Search This Blog

Wednesday, May 1, 2013

KELEMBAGAAN KEUANGAN DUNIA PERLU DIPIKIRKAN ULANG”

KELEMBAGAAN KEUANGAN DUNIA PERLU DIPIKIRKAN ULANG”
Selasa, 26 Maret 2013 13:11   

Beberapa hal pokok yang disampaikan oleh Megawati Soekarnoputri, pada saat menjadi pembicara kunci di the 4th Asian Leadership Conference:
1. Bahwa krisis berkepanjangan di Eropa dan Amerika Serikat bukan saja membenarkan keabsahan thesis besar abad ke 19 dan 20 mengenai kontradiksi yang melekat dalam sistem kapitalisme, tapi sekaligus mengungkap keterbatasan yang melekat dalam desain kelembagaan dan regulasi global bagi pertumbuhan dan kesejahteraan global yang dirancang pada abad yang lalu
2. Karena itulah jika kita percaya bahwa tantangan masa depan Asia adalah bagaimana menciptakan pertumbuhan yang lebih baik dan ditandai oleh kemakmuran yang cerdas (smart welfare) sebagaimana menjadi tema konferensi tersebut, maka kita akan mudah sepakat bahwa rancang-bangun kelembagaan seperti WTO, Bank Dunia, IMF yang dibangun dengan “cara berpikir pada abad 20” harus dipikirkan kembali. Hal ini tidak terlepas dari keyakinan dasar yang melatar-belakangi lahirnya lembaga keuangan dunia tersebut yang meletakkan pasar sebagai alokator sumber-daya paling efisien dan distributor sumber-daya paling adil guna mewujudkan pertumbuhan dan kemakmuran global.
3. Menurut Megawati, keyakinan dasar abad 20 tersebut, kini sedang menapaki sebuah fase ketidak-berdayaan yang tampaknya akan berakhir dengan keambrukan total. Hal ini ditandai dengan krisis di Amerika dan Eropa yang semakin dalam, dan semkin nampak dampaknya bagi pertumbuhan ekonomi di seluruh kawasan dunia.
4. Menghadapi berbagai persoalan krisis tersebut, Megawati mengutip kembali apa yang pernah disampaikan oleh Bung karno, dalam buku Di bawah Bendera Revolusi I halaman  589” “Penyakit kapitalisme adalah krisis. Penyakit krisis ini selalu menyerang tubuh kapitalisme. Krisis selalu mengintai kapitalisme sepanjang perjalanannya. …..Krisis ini menggelapkan sama sekali udaranya kapitalisme, bukan saja di Amerika dan Eropa, tetapi sampai ke tiap-tiap lobang di muka bumi”
5. Megawati mengusulkan suatu pijakan baru melalui kelembagaan dan regulasi global untuk memproduksi pertumbuhan dan mewujudkan kesejahteraan yang berangkat dari pengandaian bahwa fungsi negara adalah terbatas.
6. Atas dasar keterbatasan fungsi negara, maka dengan menghormati kedaulatan setiap negara, sebagai komunitas warga dunia, setiap negara bertanggung jawab untuk mampu berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) di bidang ekonomi. Dari pijakan “kerberdikarian” inilah, setiap individu negara mengembangkan tanggung jawabnya untuk mewujudkan tatanan dunia yang lebih makmur dan berkeadilan.
7. Megawati juga mengkritik terhadap  negara bangsa yang dipaksa untuk memenuhi “kewajiban global” bagi bekerjanya pasar bebas, namun  mengabaikan kewajiban politik dan ideologisnya untuk menjamin derajat kehidupan ekonomi yang layak, bahkan sekadar mempertahankan kehidupan yang memadai bagi warganya. Akibat di sepanjang abad ini kita menyaksikan kemerosotan pertumbuhan dan kemakmuran di masing-masing negara bangsa dengan segala resiko ikutannya, termasuk dan terutama adalah meluasnya kemiskinan, konflik, serta patologi sosial yang siap menghancurkan keseluruhan tatanan nasional, regional, dan global. Pada saat yang bersamaan, kita juga menyaksikan sebagian negara-bangsa bukannya membawa keunggulan komparatif dan kompetitifnya ke dalam arus bebas ekonomi global, tapi justru membawa beban internalnya ke dalam jaringan ekonomi global. Kita menyaksikan saat sekarang bagaimana mesin utama pergerakan ekonomi global seakan didorong oleh “komoditas fiktif” dengan watak transaksi yang juga bersifat fiktif. Akibat lebih lanjut, bukannya pertumbuhan yang sehat yang dihasilkan, bukan pula kemakmuran kolektif bangsa-bangsa yang terjadi; tapi justru stagnasi, bahkan kemunduran pertumbuhan, dan krisis kemakmuran yang semakin mendalam dan meluas, termasuk pangan dan kemiskinan global yang terus meningkat.
8. Megawati juga menegaskan ---- meskipun dirinya bukan seorang ekonom, bukan pula seorang chauvinis yang sedang mempromosikan kehadiran kembali autokrasi dan nasionalisme ekonomi secara sempit ----  bahwa para pemimpin Asia perlu lebih serius memikirkan tata-kelembagaan baru dimana peran dan tanggung-jawab individu negara bangsa, yang dimulai dari kemampuannya untuk  membangun kepasitas internal masing-masing untuk bisa berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) secara ekonomi sesuai dengan keunikan sumber daya dan tingkatan teknologi yang dimiliki suatu bangsa. Berdasarkan keunikan keberdikarian dari setiap bangsa  itulah, pertumbuhan dan pemerataan yang lebih berkeadilan akan terus menerus dikedepankan, termasuk dalam suatu keseimbangan dengan kelestarian jagad raya. Inilah esensi dan ciri dari suatu “kemakmuran yang cerdas” agar tatanan dunia baru menjadi lebih adil dalam pertumbuhan, bukan semata-mata melayani hasrat kebebasan sebagai sebuah ideologi yang menyesatkan.
9. Megawati akhirnya menegaskan kembali keyakinannya bahwa hanya negara-bangsa yang memiliki kemampuan untuk berdiri di atas kaki sendiri secara ekonomi yang akan bisa memberikan sumbangan bukan saja bagi pertubuhan dan kemakmuran bagi dirinya sendiri, tapi bagi pertumbuhan yang berkelanjutan dan kemakmuran global.  Dengan demikian berdikari secara ekonomi, merupakan prasyarat bagi individual negara-bangsa untuk menjadi bagian dari pergaulan ekonomi global yang mampu mendorong pertumbuhan yang sehat,  sejahtera, dan lebih berkeadilan.

Jakarta, 26 Maret 2013
Hasto Kristiyanto
Wakil Sekretaris Jendral DPP  PDI Perjuangan.

 
PDI Perjuangan Canangkan Juni Sebagai Bulan Bung Karno
Jumat, 01 Juni 2012 13:54   
Bulan Juni 2012 oleh PDI Perjuangan dicanangkan sebagai Bulan Bung Karno. Pencanangan ini dilaksanakan sebagai bagian dari penghormatan kepada Founding Father Indonesia yaitu Bung Karno. Pencanangan yang dilakukan diharapkan menjadi bulan peringatan Bung Karno secara nasional, diantaranya 1 Juni sebagai Hari Lahirnya Pancasila, Tanggal 6 Juni sebagai hari lahirnya Bung Karno dan tanggal 21 Juni sebagai Hari Wafatnya Bung Karno.

Ari Batubara, Wakil Bendahara DPP PDI Perjuangan yang juga Ketua Panitia Bulan Bung Karno menjelaskan," Ini tidak semata kegiatan partai kami, tp merupakan ajakan kepada seluruh elemen bangsa dan rakyat Indonesia bahwa sudah seharusnya menjadi tugas kita bersama untuk mengembalikan ruh Pancasila 1 Juni 1945 yang merupakan warisan besar gagasan dan tindakan Bung Karno sebagai ideologi Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan dunia internasional telah mengakui gagasan dan tindakan Bung Karno sebagai tokoh besar dunia. Namun masih banyak gagasan dan tindakan Bung Karno sebagai Bapak Bangsa yang masih belum dipahami oleh rakyat Indonesia akibat adanya pembelokan sejarah pada masa rezim Orde Baru".

"Bulan Bung Karno harus menjadi Gerakan Kebangsaan yang dilakukan secara nasional, serentak dalam waktu dan bentuk yang sama dengan mengkreasikan budaya daerah, baik oleh Partai maupun segenap lapisan masyarakat Indonesia. Tema Bulan Bung Karno 2012: “Soekarno Di Mata Dunia: Gagasan dan Tindakan” . Tema tersebut di atas kemudian diterjemahkan dalam rangkaian program dan kegiatan Bulan Bung Karno 2012", Jelas Dewi Aryani, anggota komisi 7 fraksi PDI Perjuangan yang juga sebagai Sekretaris Panitia Nasional Bulan Bung Karno.

Beberapa rangkaian kegiatan Bulan Bung Karno diantaranya sebagai berikut:

1.      Kamis, 31 Mei 2012 Pukul 00.00 WIB
Ziarah di Makam Tanah Kusir, di mana bersemayam Bung Hatta dan Bapak Ali Sadikin yang begitu besar jasa dan pengabdiannya kepada bangsa dan negara. Kegiatan ini dilaksanakan oleh DPD PDI Perjuangan Provinsi DKI Jakarta dan DPC PDI Perjuangan Jakarta Selatan.

2.      Jumat, 1 Juni 2012
Ziarah Haul Bung Karno di Makam Bung Karno, di Kota Blitar. Pelaksana: DPD PDI Perjuangan Provinsi Jawa Timur dan DPC PDI Perjuangan Kota Blitar. Dalam ziarah ini kita dibawa kembali untuk merenungkan perjalanan hidup Bung Karno dengan segenap gagasan dan tindakannya untuk Indonesia dan dunia internasional, sehingga Bung Karno menjadi tokoh Bapak Bangsa-bangsa.

3.      Rabu, 6 Juni 2012 Pukul 19.00 WIB
Dinner Reception dan Pagelaran Bulan Bung Karno 2012, di Hotel Indonesia, Kempinski Grand Ballroom, Grand Indonesia Shopping Town West Mall. Dalam acara ini, diundang seluruh Duta Besar bangsa-bangsa yang memiliki perwakilan di Indonesia, selain juga mengundang tokoh-tokoh masyarakat, budayawan, pemimpin-pemimpin organisasi kemasyarakatan, anggota DPR RI, DPD RI, segenap struktural PDI Perjuangan, dan keluarga besar Bung Karno.

4.      a. Kamis, 7 Juni 2012 Pukul 10.00 WIB
Seminar Nasional “Bung Karno dan Islam”, di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta.

b. Rabu, 27 Juni 2012 Pukul 10.00 WIB
Seminar Nasional “Bung Karno dan Pluralisme” di Kantor Megawati Institute

5.      Tanggal 1 – 21 Juni 2012
Panggung Rakyat yang berlangsung di daerah-daerah secara serentak di seluruh Indonesia, dilaksanakan oleh DPD dan DPC dengan lokasi di tempat-tempat publik dan keramaian untuk mendekatkan partai dengan rakyat. Di dalam panggung rakyat inilah partai dan masyarakat umum bertemu berdialog tentang Bung Karno, sehingga Bung Karno diharapkan benar-benar menjadi tokoh yang menjadi milik bangsa.

Keberlanjutan Bulan Bung Karno ke depan:

Dewi kembali menegaskan bahwa Bulan Bung Karno 2012 menjadi awal dari keberlanjutan kegiatan Bulan Bung Karno tahun ke tahun berikutnya. Ke depan kepanitian Bulan Bung Karno bukan hanya kepanitiaan yang bersifat ad hock tetapi sebagai kepanitian/ lembaga / badan yang memiliki kinerja dalam jangka panjang dan berkelanjutan sehingga pelaksanaan kegiatan terkait pendalaman/ internalisasi dan pentradisian Bulan Bung Karno akan dapat tercapai dengan baik.

6. Dalam upaya mensosialisasikan dan menyebarluaskan informasi dan pengetahuan, termasuk dokumentasi tentang Bung Karno, maka panitia Bulan Bung Karno membangun website: www.bulanbungkarno.com. Di dalam website tersebut terdapat beragam informasi, opini,  dan dokumentasi tentang Bung Karno. Juga terdapat link “berita daerah”, di mana kita dapat mengakses informasi-informasi terkait kegiatan bulan Bung Karno dari daerah-daerah. Terdapat juga link “galeri” di mana kita dapat mengakses beragam dokumentasi Bung Karno berupa foto dan video rekaman pidato dan sejarah hidup Bung Karno.

Panitia sangat berharap bahwa generasi bangsa akan mendapatkan pelajaran sejarah dan semangat pengabdian Bung Karno dari segala aktivitas dan kegiatan Bulan Bung Karno yang diselenggarakan.
 
Pekerja Rumah Tangga Tagih Janji SBY!
Kamis, 09 Februari 2012 18:41   
“..... Pemerintah RI akan mendukung Konvensi Kerja Layak bagi PRT dan memastikan bahwa sesi ke-100 ini akan mengadopsinya menjadi sebuah Konvensi. Presiden juga menegaskan bahwa konvensi ini dapat menjadi acuan bagi negara pengirim dan negara penerima guna melindungi PRT migran. Dan di Indonesia hal ini menjadi isu penting karena sebagian besar buruh migran Indonesia adalah PRT.
Pemerintah RI juga sudah mengambil langkah secara institusional, administratif dan juga hukum untuk melindungi dan memberdayakan buruh migran Indonesia.
Pekerja rumah tangga yang bekerja di dalam negeri juga harus diberi perlindungan yang sama, dengan begitu, konvensi ini akan membantu pemerintah Indonesia untuk merumuskan perundang-undangan dan peraturan nasional yang lebih efektif untuk tujuan perlindungan ini. “
(Kutipan isi pidato SBY pada  konferensi ke-100 Organisasi Perburuhan Internasional (ILO)

di Palais des Nations, Jenewa, Swiss, Selasa , 14/6/2011)

Dalam pidato SBY di sidang tahunan ILO ke 100, SBY mengumbar kata dengan mengajak masyarakat internasional untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja domestik. Namun, jauh panggang dari asap, kenyataan di dalam negeri sendiri, seperti dua kutub yang bertolak belakang. RI hingga kini tidak memiliki perangkat hukum yang mengakui PRT sebagai jenis pekerjaan yang tak berbeda dengan profesi-profesi lain, yang butuh kepastian hukum untuk melindungi PRT dalam memperoleh hak-haknya sebagai warga negara maupun dalam konteks pemenuhan hak-hak PRT dalam konteks penegakan HAM.
Perjalanan Pembahasan RUU Perlindungan PRT

Perjuangan RUU PRT saat ini sudah memasuki langkah yang cukup berarti di DPR. Setelah berulangkali mendapat "ganjalan" untuk dibahas. Kali ini DPR, mayoritas fraksi, memiliki komitmen yang kuat utk merampungkan RUU PPRT menjadi UU pada tahun 2012. Panja RUU PPRT telah dibentuk di komisi IX DPR RI. Dengan dipimpin Irgan Chairul Mahfiz, panja RUU PPRT mulai bekerja sejak awal masa sidang ini. Konsinyering awal telah dilaksanakan, begitu juga dengan RDPU yang sudah mengundang perwakilan dari PRT yang diwakili oleh JALA PRT, dan akan mengundang berbagai pihak terkait seperti Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kemenakertrans, Akademisi dsb.
Jumlah PRT di dalam negeri sekitar 10 juta, PRT migran tak kurang dari 6 juta. Mereka jelas warga negara yang juga membutuhkan kepastian hukum dan jaminan bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka dan keluarga.

Pembahasan UU tidak dilakukan oleh DPR semata. Target komisi IX sendiri pada penutupan Paripurna di bulan Maret, bahwa draft RUU PPRT disahkan sebagai RUU inisiatif DPR dan pada masa sidang berikutnya masuk pembahasan dengan eksekutif. Artinya, komitmen pemerintah SBY dipertaruhkan, akankah menyepakati lahirnya sebuah UU yang menjadi tonggak baru dalam perlindungan PRT di negara kita atau sebaliknya?
Tak berlebih kiranya, jika tahun ini PRT menagih janji sang presiden yang mengumbar kata dalam sidang tahunan ILO ke 100. SBY dalam pidatonya mengajak masyarakat internasional memberikan perlindungan kepada pekerja domestik. Sebuah ajakan sekaligus janji yang hanya bisa dibuktikan dalam sebuah kebijakan politik: meratifikasi konvensi ILO 189  tentang  Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga dan kerja sungguh-sungguh pemerintah SBY dalam mendorong lahirnya RUU PPRT.

Jika tidak, memang sepertinya politik tebar pesona SBY bukan sebuah sikap yang harus kita anggap angin lalu. Kebohongan terhadap publik, terhadap rakyat sendiri dan masyarakat internasional, tentu bukan sebuah perilaku yang akan kita biarkan!

Rekomendasi politik
Berdasarkan data dan fakta diatas, maka saya :
1.       Mendesak pemerintahan  SBY segera meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak PRT dan meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarga sebagai wujud pemenuhan janji SBY untuk melindungi PRT baik di dalam negeri maupun diluar negeri.
2.       Mendesak pemerintahan SBY untuk benar-benar bekerja menyelesaikan RUU PPRT agar terwujud perlindungan PRT di Indonesia.
3.       Mengajak seluruh pihak termasuk media massa untuk ikut serta mengawal pembahasan RUU PPRT dan perubahan UU 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI, agar kedua UU ini nantinya benar-benar menjadi UU perlindungan bagi PRT dan TKI.
Demikian pernyataan ini saya buat, tak lebih untuk kehidupan berbangsa yang lebih beradab.

Salam Juang,
Jakarta, 08 Februari 2012

Rieke Diah Pitaloka
Anggota Fraksi PDI Perjuangan  Komisi IX DPR RI


Catatan :
Urgensi ratifikasi Konvensi ILO 189 bagi perlindungan PRT
Konvensi No. 189 memberikan  perlindungan khusus kepada pekerja rumah tangga. Konvensi tersebut menetapkan hak-hak dan prinsip-prinsip dasar dan mengharuskan Negara mengambil serangkaian langkah dengan tujuan untuk menjadikan kerja layak sebagai sebuah realitas bagi pekerja rumah tangga. Dalam konvensi ILO 189 disertai rekomendasi yang memuat standar setting perlindungan PRT yang isinya:
1.       Memuat prinsip fundamental perlindungan hak dan situasi kerja serta keadilan sosial bagi PRT dengan mengacu pada berbagai instrumen internasional tentang HAM, penghapusan bentuk diskriminasi terhadap perempuan, hak sipol dan ekosob, perlindungan hak anak dan perlindungan buruh migran.
2.       Pengakuan kontribusi sosial ekonomi PRT yang signifikan untuk keluarga majikan dan untuk ekonomi global.
3.       Hak-hak PRT yang diatur dalam konvensi ini seperti perlindungan dari pelecehan dan kekerasan, perlindungan dari bentuk kerja paksa atau kerja wajib, standar mengenai pekerja anak, hak mendapatkan informasi yang dipahami dalam kontrak kerja, jam kerja, waktu istirahat, pengupahan dan mekanisme pembayaran upah, keselamatan dan kesehatan kerja, jaminan sosial, standar mengenai PRT migran, pengaturan mengenai agen swasta, penyelesaian perselisihan dan penegakan hukum
 
Pemerintah Gagal Melaksanakan Konstitusi
Jumat, 30 Desember 2011 17:34   
Pernyataan Sikap PP Bamusi
Pengurus Pusat Baitul Muslimin Indonesia (PP Bamusi) mengecam sekeras-kerasnya perilaku dan tindak kekerasan atas nama agama. Insiden tindak kekerasan atas nama agama yang telah berulang kali sepanjang tahun 2011 tersebut memberikan bukti bahwa Pemerintah gagal melaksanakan amanat konsitusi. "Pemerintah terbukti gagal melaksanakan konstitusi untuk menjamin kebebasan warga negara memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya," kata Ketua Umum PP Bamusi, Prof. Dr. Hamka Haq, MA di sekretariat PP Bamusi, Jalan Pancoran Timur nomor 41, Perdatam, Pancoran, Jakarta Selatan pada Jumat (30/12).

Menurut Prof. Dr. Hamka HaqPemerintah harus benar-benar secara konkret memberikan perlindungan bagi kehidupan segenap umat beragama tanpa kecuali agar  kasus-kasu kekerasan tersebut tidak lagi terulang pada 2012 mendatang.

Selain itu, Hamka yang didampingi Sekjen PP Bamusi, Nurmansyah E. Tanjung, SE, menginstruksikan kepada seluruh jajaran Baitul Muslimin Indonesia untuk berperan aktif dalam menjaga ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah, dengan mengedepankan dialog dan musyawarah dalam menyikapi perbedaan.

Berikut ini pernyataan lengkap PP Bamusi terhadap tindak kekerasan atas nama agama:

Bismillahirrahmanirrahim

Sadar akan hakikat Islam sebagai agama yang mengajarkan perdamaian, sebagaimana yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW yang membawa misi Rahmatan lil ‘alamin, maka umat Islam berkewajiban membangun rasa persaudaraan kemanusiaan terhadap siapapun, tanpa kecuali.

Bahwa konsensus bangsa, berupa Ideologi Pancasila, Konstitusi UUD RI Tahun 1945, Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sistem sosial Bhinneka Tunggal Ika, sebagai dasar hidup bernegara dan bermasyarakat Indonesia, semakin terkoyak oleh berbagai aksi kerusuhan dan konflik sosial di berbagai wilayah Indonesia.

Bahwa insiden tindak kekerasan atas nama agama, telah berulang kali terjadi di negeri kita, khusus pada tahun 2011, antara lain adalah penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, pada tanggal 6 Februari 2011, pengrusakan gereja di Temanggung Jawa Tengah tanggal 8 Februari 2011, kasus diskriminatif Gereja Yasmin di Bogor, yang dibiarkan berlarut-larut, terakhir penyerangan terhadap jamaah Syiah di Desa Blu’uran, Karang Penang Sampang Madura (20-11-2011), dan di Dusun Nangkrenang Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben  Kabupaten Sampang Madura (29-12-2011).  Ini adalah akibat adanya pembiaran, dan kelengahan pemerintah terhadap pelaku kekerasan. Pemerintah terbukti gagal melaksanakan konsitusi untuk menjamin kebebasan warga negara memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya, berdasarkan UUD 1945 pasal 28 E dan pasal 29.

Untuk itu, Pengurus Pusat Baitul Muslimin Indonesia menyampaikan pernyataan sikap akhir tahun 2011 sebagai berikut:

1. Mengecam sekeras-kerasnya perilaku yang tidak mencerminkan Islam Rahmatan lil’alamin, yakni penyerangan yang dilakukan oleh kelompok agama/ormas garis keras yang dengan mudahnya melakukan tindakan tidak berprikemanusiaan, melanggar hukum dan HAM, menyebabkan kelompok agama/keyakinan lainnya berulang kali menjadi korbannya.
2. Meminta Pemerintah agar benar-benar secara konkret memberi perlindungan bagi kehidupan segenap umat beragama tanpa kecuali.  Bagaimanapun, segenap kelompok agama/keyakinan adalah warga negara Indonesia yang wajib dilindungi keselamatannya oleh negara.

3. Kementerian Agama hendaknya meningkatkan pembinaan secara intensif dan berkeadilan bagi seluruh umat beragama, agar dapat hidup berdampingan tanpa konflik dan tindak kekerasan antara kelompok keyakinan yang satu dengan lainnya.

4. Meminta Kepolisian Republik Indonesia untuk bersungguh-sungguh meningkatkan kepekaan dan kecepatan bertindak mengantisipasi terulangnya tindak kezaliman terhadap kelompok agama apapun, dan segera menyeret pelaku kekerasan untuk secepatnya di bawa ke pengadilan, sesuai dengan amanat UUD 1945 dan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002.

5. Meminta Majelis Ulama Indonesia Pusat dan Daerah se-Indonesia, agar menumbuhkan dakwah Islam Rahmatan lil Alamin dalam pembinaan umat, pembinaan secara persuasif, dan menghindari lahirnya rasa kebencian antar sesama umat yang mengaku Muslim.

6. Menginstruksikan kepada seluruh jajaran Baitul Muslimin Indonesia di semua tingkatan, untuk berperan aktif dalam menjaga ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah, dengan mengedepankan dialog dan musyawarah dalam menyikapi perbedaan.

 
“Buku, Cinta dan Bangsa”
Kamis, 08 Desember 2011 16:31   
Puan Maharani menjadi keynote speaker dalam Sosialisasi 4 Pilar kerjasama MPR dengan FISIP Universitas Indonesia di Selo Soemardjan Media Centre (SSMC), Universitas Indonesia, Depok Rabu (7/12).

Ketua DPP PDI Perjuangan bidang Politik dan Hubungan Antar lembaga  ini  menyampaikan pidatonya yang berjudul, “Buku, Cinta dan Bangsa”.

Berikut  isi pidato tersebut:

Ass. Wr. Wb.

Salam sejahtera untuk kita semua
Yang saya hormati para panelis, Pak Hamka Haq, Pak Mohammad Sobari, Pak Effendi Ghazali
Yang saya hormati Pudek FISIP UI,
Yang saya cintai teman-teman mahasiswa,

Saya senang sekali hari ini bisa kembali ke UI,…ke almamater saya setelah sekian lama. Mungkin banyak yang belum tahu bahwa saya dulu kuliah di jurusan komunikasi massa FISIP UI.
Saya lebih senang lagi karena akhirnya diskusi tentang 4 pilar kehidupan berbangsa & bernegara, yaitu Pancasila, UUD ’45, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika…sudah kembali ke kampus. Buat teman-teman angkatan sekarang mungkin sudah dengar cerita…bahwa dulu sebelum tahun ’98 namanya kampus, termasuk UI itu ingin disterilkan oleh penguasa. Saat itu namanya mahasiswa disuruh jadi robot kuliah…Pokoknya kerjaan mahasiswa hanya kuliah saja…gak perlu atau gak boleh mikirin yang lain.

Dulu kalau ada diskusi yang bahas semacam 4 pilar ini langsung diawasi intel-intel dan di-cap radikal kampus karena dianggap menerapkan politik praktis. Teman-teman saya ada juga yang waktu itu sering sembunyi-sembunyi dari kejaran aparat atau intel. Padahal kalau kita bicara 4 pilar itu bukan bicara politik praktis…tapi bicara bangsa dan negara. Namun itu dulu saat masih jaman otoriter…Kalau sekarang, sosialisasi atau diskusi tentang 4 pilar seperti acara ini sudah bisa dilakukan di kampus…hasil kerjasama Fraksi MPR dengan berbagai universitas di Indonesia. Jadi salah kalau ada yang bilang ini “Politik praktis masuk kampus”…Yang benar ini adalah “4 pilar bangsa dan negara masuk kampus”.
Teman-teman mahasiswa,

Diskusi 4 pilar sangat penting sekali dilakukan di kampus-kampus. Karena dari jaman dulu sampai sekarang, mahasiswa dikenal sebagai agent of change atau agen perubahan. Mungkin banyak juga yang sudah bosan dengar istilah itu…tapi lebih baik diingatkan daripada dilupakan. Jadi ada harapan setelah dilakukan sosialisasi, Anda para mahasiswa dapat memahami…berbagi…dan beraksi secara positif menegakkan 4 pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.

Karena seperti lagunya Ruth Sahanaya ‘Astaga’…apa jadinya kalau kaum muda ‘hanya mengejar kepentingan diri sendiri, lalu cuek dengan derita sekitarnya’.

Salah satu derita yang sedang dialami Indonesia saat ini adalah mulai terkikisnya persatuan kita. Sedihnya perpecahan yang terjadi banyak terkait dengan kemajemukan bangsa Indonesia sendiri. Padahal burung Garuda Pancasila lambang negara Indonesia mencengkram tulisan ‘Bhinneka Tunggal Ika’. Kalau ada yang lupa…artinya itu berbeda-beda tapi satu jua, diambil dari kitab Sutasoma karangan Empu Tantular. Waktu saya kecil diajarin ini sampai ngelotok.

Tapi mengetahui Bhinneka Tunggal Ika saja tidak cukup. Data BPS tahun 2011 menunjukkan bahwa sekitar 70 persen masyarakat Indonesia sudah tahu tentang Pancasila, UUD ’45, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Kenyataannya kita ini sudah tahu namun berantem melulu.

Apa kata dunia bila bangsa yang salah satu pilarnya sudah jelas Bhinneka Tunggal Ika…malah sering mempermasalahkan keragamannya sendiri? Ada atau tidaknya provokasi tidak menghapus kenyataan bahwa sering terjadi konflik horizontal di Indonesia dengan alasan perbedaan. Ada konflik antar suku, antar umat beragama, dan antar-antar yang lain.
Banyak yang mengutuk konflik-konflik itu..Banyak yang menyayangkan konflik-konflik yang terjadi…Herannya banyak juga yang mendorong supaya ada konflik horizontal…Lebih heran lagi banyak yang mendiamkan terjadinya konflik-konflik ini.

Padahal makna tersirat dari Bhinneka Tunggal Ika adalah yang namanya perbedaan dihargai…bahkan dilindungi. Di Indonesia, yang namanya perbedaan atau keragaman adalah kenyataan. Sekarang tergantung kita…apakah akan diam saja melihat kita terpecah-belah dengan alasan keragaman? Atau kita mau bersikap pro-aktif menjadikan keragaman sebagai dasar persatuan.
Bagusnya Fraksi MPR telah bersikap pro-aktif. Kegiatan seperti ini telah dan sedang dilakukan MPR RI semenjak MPR periode 2004-2009…dan lebih diperkuat oleh MPR periode 2009-2014. Diskusi hari ini adalah bukti nyata bahwa masih ada pihak-pihak yang mau berperan aktif menjaga keutuhan bangsa. Lebih bagus lagi karena kegiatan Fraksi MPR ini mendapat sambutan baik dari berbagai universitas dan SMA yang sudah bekerjasama dalam pelaksanaannya. Seperti UIN Jakarta, Universitas Paramadina, Universitas Nasional, Universitas Pancasila, dan SMA Muhammadiyah Pamulang.

Hadirin sekalian,
Di salah satu seminar nasional saya pernah menggunakan istilah Tuna Pancasila untuk menjelaskan…bahwa Pancasila tidak cukup hanya diketahui tapi juga harus dilaksanakan. Kalau melihat berbagai derita yang dialami Indonesia tampaknya kita harus waspadai munculnya Tuna 4 Pilar di Indonesia, yaitu Tuna Pancasila, Tuna UUD ’45, Tuna NKRI, dan Tuna Bhinneka Tunggal Ika.

Kata kuncinya untuk mencegah Tuna 4 Pilar adalah ‘dilaksanakan’. Namanya 4 Pilar, selain dibicarakan juga harus dilaksanakan secara jelas dan nyata. Apalagi oleh mahasiswa sebagai agen perubahan. Kalau mau ada perubahan…ya harus ada yang dilaksanakan.

Sejak awal bangsa dan negara Indonesia dibangun di atas persatuan dalam perbedaan. Ingat Sumpah Pemuda, satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa. Ingat kata Bung Karno yang bilang “Kita mendirikan negara ini semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu”. Ingat semboyan kita Bhinneka Tunggal Ika. Ingat semua itu dan laksanakan.

Saat saya bilang laksanakan Bhinneka Tunggal Ika, tidak perlu teman-teman berpikir yang susah-susah atau rumit-rumit. Memang kalau digali secara mendalam, konflik-konflik horizontal sangat erat hubungannya dengan ketimpangan kesejahteraan. Sebagai eksekutif, seharusnya pemerintah mempercepat usaha untuk mempersempit jurang kesejahteraan di Indonesia. Pemerintah mempunyai kemampuan itu…tapi sekali lagi saya katakan…harus dilaksanakan bila ingin ada perubahan…harus dilaksanakan bila ingin ada perbaikan…harus dilaksanakan bila ingin pertahankan persatuan.

Bisa saja saya mendorong teman-teman mahasiswa untuk turut membantu mengatasi masalah ketimpangan kesejahteraan. Tapi sebenarnya ada hal lain yang bisa dilakukan Anda semua di kampus. Saya pernah dengar anak saya dengarkan lagu Korea,…judulnya “Mr Simple”. Ya kata simple itu menurut saya cocok…karena yang simple-simple juga bisa kita laksanakan untuk kuatkan Bhinneka Tunggal Ika.

Contohnya dalam pergaulan, jangan hanya dengan kawan-kawan dari daerah yang sama. Mahasiswa dari Sumatera jangan cuma akrab dengan mahasiswa lain dari Sumatera. Tentu bisa juga akrab dengan mahasiswa dari daerah lain. Contoh lain adalah antara berbagai wadah kegiatan mahasiswa UI berbasis agama…seperti SALAM UI, POKSA, KUKSA, dan lainnya…perlu diperbanyak dialog dan acara bersama. Simple atau sederhana… tapi menguatkan Bhinneka Tunggal Ika.

Adik-adik mahasiswa,

Anda adalah masa depan bangsa dan negara Indonesia…Itu sudah jelas. Sayangnya yang belum jelas adalah masa depan seperti apa yang akan dimiliki bangsa dan negara kita ini. Sejarah sudah mencatat Sumpah Pemuda sebagai monumen awal persatuan Indonesia…Sejarah sudah mencatat aksi mahasiswa di tahun ’98 yang melahirkan reformasi Indonesia…Sekarang pertanyaannya apa yang akan tertulis di sejarah bangsa Indonesia saat dipegang oleh generasi Anda  atau sering disebut generasi milenial? Yang jelas jangan sampai tertulis di lembar sejarah bahwa bangsa Indonesia terpecah belah di masa generasi milenial.

Kapan kita bisa katakan bahwa berbeda itu biasa…bersatu itu sudah seharusnya? Memang ini tugas kita bersama dan bukan hanya mahasiswa. Tapi mahasiswa jelas memegang peranan penting supaya Bhinneka Tunggal Ika menjadi kenyataan di Indonesia. Supaya Bhinneka Tunggal Ika menjadi dinamis dan tidak statis.

Bila dulu tahun ’60-an di UI dikenal semboyan “Buku, Pesta dan Cinta” dalam kehidupan mahasiswanya…mudah-mudahan nanti dikenal semboyan “Buku, Cinta dan Bangsa”.
“Buku” artinya Anda menuntaskan kewajiban untuk belajar dengan baik agar bisa lulus. “Cinta” artinya Anda punya hak untuk bisa menikmati masa muda yang indah dan penuh cerita ceria serta cinta. Tapi jangan lupa “Bangsa”…yang artinya Anda juga memiliki tanggung jawab menjaga keutuhan dan memajukan bangsa.

Terakhir kami sangat mengharapkan ketiga narasumber dapat memberikan gagasan dan memulai diskusi tentang bagaimana melaksanakan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara…berdasar pada keilmuan dan pengalaman masing-masing pembicara.

Wass. Wr. Wb.
 
Rumus ABC dalam Menghadapi Krisis Ekonomi dan Pangan
Kamis, 20 Oktober 2011 15:26   
Fraksi PDI Perjuangan mengadakan Seminar dengan tajuk  “Krisis Ekonomi & Pangan: Peluang atau Ancaman”di gedung MPR/DPR RI, Jakarta, pada tanggal 13 Oktober lalu. Berikut ini kata sambutan Puan Maharani:

Assalamualaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera untuk kita semua
Merdeka!!!

Yang tercinta Ibu Ketua Umum PDI Perjuangan Ibu Megawati Soekarnoputri
Yang terhormat…
Yang terkasih saudara-saudariku anggota PDI Perjuangan

Terimakasih atas kehadirannya di pagi hari ini untuk menghadiri seminar Fraksi PDI Perjuangan dengan tema “Krisis Ekonomi & Pangan: Peluang atau Ancaman”.

Kalau kita lihat nanti…para pembicaranya di sini sudah sangat berpengalaman dan memang ahli di bidang ekonomi & pangan…ada Ibu Megawati sebagai Presiden Republik Indonesia ke-5, yang menjadi Presiden kala keadaan keuangan negara kita sangat sulit…Tapi beliau berhasil memimpin kabinet dan tim-nya sehingga dalam waktu hanya sekitar dua setengah tahun keadaan ekonomi Indonesia berangsur membaik.

Lalu ada Ketua Umum APINDO Bapak Sofyan Wanandi, pengamat perbankan Bapak Fauzi Ichsan, dan akademisi Ibu Hendri Saparini…Yang memang ketiganya sudah ngelotok bicara ekonomi.

Bapak Ibu yang saya hormati,
Walaupun ini acara seminar Fraksi PDI Perjuangan tapi perlu saya tegaskan bahwa yang namanya krisis ekonomi dan pangan adalah masalah kita semua di Indonesia…dan masalah kita semua di dunia.

Lihat saja krisis ekonomi dan utang di Eropa dan Amerika Serikat yang terus membuat investor serta sektor swasta jantungan dan gemeteran. Lihat juga beberapa negara yang bergejolak akhir-akhir ini…salah satu pemicunya adalah kenaikan harga pangan yang tajam. Sudah banyak yang memberi peringatan bahwa Indonesia harus berhati-hati dan bersiap. Namun lama kelamaan saya perhatikan…ini bersiap terus tapi apa memang sudah benar-benar siap Indonesia menghadapi krisis ekonomi dan pangan? Lebih mendasar lagi pertanyaannya…apakah kita sudah sadar bahwa di depan itu ada krisis ekonomi dan pangan?

Hadirin sekalian,
Saat jaman kuliah saya belajar ilmu komunikasi, nah di ilmu itu dibilang kalau keadaan menjelang gawat…kita harus bicara yang positif-positif supaya orang tidak panik. Apalagi dalam komunikasi dunia keuangan…komunikasi positif sangat diperhatikan.

Saya setuju bahwa kita jangan membuat orang panik…namun saya juga setuju yang namanya kebenaran itu jangan ditutup-tutupi. Apa yang kami akan sampaikan di seminar ini bukan untuk menakut-nakuti orang…yang kami akan sampaikan adalah kebenaran…kenyataan di lapangan yang jelas ada di depan mata kita…tinggal mau tidak kita mengakuinya.

Pemimpin-pemimpin negara-negara Eropa terus menerus bertemu untuk menemukan cara mengatasi krisis ekonomi di sana. Di Amerika, rakyatnya berdemonstrasi di depan Wall Street memprotes sistem keuangan negaranya. Food and Agriculture Organization, atau FAO, sudah mengingatkan bahwa harga bahan pangan di dunia terus naik dan yang miskin bisa tambah miskin. Sekali lagi saya tanyakan kepada Anda semua…sudahkah kita sadar bahwa krisis ekonomi & pangan itu ada di depan mata kita?

Saudara Saudari,
Saat PDI Perjuangan bicara tentang ekonomi sudah jelas ada Trisakti Bung Karno…yang salah satunya itu “Berdikari dalam ekonomi”. Tapi di era globalisasi ini…faktor politik, ekonomi dan budaya sangat erat berkaitan dan tidak bisa dipisah-pisah. Kalau kita ingat…sempat ada buku “Confession of an Economic Hitman” yang menceritakan bagaimana penjajahan itu tetap ada tapi dalam bentuk ekonomi.

Artinya kalau Indonesia ingin “Berdaulat dalam Politik”…maka harus juga “Berdikari dalam Ekonomi”…dengan menggunakan kearifan bangsa kita sendiri atau “Berkepribadian dalam Kebudayaan”.

Kenyataannya sekarang bagaimana? Kenyataannya bahwa sekitar 60 persen penjualan obligasi negara, yang merupakan utang negara, dikuasai asing…Kenyataannya bahwa Thailand dan Vietnam yang kita andalkan ekspor berasnya ke Indonesia juga menghadapi ancaman krisis pangan…Kenyataannya bahwa kebijakan impor lebih disukai daripada kebijakan meningkatkan produksi.

Bayangkan saja bila investor asing menarik dananya karena krisis di negara masing-masing. Atau bila Thailand dan Vietnam menghentikan ekspor beras karena di negaranya juga kekurangan. Atau jika kita lebih banyak mengkonsumsi barang impor daripada memproduksi barang lokal.

Saya mengajak kita semua untuk menyadari kondisi hari ini dan jangan sampai Indonesia nanti gigit jari.

Hadirin sekalian,
Itulah kenyataan di lapangan yang selama ini disampaikan ke PDI Perjuangan oleh berbagai elemen masyarakat, termasuk dunia usaha. Sebagai partai politik dan wakil rakyat, sudah tugas kami untuk menyerap berbagai aspirasi dan keluhan masyarakat dan dunia usaha. Sudah tugas kami juga untuk menyuarakan kenyataan di lapangan serta kebutuhan masyarakat dan dunia usaha.

Menghadapi krisis ekonomi dan pangan baiknya kita pakai rumus ABC. Yaitu Akui bahwa di depan kita itu ada krisis ekonomi dan pangan…lalu Berpihaklah kepada ekonomi sektor rill dan pangan dalam negeri…dan Canangkan Indonesia yang kuat ekonominya secara nyata dan berdaulat pangan.

Mari bersama di seminar ini kita membahas jalan terbaik untuk menghadapi krisis ekonomi dan pangan serta mewujudkan Indonesia yang berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Wassalamualaikum Wr. Wb.
Merdeka!!!

Puan Maharani
Ketua Bidang Politik dan Hubungan antar Lembaga dan ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR RI
 
Pernyataan Sikap DPP PDI Perjuangan Bid. Perempuan dan Anak Atas Eksekusi Hukuman Pancung PRT Migran (TKW) Ruyati Binti Sapubi di Saudi Arabia
Selasa, 21 Juni 2011 18:43   
Negeri ini kembali dikejutkan oleh kenyataan pahit yang dialami oleh TKW kita. Hanya selang 4 hari setelah Presiden SBY berpidato mengklaim kemajuan perlindungan buruh migran Indonesia di sidang ILO ke 100. Realitasnya, Sabtu (18/06), satu lagi PRT Migran Indonesia, kehilangan nyawa karena dipancung oleh pemerintah Arab Saudi.

Ruyati, warga Desa Sukadarma, Bekasi, Jawa Barat, dihukum pancung atas tuduhan membunuh majikannya, Khairiya binti Hamid Mejlid. Selain Ruyati, ada 23 warga Negara Indonesia di Arab Saudi dan 345 di Malaysia yang terancam hukuman mati/pancung.

Ketimbang tebar pesona di forum internasional, harusnya Presiden SBY melakukan aksi nyata seperti datang langsung ke pemimpin tertinggi Arab Saudi dan Malaysia untuk bernegosiasi demi menyelamatkan hidup para TKI/TKW di sana.

Pengalaman selama ini, TKW yang bekerja sebagai PRT rentan mengalami penganiayaan khususnya oleh majikan. Tidak adanya bantuan terutama karena lokasi kerja mereka sulit diakses pihak luar dan berada di bawah kontrol majikan sepenuhnya.Kondisi ini menjadikan tidak banyak pilihan yang bisa dilakukan oleh PRT dalam rangka menghentikan kekejaman yang mereka terima. Membunuh pelaku kekejaman bisa jadi salah satunya. Relasi domestik yang penuh kekerasan bisa saja berakhir pada terbunuhnya salah satu pihak. Pada kasus seperti ini, kondisi yang dialami korban harusnya dapat menjadi dasar pembelaan untuk meringankan hukuman. Terutama dalam kondisi untuk membela diri dari situasi yang mengancam nyawanya.

Ruyati tidaklah membunuh majikan hanya semata-mata karena dilarang pulang, disinyalir ia telah mendapat siksaan majikan sejak awal bekerja. Meski berita yang disampaikan oleh pemerintah terkesan menyalahkan pembunuhan yang dilakukan oleh Ruyati (Tempo Interaktif, Minggu (19/06)). Tidak terlihat upaya pemerintah Indonesia untuk mengungkapkan kejadian yang sesungguhnya dibalik kasus tersebut.

Sebagai korban penganiayaan maupun “tersangka”, Ruyati berhak mendapatkan pembelaan dan bantuan hukum sebagaimana dijamin hukum Internasional pada Konvensi PBB mengenai Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) juga oleh KUHAP. Juga hak-hak asasinya lainnya yang harusnya tetap di penuhi selama menjadi “tersangka” seperti tidak diperlakukan secara diskriminatif, mendapatkan dampingan secara psikologis hingga dijenguk oleh keluarganya. Pemerintah harusnya memastikan hak-hak Ruyati sebagai korban maupun “tersangka” bisa terpenuhi. Namun, bahkan sampai saat terakhir, Ruyati tidak bisa mengubungi/berkomunikasi dengan keluarganya, hingga dia menutup mata, tidak ada keluarga yang bisa di datangkan untuk mendampinginya.

Demi tegaknya keadilan bagi Ruyati dan TKI/PRT Migran lainnya, maka Kami menuntut dan mendesak Pemerintah agar :
1. MENGUSUT TUNTAS kasus Ruyati dan kasus-kasus lainnya yang mengancam TKI/PRT migran sesegera mungkin, memberikan hak-hak mereka dan keluarganya.
2. MENUNTUT KLARIFIKASI DAN PERTANGGUNGJAWABAN terhadap pemerintah Arab Saudi atas tidak terpenuhinya hak-hak Ruyati sebagai korban KDRT/ ‘tersangka’.
3. MEMBERI PERLINDUNGAN sepenuhnya kepada TKI/PRT migran khususnya yang saat ini berurusan dengan hukum agar dipastikan hak-haknya sebagai korban/ “tersangka” terpenuhi sesuai dengan standar perlindungan Hak Asasi Manusia.
4. TIDAK MENGIRIMKAN WNI untuk menjadi PRT khususnya ke Arab Saudi dan Malaysia sampai ada kesepakatan yang mengatur tentang perlindungan hak-hak setiap pekerja/PRT dengan standar HAM, termasuk jika mereka menjadi korban dan atau “tersangka”.
5. MENGURANGI PENGIRIMAN PRT migran, dengan memberikan keterampilan dan pendidikan yang memadai untuk pekerjaan lain yang lebih aman bagi calon TKI/TKW sejak di desa-desa.
6. MEMBERIKAN LAPANGAN KERJA , PASAR YANG PRO RAKYAT serta MODAL USAHA GRATIS dan langkah-langkah afirmatif lainnya bagi perempuan di pedesaan, kantong-kantong miskin perkotaan dan kelompok marjinal lainnya yang kurang mampu agar memungkinkan mereka bisa bekerja dan berkarya di negeri sendiri.
7. Pemerintah dan DPR segera RATIFIKASI Konvensi Mengenai Buruh Migran dan Keluarganya, Konvensi Perlindungan PRT, serta REVISI UU PPTKILN dan BAHAS UU Pekerja Rumah Tangga secepatnya.
8. Menyerukan kepada legislatif dan pihak-pihak terkait untuk melakukan FUNGSI PENGAWASAN secara terus menerus terhadap kerja pemerintah di dalam menyikapi kasus PRT migran, serta memastikan adanya langkah-langkah konkret yang diambil Negara untuk menuntaskan kasus-kasus kekerasan, diskriminasi dan pelanggaran HAM TKI/TKW di mana pun.
Demikian pernyataan sikap ini Kami sampaikan agar bisa menjadi perhatian bagi pemerintah dan pihak terkait serta seluruh masyarakat yang peduli.

Jakarta, 21 Juni 2011

DPP PDI Perjuangan Bidang Perempuan dan Anak
Yanti Sukamdani, SE
(Ketua)

Contact person:
Nadrah Izahari, SH/Ketua Dept Perempuan: 0811857115;
Ratna Batara Munti, M.Si/Dept Perempuan Bidang Advokasi dan HAM : 0818758089
 
Pancasila Untuk Semua
Jumat, 17 Juni 2011 16:22   
Sejak tahun 1928, saat Sumpah Pemuda, kita sudah mengetahui bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural. Saat itu para pemuda-pemudi dari berbagai daerah merumuskan sebuah sumpah sebagai pengikat keberagaman, yaitu tanah air, bangsa dan bahasa yang satu yaitu Indonesia. Namun saat Indonesia sudah mau merdeka, kita memerlukan dasar Negara yang akhirnya dibahas pada sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada sidang itulah, dan tepatnya pada 1 Juni 1945, Pancasila lahir sebagai dasar Negara Indonesia.

Bung Karno pada pidatonya tanggal 1 Juni 1945 menyebutkan kalimat berikut:
“Negara Indonesia bukan Negara untuk satu orang, bukan satu Negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan Negara ‘semua buat semua’, ‘satu buat semua, semua buat satu’”.
Jadi sejak awal sudah tegas bahwa walaupun bangsa Indonesia sangat plural tapi kita adalah satu kesatuan yang disatukan oleh Pancasila. Ucapan Bung Karno tersebut tercermin kembali saat almarhum Bung Franky menuliskan “Pancasila rumah kita, rumah kita semua”. Negara ini dibangun di atas keberagaman dan menjadi unik karena Pancasila.

Sebenarnya sudah tidak perlu diperdebatkan bahwa Pancasila adalah ideologi bangsa dan Negara Indonesia. Sebagai ideologi, Pancasila itu memiliki tiga fungsi utama. Pertama adalah integratif, yaitu sebagai nilai-nilai yang memberi identitas dan mempersatukan seluruh komponen bangsa. Kedua adalah motivatif, yaitu mendorong dan memberi semangat dan arah bagi perkembangan dinamika politik, ekonomi dan sosial. Ketiga adalah inspiratif, yaitu menjadi sumber inspirasi dalam menjawab tantangan dan menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa.

Saat ini yang diperlukan adalah bagaimana melaksanakan Pancasila. Pembahasan memang diperlukan tapi orientasinya tetap pada pelaksanaan. Sebab pembahasan tanpa pelaksanaan sama saja kita menjadi “Tuna Pancasila”.  Usaha Kompas dalam edisi 27 Mei 2011 yang dalam bagian Fokus mengedepankan topik “Membumikan Pancasila”, adalah salah satu contoh nyata bagaimana media massa dapat berperan dalam pelaksanaan Pancasila. PDI Perjuangan juga terus mendorong agenda-agenda yang berfokus pada pelaksanaan Pancasila, seperti usaha kami untuk mendorong RUU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) karena RUU ini adalah perwujudan dari sila ke-lima yaitu “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.

Sila ke-lima ini juga menjadi sebuah pernyataan bahwa Pancasila memang untuk semua. Bukan hanya bagi daerah, suku, dan kelompok tertentu tapi bagi seluruh rakyat Indonesia. Ingat bahwa Pancasila digali dari bumi pertiwi Indonesia. Para pemimpin Negara ini telah menyatakan kembali bahwa Pancasila adalah faktor pengikat untuk Bangsa Indonesia. Jadi sekarang kita tinggal melaksanakannya.

Pelaksanaan Pancasila ini penting bukan hanya supaya kita tidak menjadi “Tuna Pancasila” tapi juga supaya rakyat Indonesia merasakan manfaat dari Pancasila. Makin dilaksanakan dengan benar maka manfaat Pancasila makin dirasakan oleh rakyat. Makin rakyat merasakan manfaat Pancasila maka makin kukuh posisi Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia yang integratif, motivatif dan inspiratif.

Aspek pelaksanaan sebenarnya sudah terkandung dalam Pancasila. Ingat bahwa dalam pidato 1 Juni 1945 Bung Karno menyebutkan bahwa bila Pancasila diperas menjadi Eka Sila, atau satu sila, maka itu adalah gotong royong. Karena Negara Indonesia adalah Negara gotong royong. Faham gotong royong sendiri adalah faham yang aktif dan menggambarkan sebuah pekerjaan. Jadi kita perlu secara bergotong royong melaksanakan Pancasila dan bukannya sendiri-sendiri. Sejarah sudah membuktikan bahwa perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri pasti gagal.

Sayangnya masih ada kelompok yang masih mau berjuang sendiri dan melawan fakta sejarah. Untuk menghadapi mereka memang kita harus tegas tapi kita jangan sampai membuat mereka menjauh. Bila kita bisa menunjukkan kepada mereka manfaat yang dihasilkan dari melaksanakan Pancasila maka mereka akan yakin dengan Pancasila. Apa yang kita perjuangkan dengan Pancasila bukan pemaksaan tapi pemersatuan untuk menjawab tantangan bangsa dengan perilaku laksana Pancasila yaitu gotong royong.

Sudah saatnya Pancasila dilaksanakan dengan perilaku kita yang laksana Pancasila, serta jelas dan nyata.

Puan Maharani
Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Politik & Hubungan Antar Lembaga; Anggota DPR-RI Fraksi PDI Perjuangan Komisi VI
*) Disampaikan di acara Sarasehan Budaya Fraksi PKS “Pancasila Sebagai Modal Sosial Bangsa dan Konsensus Nasional dalam NKRI”, tanggal 15 Juni 2011 di Jakarta
 
H-25 Nasib RUU BPJS: Pemerintah Masih Plin-Plan
Kamis, 09 Juni 2011 15:49   
Rapat 6 Juni 2011, juru bicara Pemerintah :  Nur Haida ( Ketua Badan Pengawas Pasar Modal)
Ketua Panja DPR RI : Ferdiansyah (F-Partai Golkar).
Kesepakatan rapat kerja Panja DPR RI dengan Pemerintah :
1. BPJS bersifat nirlaba, bukan berbentuk BUMN, tidak di bawah Menteri Keuangan.
2. Jumlah BPJS dua (2), dengan catatan menunggu hasil simulasi transformasi oleh Pemerintah.
Catatan kritis:
Rapat tanggal 06 Juni 2011, di Hotel Intercontinental Jakarta, hanya menghasilkan dua kesepakatan di atas. Sisanya pemerintah masih bersikeras dengan konsep awal. Diantaranya :
1. Bab Kepesertaan dan Iuran dihilangkan.
Alasan pemerintah :  Sudah diatur di UU SJSN dan tidak diperlukan diatur dalam bentuk UU tetapi hanya diatur di peraturan pelaksana.
Alasan RDP : Kepesertaan dan Iuran menjadi kunci dari BPJS. BPJS kelak akan mengatur kedua hal tersebut. Jika dihapuskan maka tidak akan jelas apa yang menjadi tugas dan kewajiban BPJS terhadap peserta (dalam hal ini seluruh rakyat ). Dengan dihilangkannya bab tersebut, maka pemerintah juga menghilangkan Bab Hak dan Kewajiban, termasuk menghilangkan definisi Penerima Bantuan Iuran (masyarakat miskin dan tidak mampu).
2. Pemerintah “membatalkan kembali” beberapa definisi, berarti melanggar kesepakatan tanggal 30 Mei 2011 :
 Dana Amanat.
 Bantuan Iuran.
 Dewan Jaminan Sosial Nasional.
3. Pemerintah mengatakan mengenai sembilan (9) prinsip SJSN untuk dipilah kembali, tidak semuanya diterima menjadi prinsip BPJS. Hal ini melanggar kesepakatan pada tanggal 25 Mei 2011, yang disepakati langsung oleh Menteri Keuangan sebagai Koordinator Pemerintah.
Salah satu yang ingin “dihilangkan” dari prinsip BPJS adalah prinsip gotong –royong. Prinsip ini tidak mungkin dihilangkan, karena gotong-royong adalah roh dari SJSN yang penyelenggaranya adalah BPJS.  Prinsip gotong-royong tersebut mencerminkan solidaritas sosial yang harus menjadi spirit dari BPJS. Agar BPJS menyadari bahwa dana yang dikelola adalah dana gotong-royong seluruh rakyat yang disebut Dana Amanat.  Jika prinsip ini dihilangkan, maka ini sebetulnya menjawab argumen Pemerintah kenapa Definisi Dana Amanat dihilangkan. Dengan demikian, maka BPJS bukan badan yang mengelola asuransi sosial tetapi badan yang mengelola “asuransi swasta”.  Hal ini tidak hanya bertentangan dengan UU SJSN, tapi juga melanggar amanat konstitusi.
Melihat kondisi kronologis di atas, saya menilai:
1. Pemerintah buying time. Mengulur-ulur waktu, agar pembahasan tidak berjalan.
2. Pemerintah “MAIN-MAIN” dengan nasib rakyat. BPJS jadi syarat mutlak terimplementasinya SJSN. Jika pemerintah “mengganjal” RUU BPJS,  maka tidak akan ada BPJS, artinya tidak akan ada SJSN, artinya tidak akan ada lima (5) jaminan dasar yang harus diterima seluruh rakyat (Jaminan Kesehatan,  Jaminan Kecelakaan Kerja,  Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, Jaminan Kematian).
Rekomendasi Politik:
1. Mengajak seluruh anggota Pansus dan atau Panja RUU BPJS untuk berjuang menghasilkan UU BPJS yang melindungi rakyat, bukan BPJS yang ‘memeras’ rakyat’.
2. Mengajak seluruh anggota Pansus dan atau Panja RUU BPJS untuk tetap amanah dan memegang janji sumpah jabatan untuk bekerja demi kepentingan rakyat, bukan atas pertimbangan politik transaksional.
3. Mendesak pemerintah untuk tidak plin-plan, tidak main-main dengan RUU BPJS. Pemerintah seharusnya tidak menggonta-ganti delegasi yang ditunjuk utk membahas RUU BPJS dengan DPR. Hal ini sangat mengganggu sekaligus menghambat jalannya rapat, karena argumen dan kesepakatan kemudian berubah pula.
4. Mengajak seluruh elemen masyarakat, termasuk rekan-rekan media, untuk memantau kinerja Pansus dan Panja DPR RI dalam pembahasan RUU BPJS.
5. Mengajak seluruh elemen masyarakat untuk berada dalam satu barisan perjuangan mendesak pemerintah untuk bersama DPR segera SAHKAN RUU BPJS dan JALANKAN SJSN.
Terima kasih kepada seluruh rakyat untuk doa dan dukungan dalam bentuk apapun terhadap Pansus dan Panja DPR RI untuk RUU BPJS. Terima kasih untuk anggota Pansus dan atau Panja RUU BPJS untuk tetap amanah dan memegang janji sumpah jabatan untuk bekerja demi kepentingan rakyat, bukan atas pertimbangan politik transaksional.
Demikian pernyataan ini saya buat, demi kehidupan berbangsa yang lebih beradab.
TIDAK ADA KEADILAN SOSIAL TANPA SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL!!!
Jakarta, 7 juni 2011

Rieke Diah Pitaloka
KRONOLOGIS RUU BPJS
25 Mei 2011
Juru bicara Pemerintah :  Agus Martowardoyo ( Menteri Keuangan).
Ketua Pansus DPR RI : Ahmad Nizar Shihab (F- Demokrat).
Kesepakatan rapat kerja Pansus DPR RI dengan Pemerintah:
1. Bahwa  UU SJSN yang menjadi acuan pembahasan RUU BPJS adalah UU No 40 tahun 2004 tentang SJSN.
2. Akan dilakukan transformasi menyeluruh program kepersertaan, asset dan lembaga terhadap empat (4) BUMN yang ada ( Jamsostek, Askes, Taspen dan ASABRI)
3. Pansus RUU BPJS telah membentuk Panja RUU BPJS.
30 Mei 2011
Juru bicara Pemerintah :  Mulyana Nasution (Sekjen Kementerian Keuangan)
Ketua Panja DPR RI : Ferdiansyah (F-Partai Golkar).
Kesepakatan rapat kerja Panja DPR RI dengan Pemerintah :
1. Hal-hal krusial yang perlu mendapatkan persamaan persepsi  (7 ) :
a. Definisi tentang BPJS
b. Jumlah BPJS
c. Badan hukum BPJS
d. Organ/struktur BPJS
e. Masa Peralihan
f. Kepesertaan dan Iuran
g. Sanksi
2. Definisi BPJS, sesuai draft DPR (DIM 11), yang berbunyi :
Pasal 1
Dalam UU ini yang dimaksud dengan:
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang selanjutnya disingkat BPJS, adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.
Catatan : Dengan disepakatinya DIM 11, berarti DIM 12 – 22 terkait Definisi disepakati sesuai konsep DPR.
3. Mengenai badan hukum (DIM 47) disepakati rumusan:
“ BPJS merupakan badan hukum publik berdasarkan UU ini”
Dengan catatan : BPJS menyelenggarakan SJSN berdasarkan sembilan (9) prinsip pada
pasal 4 UU SJSN.
Mengenai  bab kepesertaan dan iuran, Pemerintah tidak sepakat dengan DPR RI, bersikeras untuk tetap menghilangkan dari RUU BPJS.
Jadwal rapat berikutnya di Hotel Intercontinental Jakarta (BALLROOM A Ground Floor)
1. 07 Juni 2011 pukul 13.00  - selesai.
2. 08 Juni 2011. Waktu menyusul.
 
Menuju Kemandirian Energi Nasional*
Jumat, 03 Juni 2011 15:45   
Assalamualaikum Wr.Wb.
Merdeka!!!

Saya ucapkan terimakasih atas kehadirannya pada pagi hari ini di acara Seminar Energi Nasional yang diadakan Fraksi PDI Perjuangan.

Bisa saya laporkan kepada Ketua Umum PDI Perjuangan Ibu Megawati Soekarnoputri bahwa acara Seminar Energi Nasional dengan tema “Menuju Kemandirian Energi Nasional” sudah siap untuk dilaksanakan.
Bapak Ibu yang saya hormati,

Ijinkan saya mengutip pepatah “ibarat ayam kelaparan di lumbung padi”, karena itulah keadaan Indonesia bila kita bicara tentang pasokan energi. Dari dulu hingga sekarang kita dikenal sebagai Negara yang kaya akan sumber daya energi. Tapi saya yakin banyak dari kita di sini, dan di seluruh Indonesia, sering mengeluh tentang seringnya mati lampu. Bahkan di beberapa daerah, listrik saja belum tersedia.

Kita bangga dengan cadangan minyak bumi Ibu Pertiwi namun harga BBM makin tidak terjangkau oleh masyarakat. Padahal sejak dekade 1970-an hingga 2006, Indonesia masih tergabung dalam kelompok Negara peng-ekspor minyak bumi. Sayangnya kita saat ini makin bergantung pada impor minyak mentah dan bahan bakar minyak. Produksi minyak mentah Indonesia makin menurun sementara kebutuhan makin meningkat. Ini tentu mengkhawatirkan bagi sebuah Negara, yang 51,66 persen kebutuhan energinya dipasok oleh minyak bumi. Apa memang wajar ‘rakyat negeri minyak sulit mendapatkan minyak’?
Hadirin sekalian,

Pertumbuhan ekonomi negeri ini sangat bergantung kepada ketersediaan energi yang idealnya memenuhi tiga hal. Pertama, jaminan pasokan setiap waktu. Kedua, harga yang terjangkau. Dan Ketiga, mudah diperoleh. Namun seperti disebutkan di awal, pasokan listrik tidak stabil, harga BBM makin tidak terjangkau dan kita masih sering mendengar tentang antrian panjang untuk membeli BBM. Sungguh ironis.

Banyak daerah yang menderita kelangkaan pasokan listrik adalah daerah penghasil sumber-sumber energi untuk menghasilkan listrik. Warga daerah-daerah kaya energi di luar Jawa tersebut hanya bisa menahan amarah menyaksikan kekayaan alam mereka terus dikeruk dan dikuras, lalu dialirkan ke Jawa, dengan alasan menjaga “stabilitas nasional”. Ternyata, daya tahan kelistrikan di Jawa akhirnya pun bobol. Kini, Jawa harus menghadapi ancaman krisis listrik yang sangat serius dan boleh jadi yang terburuk sepanjang sejarah kelistrikan nasional. Di Jakarta, ibukota Negara dan wajah Indonesia di dunia internasional, pemadaman-pemadaman listrik pun terjadi. Dan berulang kali diutarakan alasan klise jadwal perawatan rutin fasilitas pembangkit listrik. Tak jarang, hambatan pasokan sumber energi menjadi kambing hitam dari permasalahan ini. Jadi kita selalu dengar alasan, alasan, dan alasan. Padahal yang kita butuhkan adalah penyelesaian, penyelesaian, dan penyelesaian.

Peserta seminar yang saya hormati,
Saya berharap seminar ini tidak hanya menjadi diskusi belaka tapi sebuah rembug nasional dan hasilnya bisa mewarnai Kebijakan Energi Nasional. Diskusi memang penting dan diperlukan namun hasil dan perubahan untuk sesuatu yang lebih baik adalah sama pentingnya.

Pernahkah Anda berpikir bila kita ingin mengubah hasil akhirnya maka kita kadangkala harus mengubah awal prosesnya? Dari usaha saya dan teman-teman di PDI Perjuangan mencari solusi atas masalah-masalah energi Negara ini, sampailah kami pada satu titik kesimpulan. Bahwa ini terkait dengan mindset atau prinsip dasar berpikir. Ya, kami dan saya pribadi percaya bahwa guna menyelesaikan masalah energi di Indonesia, harus ada perombakan mindset dalam pengelolaan energi di negeri ini. Sebab “kekacauan mindset pengelolaan energi” menyebabkan rakyat Indonesia tidak dapat menikmati hasil bumi dari tanah air-nya sendiri.

Sekarang ini pengelolaan energi kita tidak berbasis pada pemenuhan kebutuhan energi bagi rakyat, melainkan berbasis pada tingkat penerimaan negara. Bahkan sejumlah badan usaha milik negara bidang energi pun lebih berorientasi laba, bukan pada ketahanan energi.

Ada beberapa orang mengatakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3 sudah terlalu sering diutarakan sehingga orang sudah jenuh. Tetapi saya tidak akan pernah bosan mengingatkan orang tentang Pasal 33 ayat 3 karena inilah yang seharusnya menjadi kenyataan hidup di Indonesia.

Malangnya apa yang kita hadapi sekarang adalah kenyataan yang berbeda. Posisi tawar Pemerintah Indonesia yang lemah di mata perusahaan-perusahaan migas asing melahirkan peluang bagi munculnya kebijakan tata alokasi dan tata distribusi migas Indonesia, yang justru merugikan rakyat.

Memang, bagaimanapun, kekayaan alam negeri ini harus dieksplorasi dan diekstraksi. Tapi oleh siapa dan untuk siapa? Sungguh sedih melihat Negara kita ini berada dalam situasi harus membeli minyak yang dikeruk dari bumi kita sendiri. Jadi kita membeli minyak tapi melepas kedaulatan energi.

Saudara Saudari yang saya kasihi,
Sudah saatnya kita katakan “untuk rakyat Indonesia dulu, baru yang lain”. Mari, saya ajak para ahli perminyakan, pertambangan, kelistrikan, dan semua ahli yang berkaitan dengan kemandirian energi nasional untuk bergotong royong mengembalikan kedaulatan energi nasional ke tangan rakyat. Mari secara bergotong-royong kita rumuskan kembali Politik Energi Nasional berlandaskan semangat nasionalisme tulen.

Ajakan menuju Kemandirian Energi Nasional bukanlah retorika politik melainkan sebuah ajakan untuk menjadikan Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sebuah kenyataan.

Mari kita segera lakukan pemetaan neraca energi nasional secara jelas, yang bisa menggambarkan perbandingan antara pasokan energi nasional dan kebutuhan energi nasional.  Dari neraca energi nasional yang dirumuskan secara jujur inilah kita akan bisa merumuskan kebijakan energi nasional secara benar. Dari neraca tersebut pula, kita bisa menghitung berapa sebenarnya kebutuhan impor atau ekspor energi yang harus ditempuh.
Saya juga mengajak kepada seluruh Pejabat Negara dan seluruh stakeholders untuk segera melakukan penyempurnaan “pengelolaan energi”, yang mampu untuk menjawab ketidakseimbangan pasokan dan permintaan sumber daya energi nasional.

Bagi kami, Fraksi PDI Perjuangan, “pengelolaan energi nasional” harus mampu mewujudkan dua hal, yakni:  Pertama, mampu meningkatkan nilai tambah sumber-sumber daya energi nasional yang masih belum dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan sumber energi dan bahan baku industri di dalam negeri; dan Kedua, menjaga keseimbangan neraca ekspor-impor sumber daya energi melalui diversifikasi penggunaan bahan baku energi selain minyak bumi.

Saudara Saudari yang saya kasihi,
Setelah ini kita akan mendengar pidato dari Ibu Megawati Soekarnoputri mengenai pemikiran beliau tentang pengelolaan energi di Indonesia. Saya percaya banyak hal yang dapat kita pelajari dan perlu kita serap dari pidato beliau. Tinggal kemudian bagaimana nanti kita akan menerapkannya.

Mari kita memanjatkan harapan ke hadirat Tuhan YME, semoga Ia membimbing hati kita semua yang hadir dalam seminar ini agar seluruh energi dan daya pikir yang ada diarahkan kepada perjuangan nyata MENUJU KEMANDIRIAN ENERGI NASIONAL.

Wassalamualaikum Wr. Wb.
Merdeka!!!
Puan Maharani
Ketua DPP PDI Perjuangan bidang Politik dan Hubungan antar Lembaga
*Pidato Pembukaan Seminar Energi Nasional di Jakarta, 31 Mei 2011

GAYO Nusantara.