Search This Blog

Thursday, May 23, 2013

Menyejarahkan Kembali Nasionalisme Kita

Menyejarahkan Kembali Nasionalisme Kita

11-Oct-2011 oleh     Tidak ada Komentar    Posting didalam : Naskah, Tahun 2009
Oleh: Fathan Mubarak, Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Nasionalisme kita itu proyek bersama. Dan sekalipun faktor-faktor yang membidani kelahirannya berbeda dengan nasionalisme yang terdapat di banyak kawasan Eropa sana, namun ia sama dengan yang lainnya: memuat sejumlah harapan dan keyakinan.
Ada banyak definisi bisa diajukan, tapi yang paling pokok di sini adalah bahwa cara pandang baru manusia dalam mengidentifikasi diri dan komunitas sosial yang melingkupinya, kemudian menjadi komoditas politik yang paling laris manis. Dalam Declaration of the Right of Man 1789 (oleh para pakar, deklarasi tersebut sering dianggap sebagai “wahyu” nasionalisme yang selama dua abad terakhir menjadi agen perubahan politik paling kuat), Majelis Nasional Perancis memunculkan klausul: “Bangsa pada dasarnya merupakan sumber semua kekuasaan; seorang individu atau sekelompok orang, tidak memiliki hak untuk memegang kekuasaan yang secara jelas tidak berasal dari bangsa”. Beberapa saat setelah itu segeralah semangat kebangsaan menduduki urutan pertama pada ruang-ruang berpikir orang Eropa. Tulisan seorang teoritisi nasionalisme Perancis, Abbe Sieyes (1748-1836) barangkali bisa mewakili: “bangsa mendahului segala sesuatu. Kehendak bangsa selalu absah: Bangsa adalah hukum itu sendiri.”
Namun hal lain yang juga berkembang di Eropa saat itu adalah kebesarkepalaan mereka dalam merefleksikan kapasitas kebangsaannya. Teori survival of the fittest-nya Darwin, dijadikan garis penegas antara yang superior dan inferior, yang ordinat dan sub ordinat, dan yang patron-yang klien, dimana itu hanya bisa didapat dari satu penaklukan ke penaklukan berikutnya. Alhasil, “hak menentukan nasib sendiri” hampir selalu dibarengi dengan semangat narsis yang cenderung agresif dan ekspansif. Tak mengherankan jika kemudian Eropa pernah menjadi benua yang paling mencekam. Benua yang terdiri dari “bangsa-bangsa yang saling ketakutan, intai-mengintai seperti hewan buas di malam hari”, kata Rabindranath Tagore, yang pada puncaknya, perang antarbangsa pun berkecamuk seperti yang pernah di uraikan oleh sejarawan A.J. Toynbee.
Kebangsaan Indonesia sendiri tidak terbentuk dengan cara seperti itu. Satu seperempat abad setelah kelahirannya di eropa sana, paham nasionalisme perlahan  menyinggahi alam pikir kaum terpelajar pribumi dan akhirnya termanifestasikan benar tapi justru dengan modus yang berlawanan. Kalau nasionalisme di Eropa banyak tampil dengan kecenderungan ingin menguasai, maka di sini ia lahir dan tumbuh dari semangat ketidakinginandikuasai. Dengan pertama-tama menyebut Sumpah Pemuda, maka kemudian Indische Vereeniging (Persatuan Hindia, organisasi para mahasiswa Indonsia di negeri Belanda), Indische Partij, Perserikatan Nasional Indonesia, Partindo, PNI-Baru (yang didirikan oleh Sjahrir dan Hatta), atau GAPI, semuanya adalah gerakan keindondesiaan yang berisikan cita-cita kemerdekaan. Dalam pembukaan UUD 45 pun terang disebutkan, “…kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan”.
Oleh karenanya, hal menarik dari kelahiran nasionalisme ke-Indonesiaan adalah bahwa ia merupakan reaksi kesadaran atas realitas sosial yang sedang berlangsung—bagaimana bangsa-bangsa yang berserakan di bumi nusantara meyakini kalau kemerdekaan, hanya dapat dicapai dengan cara mengesampingkan ke-aku-an mereka demi terbentuknya ke-aku-an yang secara kuantitas lebih besar. Dalam kata-kata Emha Ainun Nadjib, nasionalisme digunakan sebagai “perangkat keras” untuk menjalankan “perangkat lunak” yang disebut universalitas kemanusiaan. Karena memang, daripada ideologi tertutup yang sekeramat berhala, nasionalisme kita lebih merupakan suatu sikap politik yang berlandas pada prinsip-prinsip human dignity—suatu semangat yang kelak nyaris tak mendapatkan tempat di dada dan kepala para “pendiri-penjaga” bangsa.
Tapi di sini, saya juga ingin mengatakan bahwa pembebasan diri dari penjajahan sekalipun, itu hanyalah kausa prima yang dalam sejarah memiliki seribu wajah. Kalau saja, misalnya, nasionalisme lahir di abad-abad sebelum datangnya kolonialisme, niscaya ia akan dibidani oleh sesuatu yang lain, yang barangkali kita sendiri kurang begitu mengaguminya. Sehingga yang awal mula mesti diingat adalah fakta tak terbantahkan bahwa nasionalisme kita sebetulnya berada pada tataran historis, dan bukan normatif. Ia bukanlah sebentuk visi imajiner yang mengawang-ngawang di tinggi lazuardi, tapi barangkali semacam misi yang mendapat pembenaran-pembenaran dari data faktual sebagai representasi kebutuhan dan semangat jaman. Dan kita layak masygul, ketika ikrar satu bangsa, bangsa Indonesia, dan satu tanah air, tanah air Indonesia, tiba-tiba saja menjadi ideologi yang maha sakral yang dibela dengan membabi buta oleh para penguasa, karena hal tersebut ternyata memuat konsekuensi panjang dan mengerikan. Pendek kata, apa yang di awal disebut sebagai yang historis, sejak berdirinya republik ini berubah menjadi normatif. Dan dengan menjadikan perubahan tersebut sebagai titik tolak analisa, maka kita akan menemukan kesalahan berlapis yang sudah berlangsung lama di negeri ini.
Pertama, state Indonesia, pada beberapa kasus, dibentuk dalam pola-pola sentrifugal: integrasi yang terjadi di sini tidak merupakan sebuah proses—mengikuti alur pemikiran Ogburn dan Nimkof, penganut fungsionalisme struktural—akomodasi-kerja sama-koordinasi-asimilasi, melainkan ada penarikan paksa yang dilakukan oleh titik pusat terhadap daerah-daerah yang beredar di sekelilingnya. Dalam hal ini, gerak sentrifugal sendiri mengandung kelemahan pokok karena telah mengabaikan apa yang oleh Antonio Gramsci sebut sebagai kerelaan.
Tentu kita masih ingat “pertikaian” yang terjadi dalam sidang BPUPKI antara Bung Hatta dan Soekarno-Yamin mengenai wilayah kedaulatan Indonesia. Dan karena deadlock, beberapa opsi pun akhirnya dimunculkan. 1) Yang disebut Indonesia adalah bekas jajahan Hindia Belanda dahulu. 2) Yang disebut Indonesia adalah Hindia Belanda, Malaka (Malaysia), Borneo Utara (Brunei dan Sabah), Papua, Timor-Portugis (sekarang Republik Demokratik Timor) dan kepulauan sekitarnya. 3) Yang disebut Indonesia adalah Hindia Belanda Dahulu ditambah Malaka tanpa memasukkan Papua. Dari ketiga opsi tersebut, voting yang melibatkan 66 anggota BPUPKI itu kemudian menghasilkan; 16 suara untuk opsi pertama, 39 suara untuk opsi kedua, dan 6 suara untuk opsi ketiga. Dengan demikian, sejak awal, tidak saja Papua tetapi juga Timor-Portugis, Malaysia dan Brunai Darussalam pun dimasukkan dalam imajinasi teritorial nasional yang hendak dibangun oleh nasionalis Indonesia.
Dan jika sekali saja daerah-daerah yang telah berhasil diseret paksa masuk ke dalam kawasan NKRI itu kemudian mengalami ketidakpuasan terhadap institusi negara, maka ketakrelaan tersebut akan menjadi ingatan kolektif yang memanjang dalam waktu, karena tidak bisa dipungkiri, sebelum menjadi bagian dari NKRI, mereka telah dulu memiliki kualifikasi-kualifikasi sebagaimana layaknya sebuah nation-state. Bahkan untuk Papua, mereka memang pernah menjadi bangsa merdeka lengkap dengan atribut kebangsaan: bendera bintang kejora, lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua, dan lambang negara Burung Mambruk. Simbol kenegaraan ini pernah ada dan dikumandangkan di atas tanah Papua. Sehingga wajar saja sebenarnya jika daerah-daerah tersebut di atas (yang merasa sudah dikecewakan oleh negara) terus berupaya untuk memisahkan diri dari NKRI.
Kedua, aspek kesejarahan yang inheren pada nasionalisme, perlahan luntur bersama menguatnya semangat patriotisme yang sama sekali tak berdasar.
NKRI Tidak Bisa Ditawar, demikian Presiden SBY. Kalimat tersebut sekaligus menjadi judul berita utama Kompas, 15 Agustus 2005. Selanjutnya—seperti yang selalu didengung-dengungkan oleh para pendahulunya—Presiden menyatakan, “kita akan bela dan pertahankan NKRI hingga akhir hayat!” yang lalu itu ditepuktangani oleh orang-orang kebanyakan sambil kurang lebih memasang suatu sikap right or wrong is my country.
Kalimat-kalimat di atas terkesan begitu patriotis, namun juga apriori. Sekecil apapun celah negosiasi terasa tak diperkenankan. Dan ketika itu sudah mencapai kerigidan tertentu, seseorang tak lagi membutuhkan alasan untuk membenarkan tindakan-tindakannya. Sebuah rangkaian konsistensi, yang menurut hemat saya, merupakan kelanjutan dari yang pertama.
Jadi kalau dulu nasionalisme dibentuk guna mencapai cita-cita bersama, maka pada masa-masa pendirian republik ini, nasionalisme adalah “cita-cita” itu sendiri. Dan lebih celaka lagi, kini orang-orang memperlakukan ”cita-cita” tersebut sebagai sesuatu yang seolah taken for granted.
Saya sendiri orang yang lahir dan dibesarkan di Jawa. Sementara Jawa (Jakarta?) adalah sebuah teritorial yang tak pernah benar-benar mengerti apa arti nasionalisme dalam kamus politik empirik. Tapi ketika menilik aksi-aksi militer di beberapa kawasan seperti Aceh, Timor Leste, Maluku, atau Papua, istilah “mempertahankan NKRI” atau “penumpasan separatisme”, tetap saja terkesan begitu dipaksakan dan diada-adakan.
Betapa tidak, di sana kita bisa menyaksikan militer datang, suara-suara senjata meletup di udara, ratusan ribu nyawa melayang, para tahanan disiksa, wanita-wanita diperkosa, dan sejumlah khasanah budaya dinetralisir. Bagaimanapun, kita akan sukar menemukan dalil-dalil yang dapat membenarkannya, sebab dalam peradaban manusia, hak dan martabat kemanusiaan tentu menjadi sesuatu yang taktertarai. Dan kita boleh tercengang ketika ternyata semuanya dilakukan dengan atas nama nasionalisme, atau yang belakangan biasa disebut sebagai Ideologi Negara Kesatuan. Di sisi lain, pada saat bersamaan, banyak orang yang ngotot ingin menjadikan mantan presiden Soeharto (seseorang yang ditengarai penjadi dalang atas penumpasan tiga setengah juta jiwa demi rezim yang dibangunnya) sebagai pahlawan nasional lantaran dianggap selalu bisa menjaga stabilitas negara demi tegaknya NKRI. Dari itu pun kita bisa melihat betapa kesalahan yang sudah disebutkan sudah mendarah-daging pada kita.
Namun demikian, sekalipun republik ini berdiri di atas fondasi yang bermasalah, bukan berarti win-win solution sudah tidak lagi bisa ditempuh, sebab ideologi bukanlah penyebab utama bagi keretakan bangunan nasionalisme kita. Ada hal lain yang lebih kongkrit dan mendasar yakni soal berlakunya struktur eksploitatif, dimana overdevelopment dan underdevelopment hidup berdampingan.
Pengiriman surat yang dilakukan oleh warga perbatasan Kecamatan Puring Kencana Kabupaten Kapuas Hulu Kalbar pada pemerintah pusat soal kemauan mereka untuk memisahkan diri NKRI lantaran merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah Indonesia (Negara Malaysia justru lebih banyak memperhatikan mereka), harusnya menjadi tamparan keras bagi kita semua.
Suatu Pertimbangan
Upaya pengembalian nasionalisme pada tataran historis tidak bisa tidak mesti ditempuh dengan cara mendamaikan faham nasionalisme dengan kondisi sosio-masyarakat ke-kini-an dan tantangan jaman, agar bangunan nasionalisme bisa kembali kokoh tanpa harus merestrukturisasi NKRI (itu karena saya masih mau disebut sebagai saudara sebangsa dan setanah air dengan rakyat Papua, Aceh, Maluku, atau yang lainnya). Yang jadi persoalan adalah, bagaimana meyakinkan penduduk negeri akan kelayakan dan kepatutan mempertahankan nasionalisme, yang kemudian diteruskan pada tahap perbaikan pendekatan dalam menjaga keutuhannya.
Untuk yang pertama, globalisasi saya kira menjadi isu strategis yang dapat mendorong pernyataan ulang semangat kebangsaan kita. Dalam buku Kewarganegaraan yang ditulis oleh Edison A. Jamli dkk. disebutkan, globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia.
Darinya kita bisa menyimpulkan, kedepan interaksi antarnegara dalam rangka saling mengartikulasikan kepentingan-kepentingannya akan semakin intens, dan kompetisi pun akan kian mengentara. Di titik inilah sebuah negara yang besar dan kuat bisa menatap masa depannya dengan lebih optimis.
Berkaitan dengan itu, saya teringat dengan sejarah gerakan separatis di Ambon. Pada masa awal kemerdekaan RI, sebagian besar eks KNIL di sana kerap dijanjikan kemerdekaan dan dibantu mendirikan Republik Maluku Selatan (RMS) oleh Pemerintah Belanda. Sebuah fenomena yang menunjukan arti pentingnya nasionalisme ke-Indonesiaan, karena bagi Belanda, akan lebih mudah dan menguntungkan jika melakukan “klik” dengan negara-negara kecil pecahan RI ketimbang dengan Indonesia Raya yang kuat.
Selanjutnya, upaya-upaya yang dilakukan untuk mempertahankan kesatuan wilayah NKRI, tidak boleh lagi menggunakan cara-cara brutal, melainkan dengan mewujudkan pemerataan disegala bidang. Eksploitasi sumber daya alam tidak semata-mata digunakan untuk kepentingan pusat, akan tetapi pertama-tama untuk daerah yang bersangkutan, menciptakan lapangan pekerjaan yang seimbang dengan tenaga kerja yang tersedia, pendidikan dan kesehatan pun harus juga bisa dinikmati oleh segenap rakyat Indonesia, dan yang tidak kalah pentingnya adalah membentuk identitas kebangsaan kita berdasar keberagaman yang muncul secara ekspresif dari masyarakat, yang dalam konteks desentralisasi, semuanya bisa dirangkum dalam agenda peningkatan kualitas otonomi daerah.
Ketika sudah tidak ada lagi daerah-daerah yang merasa diabaikan oleh pusat, terlebih ditindas baik secara ekonomi, politik, dan budaya, maka saya yakin, isu-isu separatisme akan dengan sendirinya tenggelam bersama kian menguatnya bangunan nasionalisme yang dapat dibanggakan. Dengan begitu, nasionalisme yang kita bela bukanlah nasionalisme hampa, tapi nasionalisme yang dalam kacamata bersama tetap mengandung harapan dan keyakinan untuk kehidupan yang lebih baik.
Salam untuk sadara-saudaraku yang di Aceh dan Papua!

Penulis adalah mahasiswa Hubungan Internasional
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
ahan_cakep@yahoo.com.au

No comments: