Search This Blog

Thursday, May 23, 2013

Aceh ala Abas

9 March 2006

Aceh ala Abas

Oleh Imam Shofwan

Berbagai upaya ditempuh kelompok yang kecewa dengan RUU Aceh di Jakarta.

Sejak Febuari lalu banyak tokoh Aceh berada di Jakarta. Mereka orang-orang yang berkepentingan dengan lolosnya RUU Pemerintahan Aceh, namun pihak yang menentang juga datang ke Jakarta.

Di antaranya, lima ketua DPRD II dari Aceh, yaitu, Syukur Kobath, ketua DPRD II Aceh Tengah; Umuruddin, ketua DPRD II Aceh Tenggara; Chaliddin Munthe, ketua DPRD II Singkil; Mohammad Amru, ketua DPRD II Gayo Luewes; dan Tagore AB, ketua DPRD kabupaten Bener Meriah. Semuanya berasal dari Partai Golkar.

Selain kelimanya, ketua-ketua DPRD dari wilayah Aceh Barat Selatan juga terlibat. Mereka antara lain ketua DPRD II Aceh Barat, Aceh Jaya, Seumelu, Aceh Selatan dan Nagan Raya.

Mereka menginginkan wilayah Aceh Leuser Antara, kelima kabupaten pertama tadi, yang mereka singkat “ALA” dan Aceh Barat Selatan atau “Abas,” menjadi provinsi baru --terpisah dari Nanggroe Aceh Darussalam.

Sejak Minggu, 5 Maret, mereka meninggalkan pekerjaan mereka dan datang ke Jakarta khusus untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Di Hotel Treva Jakarta mereka menginap, berkumpul dan menyusun strategi. Banyak acara yang mereka agendakan selama berada di Jakarta, mulai seminar sampai menemui tokoh-tokoh di Jakarta.

Seminar bertajuk “Penguatan Parlemen Lokal dalam RUU PA,” adalah acara pertama mereka. Acara tersebut digelar di lantai 12 Hotel Treva. Acara ini menghadirkan Hery Yuherman dari Departemen Dalam Negeri, Azhari dan Bivitri Susanti dari Jaringan Demokrasi Aceh.

RUU Aceh oleh kelompok “Ala dan Abas” dianggap tak mewakili aspirasi dari 11 kabupaten mereka karena dalam rancangan tidak ada klausul “pemekaran” Aceh. “Tanpa klausul tersebut kami tidak mengawal RUU PA,” tegas Syukur Kobath.

RUU ini adalah hasil dari rancangan para legislator Aceh yang diajukan kepada Departemen Dalam Negeri di Jakarta, dan setelah dipermak Departemen, RUU tersebut diserahkan ke parlemen untuk dibahas dan disahkan. Majalah Acehkita menyebut perubahan tersebut “pengkhianatan Jakarta” terhadap perjanjian Helsinki.

Mulai akhir Febuari, RUU ini pun dibahas di parlemen Indonesia, sebagai kelanjutan dari kesepahaman antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki pada 15 Agustus 2005.

Sejak pembahasan RUU ini, banyak tokoh Aceh datang ke Jakarta, mulai dari pemimpin GAM hingga Gubernur Aceh Mustafa Abu Bakar, dari aktivis NGO hingga mahasiswa Aceh. Mereka mendukung RUU Aceh. Usaha mereka tidak mudah karena ditentang oleh banyak pensiunan jendral, politisi “nasionalis” Indonesia serta akademisi Pulau Jawa. Penentangan juga dilakukan oleh kelompok ketua-ketua DPRD II dari 11 kabupaten itu: Ala dan Abas.

Menurut mereka, Ala layak menjadi provinsi baru, dengan pertimbangan luas wilayah Aceh. Menurut Syukur Kobath, dari Banda Aceh ke Singkil jaraknya 1,000 km dan kalau menempuh jalur darat harus memutar lewat Sumatra Utara.

Begitu juga dari Gayo Luewes (Blangkejeren) ke Banda Aceh, harus lewat Medan. Kalau lewat darat, itu membutuhkan waktu delapan jam dan dari Medan ke Banda memakan waktu 12 Jam. Ini tidak efektif untuk koordinasi pemerintahan.

Masyarakat di Aceh Tengah dengan ibukota Takengon, menurut Syukur, jadinya lebih terbelakang, “Kita ingin memperpendek rentang kendali pemerintahan.”

Syukur lalu membandingkan dengan jarak di Pulau Jawa, antara Banten dan Banyuwangi, yang punya jarak sama-sama 1,000 km. “Dari Banten sampai Banyuwangi ada enam provinsi, kenapa di Aceh cuman satu?”

Rencana provinsi baru sebenarnya rencana lama Syukur dan kawan-kawan, sejak lahirnya UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah. Puncaknya, pada 4 Desember 2005, mereka mengadakan deklarasi terbentuknya provinsi Ala dan Abas di stadion Senayan Jakarta.

Tanggal “4 Desember” adalah hari penting untuk kebanyakan orang Aceh karena pada 4 Desember 1976, Hasan di Tiro menyatakan juga kemerdekaan Aceh dari “Republik Jawa-Indonesia.”

Proses pemekaran ternyata tak mudah. Mereka hanya bisa mengajukan permohonan “mekar” ke Departemen Dalam Negeri bila ada tanda tangan persetujuan Gubernur Aceh dan ketua DPRD Aceh. Keduanya menolak. Maka, dua hari setelah deklarasi, Aliansi Mahasiswa Leuser Antara dan Masyarakat Aceh Leuser Antara melakukan demonstrasi Departemen Dalam Negeri dan menuntut pembagian Aceh jadi dua.

Sesudah tsunami, orang-orang Ala dan Abas ini juga kecewa, karena masyarakat internasional membantu GAM berunding dengan Indonesia di Helsinki. Perjanjiannya, mengamanatkan pembentukan UU Aceh. Maka rancangan pun dibuat, pertama oleh akademisi dari Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar Raniry di Banda Aceh serta Universitas Malikussaleh Lhokseumawe.

Draft disusun berdasarkan masukan dari masyarakat lewat seminar di tiga universitas itu. Para pejuang pemekaran tak mau ketinggalan. Mereka usul klausul pemekaran wilayah dimasukkan. “Saat seminar raya usulan kami diterima, namun ketika sudah menjadi draft, usulan tersebut tidak tertuang dalam draft.”

Alasannya, baik GAM maupun Indonesia tak mau membongkar kesepakatan Helsinki dimana batas wilayah Aceh sudah disepakati. Memecah Aceh, menurut Bahtiar Abdulah dari GAM, bisa dilakukan bila semua kesepakatan Helsinki sudah dijalankan.

Namun Syukur dan kawan-kawan tidak rela. Mereka meninggalkan kantornya di Aceh dan datang ke Jakarta serta bermarkas di Hotel Treva.

Wilayah Aceh Tengah dan Bener Meriah, daerah asal Syukur, adalah wilayah yang dianggap pro Indonesia. Sekitar 35 persen dari 270,000 penduduknya berasal dari Pulau Jawa atau keturunannya. Mereka sering dimusuhi GAM yang menganggap “bangsa Aceh” jajahan “bangsa Jawa.” Sekitar 120,000 orang Aceh keturunan Jawa mengungsi keluar dari Aceh antara 1999 dan 2005.

Memang Syukur memusuhi GAM. “Kami frontal terhadap GAM, kami sangat nasionalis dengan Jawa.”

Sejak tsunami, prioritas Jakarta adalah “wilayah GAM” dari Lhokseumawe hingga Banda Aceh. Padahal daerah Ala dan Abas, yang setia mengikuti Jawa, malah tidak diperhatikan. Dia merasa terpojok karena tidak diperhatikan Jakarta dan di Aceh sendiri dimusuhi GAM.

Pada Maret 2003, Takengon adalah kota pertama dimana kantor Henry Dunant Center diserang dan dibakar milisi pro Indonesia. HDC memulai proses perdamaian di Aceh zaman Presiden Abdurrahman Wahid. Pembakaran kantor mereka memicu keputusan Jakarta tarik mundur dari perdamaian. Jakarta menyatakan perang lagi dengan GAM pada Mei 2003.

Kini, bagi Syukur, satu-satunya jalan adalah memisahkan diri. Syukur datang ke Jakarta dengan banyak agenda, antara lain, memberi masukan kepada panitia RUU Aceh. Ternyata mereka ditolak dengan alasan teknis: belum ada jadwalnya.

Tidak puas, Syukur dan kawan-kawan mengagendakan ketemu Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Syukur juga ingin bertemu Habib Riziek Syihab dari Front Pembela Islam serta mantan presiden Megawati Soekarnoputri dan Abdurrahman Wahid.

Syukur dan kawan-kawannya telah mengambil posisi berseberangan dengan GAM dan dia tidak mau setengah-setengah. “Terlanjur basah, mandi sekalian,” tegas Syukur.

Naskah ini diterbitkan, pada 9 Maret 2006, di
Sindikasi Pantau

Pemekaran Aceh Dideklarasikan - Ulang Tahun GAM Dirayakan Tanpa Atribut


 
Jl. Tebet Barat Dalam III A no 02
Jakarta 12810, Indonesia
Phone: +62-21-83794469
Fax: +62-21-83791270
E-mail: resourcenter@yipd.or.id

Pemekaran Aceh Dideklarasikan - Ulang Tahun GAM Dirayakan Tanpa Atribut

03 December 2005
Ribuan orang menghadiri Deklarasi Pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara dan Provinsi Aceh Barat Selatan di Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (4/12). Deklarasi tersebut ditandai pernyataan dan pengukuhan keluarnya 11 kabupaten dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.Jakarta, Kompas - Ribuan orang menghadiri Deklarasi Pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara dan Provinsi Aceh Barat Selatan di Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (4/12). Deklarasi tersebut ditandai pernyataan dan pengukuhan keluarnya 11 kabupaten dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Acara deklarasi itu berlangsung meriah, yel-yel dukungan ribuan masyarakat Aceh yang datang bergema. Setiap kali pembawa acara meneriakkan kata ALA (Aceh Leuser Antara), hadirin langsung menjawab insya Allah. Begitu pula ketika pembawa acara berteriak Abas (Aceh Barat Selatan), hadirin menjawab alhamdulillah. Acara ini juga dimeriahkan pertunjukan kesenian.
Provinsi ALA merupakan gabungan dari Kabupaten Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Singkil, sedangkan Provinsi Abas terdiri dari Kabupaten Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Jaya, dan Simeulue. Deklarasi dibacakan oleh pimpinan DPRD dari kesebelas kabupaten tersebut.
Deklarasi Provinsi ALA yang dikoordinasi Ketua DPRD Bener Meriah Tagore Abubakar memuat empat keputusan. Salah satu keputusan itu adalah menyerahkan kepada presiden di bawah pengawasan dan persetujuan DPR untuk melengkapi perangkat hukum dan administrasi berdirinya provinsi tersebut, dengan memerhatikan aspirasi masyarakat secara langsung maupun melalui DPRD masing-masing kabupaten.
Butir ketiga deklarasi itu menyebutkan selama administrasi dan perangkat Pemerintah Provinsi ALA belum lengkap, seluruh pertanggungjawaban pemerintah dan kepentingan hukum maupun administrasi pemda dipegang masing-masing kabupaten.
”Kami sudah tidak lagi membutuhkan rekomendasi gubernur dan DPRD Aceh karena kami sudah didukung oleh DPR,” kata Tagore.
Sementara itu, Ketua Harian Komite Persiapan Pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara Rahmat Salam mengungkapkan pemekaran provinsi menjadi ALA dan Abas ini diharapkan meringankan beban Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sehingga masyarakat pun dapat terlayani dengan baik.
”Selama ini kami jauh sekali dengan ibu kota provinsi, bahkan ada satu kabupaten yang harus melewati Sumut terlebih dahulu untuk sampai ke Banda Aceh,” kata Rahmat.
Milad GAM
Dari Banda Aceh diberitakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memperingati hari jadinya yang ke-29, kemarin, tanpa diramaikan atribut gerakan sesuai dengan janji mereka sebelumnya. Peringatan dilakukan dengan doa syukuran bersama atas perdamaian di beberapa masjid di Aceh dalam suasana tenang.
Mantan Panglima GAM Aceh Besar Muharram mengatakan, mantan anggota GAM di wilayahnya hanya mengadakan doa syukuran atas perdamaian yang sudah terwujud di Aceh. Doa bersama itu dilakukan di beberapa masjid. (HAM/AIK/SIE)
Sumber: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0512/05/Politikhukum/2267042.htm

Menyejarahkan Kembali Nasionalisme Kita

Menyejarahkan Kembali Nasionalisme Kita

11-Oct-2011 oleh     Tidak ada Komentar    Posting didalam : Naskah, Tahun 2009
Oleh: Fathan Mubarak, Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Nasionalisme kita itu proyek bersama. Dan sekalipun faktor-faktor yang membidani kelahirannya berbeda dengan nasionalisme yang terdapat di banyak kawasan Eropa sana, namun ia sama dengan yang lainnya: memuat sejumlah harapan dan keyakinan.
Ada banyak definisi bisa diajukan, tapi yang paling pokok di sini adalah bahwa cara pandang baru manusia dalam mengidentifikasi diri dan komunitas sosial yang melingkupinya, kemudian menjadi komoditas politik yang paling laris manis. Dalam Declaration of the Right of Man 1789 (oleh para pakar, deklarasi tersebut sering dianggap sebagai “wahyu” nasionalisme yang selama dua abad terakhir menjadi agen perubahan politik paling kuat), Majelis Nasional Perancis memunculkan klausul: “Bangsa pada dasarnya merupakan sumber semua kekuasaan; seorang individu atau sekelompok orang, tidak memiliki hak untuk memegang kekuasaan yang secara jelas tidak berasal dari bangsa”. Beberapa saat setelah itu segeralah semangat kebangsaan menduduki urutan pertama pada ruang-ruang berpikir orang Eropa. Tulisan seorang teoritisi nasionalisme Perancis, Abbe Sieyes (1748-1836) barangkali bisa mewakili: “bangsa mendahului segala sesuatu. Kehendak bangsa selalu absah: Bangsa adalah hukum itu sendiri.”
Namun hal lain yang juga berkembang di Eropa saat itu adalah kebesarkepalaan mereka dalam merefleksikan kapasitas kebangsaannya. Teori survival of the fittest-nya Darwin, dijadikan garis penegas antara yang superior dan inferior, yang ordinat dan sub ordinat, dan yang patron-yang klien, dimana itu hanya bisa didapat dari satu penaklukan ke penaklukan berikutnya. Alhasil, “hak menentukan nasib sendiri” hampir selalu dibarengi dengan semangat narsis yang cenderung agresif dan ekspansif. Tak mengherankan jika kemudian Eropa pernah menjadi benua yang paling mencekam. Benua yang terdiri dari “bangsa-bangsa yang saling ketakutan, intai-mengintai seperti hewan buas di malam hari”, kata Rabindranath Tagore, yang pada puncaknya, perang antarbangsa pun berkecamuk seperti yang pernah di uraikan oleh sejarawan A.J. Toynbee.
Kebangsaan Indonesia sendiri tidak terbentuk dengan cara seperti itu. Satu seperempat abad setelah kelahirannya di eropa sana, paham nasionalisme perlahan  menyinggahi alam pikir kaum terpelajar pribumi dan akhirnya termanifestasikan benar tapi justru dengan modus yang berlawanan. Kalau nasionalisme di Eropa banyak tampil dengan kecenderungan ingin menguasai, maka di sini ia lahir dan tumbuh dari semangat ketidakinginandikuasai. Dengan pertama-tama menyebut Sumpah Pemuda, maka kemudian Indische Vereeniging (Persatuan Hindia, organisasi para mahasiswa Indonsia di negeri Belanda), Indische Partij, Perserikatan Nasional Indonesia, Partindo, PNI-Baru (yang didirikan oleh Sjahrir dan Hatta), atau GAPI, semuanya adalah gerakan keindondesiaan yang berisikan cita-cita kemerdekaan. Dalam pembukaan UUD 45 pun terang disebutkan, “…kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan”.
Oleh karenanya, hal menarik dari kelahiran nasionalisme ke-Indonesiaan adalah bahwa ia merupakan reaksi kesadaran atas realitas sosial yang sedang berlangsung—bagaimana bangsa-bangsa yang berserakan di bumi nusantara meyakini kalau kemerdekaan, hanya dapat dicapai dengan cara mengesampingkan ke-aku-an mereka demi terbentuknya ke-aku-an yang secara kuantitas lebih besar. Dalam kata-kata Emha Ainun Nadjib, nasionalisme digunakan sebagai “perangkat keras” untuk menjalankan “perangkat lunak” yang disebut universalitas kemanusiaan. Karena memang, daripada ideologi tertutup yang sekeramat berhala, nasionalisme kita lebih merupakan suatu sikap politik yang berlandas pada prinsip-prinsip human dignity—suatu semangat yang kelak nyaris tak mendapatkan tempat di dada dan kepala para “pendiri-penjaga” bangsa.
Tapi di sini, saya juga ingin mengatakan bahwa pembebasan diri dari penjajahan sekalipun, itu hanyalah kausa prima yang dalam sejarah memiliki seribu wajah. Kalau saja, misalnya, nasionalisme lahir di abad-abad sebelum datangnya kolonialisme, niscaya ia akan dibidani oleh sesuatu yang lain, yang barangkali kita sendiri kurang begitu mengaguminya. Sehingga yang awal mula mesti diingat adalah fakta tak terbantahkan bahwa nasionalisme kita sebetulnya berada pada tataran historis, dan bukan normatif. Ia bukanlah sebentuk visi imajiner yang mengawang-ngawang di tinggi lazuardi, tapi barangkali semacam misi yang mendapat pembenaran-pembenaran dari data faktual sebagai representasi kebutuhan dan semangat jaman. Dan kita layak masygul, ketika ikrar satu bangsa, bangsa Indonesia, dan satu tanah air, tanah air Indonesia, tiba-tiba saja menjadi ideologi yang maha sakral yang dibela dengan membabi buta oleh para penguasa, karena hal tersebut ternyata memuat konsekuensi panjang dan mengerikan. Pendek kata, apa yang di awal disebut sebagai yang historis, sejak berdirinya republik ini berubah menjadi normatif. Dan dengan menjadikan perubahan tersebut sebagai titik tolak analisa, maka kita akan menemukan kesalahan berlapis yang sudah berlangsung lama di negeri ini.
Pertama, state Indonesia, pada beberapa kasus, dibentuk dalam pola-pola sentrifugal: integrasi yang terjadi di sini tidak merupakan sebuah proses—mengikuti alur pemikiran Ogburn dan Nimkof, penganut fungsionalisme struktural—akomodasi-kerja sama-koordinasi-asimilasi, melainkan ada penarikan paksa yang dilakukan oleh titik pusat terhadap daerah-daerah yang beredar di sekelilingnya. Dalam hal ini, gerak sentrifugal sendiri mengandung kelemahan pokok karena telah mengabaikan apa yang oleh Antonio Gramsci sebut sebagai kerelaan.
Tentu kita masih ingat “pertikaian” yang terjadi dalam sidang BPUPKI antara Bung Hatta dan Soekarno-Yamin mengenai wilayah kedaulatan Indonesia. Dan karena deadlock, beberapa opsi pun akhirnya dimunculkan. 1) Yang disebut Indonesia adalah bekas jajahan Hindia Belanda dahulu. 2) Yang disebut Indonesia adalah Hindia Belanda, Malaka (Malaysia), Borneo Utara (Brunei dan Sabah), Papua, Timor-Portugis (sekarang Republik Demokratik Timor) dan kepulauan sekitarnya. 3) Yang disebut Indonesia adalah Hindia Belanda Dahulu ditambah Malaka tanpa memasukkan Papua. Dari ketiga opsi tersebut, voting yang melibatkan 66 anggota BPUPKI itu kemudian menghasilkan; 16 suara untuk opsi pertama, 39 suara untuk opsi kedua, dan 6 suara untuk opsi ketiga. Dengan demikian, sejak awal, tidak saja Papua tetapi juga Timor-Portugis, Malaysia dan Brunai Darussalam pun dimasukkan dalam imajinasi teritorial nasional yang hendak dibangun oleh nasionalis Indonesia.
Dan jika sekali saja daerah-daerah yang telah berhasil diseret paksa masuk ke dalam kawasan NKRI itu kemudian mengalami ketidakpuasan terhadap institusi negara, maka ketakrelaan tersebut akan menjadi ingatan kolektif yang memanjang dalam waktu, karena tidak bisa dipungkiri, sebelum menjadi bagian dari NKRI, mereka telah dulu memiliki kualifikasi-kualifikasi sebagaimana layaknya sebuah nation-state. Bahkan untuk Papua, mereka memang pernah menjadi bangsa merdeka lengkap dengan atribut kebangsaan: bendera bintang kejora, lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua, dan lambang negara Burung Mambruk. Simbol kenegaraan ini pernah ada dan dikumandangkan di atas tanah Papua. Sehingga wajar saja sebenarnya jika daerah-daerah tersebut di atas (yang merasa sudah dikecewakan oleh negara) terus berupaya untuk memisahkan diri dari NKRI.
Kedua, aspek kesejarahan yang inheren pada nasionalisme, perlahan luntur bersama menguatnya semangat patriotisme yang sama sekali tak berdasar.
NKRI Tidak Bisa Ditawar, demikian Presiden SBY. Kalimat tersebut sekaligus menjadi judul berita utama Kompas, 15 Agustus 2005. Selanjutnya—seperti yang selalu didengung-dengungkan oleh para pendahulunya—Presiden menyatakan, “kita akan bela dan pertahankan NKRI hingga akhir hayat!” yang lalu itu ditepuktangani oleh orang-orang kebanyakan sambil kurang lebih memasang suatu sikap right or wrong is my country.
Kalimat-kalimat di atas terkesan begitu patriotis, namun juga apriori. Sekecil apapun celah negosiasi terasa tak diperkenankan. Dan ketika itu sudah mencapai kerigidan tertentu, seseorang tak lagi membutuhkan alasan untuk membenarkan tindakan-tindakannya. Sebuah rangkaian konsistensi, yang menurut hemat saya, merupakan kelanjutan dari yang pertama.
Jadi kalau dulu nasionalisme dibentuk guna mencapai cita-cita bersama, maka pada masa-masa pendirian republik ini, nasionalisme adalah “cita-cita” itu sendiri. Dan lebih celaka lagi, kini orang-orang memperlakukan ”cita-cita” tersebut sebagai sesuatu yang seolah taken for granted.
Saya sendiri orang yang lahir dan dibesarkan di Jawa. Sementara Jawa (Jakarta?) adalah sebuah teritorial yang tak pernah benar-benar mengerti apa arti nasionalisme dalam kamus politik empirik. Tapi ketika menilik aksi-aksi militer di beberapa kawasan seperti Aceh, Timor Leste, Maluku, atau Papua, istilah “mempertahankan NKRI” atau “penumpasan separatisme”, tetap saja terkesan begitu dipaksakan dan diada-adakan.
Betapa tidak, di sana kita bisa menyaksikan militer datang, suara-suara senjata meletup di udara, ratusan ribu nyawa melayang, para tahanan disiksa, wanita-wanita diperkosa, dan sejumlah khasanah budaya dinetralisir. Bagaimanapun, kita akan sukar menemukan dalil-dalil yang dapat membenarkannya, sebab dalam peradaban manusia, hak dan martabat kemanusiaan tentu menjadi sesuatu yang taktertarai. Dan kita boleh tercengang ketika ternyata semuanya dilakukan dengan atas nama nasionalisme, atau yang belakangan biasa disebut sebagai Ideologi Negara Kesatuan. Di sisi lain, pada saat bersamaan, banyak orang yang ngotot ingin menjadikan mantan presiden Soeharto (seseorang yang ditengarai penjadi dalang atas penumpasan tiga setengah juta jiwa demi rezim yang dibangunnya) sebagai pahlawan nasional lantaran dianggap selalu bisa menjaga stabilitas negara demi tegaknya NKRI. Dari itu pun kita bisa melihat betapa kesalahan yang sudah disebutkan sudah mendarah-daging pada kita.
Namun demikian, sekalipun republik ini berdiri di atas fondasi yang bermasalah, bukan berarti win-win solution sudah tidak lagi bisa ditempuh, sebab ideologi bukanlah penyebab utama bagi keretakan bangunan nasionalisme kita. Ada hal lain yang lebih kongkrit dan mendasar yakni soal berlakunya struktur eksploitatif, dimana overdevelopment dan underdevelopment hidup berdampingan.
Pengiriman surat yang dilakukan oleh warga perbatasan Kecamatan Puring Kencana Kabupaten Kapuas Hulu Kalbar pada pemerintah pusat soal kemauan mereka untuk memisahkan diri NKRI lantaran merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah Indonesia (Negara Malaysia justru lebih banyak memperhatikan mereka), harusnya menjadi tamparan keras bagi kita semua.
Suatu Pertimbangan
Upaya pengembalian nasionalisme pada tataran historis tidak bisa tidak mesti ditempuh dengan cara mendamaikan faham nasionalisme dengan kondisi sosio-masyarakat ke-kini-an dan tantangan jaman, agar bangunan nasionalisme bisa kembali kokoh tanpa harus merestrukturisasi NKRI (itu karena saya masih mau disebut sebagai saudara sebangsa dan setanah air dengan rakyat Papua, Aceh, Maluku, atau yang lainnya). Yang jadi persoalan adalah, bagaimana meyakinkan penduduk negeri akan kelayakan dan kepatutan mempertahankan nasionalisme, yang kemudian diteruskan pada tahap perbaikan pendekatan dalam menjaga keutuhannya.
Untuk yang pertama, globalisasi saya kira menjadi isu strategis yang dapat mendorong pernyataan ulang semangat kebangsaan kita. Dalam buku Kewarganegaraan yang ditulis oleh Edison A. Jamli dkk. disebutkan, globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia.
Darinya kita bisa menyimpulkan, kedepan interaksi antarnegara dalam rangka saling mengartikulasikan kepentingan-kepentingannya akan semakin intens, dan kompetisi pun akan kian mengentara. Di titik inilah sebuah negara yang besar dan kuat bisa menatap masa depannya dengan lebih optimis.
Berkaitan dengan itu, saya teringat dengan sejarah gerakan separatis di Ambon. Pada masa awal kemerdekaan RI, sebagian besar eks KNIL di sana kerap dijanjikan kemerdekaan dan dibantu mendirikan Republik Maluku Selatan (RMS) oleh Pemerintah Belanda. Sebuah fenomena yang menunjukan arti pentingnya nasionalisme ke-Indonesiaan, karena bagi Belanda, akan lebih mudah dan menguntungkan jika melakukan “klik” dengan negara-negara kecil pecahan RI ketimbang dengan Indonesia Raya yang kuat.
Selanjutnya, upaya-upaya yang dilakukan untuk mempertahankan kesatuan wilayah NKRI, tidak boleh lagi menggunakan cara-cara brutal, melainkan dengan mewujudkan pemerataan disegala bidang. Eksploitasi sumber daya alam tidak semata-mata digunakan untuk kepentingan pusat, akan tetapi pertama-tama untuk daerah yang bersangkutan, menciptakan lapangan pekerjaan yang seimbang dengan tenaga kerja yang tersedia, pendidikan dan kesehatan pun harus juga bisa dinikmati oleh segenap rakyat Indonesia, dan yang tidak kalah pentingnya adalah membentuk identitas kebangsaan kita berdasar keberagaman yang muncul secara ekspresif dari masyarakat, yang dalam konteks desentralisasi, semuanya bisa dirangkum dalam agenda peningkatan kualitas otonomi daerah.
Ketika sudah tidak ada lagi daerah-daerah yang merasa diabaikan oleh pusat, terlebih ditindas baik secara ekonomi, politik, dan budaya, maka saya yakin, isu-isu separatisme akan dengan sendirinya tenggelam bersama kian menguatnya bangunan nasionalisme yang dapat dibanggakan. Dengan begitu, nasionalisme yang kita bela bukanlah nasionalisme hampa, tapi nasionalisme yang dalam kacamata bersama tetap mengandung harapan dan keyakinan untuk kehidupan yang lebih baik.
Salam untuk sadara-saudaraku yang di Aceh dan Papua!

Penulis adalah mahasiswa Hubungan Internasional
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
ahan_cakep@yahoo.com.au

Tagore Deklarasikan Sebagai Caleg PDIP

Serambinews.com

Tagore Deklarasikan Sebagai Caleg PDIP

Kamis, 23 Mei 2013 14:03 WIB

Laporan Gunawan | Aceh Tengah

SERAMBINEWS.COM, TAKENGON
- Ir Tagore Abubakar yang mundur dari Partai Golkar akhirnya mendeklarasikan dirinya sebagai Caleg DPR-RI Daerah Pemilihan NAD 2 dari PDI Perjuangan dengan nomor urut 6.

Proses Deklarasi dilaksanakan Tagore, Kamis (23/5/2013) di Umah Reje Ilang, Belang Kolak II, Kecamatan Bebesen, Aceh Tengah.

Acara dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Tawar Sedenge. Dihadiri Ketua PDIP Aceh Tengah Arwin Mega, Ketua PDIP Bener Meriah Guntara Yadi, Perwakilan PDIP serta ratusan simpatisan dari kedua wilayah itu. Nampak juga mantan sesepuh GAM Linggadinsyah yang saat ini sebagai caleg DPRA dari PNA.

Dalam sambutannya, Tagore juga membahas perjuangannya membesarkan Partai Golkar di dataran tinggi Gayo, namun akhirnya hengkang dari partai berlambang pohon beringin itu. Intinya, ia merasa kecewa kepada Partai Golkar.

"Deklarasi ini merupakan perintah dari PDIP Pusat. Saya berterima kasih kepada Ibu Mega yang mengerti situasi politik di Aceh sehingga mengakomodir saya. Saya bersumpah akan memperjuangkan aspirasi semua suku dari dapil saya. Bukan hanya untuk satu suku," katanya.(*)

Editor : jalimin

Golkar Dinilai Keliru, Tagore akan ke DPR-RI dari PDIP

 

|

Golkar Dinilai Keliru, Tagore akan ke DPR-RI dari PDIP

Tagore (lima dari kanan saat deklarasi. (Lintas Gayo | Muhady)
Tagore (lima dari kanan saat deklarasi. (Lintas Gayo | Muhady)
Takengon | Lintas Gayo - Setelah menjadi tanda tanya pasca mundurnya Ir Tagore Abubakar dari Partai Golkar, akhirnya mantan Bupati Bener Meriah ini memastikan diri bergabung bersama PDI Perjuangan dan mendeklarasikannya dalam sebuah pertemuan di Takengon, Kamis (23/5/2013).
Dalam deklarasi itu, dihadiri Ketua PDIP Aceh Tengah Arwin Mega, Ketua PDIP Bener Meriah Guntara Yadi, serta kader dan simpatisan PDIP dari kedua wilayah tersebut.
Kepada wartawan, Tagore mengungkapkan keputusannya untuk meninggalkan Golkar, karena sudah tidak lagi memiliki pandangan yang sama, antara dirinya dengan partai berlambang pohon beringin itu.
“Saat keluar dari Golkar saya katakan, bahwa sistem dan tatakelola Golkar saat ini sudah keliru” sebut Tagore, menyebutkan alasan dirinya keluar dari partai yang telah membesarkan namanya.
Sementara untuk partai barunya, Tagore menyebut PDIP sebagai rumah lama yang suatu saat menjadi tempat ia kembali.
Tagore Abubakar, selanjutnya akan maju  sebagai calon legislatif DPR-RI dari PDIP untuk Daerah Pemilihan 2 dengan nomor urut 6.
“Tak ada lagi orang yang boleh menzhalimi masyarakat di wilayah tengah ini, dan saya bersumpah akan membawa aspirasi masyarakat kita melalui keterwakilan saya di DPR-RI,” janji Tagore dihadapan para undangan dan wartawan. (Muhady/red.g)

GAYO Nusantara.

Deklarasi Tagore Untuk Perjuangkan NKRI dan Rakyat ALA

Suara Leuser Antara

Deklarasi Tagore Untuk Perjuangkan NKRI dan Rakyat ALA

suaraleuserantara May 23, 2013 
Lata belakang Megawati dan Ir Sukarno (mantan Presidan RI), Tampak Tagore didampingi pengurus PDIP Aceh Tengah.(Foto:Suara Leuser Antara)
Lata belakang Megawati dan Ir Sukarno (mantan Presidan RI), Tampak Tagore didampingi pengurus PDIP Aceh Tengah.(Foto:Suara Leuser Antara)
TAKENGON |SuaraLeuserAntara|: Deklarasi Tagore untuk NKRI dan marwah rakyat Gayo (ALA). Mantan Bupati Bener Meriah ini mundur dari Partai Golkar, karena tidak nyaman lagi bernaung dibawah pohon beringin tersebut. Kini pertanyaan rakyat Gayo terjawab sudah. Tagore resmi masuk PDIP dan maju ke DPR-RI Wilayah NAD II.
Acara deklarasi berlangsung sederhana dilaksanakan, Kamis (23/5/2013) pagi hingga siang di Gedung Reje Ilang, Takengen. Acara diawali menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Tawar Sedenge.
Hadir Ketua PDIP Aceh Tengah Arwin Mega, Ketua PDIP Bener Meriah Guntara Yadi Perwakilan PDIP serta ratusan simpatisan dari kedua wilayah itu. Tampak juga mantan sesepuh GAM Linggadinsyah yang saat ini jadi caleg DPRA dari PNA.
Dikatakan Tagore, deklarasi ini merupakan perintah dari PDIP Pusat. Saya berterima kasih kepada Ibu Mega yang mengerti situasi politik di Aceh sehingga mengakomodir saya. “ Saya bersumpah akan memperjuangkan aspirasi semua suku dari dapil saya. Bukan hanya untuk satu suku .” Sebutnya.
Dalam sambutannya Tagore yang terlihat menggunakan jas dan topi merah membeberkan alasannya pindah dari Partai Golkar meski telah berjuang untuk membesarkan Partai Golkar di Gayo. Intinya ia merasa kecewa kepada partai berlambang pohon beringin itu.
Bagi Tagore, partai adalah wadah pemersatu, bukan dijadikan sebagai alat untuk menzalimi rakyat. Ia mengaku tak mau larut dalam sistem yang menyebabkan demokrasi tak berjalan sebagaimana mestinya.
Tagore juga mengakui, secara garis keturunan dia memang adalah anak kandung PDI-P dan saat ini kembali ke pangkuan partai nasionalis itu .” Almarhum ayah saya dulunya ketua PNI dan saatnya saya kembali untuk meneruskan perjuangannya.” Pungkas Tagore.(izq)

GAYO Nusantara.

Mantan Petinggi GAM Gayo, Dukung Tagore

Suara Leuser Antara

Mantan Petinggi GAM Gayo, Dukung Tagore

suaraleuserantara May 23, 2013 
Mantan petinggi GAM Bazaruddin Banta Mude mendukung Tagore AB untuk duduk ke DPR-RI.(Foto: Suara Leuser Antara)
Mantan petinggi GAM Bazaruddin Banta Mude mendukung Tagore AB untuk duduk ke DPR-RI.(Foto: Suara Leuser Antara)
TAKENGEN |SuaraLeuserAntara|: Bazaruddin Banta Mude Mantan petinggi Gerakan Aceh merdeka (GAM) mendukung Ir. H. Tagore Abu Bakar maju menjadi calon legeslatif (Caleg) DPR-RI daerah pemilihan NAD II yang diusung oleh PDI-P dengan nomor urut 6.
Hal tersebut disampaikan Bazar dalam acara deklarasi yang dilaksanakan di posko perjuangan Gedung Reje Ilang, Kamis (23/5/2013). Ia mengatakan, sudah saatnya kita mendudukang  putra asli daerah  Gayo  menjadi perwakilan masyarakat wilayah tengah ke pusat. Jelas Bazaruddin yang juga calon legeslatif DPR-A dari partai Nasdem.
Menurutnya, untuk mencapai tujuan ini, perlu hendaknya dibentuk sekertariat bersama untuk mendukung Ir H Tagore menjadi calon DPR-RI.
“ Jika sudah terbentuk posko bersama, maka  kedatangan kami ke posko khusus untuk dukungan terhadap Tagore, dengan tidak membedakan dari partai politik manapun, dan suku manapun, atau dengan kata lain  untuk Gayo. Karena Tagore adalah tokoh yang mau kita dukung untuk Gayo.” Jelas Bazaruddin.
“ Kita butuh orang-orang seperti Tagore!!!, yang berani menyuarakan aspirasi masyarakat. Untuk saat ini hanya beliau yang mampu memperjuangkan rakyat Gayo di pusat ”. Ungkapnya.
“ Kita Kehausan tokoh saat ini, selain Tagore siapa lagi? belum ada yang lain? Tanya Bazar. Jadi mari kita dukung beliau menjadi wakil kita dipusat .” Jelasnya.
Ia juga menambahkan, selaku manusia Tagore  pasti punya kekurangan, namun jangan kekuranganya itu kita kaji.“ Mari kita bentuk ratusan orang seperti Tagore – Tagore yang lain  untuk Gayo dimasa yang akan datang.” Teriak Bazar, disambut tepuk tangan ratusan simpatisan yang hadir.
” Banyak tokoh-tokoh cerdas di Aceh Tengah, akan tetapi kecerdasan mereka hanyalah seperti  watak pegawai, hanya jadi pengikut,  tidak berani mengambil keputusan, tidak berani mendobrak kejaliman dan tidak berani membuka wawasan “. Ungkap mantan petinggi GAM ini.
“ Kita bisa berbeda partai namun tujuan kita sama, mari kita mendukung Tagore sebagai wakil kita dari wilayah tengah  menjadi anggota DPR-RI dari wilayah NAD II dengan no urut 6. Hidup Tagore .” Teriaknya. (BsG)

GAYO Nusantara.

Tagore Perkuat PDIP Aceh Tengah dan Bener Meriah

Tagore Perkuat PDIP Aceh Tengah dan Bener Meriah

suaraleuserantara May 23, 2013 0
Tagore (Tengah memegang mikrofon) didampingi pengurus PDIP Aceh Tengah dan Bener Meriah.(Foto:Suara Leuser Antara)
Tagore (Tengah memegang mikrofon) didampingi pengurus PDIP Aceh Tengah dan Bener Meriah.(Foto:Suara Leuser Antara)
TAKENGEN |SuaraLeuserAntara|: Deklarasi Ir. H. Tagore AB menjadi Caleg DPI-P untuk DPR-RI di Umah Reje Ilang, Takengen Aceh Tengah, Kamis (23/5/2013) membuat kejutan baru bagi masyarakat Tanoh Gayo (Aceh Tengah dan Bener Meriah), selama ini setelah mantan Bupati Bener Meriah itu keluar dari partai yang pernah dia besarkan yakni Golkar menghianatinya, maka Tagore tidak segan-segan meninggalkan partai tersebut.
” Saya pernah berjanji, jika partai tempat saya bernaung yakni Golkar tidak setia lagi membela rakyat wilayah tengah atau masyarakat Aceh Leuser Antara, maka saya akan meninggalkannya. Hari ini, saya buktikan, Golkar saya tinggalkan ! Terbukti, masih PDI-P yang mau berjuang membela NKRI dan Rakyat Gayo serta ALA ,” demikian sebut Tagore dihadapan puluhan pendukungnya.
Tagore juga mengingatkan agar masyarakat Gayo bersatu berjuang untuk mengirimkan perwakilannya ke DPR-RI pada tahun 2014 nanti.” Saya bersumpah, akan berjuang untuk rakyat ALA. Kalau Allah mengijinkan saya duduk, saya pastikan pasti akan ramai di DPR-RI.  Maksutnya, perjuangan pemekaran menjadi target utama, agar kita tidak menjadi rakyat kelas dua di tanah kelahiran kita ,” demikian sebut Tagore disambut tepuk tangan dan teriakan dukungan untuk tokoh Gayo ini.(izq)

GAYO Nusantara.