Search This Blog

Sunday, June 9, 2013

Jangan Melarang Orang Menyalahkan Budidaya Korup(tor/si)

Jangan Melarang Orang Menyalahkan Budidaya Korup(tor/si)

(Tanggapan atas Opini Saudari Salihati)
(Oleh : Mamnun Ariga)
anti-korupsiAku terhenyak membaca opini saudari Salihati yang melarang orang menyalahkan para koruptor. Semangatnya patut diacungi empat jempol. Namun, sikap saudari terkesan mendukung perilaku korupsi atau berpihak kepada koruptor, meski kesan tak selalu berarti pesan. Ada baiknya anda menegaskan keberpihakan dalam menyikapi penyakit bangsa sebagai musuh bersama.
Rakyat memiliki andil dalam setiap tindak pidana korupsi yang terjadi, mungkin itu yang ingin anda tegaskan. Jangan lupa, pola tersebut terjadi tak semata dalam waktu singkat. Korupsi telah menjadi bagian dari ‘warisan’ kolonialisme Belanda dan VOC( Vereenigde Oostindische Compagnie).
Jadi, kenyataan tersebut harus dipahami sebagai rangkaian sejarah panjang silsilah korupsi di Indonesia. Belanda boleh pergi dari Nusantara, namun, birokrasi yang korup justru menjadi warisan mereka yang pernah menjajah kita. Anak jajahan memang memiliki kecenderungan untuk meniru dan mengadopsi nilai dari tiran yang pernah mengangkangi hargadirinya.
Saat sebuah tiran tumbang, entah itu kolonialisme, junta militer atau kekuasaan despotik lainnya, ‘kenikmatan’ menindas seolah menginduksi atau mengkontaminasi para penguasa transisi. Tak perlu jauh bercermin. Aceh menunjukkan realita peralihan depotisme kekuasaan sejak Belanda, Indonesia hingga penguasa lokal terkini.
Lantas, apa dan dimana letak kesalahan saat sekelompok orang yangberstatus rakyat sebuah wilayah menyalahkan sesuatu yang nyata salah? Analogi ‘Satu Jari Menunjuk Orang Empat Jari Menunjuk Diri Sendiri’ sungguh tak sepadan untuk membandingkan penyalahan korupsi oleh rakyat terhadap penguasanya. Sebab korupsi telah dipahami sebagai kejahatan sistemik yang melibatkan sekelompok orang dalam bermufakat jahat terhadap kekayaan negara. Bahkan, koruptor tak lagi menempati level budaya. Indonesia telah berada pada stadium budidaya korupsi dan pelestarian koruptor.
Kesalahan sistemik tak dapat menempatkan rakyat selaku pihak inferior sebagai pemegang andil besar menjangkitnya epidemi korupsi. Tentu aku tak ‘kan suka membantah dan berbantahan jika Saudari Salihati berbijak pikir menyalahkan sistem dengan birokrasi berbelit yang mendukung budaya dan budidaya korupsi di Indonesia. Negara dan segenap jabatan serta pejabat publiknyalah yang mesti dipersalahkan dalam kondisi makzulnya kebenaran secara sistemik, bukan pihak yang menyalahkan pendosa publik.
Pendirian komisi-komisi yang berada di bawah presiden menjadi bukti nyata bahwa Nusantara berada dalam kondisi timpang. Tugas yang seharusnya dituntaskan oleh institusi reguler semacam kepolisian, kejaksaan dan kehakiman telah menjadi bagian dari adonan cakekorupsi. Pengaburan realitas bernegara dengan sistem ‘Gali Kasus untuk Menutup Kasus’ mungkin telah merabunkan pandangan publik terhadap pendirian komisi-komisi ad hoc tersebut. Namun, Anda selaku Raushan Fikr mengemban tugas menjaga ingatan publik tentang realitas tersebut, bukan justru membangun polarisasi hakikat benar-salah.
Mungkin akan lebih indah jika Anda lebih menyelami realitas ‘Hujan Rp 50.000 Mengeringkan Lima Tahun Keadilan sebab Salah Memilih Pengemban Amanah’. Janganlah menutup mata pada kenyataan hidup rakyat yang kerap kesulitan mencari beras segantang.
Kondisi. Aku akan menggunakan kata tersebut untuk menggambarkan betapa terhimpitnya rakyat sehingga tak berpikir panjang dan bijak menerima Rp 50.000,- ini hari sembari menumbalkan 5×365 hari esok yang mereka punya. Seorang lapar yang memiliki uang Rp 2.000,- dalam sakunya tentu lebih mungkin membeli sebungkus mie instan ketimbang seporsi nasi. Meski ia sadar mie instan buruk bagi kesehatannya. Kondisi yang menjadikan rakyat jelata tak memiliki banyak pilihan sebab birokrasi melambungkan hegemoni Daulat Tuanku, bukan Daulat Rakyat.
Tak ‘kan ada perdebatan andai Saudari Salihati yang Muda Bestari menjuduli opini tersebut dengan ‘Jangan cuma Menyalahkan Koruptor’. Aku selaku pembaca (tanpa maksud mewakili pembaca lain) terlanjur memahaminya sebagai tindak pelarangan terhadap sikap menyalahkan koruptor.
Jikapun para koruptor menggunakan logika dagang dalam meraup suara rakyat dalam segala bentuk pemilihan pejabat publik, aku cenderung tetap menyalahkan mereka. Kepemimpinan macam apa yang menggunakan sikap pamrih dalam mengemban tugas publik?! Kewibawaan macam apa yang mendasari pengumpulan suara di atas logika dagang?
‘Jangan Salahkan Koruptor’ terkesan menyalahkan setiap orang yang menyalahkan koruptor dan tindak pidana korupsi. Judul pendapat Anda menyimpangkan posisi salah-benar dalam logika hukum. Kesan yang kudapat dari judul tersebut (ini juga pendapat pribadi) koruptor (yang nyata berperan sebagai Mustakbirin) adalah Si Benar dan setiap orang yang menyalahkan koruptor menyandang peran sebagai Si Salah. Semoga aku yang salah memaknainya, aku melakukan penafsiran berdasarkan pemahaman logika seorang hamba laeh tanpa latar pendidikan yang memadai.
Jadi, sebagai seorang dha’if, aku tersesat dalam bimbang usai mencermati pendapat Anda yang berlatar pendidikan tinggi. Siapakah yang harus dipersalahkan atas seluruh tindak pidana korupsi yang terjadi di Nusantara?
Apakah Apa Ma’e yang sedang menyabit rumput untuk pakan ternak di gerumbul belukar? Cek Fatimah yang sedang berdagang cindoy di Peukan Lueng Putu? Atau si Kapluek yang sedang bermain kelereng?
Kutulis ini saat gelisah memenuhi dinding sempit benak yang resah usai membacai buah pikir seorang Saudari Muda Bestari yang tak kukenal. Kutulis pula untuk menegaskan bahwa koruptorlah yang bersalah sebab mencuri fulus republik dan menelantarkan kesejahteraan rakyat. Kutulis untuk meredam dentam resah menghimpitkan gema dalam kepala. Kutulis teruntuk Saudari Salihati yang kuanggap mencintai dan berpihak pada kebenaran serta membenci para Mustakbirin. Semoga aku yang salah.
(Penulis adalah seorang buruh pemetik kopi di dataran tinggi Gayo)