Search This Blog

Wednesday, May 1, 2013

AMANAT 1 JUNI IBU MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

AMANAT 1 JUNI IBU MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air.

Pada 1 Juni 1945 Bung Karno mengumandangkan sebuah pidato maha penting di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pidato yang kemudian dirumuskan dalam alinea 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan nilai-nilai Pancasila yang digali Bung Karno dari persada Indonesia.

Pidato ini maha penting bagi kita sebagai bangsa karena dua alasan mendasar:

pertama, Pancasila telah menjadi norma fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, serta hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Dasar yang diperlukan sebagai syarat agar kita bisa mengklaim diri sebagai sebuah negara merdeka.

Dalam kedudukan yang demikian, Pancasila telah menjadi roh yang membimbing arah perjuangan mencapai Indonesia yang merdeka dan berdaulat penuh. Tapi lebih dari itu, Pancasila telah menjadi bintang penuntun bagi bangsa ini dalam mengarungi masa depan yang masih jauh membentang di hadapan berlapis-lapis generasi yang akan datang.

Kedua, Pancasila sekaligus telah berfungsi sebagai alat efektif yang mempertautkan bangsa yang bhinneka ini ke dalam keikaan yang kokoh. Pancasila telah menjadi magnet yang memberikan alasan bagi kita untuk menerima kemajemukan sebagai anugrah. Sebuah fungsi instrumentalistik yang efektif dalam menghindarkan bangsa ini dari kemungkinan terjadi sengketa ideologis berkepanjangan yang bagi cukup banyak bangsa baru telah memakan korban anak-anaknya sendiri.

Namun dalam beberapa dekade usaha mengisi kemerdekaan kita menyaksikan, di satu sisi Pancasila telah dipisahkan keterkaitannya dengan penggalinya, dikaburkan pengertian-pengertiannya, diselewengkan, dan akhirnya secara perlahan-lahan ditinggalkan dalam prakteknya. Di sisi lain, keteguhan kita sebagai kekuatan Pancasilais dalam memperjuangkan Pancasila agar menjadi ideologi yang hidup, mengalami perapuhan.

Untuk itu saudara-saudara, dalam rangka memperingati hari lahirnya Pancasila saya amanatkan kepada semua pejuang-pejuang Pancasilais:

Pertama, satukan hati, pikiran, ucapan dan tindakanmu ke dalam satu tarikan nafas perjuangan mewujudkan Pancasila. Jangan pernah biarkan tindakanmu mengkhianati ucapanmu. Jangan pernah biarkan ucapanmu mengkhianati pikiranmu. Dan jangan pernah biarkan pikiranmu mengkhianati hati nuranimu. Di dalam kesatuan dan keteguhan hati, pikiran, ucapan dan tindakanmu Pancasila akan menampakan kewibawaaannya.

Kedua, jadikanlah gotong royong sebagai intisari Pancasila menjadi cara pikirmu, menjadi cara tuturmu, dan menjadi cara kerjamu dimanapun dan kapanpun. Jangan pernah lelah untuk berpikir dan bertindak secara gotong royong. Hanya dengan cara itu, Pancasila akan menjadi ideologi dinamis yang hidup dan berdialektika di tengah-tengah bangsa yang bhineka ini.



Ketiga, sebagai bangsa yang sedang menjadi – a nation in the making – ingatlah akan pesan Bung Karno, “Jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman – janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan...”.

Karenanya, berjuang, berjuang dan sekali lagi berjuang di jalan ideologi Pancasila 1 Juni 1945 harus menjadi elan hidup setiap pejuang pancasilais. Hanya dengan cara itu, kita dapat mencapai tujuan masyarakat adil dan makmur sesuai cita-cita didirikannya Negara Proklamasi 17 Agustus 1945.

Terima kasih.

Merdeka!




Jakarta, 1 Juni 2010


ttd


MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
 
Pidato Pembukaan Kongres III PDI Perjuangan, Bali, April 2010
Rabu, 12 Januari 2011 11:56   
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Salam Sejahtera bagi kita semua
Om Swastiastu

Sebelumnya, marilah kita lebih dahulu bersama-sama memekikkan salam perjuangan kita,
Merdeka!!!

Saudara-saudara Utusan Kongres III PDI Perjuangan, tamu undangan, dan segenap bangsa Indonesia yang saya hormati, cintai dan banggakan,
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan hidayahnya yang telah menjaga dan mengantarkan kita kembali ke Bali, tempat dimana kesejarahan PDI Perjuangan ditoreh, dan sekaligus tempat dimana spirit ‘merah’ tetap terjaga.

Kongres PDI Perjuangan III ini diselimuti oleh rasa bela sungkawa mendalam dimana dua tokoh bangsa telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa: yaitu bapak K.H. Abdur Rahman Wahid yang akrab disapa oleh mereka, Gus Dur serta yaitu seorang kader nasionalis yang hidup di tiga zaman yaitu Bapak Frans Seda. Beberapa waktu lalu kita juga kehilangan seorang tokoh PDI Perjuangan yaitu Bapak Subagyo Anam yang hingga akhir hayat terus memberikan sumbangsih bagi Partai. Saya mengajak warga kita semua untuk mendoakan, dan lebih lagi meneladani pikiran dan tindakan mereka dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Secara khusus saya juga ingin mengucapkan selamat kepada KH Sahal Mahfudz dan KH Said Agil Siraj yang telah terpilih sebagai Rais Aam dan Ketua Tandfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Muktamar ke-32 NU di Makassar beberapa waktu lalu. Saya berkeyakinan, di tangan beliau-beliau ini berdua peran sentral Nahdlatul Ulama sebagai pengawal ke-bhinneka-an Indonesia akan terus dan dapat terjaga.

Saudara-saudara utusan peserta Kongres III,
Hari ini kita berkongres bukan sekadar untuk memenuhi kalender 5 tahunan partai, bukan pula sekadar untuk memilih ketua umum atau membagi-bagikan posisi. Tetapi untuk menyalakan kembali suluh perjuangan dan menyatukan diri dalam lengan-lengan perjuangan untuk membangun jiwa dan raga Indonesia merdeka. Mengapa hal ini saya katakan Saudara-saudara? Karena Kongres kali ini dilaksanakan di tengah ingar-bingar politik nasional. Ingar bingar yang sedang menguji apakah jalan demokrasi yang kini kita jalani mampu mengantarkan ke kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik atau justru menjerumuskan kita pada suatu kekelaman sejarah bagi suatua bangsa.

Saudara-saudara,
Sebagai partai kita boleh berbangga karena di tengah-tengah  ingar-bingar politik nasional, konsolidasi internal tetap berjalan baik. Pelaksanaan konsolidasi Partai yang telah dipandu oleh SK 435 telah mengantarkan utusan-utusan kita ke Kongres III ini.
Harapan saya, pasca Kongres III, energi partai tidak lagi terserap hanya untuk konsolidasi internal. Pembentukan PAC, Ranting, dan Anak Ranting harus bisa diselesaikan tanpa proses yang berlarut-larut. Kita mesti menyediakan lebih besar lagi energi untuk bekerja, bekerja, dan bekerja bersama rakyat.

Saudara-saudara para kader Partai yang saya cintai dan banggakan,
Sebagai kekuatan politik PDI Perjuangan sedang dihadapkan pada suatu ujian sejarah yang tidak mudah. Kita disodorkan pada suatu pilihan pragmatis antara koalisi dan oposisi. Saya sungguh berduka karena politik telah direduksi tidak lebih dari sekadar urusan perebutan dan pembagian kekuasaan antar kekuatan politik, antar elit politik. Saya berduka karena pemahaman di atas meninggalkan inti etis dan ideologis dari politik sebagai suatu seni dan sarana kebudayaan rakyat untuk mewujudkan suatu kedaulatan politik, keberdikarian ekonomi, dan jati-diri kebudayaan kita sebagai bangsa merdeka.

Dalam kesempatan ini saya perlu tegaskan bahwa cita-cita yang melekat dalam sejarah Partai kita jauh lebih besar dari sekadar urusan kursi di parlemen, atau sejumlah menteri, ataupun juga sampai melangkah ke istana merdeka, saudara-saudara. Kita diajarkan dan ditakdirkan oleh sejarah bahwa perjuangan mengangkat harkat-martabat wong cilik seperti yang dilakukan Bung Karno adalah lebih utama dari urusan bagi-bagi kekuasaan. Saya ingin tegaskan bahwa dalam dialektika dengan rakyat tugas sejarah setiap kader akan dinilai dan tugas sejarah dari partai akan ditimbang. Saya berkeyakinan, dalam kegotong-royongan dan permusyawaratan dengan rakyat, masa depan PDI Perjuangan akan menemukan kembali puncak keemasannya. Karenanya, karenanya saudara-saudara sebagai kader, kita harus berbangga bukan ketika kita bersekutu dengan kekuasaan, tapi ketika kita bersama-sama menangis dan bersama-sama tertawa dengan rakyat, saudara-saudara.

Sebagai partai ideologis posisi kita sangat jelas: kita tidak akan pernah menjadi bagian dari kekuasaan yang tidak berpihak pada wong cilik. Apalagi dari sudut ketata-negaraan yang kita anut, diskursus mengenai oposisi-koalisi tidak punya pondasi untuk diperdebatkan. Kita tidak perlu terjebak dalam diskursus semacam ini.

Penegasan di atas tidak berarti PDI Perjuangan anti kekuasaan. Tetapi ini untuk menegaskan bahwa jika kita harus memegang tampuk pemerintahan, biarkan itu terjadi karena kehendak rakyat, saudara-saudara. Dan sebaliknya, jika rakyat menghendaki kita menjadi kekuatan penyeimbang agar prinsip checks and balances bisa berjalan, biarkan pula itu atas kehendak rakyat yang kita cintai, saudara-saudara.

Sebagai kekuatan pengontrol dan penyeimbang, kita bukan saja diwajibkan untuk mengkritik. Tapi juga untuk mengajukan berbagai alternatif kebijakan. Bagi kepentingan bangsa ini, hal ini sangat strategis karena akan tersedia pilihan-pilihan yang semakin beragam bagi masyarakat  sendiri untuk memilih.

Saudara-saudara utusan kongres yang saya cintai,
Posisi di atas adalah wujud tanggung-jawab kita sebagai kekuatan politik; tanggung-jawab kita untuk menjaga agar demokrasi yang sehat dapat tetap bekerja dengan sebaik-baiknya. Tanggung-jawab untuk memberikan pendidikan politik bahwa moral politik yang paling sederhana yang dituntut dari seorang pemimpin yang betul-betul revolusioner adalah satunya kata dengan perbuatan, satunya mulut dengan tindakan. Posisi di atas sekaligus adalah wujud penghormatan kita pada pilihan rakyat. Saya sangat berharap, agar pilihan PDI Perjuangan ini bisa dihormati oleh semua pihak.
Rakyat memilih ketika pemilu, karena visi dan misi. Karenanya, menurut saya adalah suatu hal yang aneh, kalau yang namanya saya itu kok terus menerus disuruh bergabung, saya punya misi dan visi sendiri bagi rakyat ini

Saudara-saudara sekalian,
Jika kita mau sedikit merenung, maka kita pasti akan sampai pada keyakinan bahwa kegagalan kita dalam memaknai garis sejarah sebagaimana saya sampaikan di atas merupakan inti sebab dari ditinggalkannya PDI Perjuangan dalam dua pemilu yang lalu. Kemerosotan suara, ingat! adalah teguran rakyat agar kita kembali ke takdir sebagai sarana dan wadah perjuangan rakyat. Saudara-saudara-ku, ingatlah akan hal ini: rakyat tidak akan pernah ragu-ragu untuk kembali menegur dengan cara lebih keras di tahun 2014 nanti, jika kita gagal kembali ke jalan ideologis kita.
Sudah saatnya kita menyadari untuk kemudian bangkit membenahi segala kekurangan dan kelengahan kita selama ini. Sudah saatnya kita menata ulang seluruh perangkat perjuangan untuk kemudian menatap dengan penuh optimisme bahwa partai ini adalah partainya wong cilik dan dipersembahkan bagi mereka. Sudah saatnya PDI Perjuangan kembali aktif dalam membangun solidaritas horizontal bersama rakyat untuk membuat lompatan kualitatif. Sudah saatnya PDI Perjuangan kembali menjadi kekuatan yang merajut keaneka-ragaman kita ke dalam satu kesatuan tekad, satu kesatuan jiwa, dan satu kesatuan gerak.
Saya mengajak setiap warga partai dimanapun mereka berada mari kita jadikan lima tahun kemarin sebagai pelajaran berharga, dan kita jadikan lima tahun ke depan sebagai tahun-tahun PERUBAHAN & KEBANGKITAN KEMBALI, saudara-saudara.
Ini mengingatkan saya, pada tahun tahun sulit yang pernah dilewati oleh Bung Karno, dan hingga hari ini masih terngiang di telinga saya, kata-kata Beliau:  “Majulah terus, jangan mundur, mundur-hancur, mandeg ambleg; bongkar, maju terus, kita tak bisa dan tak boleh berbalik lagi. Kita telah mencapai suatu point of no return !!!”, saudara-saudara.
Untuk itu, kita tidak punya pilihan lain kecuali kembali ke jati diri sebagai partai yang mempunyai ideologis.

Saudara-saudara,
Menjadi partai ideologis bukanlah suatu pilihan yang mudah. Perkembangan sepuluh tahun terakhir ini menunjukkan besarnya tantangan yang harus kita jawab. Kita dihadapkan pada rendahnya kecakapan dan tidak tersedianya media bagi partai dalam mengelola opini dan membangun komunikasi. Kita bahkan belum memiliki sistem data base yang handal sebagai dasar pengambilan keputusan.

Kita dihadapkan pada keterbatasan sumber pembiayaan di tengah-tengah kebutuhan anggaran pengelolaan partai yang semakin besar. Kita dihadapkan pada kelangkaan kepemimpinan baik secara kualitas maupun kuantitas. Pengaturan kelembagaan partai kita masih terpusat pada satu tiang penyanggah, yakni organisasi partai dari DPP hingga anak ranting saja. Kita membiarkan tangan-tangan partai yang mengelola kekuasaan dan pemerintahan tidak diatur dalam AD/ART partai. Ini menimbulkan kesulitan dalam membangun koordinasi dan sinergi lintas pilar penyangga partai. Kita akhirnya harus berhadapan dengan kenyataan, meluasnya kecenderungan fraksi berjalan sendiri-sendiri atau sebaliknya kegagalan struktural partai dalam memberikan arahan bagi fraksi dan dalam membangun komunikasi dan sinergitas dengan kepala daerah.

Kita dihadapkan pada persoalan kaderisasi dan penataan jenjang karier yang belum terlembaga dengan baik. Kita juga dihadapkan pada belum terlembaganya sistem dan mekanisme rekrutmen yang membuat proses regenerasi berjalan lamban dan kesulitan mendatangkan tunas-tunas harapan bangsa yang dipersiapkan untuk menjadi calon pemimpin partai dan bangsa ke depan.

Regenerasi memang tidak secepat yang kita harapkan. Tetapi kita jangan salah kaprah seakan proses regenerasi tidak terjadi. Cobalah tengoklah ke daerah-daerah, cukup banyak tunas-tunas baru yang tumbuh. Tengoklah di parlemen kita, semakin banyak generasi muda berkiprah. Merekalah yang telah siap menyatakan diri memimpin bukan saja PDI Perjuangan, tetapi  juga  menjadi pemimpin bangsa yang di masa datang yang saya yakin tidak terlalu lama lagi.  Saudara-saudara.
Melihat semua ini saya sering merenung dan berkata pada diri saya sambil menertawakan diri saya; “Bagaimana Saya bisa belajar pada suatu partai yang dalam waktu begitu cepat bisa naik sampai 300%.”

Saudara-saudara,
Saya ingin belajar kiatnya karena PDI Perjuangan juga berkeinginan seperti itu saudara-saudara.
PDI Perjuangan juga dihadapkan pada rendahnya disiplin warga partai sebagai salah satu tulang punggung tegaknya partai ideologis. Kita dihadapkan pada kemerosotan militansi anggota. Voluntarisme dan aktivisme memudar sebagai elan berpolitik digantikan dengan pertimbangan “untung-rugi”. Ditinggalkannya TPS oleh saksi Partai pada pemilu legislatif dan pilpres adalah suatu contoh kecil, saudara-saudara.

Dari sisi eksternal, tantangan bagi PDI Perjuangan untuk kembali ke jalan ideologis juga tidak ringan.
PDI Perjuangan harus bekerja dalam situasi psiko-politik “anti-partai” dan “anti-ideologi”. PDI Perjuangan harus bekerja dalam suatu masyarakat yang semakin pragmatis, transaksional, dan berpikir instant untuk kepentingan individual berjangka pendek. Kita harus bekerja dalam situasi dimana sebagian pihak menganggap bahwa menduduki jabatan publik melalui jalan partai adalah jalan baru bagi keamanan ekonomi. Partai bukan lagi sebagai alat ideologi, alat perjuangan tapi alat akumulasi ekonomi. Partai menjadi sarana transportasi cepat untuk keuntungan ekonomi individual, bukan lagi sarana untuk mewujudkan kepentingan rakyat, saudara-saudara.
Kita juga harus bekerja di dalam situasi ”citra” menjadi daya tarik baru yang jauh lebih kuat ketimbang ideologi. Kita harus berhadapan dengan sebuah rezim politik yang cenderung menggunakan metode menghalalkan cara dalam mencapai tujuan politiknya sebagaimana digambarkan oleh kekacauan luar biasa pada pemilu legislatif dan presiden yang baru lalu.
Saya banyak keliling ke daerah-daerah saudara-saudara, saya bukanlah orang yang hanya menunjuk jari, di daerah-daerah saya melihat bagaimana banyak orang tidak diberi kesempatan untuk bisa ikut memilih.
Menjadi kader-kader yang menempatkan keutamaan keuntungan diri sendiri ketimbang bagi rakyat. Kesemua tantangan di atas, baik internal maupun eksternal perlu disikapi oleh Kongres III kali ini. Hanya dengan cara itu, partai bisa melangkah dengan lebih meyakinkan lagi. Tetapi saya perlu garis-bawahi, Kongres bukan saja perlu menegaskan kembali Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi partai yang bersifat final. Tetapi juga harus mengembangkan instrumen agar Pancasila dapat bekerja dalam partai, dapat menjiwai keseluruhan program dan sikap Partai, serta dapat menjadi karakter politisi partai.
Saya ingin mengucapkan terimakasih yang setinggi-tinggi pada Pimpinan MPR yang telah dengan sekuat tenaga mendorong pemerintah untuk menetapkan 1 Juni, Pancasila  1 Juni 1945 untuk bisa disosialisasikan bagi seluruh bangsa dan negara, saudara-saudara.

Saya juga perlu menegaskan bahwa kemerosotan suara kita dalam pemilu lalu adalah juga produk dari penyelenggaraan demokrasi yang manipulatif. Pemilu Legislatif dan Presiden 2009 secara terang benderang telah mendemonstrasikan watak manipulatif dari proses berdemokrasi kita. Kita menyaksikan, karut-marutnya Daftar Pemilih Tetap  atau DPT yang telah menghilangkan secara paksa dan sistematis hak politik warga negara. Bahkan lebih lagi, merupakan perampasan secara paksa atas hak konstitusional warga-negara. Kita seharusnya bersedih karena keseluruhan proses Pemilu 2009 yang memakan biaya yang sangat besar justru meninggalkan begitu banyak catatan hitam dalam sejarah politik Indonesia.

Saudara-saudara,
Sebagai Presiden pada tahun 2004, saya telah mencoba dengan susah payah membangun sistem demokrasi yang dikehendaki dalam alam reformasi agar Presiden dan Wakil Presiden dapat dipilih secara langsung oleh rakyat. Pada saat itu, tidak terpikirkan sedikitpun oleh saya untuk menciderai jalannya demokrasi. Karena saya berkeyakinan, rakyat adalah yang berhak untuk mendapatkan kembali kedaulatannya sebagai penentu kehidupan politik, setelah sekian lama dibungkam. Meski saat itu saya dikalahkan tetapi saya berbangga dan berkeyakinan bahwa dalam jangka panjang demokrasi yang telah diletakkan akan menjadi jalan keluar bagi kesejahteraan rakyat serta bagi terpeliharanya kemajemukan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, saudara-saudara. Ternyata keyakinan saya di atas tidak sepenuhnya benar.

Pemilu 2009 menunjukkan, politik kehilangan watak aktivisme dan voluntarismenya. Yang kita saksikan justru politik sebagai melodrama, berpola seperti sinetron yang sarat dengan belas-kasihan dan kepura-puraan. Politik juga menjadi kehilangan ‘keutamaan’ dan ‘moralitas’ karena hampir sepenuhnya hanya dipersembahkan untuk kekuasaan.
Sebagai pilar negara demokrasi, partai berubah fungsi menjadi sekedar “penjual tiket” kekuasaan. Yang terjadi kemudian, hubungan politik antara rakyat dan partai, dan rakyat dan elit menjadi pola hubungan transaksional, hubungan “untung-rugi”. Pola hubungan yang mendewakan hanya “materi”.

Pola hubungan yang mendewakan materi di atas memang tampak menguntungkan hanya untuk jangka pendek, saudara-saudara. Ada hal yang jangan dilupakan, yakni berapa lama hal itu bisa berlangsung sementara tujuan masyarakat adil dan makmur semakin jauh dari kenyataan? Bukankah proses ini hanya akan berakhir dengan kaum papa yang akan semakin papa dan terus termarjinalkan? Itukah yang kita inginkan dan bangsa Indonesia perjuangkan selama ini?
Hal-hal di atas mencemaskan karena moralitas negara demokrasi yang dibangun melalui partai, idealnya dimaksudkan agar pendidikan politik kewarganegaraan dapat diwujudkan. Partai adalah “taman sari” untuk menyiapkan kader-kader pemimpin bangsa dan negara guna mengisi sirkulasi kekuasaan secara damai. Tugas etis partai di atas dalam kenyataannya di-subkontrakkan kepada segelintir konsultan politik yang menghasilkan deretan angka yang menghegemoni masyarakat. Akibatnya,  prinsip dikalahkan oleh citra dan pendidikan politik digantikan dengan indeks kepuasan publik belaka.
Inilah hal-hal yang perlu kita semua renungkan kembali. Apakah realitas seperti ini yang kita kehendaki bagi masa depan Indonesia kita? Realitas dimana survei dan indeks kepuasaan menjadi lembaga dan instrumen baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Realitas dimana citra dikedepankan tetapi di saat yang sama, membiarkan tugas sejarah mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum serta melahirkan Indonesia yang bermartabat, menjadi sekadar pekerjaan seolah-olah.

Akhirnya secara realita hanya kaum berpunya yang bisa memiliki akses ke politik dan membiarkan rakyat kebanyakan sekadar sebagai penonton yang hanya menikmati sekadar keuntungan ribuan rupiah dalam setiap siklus pemilihan umum. Realitas dimana rakyat kehilangan kemandiriannya dalam politik.
Saya sering bertanya-tanya, apa salahnya kalau rakyat ingin mandiri? Apa salahnya kalau ingin mewujudkan rakyat berdikari? Bukankah suatu bangsa yang berdikari harus ditopang oleh rakyat yang dapat berdiri di atas kakinya sendiri, saudara-saudara.

Karena melihat pada hal-hal di atas, kita bukan saja dituntut untuk bergotong-royong dan bermusyawarah dengan rakyat sebagai inti berpolitik PDI Perjuangan, partai kita. Tetapi juga, harus dapat mengorganisir kekuatan rakyat untuk menjaga agar watak manipulatif di atas tidak akan pernah berulang di 2014 nanti. Rakyat perlu sekali lagi diorganisir agar keutamaan dan moralitas kembali menjadi prinsip-prinsip dasar dalam berpolitik. Lebih lanjut rakyat perlu diorganisir agar terbangun kesadarannya untuk melawan citra bahwa bukan sebagai satu-satunya ukuran berpolitik.
Semua di atas harus semua kita tata kembali. Hal ini bukan saja untuk menjamin prinsip-prinsip jujur dan adil langsung umum bebas dan rahasia  bisa ditegakan sehingga kita boleh bertepuk dada sebagai suatu negara demokrasi terbesar nomor 3 di dunia. Tetapi, juga agar kita boleh meletakkan budaya politik baru: menang secara terhormat, kalah secara bermartabat.

Saudara-saudara yang saya cintai,
Penegasan jalan ideologis yang memihak pada rakyat kecil di atas bukan saja penting bagi masa depan PDI Perjuangan. Tetapi sangat fundamental bagi masa depan bangsa ini. Mengapa? Jawabannya sederhana: sebuah bangsa yang tidak dibangun di atas fondasi ideologi, ibarat membangun rumah di atas pasir; terkena angin sedikit sirnalah dia. Ia bukan saja akan terombang-ambing, akan tetapi mudah tersapu oleh zaman. Tanda-tanda zaman yang akan menyapu bangsa ini kini berada di hadapan mata kita: sebagai bangsa kita kehilangan kedaulatan dalam bidang politik, kita kehilangan kemandirian dalam bidang ekonomi, dan kita kehilangan identitas dalam kebudayaan. Inikah Indonesia yang dibayangkan oleh para pejuangan dan Proklamator Bangsa?
Apakah salah jika kita mencita-citakan ingin berdaulat dalam bidang politik? Kemandirian di bidang ekonomi? Identitas budaya kita jelas.
Pengalaman sejumlah negara adidaya akhir-akhir ini menunjukkan sebuah bangsa bukan saja membutuhkan ideologi, tapi ideologi yang didedikasikan bagi mayoritas rakyat. 100 tahun lalu tidak terpikirkan bahwa jalan kapitalisme dari negara-negara di atas akan membawa mereka ke suatu krisis yang mendalam. Sebagai seorang pemikir, Bung Karno telah memprediksi sejak tahun 1930: saya sitir, beliau mengatakan kapitalisme mengandung kontradiksi-kontradiksi di dalam dirinya sendiri. Ia pasti akan memakan anaknya sendiri. Dan inilah yang sedang kita saksikan. Sebagai bangsa, sudah tentu kita tidak ingin berjalan di rel yang keliru. Kita sudah memiliki Pancasila 1 Juni 1945. Itulah jalan yang telah kita pilih sebagai suatu keyakinan tanpa ragu, saudara-saudara.

Berbagai kehilangan di atas disebabkan karena kita tidak waspada. Kita mengira era pertarungan ideologi telah berakhir. Padahal realitas di sekitar kita mengatakan dengan jelas: inilah era puncak pertarungan ideologi dalam berbagai bentuk baru dan menjangkau setiap sendi kehidupan. Saya akan memberikan 2 contoh, yakni demokrasi dan pengelolaan pemerintahan guna menjelaskan hal ini.

Demokrasi Indonesia yang telah lama kita perjuangkan bukanlah suatu ruang kosong yang bekerja secara metafisis ataupun mekanis. Ia adalah medan peperangan ideologi. Demokrasi prosedural yang kini kita jalani berangkat dari kutub ideologi liberal-individual. Sebagai ideologi ia memberikan mekanisme dan jaminan berkompetisi dan melahirkan pemenang dan pecundang. Demokrasi liberal tak akan pernah menjadi bentangan karpet merah menuju keadilan sosial bagi segenap tumpah darah Indonesia. Ia bukan pula jalan bagi penguatan partisipasi rakyat. Demokrasi semacam ini bisa jauh lebih buruk lagi, ketika dia dibangun di atas politik pencitraan dan bekerja untuk melindungi citra itu semata-mata. Demokrasi Indonesia mestinya dibangun di atas keutamaan kolektivitas, dijalankan melalui musyawarah untuk mufakat, dan bekerja di tengah-tengah keyakinan akan kebhinnekaan sebagai anugrah Alllah  Subhana wa ta’ala.  Ia adalah demokrasi yang konon kata para ahli adalah demokrasi deliberatif.

Saudara-saudara utusan Kongres ke III,
Pengelolaan pemerintahan kita akhir-akhir ini juga menunjukkan wataknya yang semakin menjauhi nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa? Kecenderungan menciptakan semakin banyak lembaga menyebabkan fragmentasi pemerintahan yang serius. Setiap hari media massa menyajikan betapa kronisnya fragmentasi yang terjadi akibat dari tidak adanya tuntunan ideologis yang jelas. Akhirnya sangat jelas: suatu kekacauan pengelolaan pemerintahan.
Salah satu bukti dari terjadinya kekacauan pengelolaan pemerintahan yang masih up to date dewasa ini adalah kasus Bank Century. Kasus ini adalah merupakan hanya salah satu puncak gunung es dari kekacauan tata-kelola pemerintahan. Kita sudah menyatakan sikap dengan jelas melalui Fraksi PDI Perjuangan: kebijakan pemberian Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek  atau FPJP dan Penyertaan Modal Sementara atau PMS adalah salah. Karenanya, kepada Fraksi sudah saya perintahkan untuk memilih opsi C dan terus mengawasi proses penyelesaian kasus ini dalam batas-batas kewenangannya.
Dengan kesepakatan DPR telah menunaikan kewajiban konstitusional-nya untuk menuntaskan kasus Bank Century ini. Kini giliran pemerintah dan terutama presiden untuk menindak-lanjuti dan menuntaskannya melalui saluran hukum.
Perlu saya tegaskan, rakyat sendiri harus aktif terlibat dalam mengawasi. Media massa sebagai pilar keempat demokrasi, juga perlu melalukan fungsi pengawasannya. Kita tidak bisa membiarkan proses yang ada hanya diawasi oleh lembaga-lembaga formal saja. Mengapa? Karena  pengalaman masa lalu telah mengajarkan kepada kita, sejumlah keputusan DPR yang perlu ditindak-lanjuti pemerintah justru menguap tanpa jejak.

Saudara-saudara utusan Kongres yang saya cintai dan banggakan,
Saya menyadari sepenuhnya bahwa perjuangan tidak akan pernah sampai ke akhir tujuannya hanya dengan ideologi. Perjuangan tak akan pernah mencapai terminalnya hanya dengan retorika belaka. Untuk bisa bekerja efektif, ideologi membutuhkan kader. Ideologi membutuhkan pemimpin. Ideologi membutuh organisasi dan manajemen yang baik. Ideologi membutuhkan aturan bermain. Ideologi membutuhkan kebijakan. Ideologi membutuhkan program yang merakyat. Ideologi membutuhkan sumber-daya.
Saya berharap, hal-hal strategis di atas bisa diputuskan oleh Kongres sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam partai. Karenanya, saya minta pada setiap utusan Kongres III kali ini untuk menyadari dengan sepenuh-penuhnya, sejarah sedang memberikan kesempatan bagi kita, kesempatan emas untuk bangkit. Gunakanlah kesempatan sejarah ini untuk menghasilkan keputusan yang sebaik-baiknya bagi partai, bangsa dan negara.

Untuk itu, mari kita kembali ingat akan kata-kata Proklamator kita, Bung Karno, beliau mengatakan, mengambil kata-kata ini dari bahasa Sansekerta:
“KARMA NEVAD NI ADIKARASTE MA PHALESHU KADA CHANA”,
“Kerjakanlah kewajibanmu dengan tidak menghitung-hitungkan akibatnya!”.
Kata-kata di atas, adalah tulisan tangan Bung Karno yang dikutip dari Percakapan Kedua, Kitab Baghawad Gita. Kata-kata di atas adalah sebagian dari nasihat Kresna pada Arjuna di medan perang Kurusetra. Nasihat yang disampaikan setelah Arjuna nampak bimbang menghadapi lawan-lawannya yang adalah para guru dan sanak-saudara sendiri.
Tuhan pasti memberikan jalan bagi kita semua.
Kader Partai yang saya cintai dan banggakan, saudara sebangsa dan setanah air

Mengakhiri pidato ini, ijinkan saya dan seluruh jajaran DPP PDI Perjuangan yang nanti akan segera demisioner, menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas kepercayaan warga PDl perjuangan terhadap saya dalam memimpin partai ini selama lima tahun.

Terimakasih dan penghargaan juga saya sampaikan kepada daerah-daerah yang dengan keras telah mampu mempertahankan, bahkan menaikkan jumlah perolehan suaranya dalam Pemilu legislatif maupun Pemilu Presiden.
Silahkan berdiri daerah-daerah yang telah memenangkan PDI Perjuangan, Bali, Kalbar....
Terimakasih dan penghargaan saya sampaikan kepada sesepuh partai yang telah banyak membantu kerja partai melewati masa-masa yang tidak mudah.
Kepada Panitia Kongres yang telah bekerja dengan sangat keras selama berbulan-bulan dalam mempersiapkan Kongres ini supaya sukses, terimakasih dan penghargaan yang tinggi saya sampaikan kepada pemerintah Provinsi dan warga Bali, ucapan terimakasih atas bantuan dan sambutannya yang selalu meriah bagi PDI Perjuangan.
Pada aparat keamanan, terimalah rasa terimakasih dan hormat kami atas segala kerja keras sehingga penyelenggaraan Kongres III ini bisa berjalan tanpa gangguan.
Terimakasih juga saya sampaikan pada para pengamat yang telah berkeinginan meluangkan waktu untuk hadir di arena Kongres III kali ini. Mudah-mudahan apa yang telah dilihat menjadi bermanfaat.
Dan terakhir, terimakasih dan penghargaan yang tinggi saya sampaikan kepada rekan-rekan wartawan yang telah menjadi sahabat PDI Perjuangan bukan pada saat ini belaka, tetapi dari sejak dulu ketika PDI Perjuangan dibentuk.

Saudara-saudara,
Jalan Pancasila 1 Juni 1945 yang ditopang oleh 3 pilar bernegara lainnya, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 dan Bhineka Tunggal Ika yang kita pilih adalah jalan tunggal bagi PDI Perjuangan dalam “Berjuang untuk kesejahteraan rakyat” yang menjadi tema Kongres III kali ini.

Akhirnya, dengan rasa gembira mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, Kongres ke-III PDI Perjuangan secara resmi saya buka.

Terima kasih,
Wassalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salam Sejahtera bagi kita semua,
Om Santi Santi Om.

Merdeka!!! Merdeka!!! Merdeka!!!


Megawati Soekarnoputri
KETUA UMUM PDI PERJUANGAN
 
Pidato Politik Ketua Umum PDI Perjuangan pada HUT XXXVIII PDI Perjuangan
Rabu, 12 Januari 2011 11:29   
jar_1261Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salam Sejahtera bagi kita semua
Om Swastiastu
Sebelumnya, marilah kita terlebih dahulu bersama-sama memekikkan salam perjuangan kita,
Merdeka!!! Merdeka!!! Merdeka!!!

Saudara-saudara se-bangsa dan se-tanah air, tamu undangan yang saya hormati, serta kader dan simpatisan PDI Perjuangan yang saya cintai dan banggakan.
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala, Tuhan Yang Maha Kuasa,  atas segala rahmat dan hidayahNya yang telah menjaga kita selama tahun 2010, serta mengantarkan kita memasuki tahun 2011 dengan selamat sentosa. Secara khusus kita bersyukur karena atas rahmatNya, PDI Perjuangan tetap bertahan melewati tahun-tahun perubahan politik yang sangat dinamis dan sulit. Dengan bertambah usianya PDI Perjuangan, semakin memberikan kesempatan untuk mengabdi pada ibu pertiwi dalam perjuangan mencapai cita-cita Indonesia merdeka, yakni Indonesia yang berdaulat secara politik; Indonesia yang berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) di bidang ekonomi; dan Indonesia yang tetap mampu menjaga karakter dan kepribadian budayanya sebagai sebuah bangsa yang bermartabat.

Kita harus bersyukur karena rentang panjang sejarah kepartaian di bumi tercinta ini telah membuktikan: tidak banyak kekuatan politik yang bisa terus bertahan dan memberikan sumbangsihnya bagi rakyat, bangsa dan negara untuk waktu yang panjang. Sejarah membuktikan, banyak partai-partai lahir dan mati, bukan saja wadahnya, tapi juga ruhnya, ideologinya. Bahkan sejak memasuki era reformasi, kita menyaksikan begitu banyaknya partai politik yang hanya bisa bertahan seumur jagung, kemudian musnah dan akhirnya dilupakan sejarah. Sementara PDI Perjuangan tetap diberi anugerah panjang usia yang memungkinkan kita berkumpul hari ini untuk merayakan Ulang Tahun yang 38.

Saudara-saudara,
Ulang tahun adalah peristiwa istimewa. Tetapi ia menjadi istimewa bukan saja karena pertambahan usia semata. Ulang tahun menjadi istimewa karena ia memberikan alasan etis dan menjadi momentum yang bersifat spiritual untuk merenungi, berkontemplasi dan memetik pelajaran dari satu tahun perjalanan yang baru saja kita lewati bersama. Tanpa itu, ulang tahun tak akan memiliki makna apapun, tapi hanya sekadar sebagai kelebatan waktu yang tak menyisakan arti, lewat begitu saja.

Sebelum saya menyampaikan hal-hal pokok yang perlu kita renungkan bersama, ijinkanlah saya pada kesempatan ini menyampaikan selamat Natal bagi umat Kristiani dimanapun saudara-saudara berada. Kiranya “kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi dan damai sejahtera di bumi” beserta saudara-saudara sekalian. Dan selamat tahun baru bagi setiap warga bangsa disertai doa, semoga tahun 2011 dapat memberikan harapan dan semangat baru untuk kehidupan yang lebih baik bagi kita semua. Amin.
Saudara-saudara,
Pada momentum Ulang tahun PDI Perjuangan di tahun 2007 yang lalu, saya mengawali pidato dengan mengangkat problema dasar salah satu kegagalan negara di dalam meletakkan dasar-dasar bagi pencapaian kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Dan hari ini, saya harus kembali mengungkapkan sejumlah  tragedi yang sama di hadapan saudara-saudara. Mengapa? Sebab fakta menunjukkan bahwa negara masih tetap jauh dari kemampuannya untuk meletakkan pondasi dasar bagi pencapaian kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.

Persoalan ini perlu digarisbawahi kembali, karena seperti yang saya sampaikan dalam pidato Pembukaan Kongres III di Bali, bahwa perjuangan mengangkat harkat-martabat wong cilik adalah pilihan ideologis dan sekaligus takdir sejarah kita sebagai partai politik. Pilihan ideologis dan takdir sejarah ini melampaui jabatan apapun. Karena itulah kita tidak boleh lelah memperjuangkan dan menyuarakan hal tersebut. Apalagi, fakta-fakta dalam beberapa tahun ini menunjukkan bahwa harapan wong cilik untuk merasakan kesejahteraan yang berkeadilan sosial semakin jauh dari kenyataan.

Saudara-saudara yang saya cintai,
Bagi PDI Perjuangan Pancasila 1 Juni 1945 adalah ideologi dan sekaligus metode berpikir. Dengan Pancasila, kita bisa membedah dengan lebih cermat berbagai kontradiksi dalam pengelolaan negara saat ini. Kita bisa menyaksikan bagaimana gambaran sukses pembangunan lebih sering ditampilkan melalui keberhasilan statistik makro ekonomi. Kita juga bisa menyaksikan bagaimana lambannya penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan di tengah-tengah peningkatan secara dramatis anggaran yang disediakan untuk itu. Itukah yang dimaksudkan dengan keberhasilan?

Mereka lupa adanya fakta sederhana bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan secara statistikal tidak berbanding lurus dengan peningkatan tingkat kesejahteraan rakyat. Pada saat bersamaan, pemerintah seharusnya mendengar jeritan rakyat atas kenaikan harga berbagai kebutuhan dasar, yang sudah melebihi daya beli rakyat. Bahkan, untuk kesekian kalinya, rakyat menjadi korban hanya untuk sekedar mendapatkan makan. Oleh karena itu, tidak boleh terjadi lagi, rakyat kecil bunuh diri hanya karena tidak mampu menanggung beban hidup yang semakin berat sebagaimana telah terjadi di Cirebon, Kebumen, dan beberapa daerah lainnya. Inilah gambaran, betapa sulitnya rakyat berjuang hidup-mati hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Bukankah konstitusi menjamin penghidupan yang layak bagi warga negaranya? Kemana alokasi anggaran yang ribuan trilyun rupiah tersebut? Sudah saatnya kita hentikan pameran keberhasilan indikasi makro ekonomi, dan menggantikannya dengan gerakan ekonomi kerakyatan, yang bertumpu pada kekuatan rakyat, agar terjaminlah kebutuhan dasar rakyat.

Saudara-saudara,
Kita juga menyaksikan terjadi pengurangan sistematis subsidi untuk rakyat atas nama kepentingan publik. Pada saat bersamaan, pemborosan anggaran belanja aparatur negara terus berlangsung tanpa keberanian untuk melakukan koreksi. Kita juga menyaksikan bagaimana pemerintah terus mendewakan impor barang sebagai penyelamat, dan membiarkan ketergantungan atas sumber pembiayaan APBN dari pinjaman luar negeri yang berdampak pada melunturnya ketahanan dan kemandirian kita sebagai sebuah bangsa. Kita juga melihat bahwa keberhasilan Bursa Efek Indonesia sebagai bursa terbaik di Asia Pasifik lebih ditonjolkan, sementara kerawanan pelarian modal asing yang spekulatif terus saja mengancam. Apabila kebijakan ini tidak berubah, maka stabilisasi mata uang rupiah akan terus menjadi pekerjaan berat kita. Membengkaknya defisit neraca Bank Indonesia harus dicermati sebagai mahalnya ongkos stabilisasi dan lemahnya daya dukung sektor riil. Karena itulah, hentikan pengungkapan keberhasilan statistikal tersebut. Tidak ada salahnya, apabila kita memperkuat peran negara, sehingga Indonesia tidak menjadi korban dari pertarungan berbagai mata uang dunia seperti Euro, Yen, dan Yuan.

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air,
Hal-hal itulah yang membuat saya terus khawatir bahwa sistem ekonomi yang kita bangun semakin jauh dari sistem ekonomi yang menjadi amanat konstitusi. Karena itulah, wajar kalau kita bertanya, inikah arah pengelolaan ekonomi yang akan menuntun ke arah keberdikarian dalam bidang ekonomi? Ataukah sebaliknya, justru menjadi jalan cepat menuju ketergantungan ekonomi yang bersifat permanen pada kekuatan asing. Saya berpendapat, bahwa kita tidak bisa menunda lagi untuk mewujudkan keberdikarian ekonomi kita. Lebih-lebih kalau kita melihat resesi yang kini terjadi di Amerika Serikat, dan krisis ekonomi di beberapa negara di Eropa. Krisis yang terjadi di kedua kawasan tersebut pada akhirnya tetap memerlukan campur tangan negara. Bahkan di kawasan itulah kembali terbukti, bahwa kepentingan nasional suatu negara akhirnya menjadi hukum tertinggi di dalam membangun kedaulatan ekonomi setiap bangsa. Inilah yang seharusnya kita lakukan guna membangun kepercayaan diri kita, untuk berani menyatakan bahwa pengolahan sumber daya alam, harus kita prioritaskan pada kemampuan nasional. Pling tidak, kita harus mampu mencukupi kebutuhan pokok secara mandiri untuk pasar dalam negeri kita. Inilah yang saya maksudkan sebagai prinsip berdiri di atas kaki sendiri. Saya tidak anti asing, namun marilah kita letakkan skala prioritas pengabdian pada kepentingan nasional. Setidak-tidaknya dalam bidang pangan, energi, keuangan dan pertahanan, pilar-pilar ekonomi berdikari dapat diletakkan. Percayalah, bahwa kita bisa bangkit. Kita bisa menjadi bangsa besar. Kita bisa berdikari. Sebab kita memiliki modal, berupa keanekaragaman kekayaan alam, tanah air yang subur, keindahan alamnya, keanekaragaman suku, agama, budaya, yang semua terangkai bagaikan zamrud katulistiwa. Inilah modal besar yang harus terus menerus kita syukuri dan kembangkan.

Saudara-saudara yang saya cintai,
Dari sudut pandang Pancasila, tujuan pembangunan ekonomi sangat sederhana dan jelas, yakni menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berdasarkan azas kemanusiaan dan kekeluargaan. Hal ini diamanatkan dalam konstitusi utamanya Pasal 23, Pasal 27, Pasal 33 UUD 1945. Amanat yang menekankan bahwa kedaulatan rakyat dan negara di ranah ekonomi tidak boleh digusur atau dipertukarkan dengan kedaulatan pasar dan korporasi. Mengapa? Karena kita berkeyakinan, bahwa berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) dalam bidang ekonomi tidak bisa tidak mengharuskan kita untuk memberikan peran yang lebih besar bagi rakyat sebagai kekuatan produktif bangsa, dan mewajibkan negara untuk bertanggungjawab dalam ranah ekonomi. Dan inilah masalah kita dalam  lima tahun terakhir ini: kita mengkhayalkan keberdikarian ekonomi, sambil mengurangi kewenangan dan tanggung-jawab negara, serta membiarkan kekuatan produktif rakyat mati dalam persaingan yang tidak sehat.

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang saya banggakan,
Di tengah-tengah keterpurukan sosial ekonomi dan bencana alam yang terus mengintai, muncul ancaman bencana lain yang menyangkut  karakter dan kepribadian bangsa kita. Bencana ini mempunyai implikasi lebih serius karena ia mengancam secara simultan dasar mental dan pikiran rakyat. Lihat saja proses hukum kasus Bank Century. Nampak jelas, bagaimana keputusan Dewan Perwakilan Rakyat melalui penggunaan hak angket DPR RI dimandulkan oleh mekanisme hukum dan campur tangan kekuasaan.

Kasus lain yang tidak kalah menariknya, bagaimana Gayus Tambunan  dengan berbagai variasi dan keleluasaannya,  mempertontonkan betapa kekuatan uang sedemikian berjaya dalam mengharu-biru sistem hukum secara keseluruhan. Hal ini akhirnya membuat rakyat percaya bahwa “faktor uang adalah segala-galanya”. Kasus yang sama juga mengungkapkan rendahnya kedaulatan negara. Negara yang berdaulat adalah negara yang mampu menegakan hukum atas warganya. Dalam kasus Gayus, dan masih banyak kasus sejenis lainnya, nampaknya hukum tidak bisa ditegakkan, negara jauh dari berdaulat.
Bencana mental di atas juga tampak dari cara penguasa memaknai reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi dikecilkan maknanya sebatas sebagai remunerasi. Sebuah bentuk pemujaan pada materi yang semakin meyakinkan rakyat bahwa “materi adalah segala-galanya”. Padahal kita tahu bahwa pembenahan sistem remunerasi hanyalah salah satu bagian kecil dan merupakan konsekuensi dari sebuah perubahan yang lebih besar dan menyeluruh.

Saudara-saudara yang saya hormati,
Penyakit kronis lainnya yang menonjol dalam beberapa saat terakhir ini adalah sikap elit yang lebih meributkan soal koalisi, sekretariat gabungan (setgab), wacana pemilihan gubernur oleh DPRD, atau apapun namanya dibanding mengurus rakyat. Hal ini menegaskan semakin meluasnya cakupan bencana mental yang melanda negeri ini. Fenomena ini menggambarkan bagaimana penggalangan kekuasaan ditempatkan sebagai sesuatu yang lebih penting ketimbang mengurusi kepentingan rakyat. Bahkan kita semua menikmati sedemikian pentingnya “penggalangan kekuasaan” tanpa peduli terhadap akibat-akibat negatifnya bagi perkembangan demokrasi politik di Indonesia.

Dalam pidato pembukaan Kongres III di Bali ancaman mentalitas bangsa ini sudah saya ingatkan. Saya tegaskan bahwa “cita-cita yang melekat dalam sejarah Partai kita jauh lebih besar dari sekadar urusan kursi di parlemen, sejumlah menteri, ataupun istana merdeka”. Kita diajarkan dan ditakdirkan oleh sejarah bahwa perjuangan mengangkat harkat-martabat wong cilik seperti yang dilakukan Bung Karno adalah lebih utama dari urusan bagi-bagi kekuasaan. Saya juga tegaskan pada waktu itu bahwa dalam dialektika dengan rakyat, tugas sejarah setiap kader akan dinilai dan tugas sejarah dari partai akan ditimbang. Pada saat itu dan hingga hari ini saya berkeyakinan bahwa dalam kegotong-royongan dan permusyawaratan dengan rakyat, masa depan PDI Perjuangan akan menemukan puncak keemasannya. Karena itulah, sekali lagi saya tegaskan kepada kader partai, kita harus berbangga bukan ketika kita bersekutu dengan kekuasaan, tapi ketika kita bersama-sama menangis dan bersama-sama tertawa dengan rakyat. Kita, seperti yang saya katakan di Bali, tidak akan pernah menjadi bagian dari kekuasaan yang tidak berpihak pada wong cilik.

Hal-hal di atas baru sebagian kecil dari persoalan yang kita hadapi. Di lahan kepemimpinan, kontradiksi juga dengan mudah kita temukan. “Satunya kata dengan perbuatan, satunya mulut dengan tindakan” sebagai adagium politik yang diajarkan Bung Karno, bahwa penanda dari kepemimpinan yang berkualitas, praktis tidak kita temukan dalam diri pemimpin bangsa saat sekarang. Ada selisih yang sangat jauh antara “citra” dan “realitas”. Lebih lagi, hampir setiap pemimpin berlomba membangun citra diri. Lihatlah di televisi dan di berbagai media, semakin banyak menteri dan kementerian yang lebih sibuk “mengiklankan diri”, ketimbang bekerja untuk mensejahterakan rakyat. Hal ini juga berlaku bagi sejumlah kepala daerah.

Saudara-saudara,
Di lahan demokrasi kita juga menghadapi masalah. Kerakyatan yang  dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan merupakan garis yang jelas dalam membangun tatanan demokrasi di Indonesia. Tetapi yang kita saksikan adalah sebaliknya: kita berdemokrasi dengan sepenuhnya percaya pada keajaiban angka dan pencitraan belaka. Demikian pula, integritas kebangsaan yang terjelmakan dalam sila ketiga Pancasila “Persatuan Indonesia”, akhir-akhir ini dihadapkan pada kondisi sulit. Kondisi ini semakin dipersulit oleh kecenderungan kepemimpinan nasional yang lebih produktif menciptakan polemik, ketimbang menjadi rujukan integritas kebangsaan kita. Lihatlah kasus debat tanpa kesudahan atas status keistimewaan Yogyakarta. Rakyat akhirnya dipaksa untuk memilih antara kesetiaan kebangsaan atau kedaerahan. Sebuah ironi dalam pengelolaan kekuasaan negara karena lunturnya pemahaman terhadap sejarah.

Hal di atas sangat disayangkan karena sejarah telah mencatatkan tinta emas bahwa Indonesia mampu berdiri ditengah pluralisme dalam persatuan. Bhinneka Tunggal Ika bukan sebuah jargon kebetulan. Ia juga bukan hasil temuan yang baru. Bhinneka Tunggal Ika telah mengakar panjang dalam sejarah bangsa yang majemuk ini. Ia adalah rumusan yang merupakan kristalisasi dari pengalaman empirik kita hidup sebagai bangsa majemuk dalam sebuah kesatuan yang harmonis. Demikian pula dengan gotong royong yang oleh para pendiri bangsa dijadikan sebagai spirit dasar dalam merancang Indonesia yang ideal, kini tenggelam di bawah persaingan bebas sebagai metode politik dominan. Kita akhirnya terjebak dalam mobilisasi dan konflik, gagal berdialog dan membangun konsensus yang sesuai dengan nalar publik.
Saudara-saudara warga PDI Perjuangan yang saya banggakan,
Dalam konstruksi konstitusi kita, partai politik merupakan aktor strategis dalam menggerak perubahan. Peran yang sama juga kita temukan dari perjalanan kita membentuk bangsa dan negara: partai adalah organisasi modern paling awal yang menuntun massa rakyat ke arah perubahan yang lebih baik. Tengok saja sejarah Sarekat Islam, PNI, dan masih banyak lainnya.  Semuanya menjadi pelopor bagi perubahan.

Bagi kita posisi strategis partai di atas sudah sangat jelas. Bahkan keputusan Kongres III Bali telah memberikan arah yang sangat jelas, yakni keharusan bagi PDI Perjuangan untuk menjadi ujung tombak bagi pencapaian Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara budaya. Hal di atas dimandatkan Kongres untuk diwujudkan melalui fungsionalisasi secara sinergis dan efektif 3 pilar partai -- struktural, legislatif dan eksekutif. Lebih lagi, arah perubahannya harus dituntun oleh Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi Partai. Kita memilih jalan ideologi dalam membangun Partai
.
Rangkaian rumusan sikap dan program-program partai, berikut perubahan-perubahan penting dalam AD/ART Partai yang dihasilkan oleh Kongres III telah memberikan pijakan yang sangat memadai. Beberapa keputusan strategis Kongres seperti konsolidasi partai telah berhasil dijalankan. Kita tak lagi dihadapkan pada persoalan serius yang terkait dengan konsolidasi organisasi dan program, kecuali untuk sejumlah kecil daerah. Sekalipun demikian, dalam sejumlah bidang masih banyak pekerjaan rumah yang membutuhkan perhatian kita sebagai warga partai.

Pada kesempatan ulang tahun kali ini saya hanya akan menyoroti tiga perintah Kongres III yang paling strategis yang masih membutuhkan kerja ekstra kita semua. Yang pertama adalah soal keharusan kita untuk menghasilkan kader-kader politik dengan kualitas yang diperlukan untuk berbagai jabatan publik, termasuk untuk mengelola partai. Saya mengamati persoalan ini masih menjadi persoalan serius di banyak daerah. Saya menyaksikan setelah berlalunya generasi pertama, banyak daerah mengalami kesulitan untuk memunculkan figur baru yang secara ideologis baik, secara politik diterima, dan secara teknokratis mumpuni. Dalam proses pencalonan kepala daerah misalnya, kita akhirnya terjebak pada dua kecenderungan esktrim, yakni mengusung calon non-kader partai yang kadang melahirkan masalah serius dalam partai, atau sebaliknya, mengambil jalan pintas dengan mencalonkan orang-orang disekitarnya.

Sebagai kekuatan politik yang merupakan ujung tombak dari kemajuan dan kemunduran bangsa, kecenderungan di atas sangat tidak sehat. Karenanya, perhatian ekstra harus kita berikan pada proses kaderisasi dan regenerasi. Hal ini bukan saja penting bagi kelangsungan hidup partai. Bukan saja bermanfaat bagi bangsa dan rakyat. Tapi di atas segalanya, pengembangan sistem kaderisasi dan regenerasi, yang di satu sisi tetap mengedepankan ideologi, dan di sisi lain mengedepankan penjenjangan kualitas kader, harus terus-menerus dilakukan guna membendung politik jalan pintas untuk meraih pucuk pimpinan kekuasaan.

Hal kedua yang ingin saya sampaikan adalah keharusan bagi Partai untuk menginstrumentasikan nilai-nilai Pancasila 1 Juni 1945 yang memungkinkan Pancasila menjadi ideologi yang hidup. Salah satu arena paling pokok untuk melaksanakan hal tersebut berada pada arena pengambilan keputusan. Dalam konteksi inilah sinergi tiga pilar partai ---struktural, eksekutif, dan legislatif --- menjadi kekuatan penting, tidak hanya di dalam merumuskan kebijakan, namun  untuk menentukan apa yang saya sebut sebagai agenda setting. Kita harusnya bisa lebih berfungsi dalam menentukan kebijakan apa saja yang harus diprioritas dan harus dihasilkan oleh negara. Tetapi hingga saat inil, fraksi kita di semua jajaran legislatif masih sebatas sebagai kekuatan yang aktif dalam membahas berbagai regulasi. Kita belum mampu untuk menjadi penentu agenda setting.

Karenanya, dengan tegas saya perintahkan kepada jajaran fraksi di seluruh tingkatan untuk lebih pro-aktif dalam mengajukan agenda-agenda kebijakan yang harus diprioritaskan. Manfaatkanlah semua sumber-daya dan kelembagaan yang dimiliki partai, mulai dari Litbang hingga individu-individu yang matang secara ideologis dan mumpuni secara teknokratis untuk bisa saling membantu. Manfaatkan juga semua sumber daya intelektual dan kelembagaan yang berada di negeri ini, termasuk pusat-pusat riset dan perguruan tinggi serta lembaga swadaya masyarakat yang sungguh-sungguh bekerja bersama di tengah-tengah rakyat. Dan yang sama pentingnya, sinergikan struktural, eksekutif dan legislatif partai di semua tingkatan guna menghasilkan kebijakan yang secara ideologi benar, secara teknokratis layak, dan secara politik bisa diterima, serta didukung semakin banyak pihak yang berkepentingan.

Hal terakhir yang ingin saya garis bawahi adalah perintah Kongres agar setiap warga partai menjadi contoh hidup dari Pancasila sebagai ideologi. Kita masih mengalami kesulitan di sana-sini. Masih banyak perilaku elit PDI Perjuangan yang jauh dari standar norma Pancasila. Karenanya, saya serukan agar setiap kader partai menyadari hal ini. Dan untuk itu, tuntunannya sangat sederhana, yakni setiap kita harus “menyatukan perkataan dengan perbuatan, menyamakan mulut dengan tindakan”. Ajaran dasar yang berulang-kali disuarakan Bung Karno untuk diikuti oleh setiap pengikutnya. Ingatlah, setiap kader partai adalah ibarat guru. Bahkan oleh Bung Karno, kader partai harus menjadi bintang pengarah yang memberikan gerak hidup. Ia harus menjadi teladan, dan terus mengobarkan semangat “karma nevad ni adikaraste ma phalesu kada cana”, yang artinya kerjakanlah kewajibanmu dengan tidak menghitung-hitungkan akibatnya.  Inilah keteguhan sebagai kader partai dan sebagai antitesa terhadap maraknya pragmatisme politik yang sangat transaksional tersebut.

Saudara-saudara,
Kesemua hal yang saya sampaikan di atas mengarah pada satu hal, yakni agar PDI Perjuangan sebagai kekuatan politik bisa berfungsi sebagai penyambung lidah-rakyat yang bukan saja efektif, tapi juga dipercaya. Problema ini menjadi problema partai di banyak negara. Para ahli menyebutnya sebagai problema “rooting”, problema mengakarkan partai. Dan di pundak kita semua persoalan ini harus bisa diselesaikan.

Saudara-saudara,
Mengakhiri pidato politik ini, ijinkan saya dan seluruh jajaran DPP PDI Perjuangan menyampaikan Selamat Ulang Tahun ke 38 bagi kita semua. Semoga pertambahan usia ini memberikan kekuatan baru bagi kita untuk bekerja lebih keras dan lebih cerdas dalam mewujudkan cita-cita Indonesia yang berdaulat dalam politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Kepada para pimpinan partai politik, para tokoh masyarakat, dan para Senior Partai serta undangan yang tidak bisa saya sebut satu-persatu, terimakasih atas kehadirannya.
Kepada Panitia yang telah bekerja dengan sangat keras terimakasih dan penghargaan yang tinggi saya sampaikan.
Pada aparat keamanan, terimalah rasa terimakasih dan hormat kami atas segala kerja keras sehingga penyelenggaraan Ulang Tahun kali ini bisa berjalan tanpa gangguan.
Terimakasih juga saya sampaikan pada para pengamat politik yang telah meluangkan waktu untuk hadir pada kesempatan kali ini.
Dan terakhir, terimakasih dan penghargaan yang tinggi saya sampaikan kepada rekan-rekan wartawan yang telah menjadi sahabat PDI Perjuangan selama ini.

Wassalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Salam Sejahtera bagi kita semua,
Om Santi Santi Om.

Merdeka!!!

Megawati Soekarnoputri
 
 
GAYO Nusantara.

No comments: