Search This Blog

Tuesday, May 7, 2013

Mahasiswa di Tengah Globalisasi

Mahasiswa di Tengah Globalisasi

huy(Oleh: Nanda Feriana)
Arus globalisasi mengalir deras seolah tanpa muara. Bangsa di berbagai negara saat ini ikut tersapu arus globalisasi tersebut. Kecanggihan teknologi informasi, transportasi, dan media semakin memudahkan masuknya berbagai pengaruh dunia (terutama dunia yang mengusai peradaban globalisasi itu) ke dalam setiap lini kehidupan masyarakat di setiap negara.
Sebagian besar pengaruh itu dibawa oleh negara-negara maju dan adikuasa, dalam bentuk pengetahuan, kekuatan ekonomi, dan produksi budaya. Globalisasi kebudayaan itu menelusup dan sampai ke seluruh negara yang hanya berdaya sebagai konsumen, terjun besar ke pelosok masyarakat, tak terkecuali Aceh.
Aceh tak bisa lepas dari pengaruh globalisasi. Kekuatan budaya global menghujam dan memberi pengaruh di tanah Serambi Mekah ini. Aceh sebagai provinsi dengan nilai-nilai keislaman yang dilegalkan mengalami banyak perubahan dari segi kebudayaan yang berkembang di dalam kehidupan masyarakatnya. Terjadinya asimilasi, akulturasi, hingga pasifikasi (ketertaklukan) akibat proses mengglobal itu.
Kita tak bisa pungkiri globalisasi mendatangkan kebudayaan “baru” yang di dominasi oleh kebudayaan Barat. Setiap daerah yang ada di Nusantara tampaknya memang harus berhati-hati dalam menerima kebudayaan baru tersebut agar keaslian kebudayaan daerah tidak punah hanya karena pengaruh globalisasi. Lantas mengapa kita harus begitu waspada terhadap globalisasi?
Dalam hal ini kita terlebih dahulu harus memahami apa itu globalisasi. Globalisasi menurut Athony Giddens adalah proses pemadatan ruang dan waktu (compressing space and time at once). Jarak yang jauh dan waktu yang lama dalam proses produksi di masa lalu, karena masih dikerjakan oleh buruh, kini digantikan mesin dengan presisi dan kualitas yang bagus dan diproduksi cepat. Jarak dari Kutaradja ke Batavia jika di abad lalu ditempuh dalam waktu dua minggu, kini dapat ditempuh dengan tiga jam dengan pesawat.
Penulis tidak mengatakan bahwa proses mengglobal ini salah, bahkan seperti yang kita semua sudah tahu terdapat begitu banyak sisi positif dari globalisasi, seperti kecanggihan internet yang mampu menjangkau hingga ke desa dan memberikan kelimpahan informasi dan pengetahuan.
Namun yang menjadi persoalan, sudahkah kita memproteksi budaya kita dari segala bentuk ancaman yang mengintai integritas kita? Karena globalisasi bisa berwujud pisau bermata dua, ada kalanya ia menguntungkan dan ada saatnya merugikan.
Apalagi Aceh, yang bisa dikatakan dalam keadaan rekonstruksi pasca-tsunami. Masa-masa transisi seperti ini akan sangat memudahkan masuknya pengaruh kebudayaan Barat yang bersifat negatif yang mampu menggoyangkan pilar kebudayaan lokal dan nilai ke-Aceh-an.
Maka untuk itu masyarakat Aceh harus bisa membangun jati diri berbudaya untuk menangkal pengaruh-pengaruh negatif tersebut. Pihak pertama yang menurut penulis harus membangun sikap berbudaya tersebut adalah kalangan mahasiswa mengingat mahasiswa merupakan agent of change, pihak yang menentukan sebuah perubahan di dalam masyarakat.
Dalam hal ini, mahasiswa Aceh sebagai salah satu bagian dari anggota masyarakat yang berkecimpung dalam dunia intelektual haruslah mampu melakukan gebrakan-gebrakan yang bertujuan pada pelestarian kebudayaan. Langkah awal barangkali bisa dengan membangun keadaban komunikasi, baik di dalam kehidupan akademik atau sosial. Ini merupakan salah satu sosialisasi menjaga kebudayaan sendiri agar tidak larut dalam kungkungan globalisasi pro-Barat.
Menciptakan iklim komunikasi yang berbudaya di kampus akan menumbuhan nilai-nilai kebudayaan pada diri mahasiwa. Walaupun terdapat kemajemukan latar belakang para mahasiswa, yang berasal dari berbagai etnis budaya, namun keberagaman tersebut haruslah dihargai tanpa harus menghilangkan ciri khas kebudayaan masing-masing.
Tentunya, dalam menjalin komunikasi tersebut harus mengesampingkan dulu yang namanya etnosentrisme, prasangka, dan streotipe yang seringkali dialamatkan pada kebudayaan lain.  Seperti halnya mahasiswa UGM yang kuliah di Jogja, yang datang dari berbagai suku dari Nusantara. Walaupun mereka berangkat dari beragam etnis dan budaya, harus dapat diminimalisir dengan adanya penghargaan tehadap budaya Nusantara yang kaya itu. Para mahsiswa ini bisa menjalin hubungan lintas-budaya yang harmonis, sehingga kota tersebut berkembang menjadi kota yang ramah terhadap multikulturnya Indonseia.
Penghargaan semacam ini bisa menangkal masuknya kebudayaan Barat yang dibawa oleh globalisasi. Menjalin hubungan yang akrab dengan semua mahasiswa yang berbeda budaya adalah cara menghargai keberagaman yang ada, dengan menghargai keberagaman maka akan tercipta suatu hubungan yang harmonis antar-sesama mahasiswa. Sehingga akan muncul kesadaran dari diri mahasiswa untuk saling memajukan kebudayaanya masing-masing.
Ketika iklim di kampus sudah terjalin baik, diperlukan tindakan sosial lain yang bertujuan melestarikan kebudayaan-kebudayaan tersebut. Semua mahasiswa lintas budaya yang ada di kampus, harus sama-sama bersatu dan menguatkan barisan untuk menghadapi kuatnya arus globalisasi yang mengancam kebudayaan Indonesia.
Jika semua mahasiswa mau menghargai kebudayaanya sendiri apapun latar belakang etnisnya, maka kesolidan dari masing-masing budaya akan terjaga. Jika semua budaya bisa solid lewat sikap-sikap berbudaya yang ditunjukan oleh para mahasiswa,  maka, pengaruh negatif kebudayaan Barat bisa terhindarkan.
(Penulis adalah siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara dan saat ini terdaftar sebagai Mahasiswa Komunikasi, FISIP, Unimal)

GAYO Nusantara.

No comments: