Search This Blog

Tuesday, May 7, 2013

RUMAH DUNIA "GOL A GONG "


" GoL A Gong "




Redaksi menatap masa depan
Redaksi menatap masa depan
I. PENGANTAR
Rumah Dunia adalah lini sosial Yayasan Pena Dunia, berakta notaris Fachrul Kesuma Dharma, SH, nomor 006, 12 Juni 2006. Rumah Dunia adalah “learning centre”; pusat belajar jurnalitsik, sastra, menggambar, teater, musik, dan film bagi anak-anak, pelajar, mahasiswa, bahkan umum. Rumah Dunia digulirkan sejak 2002.

Bendera dan Lambang Aceh akan Dibawa ke Makassar

Bendera dan Lambang Aceh akan Dibawa ke Makassar

Batam – Pembahasan Bendera dan Lambang Aceh di Batam, Selasa (07/05/2013) oleh tim Pemerintah Aceh dan Pusat, belum sampai pada kesimpulan konkrit. Oleh karena itu, dipastkan pertemuan “Juru Runding” akan berlanjut.
Menurut informasi yang diperoleh AtjehLINK, tim pembahasan bendera dan lambang Aceh akan kembali bertemu pada tanggal 16 Mei 2013 mendatang, di Makassar Sulawesi Utara.
“Kita (Tim Aceh dan Jakarta-red) sepakat akan bertemu kembali di Makassar. Karena pertemuan hari ini belum sempat membahas semua perbedaan pandang terhadap Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2013,” ujar salah satu anggota tim Aceh, Edrian S.H, M.Hum, Selasa sore (07/05/2013).
Edrian menambahkan, dalam pertemuan di Batam hari ini, tim dari Aceh kembali menegaskan argumen mempertahankan bulan bintang dan singa buraq sebagai bendera dan lambang Aceh.
“Kami sampaikan kepada tim dari pemerinah pusat, agar tetap mengakomodir keinginan Pemerintah Aceh, seperti tertuang dalam Qanun yang telah disahkan DPRA, tentang bendera dan lambang Aceh,” ujarnya.
Sementara itu masih menurut Edrian, Dirjen Otda Djoehermansyah Johan, kembali menyarankan PemerintahAceh, agar melakukan perubahan pada bendera bulan bintang, dengan penambahan gambar lain, misalnya rencong. Namun lanjut Edrian, pada kesempatan pertemuan di Hotel Harmoni Batam, tim Pemerintah Aceh belum mengiyakan keinginan pusat tersebut. (Sd)

Mahasiswa di Tengah Globalisasi

Mahasiswa di Tengah Globalisasi

huy(Oleh: Nanda Feriana)
Arus globalisasi mengalir deras seolah tanpa muara. Bangsa di berbagai negara saat ini ikut tersapu arus globalisasi tersebut. Kecanggihan teknologi informasi, transportasi, dan media semakin memudahkan masuknya berbagai pengaruh dunia (terutama dunia yang mengusai peradaban globalisasi itu) ke dalam setiap lini kehidupan masyarakat di setiap negara.
Sebagian besar pengaruh itu dibawa oleh negara-negara maju dan adikuasa, dalam bentuk pengetahuan, kekuatan ekonomi, dan produksi budaya. Globalisasi kebudayaan itu menelusup dan sampai ke seluruh negara yang hanya berdaya sebagai konsumen, terjun besar ke pelosok masyarakat, tak terkecuali Aceh.
Aceh tak bisa lepas dari pengaruh globalisasi. Kekuatan budaya global menghujam dan memberi pengaruh di tanah Serambi Mekah ini. Aceh sebagai provinsi dengan nilai-nilai keislaman yang dilegalkan mengalami banyak perubahan dari segi kebudayaan yang berkembang di dalam kehidupan masyarakatnya. Terjadinya asimilasi, akulturasi, hingga pasifikasi (ketertaklukan) akibat proses mengglobal itu.
Kita tak bisa pungkiri globalisasi mendatangkan kebudayaan “baru” yang di dominasi oleh kebudayaan Barat. Setiap daerah yang ada di Nusantara tampaknya memang harus berhati-hati dalam menerima kebudayaan baru tersebut agar keaslian kebudayaan daerah tidak punah hanya karena pengaruh globalisasi. Lantas mengapa kita harus begitu waspada terhadap globalisasi?
Dalam hal ini kita terlebih dahulu harus memahami apa itu globalisasi. Globalisasi menurut Athony Giddens adalah proses pemadatan ruang dan waktu (compressing space and time at once). Jarak yang jauh dan waktu yang lama dalam proses produksi di masa lalu, karena masih dikerjakan oleh buruh, kini digantikan mesin dengan presisi dan kualitas yang bagus dan diproduksi cepat. Jarak dari Kutaradja ke Batavia jika di abad lalu ditempuh dalam waktu dua minggu, kini dapat ditempuh dengan tiga jam dengan pesawat.
Penulis tidak mengatakan bahwa proses mengglobal ini salah, bahkan seperti yang kita semua sudah tahu terdapat begitu banyak sisi positif dari globalisasi, seperti kecanggihan internet yang mampu menjangkau hingga ke desa dan memberikan kelimpahan informasi dan pengetahuan.
Namun yang menjadi persoalan, sudahkah kita memproteksi budaya kita dari segala bentuk ancaman yang mengintai integritas kita? Karena globalisasi bisa berwujud pisau bermata dua, ada kalanya ia menguntungkan dan ada saatnya merugikan.
Apalagi Aceh, yang bisa dikatakan dalam keadaan rekonstruksi pasca-tsunami. Masa-masa transisi seperti ini akan sangat memudahkan masuknya pengaruh kebudayaan Barat yang bersifat negatif yang mampu menggoyangkan pilar kebudayaan lokal dan nilai ke-Aceh-an.
Maka untuk itu masyarakat Aceh harus bisa membangun jati diri berbudaya untuk menangkal pengaruh-pengaruh negatif tersebut. Pihak pertama yang menurut penulis harus membangun sikap berbudaya tersebut adalah kalangan mahasiswa mengingat mahasiswa merupakan agent of change, pihak yang menentukan sebuah perubahan di dalam masyarakat.
Dalam hal ini, mahasiswa Aceh sebagai salah satu bagian dari anggota masyarakat yang berkecimpung dalam dunia intelektual haruslah mampu melakukan gebrakan-gebrakan yang bertujuan pada pelestarian kebudayaan. Langkah awal barangkali bisa dengan membangun keadaban komunikasi, baik di dalam kehidupan akademik atau sosial. Ini merupakan salah satu sosialisasi menjaga kebudayaan sendiri agar tidak larut dalam kungkungan globalisasi pro-Barat.
Menciptakan iklim komunikasi yang berbudaya di kampus akan menumbuhan nilai-nilai kebudayaan pada diri mahasiwa. Walaupun terdapat kemajemukan latar belakang para mahasiswa, yang berasal dari berbagai etnis budaya, namun keberagaman tersebut haruslah dihargai tanpa harus menghilangkan ciri khas kebudayaan masing-masing.
Tentunya, dalam menjalin komunikasi tersebut harus mengesampingkan dulu yang namanya etnosentrisme, prasangka, dan streotipe yang seringkali dialamatkan pada kebudayaan lain.  Seperti halnya mahasiswa UGM yang kuliah di Jogja, yang datang dari berbagai suku dari Nusantara. Walaupun mereka berangkat dari beragam etnis dan budaya, harus dapat diminimalisir dengan adanya penghargaan tehadap budaya Nusantara yang kaya itu. Para mahsiswa ini bisa menjalin hubungan lintas-budaya yang harmonis, sehingga kota tersebut berkembang menjadi kota yang ramah terhadap multikulturnya Indonseia.
Penghargaan semacam ini bisa menangkal masuknya kebudayaan Barat yang dibawa oleh globalisasi. Menjalin hubungan yang akrab dengan semua mahasiswa yang berbeda budaya adalah cara menghargai keberagaman yang ada, dengan menghargai keberagaman maka akan tercipta suatu hubungan yang harmonis antar-sesama mahasiswa. Sehingga akan muncul kesadaran dari diri mahasiswa untuk saling memajukan kebudayaanya masing-masing.
Ketika iklim di kampus sudah terjalin baik, diperlukan tindakan sosial lain yang bertujuan melestarikan kebudayaan-kebudayaan tersebut. Semua mahasiswa lintas budaya yang ada di kampus, harus sama-sama bersatu dan menguatkan barisan untuk menghadapi kuatnya arus globalisasi yang mengancam kebudayaan Indonesia.
Jika semua mahasiswa mau menghargai kebudayaanya sendiri apapun latar belakang etnisnya, maka kesolidan dari masing-masing budaya akan terjaga. Jika semua budaya bisa solid lewat sikap-sikap berbudaya yang ditunjukan oleh para mahasiswa,  maka, pengaruh negatif kebudayaan Barat bisa terhindarkan.
(Penulis adalah siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara dan saat ini terdaftar sebagai Mahasiswa Komunikasi, FISIP, Unimal)

GAYO Nusantara.

‘Basinya Demokrasi di Aceh’

‘Basinya Demokrasi di Aceh’

(Oleh: Khairil Miswar)
Khairil MiswarMeskipun pelaksanan Pemilu Legislatif masih lumayan lama dan baru akan digelar pada tahun 2014 mendatang, namun dalam beberapa hari terakhir fenomena kekerasan sudah mulai muncul di Aceh.
Sebagaimana dilansir oleh AtjehLINK, beberapa hari lalu seorang caleg perempuan dari Partai Nasional Aceh (PNA) di Aceh Besar dipaksa untuk mundur dari caleg dan mendapat ancaman tembak. Kasus pertama ini belum terungkap, keesokan harinya AtjehLINK kembali memberitakan bahwa Cekgu yang juga kader PNA ditemukan tewas dengan luka tembak. Belum lagi kasus ini tuntas, lagi-lagi diberitakan bahwa rumah seorang perempuan yang juga kader dari PNA diteror dengan peluru ketapel.
Dua dari tiga kasus di atas; ancaman tembak dan teror peluru ketapel sudah hampir bisa dipastikan bahwa kasus tersebut berhubungan erat dengan prosesi pemilu yang akan digelar pada 2014 mendatang. Sedangkan kasus terbunuhnya Cekgu, menurut penulis masih syubhat (kabur) dan belum bisa dipastikan apakah kasus tersebut berhubungan dengan pemilu ataupun tidak. Dugaan sementara sebagaimana dilansir oleh Serambi Indonesia, pihak kepolisian menyatakan bahwa kasus kematian Cek Gu terkait dengan urusan sabu-sabu. Namun hal ini secara tegas dibantah oleh pihak PNA.  Wallahu A’lam.
Berbicara masalah kekerasan menjelang Pemilu di Aceh, sebenarnya bukanlah hal baru. Sepanjang pengamatan penulis, kekerasan Pemilu ini marak terjadi di Aceh, khususnya pasca perdamaian. Sebelum tahun 2005 bisa dikatakan aroma kekerasan ini belum begitu populer di Aceh. Politik kekerasan ini baru tumbuh dan berkembang pasca tahun 2005.
Kekerasan dalam Pemilu pasca damai pertama sekali terjadi pada tahun 2006 pada saat prosesi pemilihan Gubernur Aceh yang ketika itu dimenangkan oleh Irwandi-Nazar. Kekerasan terus berlanjut pada saat Pemilu legislatif tahun 2009. Tidak berhenti di situ, pada Pemilukada tahun 2012 kekerasan juga ikut menghiasi prosesi Pemilu di Aceh.
Setelah melihat beberapa riwayat kekerasan yang terjadi di Aceh, maka menurut penulis kekerasan yang terjadi dalam beberapa hari ini pada prinsipnya hanyalah bentuk pengulangan dari kekerasan tahun-tahun sebelumnya. Mungkin para pelaku kekerasan beranggapan bahwa praktek kekerasan merupakan jurus ampuh dalam memenangkan Pemilu, sehingga patut dipertahankan.
Tentang siapa pelaku teror dan kekerasan ini, menurut penulis bukanlah hal yang penting untuk didiskusikan. Mendiskusikan pelaku kekerasan menurut penulis hanya akan membuang-buang waktu saja dan justru bisa memperluas konflik, tapi yang penting adalah bagaimana kekerasan ini bisa dihapuskan di bumi Aceh.
Berbagai bentuk teror dan intimidasi yang dilakukan oleh “mereka-mereka itu” terhadap sesama anak bangsa menurut penulis merupakan sebuah bentuk pengkhianatan terhadap demokrasi yang setiap hari terucap dari bibir-bibir mereka. Hanya demi kepentingan kekuasaan mereka tidak segan-segan melakukan berbagai tindak kekerasan terhadap orang-orang yang dianggapnya sebagai lawan politik.
Demokrasi yang selama ini terucap dari bibir mereka hanya menjadi selimut untuk menutup diri. Demokrasi hanya ucapan, demokrasi hanya teori yang mereka gunakan untuk mengebiri rakyat, demokrasi hanyalah tulisan untuk menghias spanduk dan poster di jalanan.
Menyikapi buruknya praktek demokrasi di Aceh, menurut penulis para pemangku kekuasaan di Aceh harus serius dalam bersikap guna membasmi praktek-praktek kekerasan khususnya di musim Pemilu. Para pemimpin partai politik menurut penulis harus mampu memberi pemahaman yang komprehensif tentang makna demokrasi kepada para kadernya sehingga tidak salah kaprah dalam melakukan aktivitas politik. Setiap partai politik berhak untuk menang dalam Pemilu, tetapi tentunya dengan cara-cara yang beradab dan mengindahkan nilai-nilai demokrasi.
Sebagai daerah yang mayoritas penduduknya mengaku muslim, seharusnya setiap pemimpin partai politik di Aceh juga mampu menggiring dan mengarahkan kadernya untuk tidak menginjak nilai-nilai Islam dalam kegiatan politiknya. Para pemimpin politik di Aceh harus mampu membangun politik yang berperadaban, bukan sebaliknya malah mempraktekkan jurus-jurus biadab dalam politik.
Aksi teror dan kekerasan dalam politik merupakan cerminan dari politik biadab yang tidak semestinya dipertahankan dan harus segera dihapuskan di bumi Aceh. Akhirnya kita hanya bisa berharap agar demokrasi di Aceh benar-benar berjalan, khususnya menjelang pemilu 2014 mendatang. Semoga saja demokrasi di Aceh bukan teori basi. Wallahu A’lam.
 (Penulis adalah Alumnus IAIN Ar-Raniry Banda Aceh)

KPU: Tak Satu pun Caleg PKS Penuhi Syarat

KPU: Tak Satu pun Caleg PKS Penuhi Syarat



186903_ketua-kpu-pusat-husni-kamil-malikAtjehLINK - Ketua Komisi Pemilihan Umum Husni Kamil Manik mengumumkan hasil verifikasi bakal calon legislatif (bacaleg). Husni mengatakan, total bacaleg yang diterima dalam berita acara oleh KPU sebanyak 6.578 berkas.
“Terdiri dari laki-laki 4.139, perempuan 2.439,” kata Husni di Hotel Sahid, Jakarta, Selasa 7 Mei 2013.
Dari berkas tersebut, KPU menerima sebanyak 6.028 berkas. Dan yang belum diterima 549 berkas. “Sehingga kekurangan untuk pemenuhan 100 persen ada 142 berkas,” ujarnya.
Husni menuturkan alokasi bacaleg perempuan secara keseluruhan sebesar 38 persen. Kemudian, dari hasil verikasi, ujarnya, hanya 1.327 yang memenuhi syarat. “Tidak memenuhi syarat 4.701 sementara yang tidak ada berkas 549,” katanya.
Berikut rincian verifikasi bacaleg DPR 12 parpol yang diumumkan KPU:
1. Partai Nasdem
Bacaleg yang diterima dalam berita acara 560, laki-laki 337, perempuan 223. Berkas bacaleg yang diterima 504, belum diterima 56. Pengajuan 100 persen. Persentase keterwakilan perempuan 40 persen. Dalam verifikasi bacaleg, yang memenuhi syarat tujuh, tidak memenuhi syarat 497. Sementara tidak ada berkas sebanyak 56.
2. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Pengajuan 556, laki-laki 348, perempuan 208. Berkas yang diterima 457, belum diterima 98. Pengajuan kurang 4 untuk mencapai 100 persen. Persentase keterwakilan perempuan 38 persen. Status verifikasi bacaleg, 86 memenuhi syarat, 371 tidak memenuhi syarat, 98 tidak ada berkas.
3. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Jumlah 492, laki-laki 299, perempuan 193, berkas yang diterima 492. Pengajuan untuk kelengkapan 100 persen keanggotaan DPR kurang 68. Persentase keterwakilan perempuan 40 persen. Memenuhi syarat nol. Tidak memenuhi syarat 492. Tidak ada berkas 0.
4. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
Jumlah pengajuan bacaleg 545, laki-laki 354, perempuan 191. Berkas yang diterima 545, pengajuan untuk kelengkapan 100 persen keanggotaan DPR kurang 15,  keterwakilan perempuan 36 persen. Memenuhi syarat 3, sementara tidak memenuhi syarat 542.
5. Partai Golkar
Bacaleg yang diterima dalam berita acara 560, laki-laki 358, perempuan 202, berkas yang diterima 560. Persentase keterwakilan perempuan 37 persen. Memenuhi syarat 358, sementara tidak memenuhi syarat 202.
6. Partai Gerindra
Bacaleg yang diterima dalam berita acara 560, laki-laki 357, perempuan 203, berkas yang diterima 534, belum diterima 26. Persentase keterwailan perempuan 37 persen. Memenuhi syarat 89, tidak memenuhi syarat 445, dan tidak ada berkas sebanyak 46.
7. Partai Demokrat
Bacaleg yang diterima dalam berita acara 561, laki-laki 358, perempuan 203, berkas yang diterima 561, pengajuan untuk kelengkapan 100 persen keanggotaan DPR lebih satu, keterwakilan perempuan 37 persen. Memenuhi syarat 365, sementara tidak memenuhi syarat 196.
8. Partai Amanat Nasional (PAN)
Bacaleg yang diterima dalam berita acara 560, laki-laki 349, perempuan 211, berkas yang diterima 534, belum diterima 26, keterwakilan perempuan 38 persen. Memenuhi syarat 396, tidak memenuhi syarat 138, tidak ada berkas sebanyak 26.
9. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Bacaleg yang diterima dalam berita acara 560, laki-laki 354, perempuan 206, berkas yang diterima 467, belum diterima 93, keterwakilan perempuan 37 persen. Sementara tidak memenuhi syarat 467 dan 93 tidak ada berkas.
10. Partai Hanura
Bacaleg yang diterima dalam berita acara 560, laki-laki 355, perempuan 205, berkas yang diterima 560, keterwakilan perempuan 37 persen. Memenuhi syarat 8, sementara tidak memenuhi syarat 552.
11. Partai Bulan Bintang (PBB)
Bacaleg yang diterima dalam berita acara 552, laki-laki 334, perempuan 208, berkas yang diterima 484, belum diterima 68, pengajuan untuk kelengkapan 100 persen keanggotaan DPR kurang delapan,  keterwakilan perempuan 38 persen. Memenuhi syarat 15, sementara tidak memenuhi syarat 469, dan tidak ada berkas sebanyak 68
12. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)
Bacaleg yang diterima dalam berita acara 512, laki-laki 326, perempuan 186, berkas yang diterima 330, belum diterima 182, pengajuan untuk kelengkapan 100 persen keanggotaan DPR kurang 48, keterwakilan perempuan 37 persen. Hasil verifikasi memenuhi syarat nol, tidak memenuhi syarat 330, dan tidak ada berkas sebanyak 182. (umi)
Sumber: VIVAnews

Hasil Pembahasan Bendera dan Lambang Aceh di Batam

Hasil Pembahasan Bendera dan Lambang Aceh di Batam

Batam – Pertemuan tim pembahasan polemik Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2013, yang berlangsung Selasa (07/05/201) di Hotel Harmoni Batam, menghasilkan beberapa poin.
Menurut salah satu anggota tim dari Aceh, Edrian S.H M.Hum, pertemuan berjalan harmonis. Pada kesempatan itu kata Edrian, tim dari pemerintah pusat yang dipimpin Dirjan Otda Djoehermansyah Johan menyarankan, agar dilakukan perubahan bentuk bendera Aceh. Misalnya sebut Edrian, dengan menambahkan gambar rencong pada bendera bulan bintang.
“Kalaulah kita (Pemerintah Aceh-red) sepakat, Kemendagri meminta dilakukan perubahan atau penambahan pada bendera yang telah disahkan DPRA sebagaimana dimaksud dalam Qanun Nomor 3 tahun 2013 tersebut, namun itu tergantung pada kita Aceh,” ujar Edrian kepada AtjehLINK, Selasa sore (07/05/2013).
Secara umum kata Edrian, pembicaraan fokus pada bendera, sementara persoalan lambang tidak terlalu disinggung dalam pertemuan itu.
“Tim dari pemerintah pusat tidak bicara soal lambang Singa Buraq, sepertinya mereka tidak masalah  lagi dengan lambang, hanya bendera saja yang mereka minta dilakukan perubahan,” ujarnya.
Sementara tim dari Pemerintah Aceh, kata Edrian, dalam pertemuan itu kami tetap menyampaikan dan meminta pemerintah pusat, agar mengakomodir bendera dan lambang Aceh sebagaimana yang diusulkan dalam Qanun, yang disahkan DPRA pada 22 Maret lalu.
Masih menurut Edrian, belum ada kesimpulan kongkrit dari pertemuan yang berlangsung pukul 09:00-15:00 WIB itu. Namun akan ada pertemuan lanjutan, yang direncanakn berlangsung di Makkasar pada 16 Mei mendatang.
“Para pihak akan melaporkan kepada pimpinan masing masing apa yang telah dibicarakan hari ini. Besok (Rabu, 8 Mei 2013-red) tim dari Aceh akan pulang. Selanjutnya kami akan melapor kepada Gubernur dan pimpinan DPRA,” pungkas Kepala Biro Hukum Sekda Aceh itu. (Sd)