Search This Blog

Saturday, November 23, 2013

Kerajaan Samudera Pasai

Kerajaan Samudera Pasai



1. SEJARAH

Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh, dan merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu pada tahun 1267 M. Bukti-bukti arkeologis keberadaan kerajaan ini adalah ditemukannya makam raja-raja Pasai di kampung Geudong, Aceh Utara. Makam ini terletak di dekat reruntuhan bangunan pusat kerajaan Samudera di desa Beuringin, kecamatan Samudera, sekitar 17 km sebelah timur Lhokseumawe. Di antara makam raja-raja tersebut, terdapat nama Sultan Malik al-Saleh, Raja Pasai pertama. Malik al-Saleh adalah nama baru Meurah Silu setelah ia masuk Islam, dan merupakan sultan Islam pertama di Indonesia. Berkuasa lebih kurang 29 tahun (1297-1326 M). Kerajaan Samudera Pasai merupakan gabungan dari Kerajaan Pase dan Peurlak, dengan raja pertama Malik al-Saleh.

Seorang pengembara Muslim dari Maghribi, Ibnu Bathutah sempat mengunjungi Pasai tahun 1346 M. ia juga menceritakan bahwa, ketika ia di Cina, ia melihat adanya kapal Sultan Pasai di negeri Cina. Memang, sumber-sumber Cina ada menyebutkan bahwa utusan Pasai secara rutin datang ke Cina untuk menyerahkan upeti. Informasi lain juga menyebutkan bahwa, Sultan Pasai mengirimkan utusan ke Quilon, India Barat pada tahun 1282 M. Ini membuktikan bahwa Pasai memiliki relasi yang cukup luas dengan kerajaan luar

Pada masa jayanya, Samudera Pasai merupakan pusat perniagaan penting di kawasan itu, dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negeri, seperti Cina, India, Siam, Arab dan Persia. Komoditas utama adalah lada. Sebagai bandar perdagangan yang besar, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang emas yang disebut dirham. Uang ini digunakan secara resmi di kerajaan tersebut. Di samping sebagai pusat perdagangan, Samudera Pasai juga merupakan pusat perkembangan agama Islam.

Seiring perkembangan zaman, Samudera mengalami kemunduran, hingga ditaklukkan oleh Majapahit sekitar tahun 1360 M. Pada tahun 1524 M ditaklukkan oleh kerajaan Aceh.

2. SILSILAH

1. Sultan Malikul Saleh (1267-1297 M)
2. Sultan Muhammad Malikul Zahir (1297-1326 M)
3. Sultan Mahmud Malik Az-Zahir (1326 ± 1345
4. Sultan Malik Az-Zahir (?- 1346)
5. Sultan Ahmad Malik Az-Zahir yang memerintah (ca. 1346-1383)
6. Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir yang memerintah (1383-1405)
7. Sultanah Nahrasiyah, yang memerintah (1405-1412)
8. Sultan Sallah Ad-Din yang memerintah (ca.1402-?)
9. Sultan yang kesembilan yaitu Abu Zaid Malik Az-Zahir (?-1455)
10.Sultan Mahmud Malik Az-Zahir, memerintah (ca.1455-ca. 1477)
11.Sultan Zain Al-‘Abidin, memerintah (ca.1477-ca.1500)
12.Sultan Abdullah Malik Az-Zahir, yang memerintah (ca.1501-1513)
13.Sultan Zain Al’Abidin, yang memerintah tahun 1513-1524

3. PERIODE PEMERINTAHAN


Rentang masa kekuasan Samudera Pasai berlangsung sekitar 3 abad, dari abad ke-13 hingga 16 M.

4. WILAYAH KEKUASAAN

Wilayah kekuasaan Pasai mencakup wilayah Aceh ketika itu.

5. STRUKTUR PEMERINTAHAN

Pimpinan tertinggi kerajaan berada di tangan sultan yang biasanya memerintah secara turun temurun. disamping terdapat seorang sultan sebagai pimpinan kerajaan, terdapat pula beberapa jabatan lain, seperti Menteri Besar (Perdana Menteri atau Orang Kaya Besar), seorang Bendahara, seorang Komandan Militer atau Panglima Angkatan laut yang lebih dikenal dengan gelar Laksamana, seorang Sekretaris Kerajaan, seorang Kepala Mahkamah Agama yang dinamakan Qadi, dan beberapa orang Syahbandar yang mengepalai dan mengawasi pedagang-pedagang asing di kota-kota pelabuhan yang berada di bawah pengaruh kerajaan itu. Biasanya para Syahbandar ini juga menjabat sebagai penghubung antara sultan dan pedagang-pedagang asing.

Selain itu menurut catatan M.Yunus Jamil, bahwa pejabat-pejabat Kerajaan Islam Samudera Pasai terdiri dari orang-orang alim dan bijaksana. Adapun nama-nama dan jabatan-jabatan mereka adalah sebagai berikut:

1. Seri Kaya Saiyid Ghiyasyuddin, sebagai Perdana Menteri.
2. Saiyid Ali bin Ali Al Makaarani, sebagai Syaikhul Islam.
3. Bawa Kayu Ali Hisamuddin Al Malabari, sebagai Menteri Luar Negeri

6. KEHIDUPAN POLITIK

Kerajaan Samudra Pasai yang didirikan oleh Marah Silu bergelar Sultan Malik al- Saleh, sebagai raja pertama yang memerintah tahun 1285 – 1297. Pada masa pemerintahannya, datang seorang musafir dari Venetia (Italia) tahun 1292 yang bernama Marcopolo, melalui catatan perjalanan Marcopololah maka dapat diketahui bahwa raja Samudra Pasai bergelar Sultan. Setelah Sultan Malik al-Saleh wafat, maka pemerintahannya digantikan oleh keturunannya yaitu Sultan Muhammad yang bergelar Sultan Malik al-Tahir I (1297 – 1326). Pengganti dari Sultan Muhammad adalah Sultan Ahmad yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir II (1326 – 1348). 
Pada masa ini pemerintahan Samudra Pasai berkembang pesat dan terus menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan Islam di India maupun Arab. Bahkan melalui catatan kunjungan Ibnu Batutah seorang utusan dari Sultan Delhi tahun 1345 dapat diketahui Samudra Pasai merupakan pelabuhan yang penting dan istananya disusun dan diatur secara India dan patihnya bergelar Amir. 
Pada masa selanjutnya pemerintahan Samudra Pasai tidak banyak diketahui karena pemerintahan Sultan Zaenal Abidin yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir III kurang begitu jelas. Menurut sejarah Melayu, kerajaan Samudra Pasai diserang oleh kerajaan Siam. Dengan demikian karena tidak adanya data sejarah yang lengkap, maka runtuhnya Samudra Pasai tidak diketahui secara jelas. Dari penjelasan di atas, apakah Anda sudah paham? Kalau sudah paham simak uraian materi berikutnya.

7. KEHIDUPAN EKONOMI

Dengan letaknya yang strategis, maka Samudra Pasai berkembang sebagai kerajaan Maritim, dan bandar transito. Dengan demikian Samudra Pasai menggantikan peranan Sriwijaya di Selat Malaka.
Kerajaan Samudra Pasai memiliki hegemoni (pengaruh) atas pelabuhan-pelabuhan penting di Pidie, Perlak, dan lain-lain. Samudra Pasai berkembang pesat pada masa pemerintahan Sultan Malik al-Tahir II. Hal ini juga sesuai dengan keterangan Ibnu Batulah.

Komoditi perdagangan dari Samudra yang penting adalah lada, kapurbarus dan emas. Dan untuk kepentingan perdagangan sudah dikenal uang sebagai alat tukar yaitu uang emas yang dinamakan Deureuham (dirham).

8. KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA

Telah disebutkan di muka bahwa, Pasai merupakan kerajaan besar, pusat perdagangan dan perkembangan agama Islam. Sebagai kerajaan besar, di kerajaan ini juga berkembang suatu kehidupan yang menghasilkan karya tulis yang baik. Sekelompok minoritas kreatif berhasil memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama Islam, untuk menulis karya mereka dalam bahasa Melayu. Inilah yang kemudian disebut sebagai bahasa Jawi, dan hurufnya disebut Arab Jawi. 
 
Di antara karya tulis tersebut adalah Hikayat Raja Pasai (HRP). Bagian awal teks ini diperkirakan ditulis sekitar tahun 1360 M. HRP menandai dimulainya perkembangan sastra Melayu klasik di bumi nusantara. Bahasa Melayu tersebut kemudian juga digunakan oleh Syaikh Abdurrauf al-Singkili untuk menuliskan buku-bukunya.

Sejalan dengan itu, juga berkembang ilmu tasawuf. Di antara buku tasawuf yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu adalah Durru al-Manzum, karya Maulana Abu Ishak. Kitab ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Makhdum Patakan, atas permintaan dari Sultan Malaka. Informasi di atas menceritakan sekelumit peran yang telah dimainkan oleh Samudera Pasai dalam posisinya sebagai pusat tamadun Islam di Asia Tenggara pada masa itu.
 
 
Posted By, E L.Jr

Ulama-Ulama dan kitab-kitab Aceh

Ulama-Ulama dan kitab-kitab Aceh

Berkembangnya ilmu pengetahuan di Aceh pada masa terdahulu tidak terlepas dari peran ulama. Mereka berperan penting dalam mensosialisasikan pentingnya ilmu pengetahuan kepada masyarakat. Menurut mereka menuntut ilmu merupakan  yang harus menjadi perhatian serius semua pihak. Untuk memotivasi masyarakat untuk itu mereka menyertai pesannya dengan hadits Nabi SAW, sehingga menuntut ilmu dalam masyarakat Aceh dilandasi oleh semangat mencari pahala dan beribadah, di samping itu partisipasi masyarakat luas dalam pengembangan pendidikan agama juga sangat besar.

Partisipasi itu bisa sebatas memberi dukungan baik moril maupun materi kepada orang yang menuntut ilmu, malah dengan menghadiri majelis ilmu saja sudah mendapat apresiasi dengan adanya janji pahala yang sangat besar dari Allah SWT.

Hal itu dapat dijumpai dalam beberapa kitab yang ditulis oleh ulama Aceh, salah satunya kitab Syifaul Qulub yang ditulis oleh Arif Billah Syeikh Abdullah, yang merupakan salah satu kitab yang terhimpun dalam kitab Jam’u al-jawamik. Kitab yang berisi 400 hadits itu menempatkan bab keutamaan ilmu dan ulama pada bagian pertama.

Ini menunjukkan seriusnya Syekh Abdullah dalam memandang pentingnya ilmu pengetahuan bagi masyarakat Aceh.

Kitab yang umumnya dibaca oleh murid pemula itu telah berdampak luas dalam masyarakat Aceh sehingga terbangunnya struktur masyarakat adat yang mengharuskan anak-anak untuk belajar agama dengan meunasah sebagai sentralnya.

Sementara bagi yang ingin meningkatkan ilmunya akan pergi ke dayah-dayah dengan sistem meudagang (mondok) hingga bertahun-tahun lamanya.

Dalam kurun waktu yang sangat lama Aceh menjadi pusat kajian Islam di nusantara berkat semangat keagamaan tersebut, sehingga ada adagium yang  berkembang seolah-olah kalau tidak bisa mengaji bukan orang Aceh namanya.

Walaupun ada masyarakat Aceh yang lahir sebelum kemerdekaan Indonesia yang buta aksara latin, tapi mereka umumnya sangat lancar membaca huruf Arab dan Arab Jawi, ini menandakan budaya keilmuan telah berkembang di zaman dahulu sesuai dengan konteks yang ada pada masanya. Karena sebelum Belanda Menjajah Aceh, kitab yang berkembang pada masa itu adalah Arab jawi.

Dalam kitab Syifaul Qulub, Syeikh Abdullah menuliskan:

“Barangsiapa menolong ia akan orang yang alim yakni orang yang mengajar, atau menolong ia akan orang yang mutaallim, yakni orang yang belajar, jikalau adanya dengan qalam yang patah sekalipun, maka serasa-rasa ia berbuat ka’bah tujuh puluh kali (hadits)”.

Kutipan-kutipan hadits seperti di atas telah menumbuhkan semangat infaq di kalangan masyarakat, sehingga banyak yang memberi sumbangan kepada lembaga pengajian agama, baik dalam bentuk uang maupun wakaf tanah. Sehingga dimana-mana dalam masyarakat sangat banyak didapatkan tanah wakaf yang dikelola oleh imum gampong selama masih menjabat dan mengajar Al-Quran untuk anak-anak.

Hal yang sama juga kita dapatkan pada lembaga yang lebih tinggi seperti dayah yang sering dibangun di atas tanah wakaf, dan pembangunan juga dilakukan dengan  sumbangan masyarakat sekitar, malah dalam waktu yang sangat lama dayah Aceh tidak mendapat dana dari pemerintah.

Di samping pentingnya ilmu pengetahuan, Syekh Abdullah juga menekankan pentingnya memberi penghormatan kepada para ulama.

“Siapa yang mempermuliakan ulama maka bahwasanya mereka itu pada Allah Ta’ala itu mulia ia (hadits)”.

Pesan-pesan tersebut membentuk karakter masyarakat Aceh yang cinta ulama serta menghormati mereka.

Apalagi dalam lembaga pendidikan seperti dayah rasa hormat kepada guru telah menjadi tatanan yang melekat erat bagi setiap santrinya. Bagi santri jika tidak hormat kepada guru akan dihantui oleh perasaan bersalah (ceumeureuka) dengan gurunya, dan itu akan sangat tabu bagi masyarakat Aceh.

Penghormatan kepada ulama juga disebabkan karena keterlibatan masyarakat yang sangat tinggi dalam pengembangan pendidikan agama di Aceh, sehingga lulusan dari lembaga pendidikan tersebut juga mendapat tempat yang terhormat. Bagi masyarakat awam, lulusan dari lembaga pendidikan merupakan kader yang telah dibesarkan oleh mereka sendiri secara bersama-sama.

Penghormatan kepada ulama yang telah mengakar tersebut menjadikan mereka sebagai pusat fatwa (peuneutoh) dalam berbagai persoalan sosial masyarakat.

Adab dan Perilaku

Adab lebih tinggi dari ilmu, demikian pemahaman masyarakat Aceh mengenai pentingnya adab dan sopan santun dalam kehidupan, adab itu sendiri berlaku bagi semua kalangan, baik masyarakat umum hingga ulama sekalipun.

Adab di Aceh sudah menjadi tata krama yang mentradisi dari generasi ke generasi, sehingga melahirkan kondisi sosial masyarakat yang santun, lembut dan menghormati orang lain.

Dalam dunia pendidikan juga sama, adab itu sangat dijunjung tinggi, seorang murid harus menghormati guru, demikian juga guru harus menghargai muridnya, sehingga proses belajar mengajar berjalan dengan harmonis dan bebas dari beban psikologis.

Suasana penuh keakraban dapat kita lihat dalam lembaga pendidikan agama di Aceh, tidak pernah terjadi murid memprotes guru dengan cara yang tidak wajar apalagi demonstrasi tanpa kendali.

Hal itu dapat kita  baca dalam kitab karya Syeikh Muhammad anak dari Syeikh Khatib dalam kitabnya Dawaul Qulub yang juga merupakan salah satu kitab yang terkumpul dalam kitab Jam’u Jawami’ Al-Musannafat, karya Syeikh Ismail Bin Abdul Muthallib Al-Asyi.

Syeikh Muhammad juga menekankan pentingnya penampilan seorang yang berilmu dalam  masyarakat seperti style pakaian, dan tingkah laku. Berikut kutipannya:

“Inilah khatimah pada menyatakan segala perbuatan yang tak dapat tiada bagi murid”.

Disini syeikh Muhammad mengingatkan para murid agar tetap menjaga jati dirinya dimana pun berada, seperti menjaga pakaian agar sesuai sunnah Nabi saw., selalu mendahului dalam memberi salam kepada siapa pun, menyayangi semua orang tanpa pilih kasih, tidak berburuk sangka pada manusia walaupun ia bersifat fasiq sekalipun, tidak boleh menghina orang lanjut usia, serta selalu menuntut ilmu dimana pun  berada.

Perbedaan Mazhab

Persoalan khilafiah sebenarnya sudah selesai bagi masyarakat Aceh, seperti perbedaan mazhab yang akhir-akhir ini sering dipertentangkan. Menurut ulama Aceh tempo dulu, mazhab yang dianut di Aceh adalah empat mazhab sekaligus, yaitu, mazhab Syafii, Hanbali, Maliki dan Hanafi. Keempat mazhab tersebut diakui kebenarannya dan dijadikan standar kompetensi para imam, mufti dan ulama di Aceh.

Hal itu pula yang menyebabkan Aceh menjadi sentral peradaban Islam di Asia Tenggara kala itu, karena semua persengketaan dari lintas mazhab pun mampu diselesaikan disini.

Malah pengakuan terhadap empat mazhab tersebut tertuang dalam konstitusi Aceh kala itu, Qanun Meukuta Alam Al-Asyi. Sebagaimana yang tercantum dalam kitab tazkirah Tabaqat, karya Tgk. Di Mulek:

 “Maka peganglah dengan sungguh-sungguh hati Qanun Meukuta Alam al-Asyi dari karena mengikuti… Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i (dan) Imam Hanbali. Dan empat mazhab itu semuanya tunduk kepada Syari’at Rasullullah saw. … Yakni berhimpun empat, yaitu Islam dan Iman dan Tauhid dan Makrifat, maka barulah bernama agama.

Disni juga mencerminkan pemikiran mazhab ulama Aceh masa lalu yang multi mazhab dan toleran dengan dinamika persoalan umat. Bahkan mereka berani pindah mazhab jika suatu persoalan tidak bisa diselesaikan oleh salah satu mazhab.

“Yaitu jika tiada boleh hukumnya dalam mazhab Imam Syafi’i, maka dicari hukumnya dalam mazhab Ahmad Imam Hanbali. Dan jika tiada hukumnya dalam mazhab Imam Hanbali, maka dicari hukumnya dalam mazhab Imam Malik. Dan jika tiada dalam mazhab Imam Malik, maka dicari  hukumnya dalam mazhab Imam Abu Hanifah. Karena adalah Imam yang empat itu pangkat Mujtahid Mutlak yang sah dalam Ahlussunnah waljama’ah.

Keragaman mazhab disini hanya terbatas pada empat mazhab saja karena masih dalam koridor ahlus sunnah wal jamaah sebagaimana yang ditegaskan oleh Tgk. Di Mulek. Malah pada masa Iskandar Muda di Aceh dibentuk mufti empat mazhab yang disebut dengan Syaikh Al-Islam supaya dapat mengakomodir semua pemasalahan umat.

“Maka sebab itulah paduka Sri Sultan Sulaiman Meukuta Alam Iskandar Muda Perkasa Alam Syah mendirikan Mufti empat mazhab, yakni Syaikh al-Islam; Mufti Empat dalam negeri Aceh Darussalam. Karena menjaga dan memeliharakan hukum Syara’ Syari’at Rasulullah saw. dari kaum yang Tujuh Puluh Dua yang khianat kepada agama Islam.

Dan maka jika alim ulama yang Ahlus-Sunnah Waljama’ah masuk ke dalam negeri Aceh dari luar negeri, maka dipermuliakannya oleh Sultan Iskandar Muda serta diberikan surat ber-Cap Sembilan dan diberikan tadah. Jika alim ulama itu bermukim dalam negeri Aceh. Dan jika ia musafir maka diberikan belanja sekedar mencukupi yaitu makanan dan pakaian. Dan jika pulang ia ke negeri di mana pun negerinya maka diberikan hadiahnya dan ongkos kapal dibayar oleh kerajaan Aceh.

Disini disebutkan bahwa Iskandar Muda sangat hormat pada ulama berbagai mazhab ahlus sunnah wal jamaah, juga disediakan berbagai fasilitas yang dibutuhkan. Sehingga banyak terdapat ulama dari berbagai bangsa yang menetap dan ikut mengajar masyarakat Aceh.


  1.  Teungku Di Lueng Keueng
  2.  Abunek Krueng Kale
  3.  Teungku Gle Payong
  4.  Teungku Keuneu’eun
  5.  Teungku Di Anjong
  6.  Teungku Di  Li -eue
  7.  Teungku Lam Bhuek
  8.  Teungku Di Jurong
  9.  Teungku Lam Gut
  10.  Teungku Di Bitai
  11.  Teungku Gle Weueng
  12. Teungku Di Reuloh
  13.   Teungku Di Blang
  14.   Teungku Di Meugong
  15.   Teungku Di Jabo
  16.   Tuwan Di Pulo
  17.   Teungku Lhok Pawoh
  18.   Teungku Lhok Nibong
  19.   Teungku Di Pu-uek
  20.   Teungku Di Meuse
  21.   Teungku Syekh Saman
  22.   Syiah ‘Abdurrauf ( halaman 19 – 20 )
  23.    Teungku Di Ulee Gle
  24.    Teungku Awe Geutah
  25.     Teungku Batee Badan
  26.     Teungku Ulee Jurong ( sama dgn no. 8 di atas?)
  27.     Teungku Di Bathoh
  28.     Teungku Di Peulumat
  29.     Teungku Pante Peulumat
  30.     Teungku Tanoh Mirah
  31.     Teungku Tanoh Abee
  32.     Teungku Gunong Ijo
  33.      Teungku Di Baet
  34.     Teungku Bak Keureuma
  35.     Teungku Di Cot Bak Goeh
  36.    Tuwan Di Cantek
  37.     Teungku Salah Nama
  38.      Teungku Anoe Manyang
  39.      Tuwan Pulo Angkasa
  40.      Teungku Paya Duwa
  41.      Teungku Di Gandrien
  42.      Teungku Lam Guha ( gelar atau sekedar sebutan?)
  43.      Teungku Lam Duson ( ada orangnya atau hanya sebutan?)
  44.      Teungku Syik Krueng Kale ( sama dgn no. 2 di atas?)
  45.       Teungku Batu Bara
  46.       Teungku Di Aron ( halaman 142, 152 – 174 )
Catatan:   1).  Naskah asal Kitab Teungku Di Cucum yang berhuruf Arab Melayu atau Jawi alias Jawoe ini belum diberi nama/judul oleh pengarangnya. Teungku Di Cucum mempersilakan orang lain memberikan  nama yang ‘bagus’ bagi karya beliau. Setelah selesai saya alih aksara ke huruf Latin pada Selasa, 25 Jumadil Akhir 1423 H/ 3 September 2002 M,  pukul 15.00 Wib., hasil salinan itu saya beri judul sementara “Tambeh Gohna Nan”( Tambeh Belum Bernama). Tgk Di Cucum saya perkirakan hidup pada zaman awal kedatangan Belanda di Aceh. Banyak tanda-tanda zaman itu tersirat dalam kitab beliau  “Tambeh Gohna Nan”.
2). Dalam  deretan lebih 40 Ulama Aceh itu, hanya Teungku Syik Krueng Kale satu-satunya yang bergelar Teungku Syik.
3. Pertanyaan yang timbul, bagaimana kiprah dan sejarah dari para Ulama  Aceh ini  dan  dimana   kuburan  beliau  berada  sekarang !!!?????.
Bale Tambeh, 9 Desember 2011, T.A. S akti
Kata Pengantar Tuwanku Raja Keumala: Ketika Menyalin Hikayat Akhbarul Karim
47. Teungku Syekh Abbas Kuta  Karang
48. Teungku Muhammad Amin Dayah Cut
49. Teungku Zainul Abidin
50. Teungku Di Cot Plieng
51. Teungku Pante Kulu
52. Teungku Pante Ceureumen/Teungku Nyak Kob
53. Tuwanku Raja Keumala
( Sumber: Kata Pengantar Tuwanku Raja Keumala: Ketika Menyalin Kitab  Akhbarul Karim. Kisah lebih lanjut tentang karya-karya para Ulama Aceh ini dapat dibaca dalam blog tambeh/Bek Tuwo Budaya. Sejauh catatan yang saya baca, Tuwanku Raja Keumala hidup antara tahun 1880 – 1930 M.  Kitab Akhbarul Karim  selesai disalin beliau  di kampung Kedah, Kuta Raja, Aceh Besar pada  18 Ramadhan 1337 H. Bale Tambeh, Sabtu, 10 Desember 2011 pkl 10.33 malam, T.A. Sakti ).

Posted By, E L.jr

eBook Catatan Dari Aceh


eBook Catatan Dari Aceh

Ratings: 0|Views: 1,903|Likes:
Published by Emil E. Elip
See More
 
Dari Bintang Sampai Lhok Nga:
Sebuah Catatan Perjalanan di Aceh
Banda Aceh 2010
Oleh: Emil E. Elip
 
 
Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal -
1
 
 Pengantar Penulis
Keinginan saya datang ke Aceh bukannya muncul lantarankesempatan yang diberikan oleh salah seorang teman saya.Tapi sejak musibah Tsunami memporak-porandakan Aceh,keinginan itu sudah ada untuk merasakan denyut“perubahan” yang luar biasa di tanah rencong ini. Akhirnya setelah sekian lama kesempatan itu datang jugasaya menginjakkan kaki di bumi rencong, denganbergabung dalam “Aceh local Government SupportProgramme” [Algap – II] yang dikembangkan oleh GTZ-SfDM. Dalam hal ini saya secara pribadi harusmengucapkan syukur, dan juga terima kasih banyak untuk Mas Ruslan dan Binariyanto.Begitu sulit saya ungkapkan dengan kata-kata rasa syukur dan terima kasih saya kepada semua pihak, yang jika ditulismungkin seperti daftar orang-orang yang begitu panjang.Kepada jajaran elite birokrasi, jajaran DPRK, para staf instansi pemerintah di beberapa kabupaten/kota khususnyadi Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah, teriiringucapan terima kasih saya. Para rekan dan sahabat perbincangan di warung-warung kopi, yang diantaranyaadalah petani, tukang ojek, pedagang sayur, mahasiswa, guru-guru, juga aktivis LSM, para syeck, dan macam-macam lain, terima kasih atas “sharing” dan satir-anekdot-nya yang segar.
 
 
Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal -
2
 
Buku kecil ini tentu tidak akan terwujud tanpa merekasemua. Kumpulan tulisan di buku ini mungkin bisadibayangkan semacam “mosaik” cuplikan refleksi atascatatan-catatan lapangan dari bumi Aceh bagian Tengah,khususnya sekitar Kabupaten Bener Meriah dan AcehTengah, serta berbagai tempat di Nanggroe AcehDarussalam. Memang kesan subyektif mungkin cukupkentara di dalam buku ini, namun melalui usaha pendekatan“perbandingan” dan refleksi antroplogis, semoga mosaik iniada manfaatnya serta menyuduhkan perspektif lain bagi Anda.Selamat membaca.Salam,Emil E. Elip

Activity (7)

1 hundred reads|over 2 years ago
1 thousand reads|about 1 year ago
Susie Wieber liked this|11 months ago
teorisastra liked this|11 months ago
Haslinda Datau liked this|about 1 year ago
pot1_mawar8616 liked this|about 1 year ago
Suryadi Suree Ab liked this|about 1 year ago