Search This Blog

Monday, June 10, 2013

GMNI Aceh Tengah Gelar Kaderisasi Tingkat Dasar

GMNI Aceh Tengah Gelar Kaderisasi Tingkat Dasar

suaraleuserantara May 25, 2013 
Kaderisasi GMNI di Aceh Tengah.(Foto: Suara Leuser Antara)
Kaderisasi GMNI di Aceh Tengah.(Foto: Suara Leuser Antara)
TAKENGEN |SuaraLeuserAntara|: Pengurus Daerah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI) Aceh Tengah gelar kaderisasi tingkat dasar, bagi mahasiswa di Posko Merah Putih, Kemili, Takengen, Sabtu (25/5/2013).
Aramiko yang juga sebagai pengurus GMNI menyebutkan, kegiatan pengkaderan tingkat dasar ini di ikuti oleh 60 mahasiswa dari sejumlah kampus di Aceh Tengah.” Mereka ada dari UGP, STAI, STIKES, STIHMAT dan Alwasliyah ,” terangnya.
” Acara ini sengaja kita gelar untuk memupuk semangat kebangsaan generasi muda yang kian pudar, apalagi di Aceh yang saat ini lagi eforia dengan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada ketidak setiaan terhadap negara “, ujar Aramiko.
Aramiko juga menegaskan bahwa, GMNI adalah organisasi pengkaderan bukan organisasi masa.  Hal ini sangat penting untuk mempertimbangkan kualitas kader daripada kuantitas. Hadir sebagai narasumber, Zulfan Diara Gayo, Edi Linting, Yunadi HR dan Aramiko dan mereka ini adalah bagian dari tokoh pemuda dan aktivis Aceh Tengah.
Kader-kader GMNI kedepan diharapkan mampu memberikan warna pergerakan mahasiswa di dataran tinggi Gayo dan wilayah ALA, pemikiran-pemikiran yang konstruktif bagi Bangsa dan Negara akan senantiasa didedikasikan untuk Indonesia . “ Kita sangat merindukan tokoh-tokoh pendiri bangsa ,” tegas Aramiko.
Acara pengkaderan tersebut dimulai pada pukul 09:00 – 18:00 WIB dan adapun materi yang diberikan pada acara pengkaderan tersebut diantaranya, keorganisasian, sejarah GMNI, sejarah politik Indonesia, wawasan kebangsaan dan nasionalisme serta sejarah kebudayaan Indonesia.(izq)
 

Solusi Aceh


Solusi Aceh

Solusi Aceh

Oleh Armada Saleh
armada-saleh
ACEH Sumatera National Liberation Front (ASNLF) merupakan cetusan yang muncul dari luapan amarah seorang tokoh Aceh kharismatik Almarhum Yang Mulia Teungku Muhammad Hasan Di Tiro, yang menyaksikan sendiri pelecehan Pemerintah Pusat Republik Indonesia terhadap  Aceh. Pada awal Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 18 Agustus 1945 dengan ditetapkannya “Pancasila” menjadi Ideologi dasar negara menggantikan “Piagam Jakarta” yang sudah disepakati sebelumnya. Alinea Pertama yang berbunyi: “Ketuhanan yang maha Esa dengan kewajiban melaksanakan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dirubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perubahan ini telah memicu Perselisihan/Perpecahan yang berujung pada pemberontakan Darul Islam dibawah Pimpinan KARTOSWIRYO di pulau Jawa, Teungku Daud Beureueh di Aceh dan Kahar Muzakar di Sulawesi.
Pemberontakan Darul Islam di Aceh juga di picu oleh penurunan status Provinsi Aceh menjadi Keresidenan Aceh dibawah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, pada tahun 1951 (Keputusan Presiden RI). Inilah jawaban Soekarno terhadap tuntutan Aceh yang menginginkan berlaku Syariat Islam di Aceh. Kemarahan Rakyat Aceh sudah tidak terbendung, pertumpahan darah tidak dapat dihindari, Pemberontakan ini berakhir pada tahun 1961 dengan 3 butir perjanjian damai yang disepakati antara Republik Indonesia dan Aceh. Aceh merupakan Daerah Istimewa: 1. Bidang Budaya, 2. Bidang Pendidikan, 3. Bidang Agama. Namun demikian keistimewaan ini tidak pernah di Undangkan oleh Pemerintah, sehingga Aceh merasa Dibohongi dan Dilecehkan.
Pada tahun 1958 Yang Mulia Teungku Muhammad Hasan Ditiro pernah mengusulkan kepada Pemerintah Pusat di Jakarta dengan tulisannya yang diberi judul “Demokrasi Untuk Indonesia”, Beliau mengusulkan bentuk Negara Republik Indonesia yang paling aman dan akan bertahan lama adalah berupa Negara Federal (Negara Persatuan), bukan kesatuan. Usul ini ternyata tidak mendapat sambutan dari Pemerintah Pusat. Bahkan selama Pemerintahan Presiden Soeharto, Aceh dijadikan sebagai Sapi Perahan. Minyak, Gas dan Hutan Aceh dikuras habis oleh Pusat. Aceh hanya menerima hadiah berupa Bencana Longsor dan Banjir. Atas restu dari Almarhum Teungku Daud Beureueh, maka pada akhir tahun 1976 Yang Mulia Teungku Muhammad Hasan Ditiro memproklamasikan “Aceh Merdeka” sebagai bentuk perlawanan terhadap Pemerintah Republik Indonesia.
Kekayaan Aceh yang diangkut ke Jakarta berupa hasil Tambang dan Pengundulan Hutan, sebahagian di kembalikan ke Aceh berupa Timah Panas. Pemberontak yang diberi julukan “Gerombolan Pengacau Liar Hasan Tiro”  di Bombadir dari laut, darat dan udara. Darahpun tumpah membasahi tanah Aceh selama 30 tahun. “Perang Saudara”  telah merenggut banyak nyawa, bahkan korban bukan hanya di pihak GAM dan Masyarakat biasa. Penulis juga bergabung dalam Barisan Gerakan yang dipimpin oleh Yang Mulia Teungku Muhammad Hasan Ditiro tersebut sejak di Bai’at oleh Teungku Ilyas Leube di Banda Aceh pada tahun 1975.
Sebelum tertangkap di Medan pada bulan April 2003, Penulis bertugas sebagai salah seorang Pimpinan Sipil Gerakan, berdampingan dengan Teungku Ilham Ilyas Leube untuk wilayah Dataran Tinggi Gayo. Dari LP klas 1 A Porong Sidoarjo Penulis menyaksikan lewat Televisi, serangan Dahsyat yang dikirimkan Allah SWT ke Dataran Aceh berupa Tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 yang merenggut ratusan ribu korban nyawa dan bangunan serta lahan pertanian musnah. Ternyata bencana ini membuka hati dan kesadaran kedua belah pihak untuk lebih intent merumuskan Perdamaian, Mengakhiri Permusuhan.
Saat yang diharapkanpun tiba, pada tanggal 15 Agustus 2005 kesepakatan Damai di tanda tangani oleh kedua belah pihak yang bertikai, disaksikan oleh Uni Eropah di kota Helsinki, Finlandia. Kami yang berjumlah 73 orang yang tersebar di berbagai LP di Jawa Timur mendapat Amnesti dari Presiden Republik Indonesia, selanjutnya kembali ke Aceh dengan penuh harap dan tekad untuk tetap Damai. Dengan demikian  Insya Allah Aceh dapat berbenah mengejar ketertinggalan dari provinsi lainnya di Indonesia. Walaupun keadilan yang sangat diinginkan oleh semua lapisan rakyat Aceh belum terwujud sampai kini, setidaknya dalam kondisi Damai, sektor Pendidikan, Kegiatan Ekonomi dan Pertanian sudah mulai bergairah kembali.
Yang Mulia Teungku Muhammad Daud Beureueh hanya menuntut berlaku Syariat Islam di Aceh. Yang Mulia Teungku Muhammad Hasan Ditiro menginginkan Indonesia merupakan Negara Federal (termasuk Provinsi Aceh). Butir-butir perjanjian damai memberikan kenyataan yang lebih luas dari apa yang diperjuangkan oleh kedua Tokoh Kharismatik Aceh tersebut diatas.
Syariat Islam telah di Undangkan. Aceh ditetapkan sebagai Daerah Istimewa dengan predikat “Otonomi Khusus”. Keistimewaan yang sebahagian telah di Undangkan, dan Sebahagian besar masih dalam rumusan di DPR Aceh. Insya Allah semua akan terlaksana dengan baik dan tuntas selama “Niat” senantiasa diutamakan untuk tetap damai. Saat ini masyarakat Aceh sangat membutuhkan perbaikan kondisi sosial, terutama di daerah yang tidak terjangkau oleh Program BRR (Badan Rehabilitas dan Rekontruksi) pasca Tsunami, yaitu Daerah Penggunungan. Program Pemberatasan kemiskinan seharusnya menjadi Prioritas Utama dalam menentukan kebijakan Pemerintah Daerah Aceh Pasca Tsunami dan Konflik saat ini.
Pemerintah dan DPR Aceh terkesan memaksakan kehendak dengan menetapkan prioritas utama:
- Qanun wali Nanggroe, yang mengharuskan setiap calon dapat berbahasa Aceh dengan baik dan benar (Mendiskreditkan Bahasa Daerah lainnya yang ada di Aceh).
- Penetapan Qanun Bendera Aceh yang sangat mirip Bendera GAM semasa Konflik. (Terkesan Mengabadikan Permusuhan dengan Republik Indonesia).
- Dengan sengaja menentukan berbagai kebijakan yang mengesankan keinginan untuk segera berpisah dari Republik Indonesia.
Semua kebijakan tersebut diatas sangat potensial memecah belah rasa Persatuan dan Kesatuan dalam masyarakat Aceh sendiri yang sangat merindukan Kedamaian. Dalam masa Konflik, Penulis rela bergabung bersama pejuang yang tangguh menyusuri hutan belantara dan Rimba Aceh yang sangat bersahabat. Ratusan Tentara Pejuang menemui ajalnya dengan penuh keyakinan  akan memperoleh Syahid dalam membela Keadilan dan menegakkan Syariat Islam di bumi Serambi Mekah.
Penulis meyakini bahwa perjuangan Yang Mulia Teungku Daud Beureueh dan Yang Mulia Teungku Muhammad Hasan Ditiro bukan untuk memisahkan Aceh dari Republik Indonesia, tetapi demi untuk tegaknya Syariat Islam dan Keadilan di bumi Aceh (Yang Mulia Teungku Muhammad Hasan Ditiro dalam bukunya “Demokrasi untuk Indonesia”). Hasil perjuangan yang sudah dicapai berupa butir-butir kesepakatan damai merupakan medan perjuangan politik yang harus dituntaskan dengan Bijaksana dan Cerdas. Namun demikian memprioritaskan Bendera GAM berkibar menjadi Bendera Pemersatu Rakyat Aceh adalah Satu keputusan yang sangat keliru, bahkan menjadi sumber perpecahan.
Untuk saat ini Rakyat Aceh memerlukan perbaikan kesejahteraan, bukan bendera dan lambang daerah. Kebutuhan masyarakat Aceh yang sangat mendesak saat ini adalah berupa Qanun Ekonomi, Pertanian dan Perdagangan serta kebebasan mengelola hasil bumi Aceh atau Tambang yang dapat mempercepat pencapaian kesejahteraannya (MOU Helsinki Pasal 1.3.1 s/d 1.3.9).
Sudah seharusnya Pemerintah Aceh memberikan arahan skala prioritas dalam hal pembahasan Qanun Aceh kepada DPR Aceh yang Anggotanya Mayoritas bukan Sarjana dan Relatif Extrem. Bukan justru memacu ego mereka untuk berhadapan dengan penuh kebencian terhadap Pemerintah Pusat.
Sebagai salah seorang Anggota Masyarakat Aceh yang cinta damai dan sekaligus sebagai Mantan Anggota Gerakan Aceh Merdeka, Penulis hanya dapat menyampaikan himbauan kepada segenap Aparat Pemerintahan Aceh, kiranya dapat Mendengar dan Mempertimbangkan saran dan masukan dari Masyarakat, karena merekalah yang akan merasakan secara langsung akibat dari Kebijakan Pemerintah yang berdampak Bencana.
Solusi Damai
Pergolakan di Aceh yang dikenal dengan “Gerakan Aceh Merdeka” (GAM) di bawah pimpinan Yang Mulia Tengku Muhammad Hasan Ditiro, didukung oleh mayoritas masyarakat Aceh, baik yang berdomisili di dalam maupun di luar Aceh. Pimpinan yang kharismatik tersebut berlaku adil dan bijaksana, mencintai dan menghormati semua suku bangsa yang hidup di bumi Serambi Mekah ini. Semua keputusan dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi besar Muhammad SAW, bahkan sebelum bendera “Aceh Merdeka” dikibarkan di puncak Gunung Halimun, beliau masih mambuka kesempatan untuk berdiskusi. Sikap dan keikhlasan beliaulah yang telah menuai dukungan luas dari mayoritas masyarakat Aceh. Sangat jauh berbeda dengan kenyataan paska Aceh damai yang dirasakan saat ini. Visi semula yang diimpikan oleh pencetus ide perjuangan untuk “Aceh Mulia” telah terlupakan, maka sudah sepantasnyalah mayoritas suku bangsa yang berdomisili di Aceh menyuarakan penolakan terhadap kebijakan pemerintah Aceh yang menjurus kepada “Berakhirnya Damai”.
Keputusan pemerintah Aceh menetapkan bendera GAM sebagai bendera Aceh merupakan pernyataan resmi pemerintah Aceh bahwa setiap jengkal tanah Aceh dan masyarakatnya adalah mantan Separatis GAM. Masyarakat yang tidak terdaftar sebagai mantan GAM tentu sangat berkeberatan dipaksakan berdiri dengan sikap sempurna memberi hormat kepada bendera Aceh tersebut yang pernah menjadi trauma di hati mereka.
Mempertimbangkan penolakan sebagian Masyarakat Aceh dari hal Qanun Bahasa, Lambang dan Bendera, yang telah di Syahkan oleh DPR Aceh dan Pemerintahan Aceh, Penulis menyarankan bahwa semua Kabupaten yang tidak sepakat dengan Qanun tersebut agar memberikan pernyataan resmi dari DPR Kabupaten yang bersangkutan, di Syahkan oleh Bupati/Walikota masing-masing. Kabupaten dan Kotamadya tersebut di himpun dalam satu atau dua kelompok untuk segera dibentuk satu atau dua Provinsi baru terpisah dari Provinsi Aceh. Hal ini lebih menjamin agar tidak terjadi Konflik Horizontal antara masyarakat di Aceh. Mencari penyelesaian Qanun bendera melalui ”REFERENDUM” sebagaimana yang diusulkan oleh DPR Aceh pada pertemuan di Makasar tanggal 17 Mei yang lalu merupakan usul yang tidak selayaknya diutarakan dalam suasana Aceh damai saat ini.Wallahu A’lam
*Karyawan swasta, tinggal di Banda Aceh

[Sya'er Gayo] Amalah Ari Kenawat


 [Sya'er Gayo] Amalah Ari Kenawat

[Sya'er Gayo] Amalah Ari Kenawat

Musirang

Sayup-sayup ku penge keber
Lampu si terang gere ne bersiner
Kupen wan umah nge meh jinger
Janji si mulo lagu nge ingker
Gere ne ku penge keber ari Gayo
Kune die ama ine sanak sudere
Ari soboh mi munantin iyo
Nge rap muah i petetah dewe
Kite munyuen jema mujergut
Sabi diri dabuh perebut
Buet kenake gelah silayak patut
Enti kuen kiri turah kona sikut
Ike tikik pe jeroh bebagi
Enti ara si untung maupun rugi
Ara tikik sipet ni urang kite ni
Ike nge maju dabuh turuhen diri
Asa nge beta bange si tingir
Jema sitelas turah tersingkir
Selama ini kupen temuni ni tungir
Berlaku cules wan pola pikir
Kune kite male maju
Ara tikik nge timul nesu
Simulo keta renyel selalu
Sipuren taring kat duru
Gere berpikir mu netah cara
Kune tanoh gayo wan kabar berita
Simampaat gune ku dele ni jema
Geh ni kite dabuh perkara ……..
Medan, 10 Juni 2013
*Amalah Ari Kenawat, pria kelahiran Kenawat Lut Kabupaten Aceh Tengah merantau ke Medan Tanaha Deli

Darah dan Tanah Bangsa Nusantara Berawal dari Dataran Tinggi Gayo?

LINTASGAYO.CO
 Darah dan Tanah Bangsa Nusantara Berawal dari Dataran Tinggi Gayo?

Darah dan Tanah Bangsa Nusantara Berawal dari Dataran Tinggi Gayo?

Oleh: Surahman,S.IP*
SurahmanPARA ahli bingung memasukkan bangsa Gayo kedalam ras Melayu, karena memang Bangsa Gayo berbeda dengan bangsa melayu baik Proto Melayu (melayu tua) maupun Deutro Melayu (melayu muda). Hanya karena faktor geografis saja membuat mereka masuk ke keluarga Austronesia.
Di duga jauh sebelum kedatangan bangsa Melayu (Proto dan Deutro) bangsa Gayo sudah menempati pedalaman nusantara (penghuni pedalaman adalah realitas penduduk asli nusantara) hanya sebuah teori yang dipaksakan oleh para ahli memasukkan bangsa Gayo ke dalam ras Melayu. Para ahli berada dalam kebingungan memasukkan penduduk nusantara sebelum kedatangan proto melayu dan deutro melayu.
Namun ada beberapa ahli yang berani mengungkapkan bahwa sebelum ras Austronesia (nenek moyang ras melayu) datang ke nusantara, telah ada penduduk dinusantara, seperti yang dikatakan oleh, Prof Arysio Santos dimana, Nusantara adalah tempat lahirnya peradaban dunia, bahkan secara tegas beliau mengatakan  bahwa lokasi atlantis yang tekubur adalah nusantara.
Sementara itu, Prof Mohammad Yamin mengatakan, bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari daerah Indonesia sendiri. Pendapat ini didasarkan oleh penemuan fosil-fosil dan artepak-artepak manusia tertua di nusantara. Di samping itu Mohammad Yamin berpegang pada prinsip Blood Und Breden Unchro, yang berarti darah dan tanah bangsa nusantara berasal dari nusantara sendiri. Manusia purba telah tinggal di nusantara sebelum terjadi gelombang perpindahan bangsa-bangsa dari yunan dan campa ke wilayah nusantara.
Sedangkan, Hogen berpendapat, bangsa yang mendiami daerah pesisir melayu berasal dari pedalaman Sumatera. Dari ketiga teori di atas bahwa nusantara sebelum kedatangan bangsa melayu tua dan melayu muda telah ada penduduk di nusantara, bahkan Sarasin bersaudara (penjelajah terkenal pedalaman) mengatakan bahwa nusantara mempunyai penduduk asli yaitu populasi asli kepulauan adalah orang dengan fenotipe, mempunyai tubuh agak kecil (sedang) tidak tinggi dan tidak terlalu pendek.
Kelompok ini awalnya mendiami seluruh nusantara, pada waktu itu wilayah nusantara adalah satu daratan yang solid. Tentu saja, es dari periode glacia tidak pernah menutupi pulau-pulau di nusantara, tapi pada penghujung periode glacial yang terakhir level laut naik begitu tinggi, pada saat penomena inilah bangsa ini musnah (seperti musnahnya suku Maya di Amerika), yang menyebabkan Laut Cina Selatan dan Laut Jawa terbentuk dan memisahkan wilayah pegunungan vulkanik Indonesia dari daratan utama, sisa-sisa penduduk asli nusantara akibat level air laut naik (bukan banjir besar pada saat Nabi Nuh as, banjir pada saat Nabi Nuh as terjadi regional, tidak secara gelobal, karena banjir tersebut hanya untuk kaum Nabi Nuh as saja).
Diduga masih tinggal di daerah-daerah pedalaman yang selamat atas penomena tersebut, mereka mendiami hutan dan pegunungan di Sumatra (Gayo, Lubu, Kubu, dan Mamak) serta Senoi di semenajung Malaya, Sarosin bersaudara menyebut keturunan orang asli ini orang Vedda, sementara daerah-daerah pantai tersebut di huni oleh pendatang-pendatang baru (Campa, Kochin, dan Mongol).
Gayo yang masuk kedalam keturunan orang asli nusantara atau di sebut orang Vedda adalah manusia mempunyai peradaban yang pertama mendiami kepulauan nusantara, mereka hidup di tahap mesolitik dan neolitik, bangsa vedda berkarakter pemalu, jarang terlihat kecuali di datangi, tempat mereka di pedalaman yang masih liar, mereka sangat toleran terhadap pendatang.
Mereka tidak punya pilihan lain kecuali melebur atau musnah, tentu pilihannya melebur dengan pendatang yang menghuni daerah-daerah pantai yang baru terbentuk (Kampa, Kochin, dan Mongol). Hasil peleburan bangsa Vedda dan pendatang inilah di duga manjadi cikal bakal bangsa melayu pertama/melayu tua (Proto Melayu 3000SM-1500SM), keturunan Bangsa Proto Melayu yang masih hidup hingga sekarang adalah suku bangsa Dayak, Toraja, Batak dan Alas (I Wayan Legawa).
Para ahli juga memasukkan Gayo ke dalam bangsa Proto Melayu, ini di akibatkan kebingungan para ahli yang tidak ahli, hanya membagi nenek moyang bangsa nusantara ke dalam dua gelombang, gelombang pertama proto melayu, yaitu hasil peleburan bangsa vedda (Gayo, Lubu, Kubu dan Mamak dengan bangsa pendatang Campa, Kochin dan Mongol), dan gelombang kedua deutro melayu/ melayu muda 1500SM-500SM ( Jawa, Minang, dan Bugis).
Para ahli luput bertanya kepada dirinya sendiri, apakah masih ada bangsa vedda yang merupakan penduduk asli nusantara yang masih orisinil, tidak mengalami proses peleburan terhadap bangsa campa, kochin, dan mongol di nusantara, seperti sejarawan Gayo bercerita tentang kerajaan linge, namun tidak pernah bercerita tentang peradaban masyarakat Gayo sebelum berdirinya kerajaan Linge, inilah yang membuat mata rantai yang terputus karena sangat tidak dapat diterima oleh logika apa bila lebih dulu ada kerajaan, baru ada rakyatnya, lebih parah lagi para ahli asing tidak pernah menjejakkan kakinya kepedalaman dataran tinggi Gayo (Samar Kilang, Linge, Payung, Nasuh, Pertik, Delung, Bugak, Layong, Tekur dan lain-lain) sepanjang hulu-hulu sungai Arakundo dan hulu-hulu sungai di Lukup Serba Jadi.
Di duga bahwa orang-orang Gayo yang menempati pedalaman hulu-hulu sungai baik di Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Timur, dan Penieng di Gayo Lues adalah bangsa Vedda yang selamat dan tidak mengalami proses peleburan terhadap pendatang dari periode glacial yang menyebabkan naiknya level laut begitu sangat tinggi. (akan di jelaskan dalam buku yang akan terbit “Gayo, Bangsa Kuno Yang Tersisa” oleh Surahman Aman Saradilen dan Hammadin Aman Fatih.
Sunguh bersyukur didalam diri kita mengandung darah Gayo, karena darah tersebut adalah cikal bakal nenek moyang bangsa nusantara melayu tua (Proto Melayu 3000SM – 1500SM), terbukti dengan ditemukannya kerangka manusia pra-sejarah di dataran tinggi Gayo ada kesamaan dengan kerangka  manusia pra-sejarah yang ditemukan di gua harimau Palembang, Gua Broholo, Gua Marjan dan gua-gua lainnya dinusantara. Ada kemiripan dalam sistem penguburan yaitu Timur-Barat, orientasi Timur-Barat dihubungkan dengan siklus kehidupan yang menganggap arah Timur sebagai lokasi penempatan kepala sebagai simbol matahari terbit, sedangkan arah barat sebagai lokasi kaki sebagai simbol mahari tenggelam.
Dalam kontek ini, penguburan  dengan orientasi mengacu pada asal mula (timur) dan akhir (barat) dari kehidupan (baca, Gayo Merangkai Indentitas). Darah Gayo menjadi penjelajah dan penghuni nusantara pada  saat itu, terlihat dari system penguburan bangsa pra sejarah nusantara yang ada kesamaan, ini artinya mereka berasal dari rumpun yang sama, daerah yang sama dan mempunyai kepercayaan yang sama.
Walaupun darah Gayo yang ada dalam bangsa proto melayu telah menjadi jaman pra sejarah, namun masih ada kuturunan asli bangsa Vedda yang masih orisinil, tanpa mengalami peleburan dari bangsa pendatang pertama, yaitu Suku Gayo saat ini, tentu menjadi suku karna mereka telah menjadi minoritas di Nusantara kini.
Setidaknya kita harus bersyukur karna Tuhan yang Maha Esa masih menjaga keberadaan suku Gayo dari jaman pra sejarah sampai hari ini, jika kita bandingkan dengan peradaban kuno lainya seperti suku Maya dan suku Atec di Amerika telah mengalami kepunahan, hanya meninggalkan sejarah bahwa mereka pernah ada.(bangsa.situe@gmail.com)
* PNS biasa di kantor Camat Bener Kelipah dan Dosen Etika Filsafat di Fisip UGP Takengon

Letkol Inf Lalu Habib Burahim Dandim 0106/AT yang Baru


 Letkol Inf Lalu Habib Burahim Dandim 0106/AT yang Baru

Letkol Inf Lalu Habib Burahim Dandim 0106/AT yang Baru

Sertijab Dandim.(LCO-Penrem 011/LW)
Sertijab Dandim.(LCO-Penrem 011/LW)
Lhokseumawe – LintasGayo: Komandan Korem 011/Lilawangsa, Kolonel Inf Hipdizah, pimpin pelaksanaan upacara serah terima 2 Jabatan Komandan Kodim di jajaran Korem 011/LW. Bertempat di Gedung KNPI, Senin (10/6/2013).
Jabatan Komandan Kodim yang diserah terimakan antara lain, Dandim 0106/Aceh Tengah, dari Letnan  Kolonel Inf Sarwoyadi kepada Letnan  Kolonel Inf Lalu Habib Burahim, dan Penyerahan Tugas Wewenang dan Tanggung Jawab Dandim 0104/Aceh Timur diserahkan kepada Letnan Kolonel Inf Mujahidin, S.H.
Danrem 011/LW mengatakan, bahwa serah terima jabatan ataupun alih tugas yang selalu digelar dan dilaksanakan di lingkunagn TNI–AD Umumnya, dan termasuk di jajaran Korem 011/LW pada khususnya.
Pergantian jabatan ini merupakan upaya Pembinaan Satuan untuk penyegaran Jabatan, terlebih yang paling utama adalah untuk melakukan upaya pembenahan Organisasi di Satuan Kewilayahan dan Teritorial agar kedepan lebih maju, eksis, kredibel, profesional dan proporsional dihadapkan dengan tantangan tugas ke depan.
Para komandan satuan harus mampu menghayati dan menterjemahkan catur karya pembinaan ini agar memiliki kepedulian untuk menyampaikan dengan bahasa yang komunikatif kepada anggotanya, sehingga mereka akan memiliki semangat tinggi dalam menjalankan tugas pokoknya.
Hadir pada acara tersebut, Kasrem 011, para Dandim Jajaran Korem 011/LW, para Danyon Jajaran Korem 011/LW, para Kasi Korem 011/LW, para Komandan dan Kepala Dinas Jawatan, para Perwira Korem 011/LW. Serta Bintara dan Tamtama, PNS jajaran Korem 011/LW.(Pendam IM)