musibah? Bagi sahibul musibah (yang terkena musibah), Islam memberikan pedoman sepertimana berikut :
1. Iman Dan Redha Terhadap Ketentuan (Qadha’) Allah
Kita wajib beriman bahawa segala musibah yang berlaku seperti gempa bumi, banjir, wabak penyakit adalah ketetapan daripada Allah SWT di Lauhul Mahfuz. Kita juga wajib menerima ketentuan Allah ini dengan berlapang dada (redha). Allah SWT berfirman :
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (TMQ al-Hadid [57] : 22)
Oleh sebab itu, adalah tidak benar jika ada orang berkata, “gempa bumi itu terjadi kerana ada roh yang sedang marah”. Sebaliknya, bencana itu berlaku kerana ia adalah ketentuan daripada Allah SWT dan bukannya ketentuan daripada sesiapa yang lain.
Kita wajib menerima takdir Allah ini dengan penuh redha, bukan dengan perasaan geram atau marah kepada Allah SWT misalnya dengan berkata, “Ya Allah, mengapa harus aku? Apakah dosaku ya Allah?”. Sikap yang sedemikian adalah sangat biadap. Allah SWT berfirman :
“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dilakukan, tetapi merekalah yang akan ditanya”. [TMQ al-Anbiyaa` (21) : 23]
2. Sabar Menghadapi Musibah
Menurut Imam As-Suyuthi dalam tafsir al-Jalalain, sabar adalah menahan diri daripada segala apa yang dibenci (al-habsu li an-nafsi ‘alaa maa takrahu). Sikap inilah yang wajib dimiliki ketika kita menghadapi musibah. Selain itu, kita disunnahkan untuk mengucapkan kalimat istirja’ (Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun) ketika berlaku musibah. Allah SWT berfirman :
“Dan sesungguhnya akan Kami berikan ujian kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” . [TMQ al-Baqarah [2] : 155-156]
Oleh yang demikian, bersabarlah. Jangan sampai kita hilang perasaan sabar dengan berputus asa atau berprasangka buruk seakan-akan Allah tidak akan memberikan kita kebaikan pada masa hadapan. Ingatlah bahawa putus asa itu adalah su`uzh-zhan billah (berburuk sangka kepada Allah)! Su`uzh-zhan kepada manusia pun tidak dibolehkan, apatah lagi kepada Allah SWT. Na’uzubillahi min zalik.
Secara realitinya, orang yang ditimpa musibah akan mudah sekali terjerumus untuk bersikap putus asa (surah ar-Rum ayat 36). Allah SWT menegaskan bahawa sikap tersebut adalah sikap yang kufur sebagaimana firmanNya :
“Sesungguhnya tiada berputus asa daripada rahmat Allah melainkan kaum yang kafir.” [TMQ Yusuf (12) : 87] .
3. Mengetahui Hikmah Di Sebalik Musibah
Seseorang Muslim yang mengetahui hikmah (rahsia) di sebalik musibah akan memiliki kekuatan mental yang baik. Berbeza dengan orang yang hanya memahami musibah secara cetek iaitu dengan hanya melihatnya secara zahir sahaja. Mentalnya sangat lemah dan mudah mengeluh atas segala musibah yang menimpa.
Antara hikmah musibah adalah untuk diampunkan dosa-dosanya. Sabda Rasulullah SAW :
“Tiadalah seorang Mukmin yang ditimpa musibah tertusuk duri atau lebih (teruk) daripada itu melainkan dengannya (musibah tersebut) Allah akan menghapuskan sebahagian daripada dosa-dosanya.” [HR Bukhari dan Muslim]
Seseorang Muslim yang mati ditimpa bangunan atau tembok akibat gempa bumi adalah tergolong sebagai orang yang mati syahid. Sabda Nabi SAW :
“Orang-orang yang mati syahid itu ada lima golongan; (1) orang yang terkena wabak penyakit taun, (2) orang yang terkena penyakit perut (disentri, kolera, dsb), (3) orang yang tenggelam, (4) orang yang ditimpa tembok/bangunan, dan (5) orang yang mati syahid dalam peperangan di jalan Allah.” [HR Bukhari dan Muslim].
“Akan diampuni bagi orang yang mati syahid segala dosa-dosanya, kecuali hutang.” [HR Muslim].
Hikmah lain adalah jika anak-anak Muslim meninggal, kelak mereka akan masuk ke syurga. Sabda Nabi SAW :
“Anak-anak kaum Muslimin (yang meninggal) akan masuk ke dalam syurga.” [HR Ahmad]
4. Tetap Terus Berikhtiar
Maksud ikhtiar ialah tetap melakukan pelbagai usaha untuk memperbaiki keadaan dan menghindarkan diri daripada sebarang bahaya yang muncul. Kita tidak disuruh untuk berdiam diri atau pasrah berpangku tangan bertongkat dagu dengan menunggu bantuan datang ketika musibah menimpa kita.
Beriman kepada ketentuan Allah bukan bererti kita hanya duduk diam termenung dan meratapi nasib tanpa berusaha untuk mengubah apa yang ada pada diri kita. Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” [TMQ ar-Ra’du (13) : 11].
Ketika berlakunya wabak penyakit di Syam, Umar bin Al-Khattab segera keluar dari negeri tersebut. Ketika ditanya kepadanya,”Adakah kamu hendak lari daripada takdir Allah?”. Lalu Umar menjawab,”Ya, aku lari daripada takdir Allah ini untuk menuju kepada takdir Allah yang lain.”
Rasulullah SAW juga memberi petunjuk bahawa segala bahaya (kemudaratan) wajib untuk dihapuskan (dihindarkan). Misalnya ketiadaan logistik, tempat tinggal, masjid, sekolah dan sebagainya. Nabi SAW bersabda, “Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri dan bahaya bagi orang lain.” [HR Ibnu Majah]
5. Memperbanyakkan Berdoa Dan Berzikir
Kita sentiasa dianjurkan untuk memperbanyakkan doa dan zikir bagi orang yang ditimpa musibah. Orang yang mahu berdoa dan berzikir adalah lebih mulia di sisi Allah daripada orang yang enggan atau malas. Rasululah SAW mengajarkan doa bagi orang yang ditimpa musibah: “Allahumma jurnii fii musiibatii wa akhluf lii khairan minhaa” (Ya Allah, berilah pahala dalam musibahku ini dan berilah ganti bagiku yang lebih baik daripadanya.) [HR Muslim].
Zikir juga dapat mententeramkan hati orang yang sedang gelisah atau yang mengalami tekanan. Allah SWT berfirman :
“Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah sahajalah hati menjadi tenteram.” [TMQ ar-Ra’du (13) : 28]
Antara zikir yang dianjurkan adalah dengan beristighfar “Astaghfirullahal ‘azhim”. Sabda Nabi SAW :
“Barangsiapa memperbanyakkan istighfar, maka Allah akan membebaskannya daripada kesedihan, memberinya jalan keluar terhadap kesempitannya, dan akan memberinya rezeki daripada arah yang tidak disangka-sangkanya.” [HR Abu Dawud].
6. Bertaubat
Tiada seorang hamba yang ditimpa musibah melainkan ia adalah akibat daripada dosa-dosa yang dilakukannya. Maka sudah semestinya dia perlu bertaubat nasuha kepada Allah SWT. Orang yang tidak mahu bertaubat setelah ditimpa musibah adalah orang sombong dan sesat. Allah SWT berfirman :
“Dan apa sahaja musibah yang menimpa kamu, maka ia adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (daripada kesalahan-kesalahanmu).” [TMQ asy-Syuura (42) : 30]
Sabda Nabi SAW:
“Setiap anak Adam mempunyai kesalahan (dosa). Dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat.” [HR at-Tirmidzi].
Terdapat 3 rukun dalam melakukan taubat nasuha. Pertama, menyesali atas dosa-dosa yang telah dilakukan. Kedua, berhenti daripada melakukan perbuatan dosa-dosanya itu. Ketiga, berazam (tekad yang kuat) untuk tidak akan mengulangi lagi dosa-dosa tersebut di masa akan datang. Jika dosa-dosanya berkaitan hubungan sesama manusia seperti belum membayar hutang, pernah memfitnah atau mengumpat seseorang, pernah menyakiti perasaan orang lain dan sebagainya, maka rukun taubat ditambah satu lagi iaitu menyelesaikan masalah urusan sesama manusia dan memohon maaf.
7. Tetap Istiqamah Dengan Islam
Dalam setiap musibah yang berlaku, akan wujud pihak-pihak tertentu yang mengambil kesempatan dengan niat yang jahat. Contohnya perbuatan kotor berbentuk keagamaan seperti kristianisasi. Cara-cara yang dilakukan adalah dengan memberikan bantuan logistik, perubatan, wang, rumah dan sebagainya.
Ketahuilah bahawa semua itu tidak diberikan dengan tulus melainkan terdapat niat yang keji disebaliknya. Niat orang-orang kafir itu adalah bertujuan untuk memurtadkan orang-orang Islam supaya menjadi penganut agama Kristian sebagai balasan atas bantuan dan jasa yang telah diberikan. Na`uzu billahi min dzalik.
Di sinilah seseorang Muslim itu dituntut untuk terus bersikap istiqamah, iaitu konsisten di atas satu jalan dengan mengamalkan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan (mulazamah al-thariq bi fi’li al-wajibat wa tarki al-manhiyyat). Allah SWT telah mewajibkan kita untuk beristiqamah :
“Maka tetaplah kamu (di jalan yang benar) sebagaimana yang diperintahkan kepadamu dan orang yang telah bertaubat bersama kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. [TMQ Huud [11] : 112].
Muslim yang murtad (keluar daripada agama Islam) dan menjadi pemeluk Kristian (atau agama-agama lain yang lain) sebenarnya telah tertipu mentah-mentah baik di dunia mahupun di akhirat. Allah SWT berfirman :
“Barangsiapa yang murtad di antara kamu daripada agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” [TMQ al-Baqarah [2] : 217]
Oleh kerana itu, adalah wajib bagi kita untuk terus beristiqamah dalam mempertahankan keislaman kita. Jangan mudah tertipu oleh pujuk rayu syaitan bertopengkan manusia. Jangan sesekali mati kecuali tetap memegang teguh dengan agama Islam. Allah SWT berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepadaNya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Muslim.” [TMQ Ali ‘Imraan [3] : 102]
“Apabila berlakunya musibah, hadapilah dengan tabah dan pasrah, ambillah darinya segala ‘ibrah (pengajaran), jadikanlah ianya sebagai khibrah (pengalaman), buat bekalan menempuh hayah (kehidupan), agar selamat dunia dan akhirah”
By: haslina ab ghani

Siaga Bencana dalam Islam


Siaga Bencana dalam Islam

Jumat, 23 Desember 2011 14:25 WIB
Oleh Abdillah Imron Nasution

INDONESIA yang terdiri dari gugusan kepulauan mempunyai potensi bencana yang sangat tinggi dan juga sangat bervariasi dari aspek jenis bencana. Kondisi alam tersebut serta adanya keanekaragaman penduduk dan budaya di Indonesia menyebabkan timbulnya risiko terjadinya bencana alam, bencana ulah manusia dan kedaruratan kompleks, meskipun di sisi lain juga kaya akan sumber daya alam.

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU PB) didorong oleh kejadian gempa dan tsunami Aceh di penghujung tahun 2004. Kejadian ini telah mengawali proses pembahasan dan penetapan kebijakan yang dititikberatkan pada kegiatan pengurangan risiko bencana yang sampai saat ini sudah mulai dikembangkan dalam beberapa produk hukum turunan undang-undang dan kebijakan lainnya di tingkat pusat maupun di daerah secara ideal. Aceh telah membuka ruang pembelajaran bagi penanggulangan bencana Indonesia dan dunia internasional dengan ‘pengorbanan’ nyawa, harta, dan benda yang tidaklah kecil jumlahnya.

Hakikatnya, bencana adalah sesuatu yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan. Pandangan ini memberikan arah bahwa bencana harus dikelola secara menyeluruh baik pada masa sebelum, pada saat terjadi dan setelah kejadian bencana. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah manajemen khusus untuk menanganinya. Saat ini, dalam pengelolaan manajemen bencana, telah terjadi beberapa pola pergeseran pandangan, yaitu dari bersifat memberi tanggapan menjadi bersifat pencegahan, dari urusan pemerintah menjadi partisipatif masyarakat, dari tanggung jawab beberapa sektor menjadi tanggung jawab berbagai sektor, serta, dari pola menangani dampak menjadi mengurangi risiko.

Pada dasarnya, pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction) adalah sebagai pengarusutamaan (mainstreaming) berbagai aktivitas pembangunan. Pengarusutamaan ini ditujukan untuk dapat meningkatkan kapasitas dan menurunkan kerentanan. Ini menjadi alasan kuat mengapa pengurangan risiko bencana tidak harus selalu dengan membuka sekolah atau program khusus mengenai bencana atau ilmu manajemen bencana. Sebagai arus utama, pengurangan risiko bencana sudah sepantasnya menjadi muatan yang harus diajarkan di semua bidang ilmu, sekolah, dan perguruan tinggi.

 Islam dan Siaga Bencana

Dari tahapan penanggulangan bencana menurut Undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU PB), proses penanggulangan bencana tidak selalu dilaksanakan pada saat yang bersamaan dan dilakukan secara berurutan. Seperti tahapan tanggap darurat yang pada dasarnya dapat dilakukan pada saat sebelum terjadinya bencana atau dikenal dengan istilah siaga bencana ketika perkiraan bencana akan segera terjadi. Pada tahapan siaga ini terdapat dua kemungkinan yaitu bencana benar-benar terjadi atau bencana tidak terjadi.

Dalam Alquran Surah Ali ‘Imran ayat 200 dikatakan bahwasanya orang yang beriman untuk selalu dalam keadaan siaga sebelum akan terjadinya suatu yang membahayakan, “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” Lebih lanjut, dalam  Surah Al An’aam ayat 131: “Yang demikian itu adalah karena Tuhanmu tidaklah membinasakan kota-kota secara aniaya, sedang penduduknya dalam keadaan lengah.”, Al Quran menganjurkan untuk sebuah daerah berpenduduk dan memiliki pemerintahan untuk memiliki perencanaan siaga yang mengarah kepada kesiapan dan kemampuan untuk memperkirakan, mengurangi dampak, menangani secara efektif serta melakukan pemulihan diri dari dampak, dan jika memungkinkan dapat mencegah bencana itu sendiri.

Dalam konteks manajemen, kesiapsiagaan membutuhkan perencanaan. Perencanaan merupakan fungsi-fungsi manajemen yang hanya dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan yang ditetapkan dalam rangkaian proses yang dapat memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana, jadi perencanaan menjadi hal yang sangat penting karena akan menjadi penentu dalam ketercapaian sebuah tujuan.

Ayat 18 dari Surat Al-Hasyr dikenal sebagai konsep perencanaan. Ulama terkemuka seperti Imam Al Ghazali menafsirkan ayat tersebut sebagai perintah kepada manusia untuk memperbaiki, meningkatkan keimanan, dan ketakwaan kepada Allah SWT melalui proses kehidupan yang tidak boleh sama dengan kehidupan yang sebelumnya. Imam Ghazali juga memberi penegasan pada kata perhatikanlah di mana manusia harus memperhatikan setiap perbuatan yang telah dikerjakan, serta mempersiapkan diri (merencanakan) untuk selalu berbuat yang terbaik demi hari esok.

Konsep perencanaan siaga dalam Surat Al-Hasyr ayat 18 ini merupakan pokok pikiran yang sama dengan panduan penyusunan rencana kontinjensi yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana di tahun 2011. Ada lima aspek yang dapat dilihat dari kesamaan konsep perencanaan tersebut, yaitu: Pertama, perencanaan harus melibatkan proses penetapan keadaan masa depan yang diinginkan (analisis dampak), kedua, keadaan masa depan yang diinginkan dibandingkan dengan kenyataan sekarang sehingga dapat dilihat kesenjangannya (analisis kesenjangan). Ketiga, untuk menutup kesenjangan perlu dilakukan usaha yang dapat dilakukan dengan berbagai ikhtiar dan alternatif (skenario kedaruratan). Keempat, perlu pemilihan alternatif yang baik, dalam hal ini mencakup efektifitas dan efisiensi (alokasi tugas dan sumber daya). Kelima, alternatif yang sudah dipilih hendaknya dirinci untuk dapat menjadi petunjuk dan pedoman dalam pengambilan keputusan maupun kebijaksanaan (sinkronisasi dan harmonisasi).

Hikmah Bencana
Beberapa desa di Aceh diketahui merupakan kawasan rawan bencana. Sebagai contoh adalah Kawasan Rawan Bencana Gunung Api Burni Telong di Kabupaten Bener Meriah yang terdiri dari beberapa tingkat kerawanan berdasarkan hasil kajian-kajian terhadap sejarah letusan yang pernah ada. Dengan kajian ini suatu kawasan dinyatakan sebagai Kawasan Rawan Bencana I, II, dan II yang diingatkan memiliki berbagai potensi dampak yang berbeda-beda berdasarkan ancamannya. Berdasarkan kajian ini, beberapa kampung yang termasuk ke dalam Kawasan Rawan Bencana II misalnya, dinyatakan sebagai kampung-kampung yang terletak dalam radius 5 kilometer dari gunung tersebut berpotensi terlanda aliran hawa panas, lava dan lahar, hujan abu lebat, dan lontaran batu (Direktorat Geologi dan Vulkanologi Energi Sumber Daya Mineral, 2001).

Beberapa peringatan di masa kini yang dapat menjadi hikmah pembelajaran juga telah kita lihat dan kita dengarkan. Bencana alam yang memberi dampak terhadap penghidupan masyarakat begitu banyak diberitakan di berbagai media, baik media massa maupun elektronik. Hikmah pembelajaran terhadap bencana yang mengancam sangat erat kaitannya dengan peringatan yang meningkatkan kesiapsiagaan. Hal ini telah diingatkan di dalam Alquran, dalam Surah Asy Syu’ara’ ayat 26: “Dan Kami tidak membinasakan sesuatu negeri, melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberi peringatan.”

* Penulis adalah Direktur Karst Aceh.

Hikmah di Balik Musibah

Hikmah di Balik Musibah

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin)
Allah l memiliki hikmah yang indah. Di antaranya ada yang dipahami dan ada yang tidak dipahami oleh siapa pun selain-Nya. Tidaklah Allah l menamai diri-Nya dengan Hakim-Dzat Yang Mahabijaksana- melainkan karena semua takdir dan syariat-Nya penuh hikmah. Demikian samarnya maksud terjadinya musibah yang menimpa manusia hingga membutuhkan renungan yang lama dan pandangan yang saksama. Meskipun demikian, terkadang manusia tidak memahami apa yang terjadi. Kadang, ada yang memahami sebagian kecilnya, yang lain dimudahkan memahami sebagian besarnya.
Yang wajib, kita harus memahami bahwa Allah l memiliki banyak hikmah dalam pengaturan makhluk-Nya; tersamarkan dari pemahaman kebanyakan para ulama, lebih-lebih orang awam. Dia memiliki hikmah sesuai dengan keluasan ilmu-Nya yang mutlak. Manusia juga memiliki hikmah, namun sesuai dengan sedikitnya ilmu mereka.
Kaidah (memahami) hikmah-hikmah ini telah disebutkan oleh Allah l secara global. Namun, hikmah dari akibat musibah dan bencana bagi manusia, banyak yang dirahasiakan oleh-Nya l. Oleh karena itu, tampak oleh manusia satu hikmah, akan tetapi tersamarkan olehnya sekian banyak hikmah lain. Dalam hal ini, manusia sesuai dengan keyakinannya kepada Allah l dan kekuatan imannya terhadap nama-nama Allah l dan makna yang dikandungnya (di antaranya: al-Hakim, al-Lathif, al-Khabir, al-Qawi, al-‘Aziz, dan al-Jabbar). Barang siapa yang keyakinannya kepada Allah l disertai oleh ilmu dan pengetahuan terhadap nama-nama Allah l dan sifat-sifat-Nya, ia akan mampu memahami sesuatu yang tidak dipahami oleh orang lain. Oleh karena itu, Rasulullah n bersabda:
إِنَّ لِلهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا، مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Sesungguhnya Allah l memilki 99 nama. Barang siapa yang mengetahui, memahami, dan mengamalkan konsekuensinya, ia akan masuk ke dalam surga.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah z)
Hal lain yang perlu dipahami, beragam musibah dan bencana baik yang kecil maupun yang besar, yang tampak maupun yang tidak, tidaklah terjadi melainkan karena perbuatan dosa. Namun, hikmah yang terjadi berbeda-beda. Pada satu musibah, Allah l memiliki kelembutan (keindahan) di satu sisi dan kehancuran di sisi lain. Pengaruhnya akan tampak bagi orang yang paham dan merenungkan keadaan. Secara umum, manusia lebih tahu tentang dirinya sendiri daripada orang lain. Kaidah ini telah dijelaskan Allah l di banyak tempat dalam kitab-Nya. Demikian pula, Rasulullah n telah menjelaskannya dalam sabdanya.
Allah l berfirman:
“Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (an-Nisa’: 79)
Rasulullah n bersabda dalam hadits Abu Hurairah z:
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tiadalah seorang muslim yang ditimpa musibah dalam bentuk kelelahan, sakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, dan kecemasan, melainkan Allah menghapuskan darinya segala kesalahan dan dosa, hingga duri yang menusuknya juga sebagai penghapus dosa.” (HR. al-Bukhari, no. 5318)
Terkadang, ada bencana dan musibah yang terjadi tanpa diketahui penyebab yang mengharuskan musibah itu terjadi. Misalnya, seseorang gelisah tanpa tahu asal-muasalnya karena kelalaian akibat kesalahan-kesalahannya. Oleh karena itu, Allah l berfirman menghikayatkan keadaan para sahabat setelah musibah terjadi pada Perang Uhud:
ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ ﰅﰆ ﰇ ﰈ ﰉ ﰊ ﰋﰌ ﰍ ﰎ ﰏ ﰐ ﰑ ﰒ ﰓ
Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada Perang Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada Perang Badr), kamu berkata, “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (Ali ‘Imran: 165)
Jadi, segala bentuk musibah, meskipun sangat kecil, asalnya adalah dari hamba dan disebabkan oleh dosanya. Dari Aisyah x, Nabi n bersabda:
مَا مِنْ مُصِيبَةٍ يُصَابُ بِهَا الْمُسْلِمُ إِلَّا كُفِّرَ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا
“Tidaklah suatu musibah menimpa seseorang melainkan Allah l menghapuskan dosanya dengan sebab itu, sampai pun duri yang menusuknya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Sebuah kisah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Auf bin Abdillah. Ia berkata bahwa suatu ketika Abdullah bin Mas’ud berjalan, tiba-tiba terputus tali sandalnya. Spontan beliau berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Dikatakan kepada beliau, “Hanya karena seperti ini engkau mengucapkan (kalimat itu)?” Beliau menjawab, “Ini musibah.”
Terkadang musibah menimpa orang-orang yang saleh dan paling mulia di antara manusia. Akan tetapi, di balik musibah tersebut terdapat pengaruh dan hikmah yang berbeda bagi yang tertimpa. Allah l berfirman tentang para sahabat Nabi n:
“Sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa oleh musibah, mereka mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’.” (al-Baqarah: 155—156)
Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Atha’ yang berkata, “(Orang yang dimaksud dalam ayat ini) adalah para sahabat Nabi Muhammad n.”
Ayat ini mengandung peringatan dan pengajaran bagi kaum muslimin bahwa kesempurnaan nikmat dan kemuliaan derajat di sisi Allah l tidak menjadi penghalang antara mereka dan musibah dunia yang akan menimpa. Adakalanya seseorang terkena musibah, sedangkan orang lain yang lebih besar dosanya selamat, atau terkena musibah juga tetapi lebih ringan. Semua ini berdasarkan hikmah Allah lyang bertingkat-tingkat dan tidak sama.
Ketika tertimpa musibah, sebagian manusia merasa sangat terbebani, akhirnya marah dan tidak sabar sehingga diharamkan mendapatkan pahala. Oleh karena itu, pengaruh (dampak) musibah terhadap orang yang mampu bersabar lebih besar daripada orang yang marah/berkeluh kesah, meskipun musibah yang menimpanya sama. Pada sebagian manusia, musibah menjadi rahmat baginya sehingga ia kembali kepada Allah l. Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya meriwayatkan pendapat Ibnu Abbas tentang surat as-Sajdah ayat 21:
“Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (kepada ketaatan).”
bahwa makna azab yang dekat adalah musibah.
Musibah yang menimpa manusia sendiri bermacam-macam. Ada yang tampak, ada yang tersembunyi. Demikian pula dari sisi jenis dan kadarnya. Sebagian manusia diuji dengan musibah yang tidak tampak, namun sejatinya lebih besar jika dibandingkan dengan musibah yang tampak pada orang lain. Allah l mengkhususkan dengan musibah yang demikian, karena hal itu lebih sesuai untuk menjadi penghapus dosanya. Dari Aisyah x, ia berkata bahwa Rasulullah n bersabda:
إِذَا كَثُرَتْ ذُنُوبُ الْعَبْدِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ مَا يُكَفِّرُهَا مِنَ الْعَمَلِ ابْتَلَاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ بِالْحُزْنِ لِيُكَفِّرَهَا عَنْهُ
“Apabila telah banyak dosa seorang hamba, dan ia tidak memiliki amalan yang menjadi penghapusnya, Allah l mengujinya dengan kesedihan supaya dosanya terhapuskan.” (HR. Ahmad)
Kemampuan akal dan pemahaman manusia cenderung memahami keumuman sebab dan akibat. Itulah kelemahan sisi manusiawinya. Akan tetapi, Allah l menanamkan kepadanya akal yang mampu memikirkan apa yang tersembunyi dari musibah itu sehingga ia mampu memetik hikmah yang samar dan sebab yang tersembunyi dari suatu keumuman. Oleh karena itu, semakin banyak merenungkan hikmah ilahiah, ia akan mampu memahami perkara yang tidak mampu dipahami oleh yang lainnya tentang agungnya kelembutan Allah l.
Di antara hikmah dari musibah adalah:
1. Sebagai peringatan
Allah l berfirman:
“Dan Kami memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti.” (al-Isra’: 59)
Qatadah t menerangkan, “Sesungguhnya Allah l menakuti manusia dengan tanda-tanda (bencana, petaka, pen.) apa pun yang Dia l kehendaki. Mudah-mudahan mereka mengambil pelajaran, menjadi ingat kepada Allah l, kemudian kembali kepada-Nya.”
Beliau menyatakan, “Telah sampai kepada kami berita bahwa di masa Abdullah bin Mas’ud masih hidup, terjadi gempa di Kufah. Beliau mengingatkan kepada manusia, seraya berkata, ‘Wahai manusia, sesungguhnya Rabb kalian meminta—dengan adanya bencana—agar kalian kembali kepada apa yang menjadi keridhaan-Nya. Maka dari itu, bertaubatlah!’.”
2. Hukuman
Firman Allah l:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Rum: 41)
As-Sa’di t berkata, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut, yaitu rusak dan berkurangnya mata pencaharian mereka dan terjadinya bencana alam. Diri mereka juga terserang penyakit, wabah, dan yang lainnya. Semua itu terjadi karena kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh tangan mereka (sendiri), berupa perbuatan yang rusak dan merusak. Hal ini supaya mereka mengetahui bahwa Allah l membalas amal perbuatan dan membuat contoh/pelajaran untuk mereka dari balasan amal mereka di dunia, agar mereka kembali ke jalan yang benar. Mahasuci Allah, Dzat yang menganugerahkan nikmat kepada hamba-Nya melalui cobaan-Nya serta memuliakan hamba-Nya dengan hukuman-Nya. Jika tidak, kalau saja Allah l merasakan (azab) kepada mereka disebabkan apa yang mereka perbuat, niscaya Ia tidak membiarkan di atas permukaan bumi ini satu pun makhluk yang melata (manusia).”
3. Penghapus dosa
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah menimpa kepada seorang muslim suatu musibah berupa kesalahan, rasa sakit, kegundahan, kesusahan, gangguan dan tidak pula dukacita, sampai duri yang menusuknya, melainkan Allah l akan menghapuskan dengannya dari kesalahan-kesalahannya.” (Muttafaqun ‘alaihi, dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah c)
4. Pahala yang mulia
Rasulullah n bersabda:
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي فِي طَرِيقٍ إِذْ وَجَدَ غُصْنَ شَوْكٍ فَأَخَّرَهُ فَشَكَرَ اللهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ
“Tatkala seorang laki-laki berjalan tiba-tiba ia mendapati ranting berduri berada di jalan lalu ia menyingkirkannya, Allah l memberikan kepadanya pahala dan mengampuninya.” (HR. at-Tirmidzi dari Abu Hurairah z)

Posted By. GAYO Nusantara

Bencana, Penyebab & Akibatnya Menurut Pandangan Islam

Bencana, Penyebab & Akibatnya Menurut Pandangan Islam

Antara Cuaca Ekstrim dan Angin Puting Beliung
Angin Puting Beliung
Beberapa hari yang lalu, saya terima surat dari Bupati Kepulauan Selayar, yang ditandatangani oleh Wakil Bupati Kepulauan Selayar H. Saiful Arif, perihal Himbauan Materi Khutbah. Surat tersebut ditujukan kepada seluruh Khatib Jum'at Terpadu sekota Benteng dan Sekitarnya.

Disebutkan dalam isi surat tersebut bahwa : "Dalam rangka menghadapi perubahan cuaca yang ekstrim hari-hari terakhir ini, maka untuk pelaksanaan Shalat Jum'at  pada tanggal 21 Desember 2012 kepada saudara diminta agar menyampaikan materi khutbah berdasarkan thema "BENCANA, PENYEBAB DAN AKIBATNYA MENURUT PANDANGAN AGAMA ISLAM".

Surat tersebut seharusnya diterima sesuai dengan tanggal yang tertera disudut kanan atas yaitu pada hari Kamis, 20 Desember 2012, tapi ternyata suratnya diantar di pagi hari Jum'at.

Bagiku membuat konsep khutbah untuk membahas thema diatas, dalam waktu kurang dari 3 jam termasuk sesuatu yang sulit, terlebih lagi listrik padam, otomatis harus ditulis tangan, kalaupun diketik pakai laptop, tetap tidak mungkin bisa dicetak, karena print tidak bisa nyala. Kesulitan lainnya karena harus MENURUT PANDANGAN AGAMA ISLAM, seandainya menurut pandangan saya pribadi tentu lebih mudah.

Walhasil, khutbah jum'at pada tanggal 21 Desemberr 2012 berlangsung tanpa konsep, hanya ditemani Mushaf Terjemahan diatas mimbar. Berbeda pada hari Jum'at berikutnya 28 Desember 2012, waktu untuk membuat konsep lumayan lama, sehingga khotbah jum'at disampaikan dengan ditemani selembar konsep.

Berbicara tentang bencana, dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa bencana itu adalah sesuatu yg menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau penderitaan, adapun Bencana Alam maksudnya adalah bencana yg disebabkan oleh alam (seperti gempa bumi, angin kencang, dan banjir)

Apakah Bencana Alam murni disebabkan oleh alam...???

{فَأَخَذَتْهُمُ الرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا فِي دَارِهِمْ جَاثِمِينَ} [الأعراف: 78]
Karena itu mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayit-mayit yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka. [Al A'raf : 78]

Ayat diatas menggambarkan tentang Gempa Bumi yang menimpa kaum Tsamud, karena kesyirikan, kekafiran dan maksiat serta pembangkangan mereka terhadap saudara mereka Sholeh, sebagaimana diceritakan pada ayat sebelumnya :

{قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ هَذِهِ نَاقَةُ اللَّهِ لَكُمْ آيَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِي أَرْضِ اللَّهِ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ} [الأعراف: 73]
(Shaleh) berkata. "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhanmu. Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya, dengan gangguan apa pun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih." [Al A'raf : 73]

Allah berfirman tentang penduduk Madyan :

{فَأَخَذَتْهُمُ الرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا فِي دَارِهِمْ جَاثِمِينَ} [الأعراف: 91]
Kemudian mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayit-mayit yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka [Al A'raf : 91]

Penyebab gempa bumi yang menimpa mereka, tidak lain karena dosa, kesyirikan, kekafiran dan maksiat serta pembangkangan mereka terhadap saudara meraka Syu'aib;

{قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ فَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ} [الأعراف: 85]
(Syu'aib) berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman". [Al A'raf : 85]

Percayakah kita kisah Kaum Nabi Nuh yang dibinasakan dengan bencana banjir dan angin topan;

{وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلَّا خَمْسِينَ عَامًا فَأَخَذَهُمُ الطُّوفَانُ وَهُمْ ظَالِمُونَ} [العنكبوت: 14]
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang lalim. [Al Ankabut : 14]

Penyebab bencana yang melanda mereka tidak lain karena pembangkangan mereka terhadap Nabi Nuh Alaihissalam yang mengajak mereka untuk men-Tauhid-kan Allah Subhanahu wata'ala;

{لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ} [الأعراف: 59]
Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: "Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya." Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat). [Al A'raf : 59]

Tampak jelas dari kisah umat terdahulu yang disebutkan diatas bahwa penyebab bencana yang membinasakan mereka adalah karena dosa-dosa mereka dalam bentuk : Kesyirikan, Kekufuran, serta Maksiat.

Perkara selanjutnya yang dapat menyebabkan bencana adalah hilangnya loyalitas terhadap sesama orang beriman dan hilangnya sikap berlepas diri dari orang-orang kafir, sebagaimana firman Allah Subhanahu wata'ala :

{وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ} [الأنفال: 73]
Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar. [Al Anfal : 73]

Perkara yang diperintahkan Allah dalam ayat diatas adalah senantiasa loyal terhadap sesama kaum muslimin dan berlepas diri dari orang-orang kafir.

Kesimpulannya, bencana yang terjadi penyebabnya berkaitan dengan dosa yang diperbuat oleh tangan-tangan manusia itu sendiri, Allah Subhanahu wata'ala berfirman :

{ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [الروم: 41]
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). [Ar Rum : 41]

{وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ} [الشورى: 30]
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). [Asy Syuro : 30]

{فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ خَسَفْنَا بِهِ الْأَرْضَ وَمِنْهُمْ مَنْ أَغْرَقْنَا وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ} [العنكبوت: 40]
Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. [Al Ankabut : 40]

Akibat yang ditimbulkan dari sebuah bencana yang melanda tidaklah terbatas dan terkhusus hanya ditujukan bagi para pendosa, sebagaimana firman Allah Subhanahu wata'ala :

{وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ} [الأنفال: 25]
Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang lalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. [Al Anfal : 25]

Setelah mengetahui PENYEBAB & AKIBAT yang ditimbulkan oleh BENCANA, mari kita senantiasa ber-amar ma'ruf dan nahi mungkar serta senantiasa istigfar dan bertobat kepada Allah Subhanahu wata'ala, senantiasa memperbaiki diri pribadi, keluarga dan masyarakat, agar Allah Subhanahu wata'ala menjauhkan kita dari Bala dan Bencana;

{وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ} [هود: 117]
Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan. [Hud : 117]

Oleh karena itu, sebagai PENUTUP dari postingan kali ini, mari kita senantiasa berbuat kebaikan, jauhi kesyirikan, kekafiran, maksiat dan dosa-dosa lainnya, kalaupun ada diantara kita yang menjadi korban bencana semoga Allah memasukkannya ke dalam golongan orang-orang yang mati syahid, Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam bersabda :

« الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ » (رواه مالك ، والبخارى ، ومسلم ، والترمذى عن أبى هريرة)
Orang-orang yang mati syahid itu ada lima :
  1. Meninggal karena wabah penyakit,
  2. Meninggal karena sakit perut atau muntaber,
  3. Meninggal karena tenggelam,
  4. Meninggal karena tertimpa reruntuhan,
  5. Meninggal karena terbunuh di medan perang
(HR. Malik, Al Bukhory, Muslim dan At Tirmidzi Rahimahumullah dari Abu Hurairah Radhiallohu 'anhu)
 
 Photo. Tanoh Gayo Central Atjeh.