Search This Blog

Monday, November 25, 2013

Perang Cumbok

Perang Cumbok

Perang Cumbok adalah perang yang terjadi pada tahun 1946 hingga 1947 dan berpusat di Pidie, timbul karena adanya kesalahan peran dan tafsir dari kaum ulama dan Uleebalang (kaum bangsawan) terhadap proklamasi Indonesia, 17 Agustus 1945.

Bagi kaum ulama, proklamasi ini berarti telah berakhirnya kezaliman yang sudah lama dialami bangsa Indonesia, khususnya Aceh dari penjajahan Belanda dan Jepang. Sementara, sebagian pihak lain dari kaum bangsawan melihat larinya Jepang harus diganti dengan Belanda sebagai upaya untuk memulihkan kekuasaan tradisional mereka yang sebagian besar telah dimimalkan Jepang dan besar ketika Belanda berkuasa.

Ulama Aceh dipimpin Teungku Daud Beureueh dengan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), melihat proklamasi sebagai yang harus dimaknai secara nyata di Aceh.

PUSA didirikan atas musyawarah ulama untuk mempersatukan pola pikir para ulama, dalam perkembangannya PUSA menjadi motor yang menggerakkan berbagai konflik dalam sejarah Aceh, termasuk dalam peristiwa Perang Cumbok. Sebagian warga Aceh pro Ulee Balang memplesetkan PUSA sebagai pembunuh Uleebalang Seluruh Aceh. Tidak semua Uleebalang ingin Belanda kembali dan berkuasa.

Proklamasi hanya menjadi momentum puncak untuk terjadinya konflik antara ulama dan Uleebalang di sekitar Pidie. Akhirnya, Uleebalang dipimpin Teuku Keumangan dengan Panglimanya T.Daud Cumbok dan perlawanan rakyat dipimpin Daud Beureueh dengan panglimanya Husin AL-Mujahid.

Dalam perlawanan, pasukan Cumbok bahkan telah menguasai kota Sigli, Pidie. Namun penguasaan itu tidak berlangsung lama karena adanya mobilitas perlawanan rakyat yang dilakukan ulama mengakibatkan pasukan Cumbok terpaksa kembali ke markas di Lamlo atau kota Bakti. Sesampai di Lamlo, pasukan Cumbok digempur pasukan rakyat dan pemberontakan ini akhirnya dapat ditumpas pada Januari 1946. Teuku Daud Cumbok ditangkap dan dihukum mati, sementara harta peninggalan para Uleebalang dikuasai kaum Ulama.
Suara itu bergetar. "Saya tidak mau membicarakannya," kata Profesor Teuku Ibrahim Alfian, ahli sejarah dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ayah dan ibu Ibrahim memang selamat dari Perang Cumbok, Aceh, 1946. Tapi nenek, kakek, pamaaan, juga banyak sepupunya jadi korban massa yang marah pada keluarga uleebalang, bangsawan. "Saya tak tahu di mana kubur mereka sampai kini," kata Ibrahim.
Dan bukan hanya Ibrahim Alfian yang berduka. "Kita semua menangis mengenang kejadian berdarah itu," kata Farhan Hamid, anggota DPR dari Fraksi Reformasi. Farhan adalah anak ketiga dari Teungku Abdul Hamid-akrab dipanggil Ayah Hamid-ulama, juga sahabat Teungku Daud Beureueh.
Seperti disebut James T. Siegel, antropolog dari University of California, dalam bukunya The Rope of God (1962), Perang Cumbok tak bisa lepas dari konteks tatanan sosial pada saat itu. Tatanan yang sengaja dibangun demi kepentingan Belanda.
Awalnya, 1867, Sultan Aceh diminta tunduk pada kedaulatan Hindia Belanda, yang berpusat di Batavia. Sejak itulah muncul gelombang perang panjang lagi mahal yang melahirkan pahlawan nasional sekelas Cut Nyak Dien, Teuku Umar, dan Teungku Cik Di Tiro (1867-1942).
Demi memenangi perang, Belanda menugasi Snouck Hurgronje, ahli ilmu Islam, guna mempelajari karakter masyarakat Aceh. Dalam The Atjehnese (1906), Snouck menganjurkan Belanda memanfaatkan uleebalang. Setiap uleebalang punya wewenang penuh mengendalikan nanggroe (negeri). Ada 103 nanggroe di Aceh.
Kekuasaan sebesar itu mendorong bangsawan seperti Teuku Haji Cik Mohamad Johan Alam Syah, dari Peusangan, memakmurkan rakyatnya. Ia mengadopsi teknologi irigasi dan pendidikan, dan akomodatif terhadap ulama. Sebaliknya Teuku Keumangan Oemar. Ia jadi gila kuasa: menguasai lebih dari separuh areal persawahan di nanggroe. Kala terbit sengketa di masyarakat, uleebalang seperti Oemar berpihak pada Belanda. "Mereka punya hakim, pengadilan, polisi, juga penjara sendiri," kenang M. Nur El Ibrahimy, menantu Daud Beureueh.
Jepang masuk pada 1942, polarisasi lama mulai menampakkan wujud yang pukul rata: para uleebalang di satu pihak, rakyat bersama ulama di pihak lain. Lalu, 17 Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan menajamkan polarisasi itu. Sang kabar tak cepat sampai, tapi segenap ulama Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA)-dipimpin Teungku Daud Beureueh-lalu menyambutnya gegap-gempita, langsung menyatakan sumpah setianya.
Namun, kubu uleebalang tak sejelas itu. Ada Teuku Nyak Arief, Teuku Hamid Azwar, dan Teuku Ahmad Jeunib yang mendukung Republik. Tapi ada Teuku Daud Cumbok yang lebih merindukan kembali datangnya Belanda. Wajarkah hal ini? Tak demikian bagi Profesor Anthony Reid, penulis buku The Blood of the People _ Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra.
"Dia sangat berani, kalau tidak boleh dibilang nekat dan sembrono," kata Reid, yang kini Direktur Asia Research Institute (ARI), Singapura. Di tengah-tengah suasana gandrung kemerdekaan, Daud Cumbok malah gembar-gembor Indonesia belum siap merdeka. Ada banyak cerita tentang dia. Pasar malam di Lam Meulo, markas Daud Cumbok, punya judi dan mabuk sebagai menu utama-simbol pelecehan ulama. Ia memerintahkan penurunan bendera Merah-Putih, penggerebekan rumah para pemimpin PUSA. "Daud Beureueh kami ungsikan ke rumah penduduk di Desa Garot, Metareum," kata Nur Ibrahimy.
Akhirnya, Desember 1945, pemerintah pusat memaklumkan Teuku Daud Cumbok pengkhianat Republik dan harus dihukum. Sang uleebalang menampik.
Pada 10 Januari 1946, ribuan rakyat, ulama, dan tentara Angkatan Perang Indonesia (API)-sebagian komandannya kaum ningrat-menyerang markas Cumbok di Lam Meulo. Tiga hari pertempuran sengit berlangsung. Senapan, meriam saling berbalas. Hari ke-empat, mereka kabur ke hutan. Pertempuran resmi berakhir 17 Januari 1946. Nama Lam Meulo diganti menjadi "Kota Bakti" guna menghormati ratusan orang yang gugur di sana.
Tapi, kemarahan massa tak lekas reda, revolusi sosial meletup. Rumah indah milik Teuku Oemar Keumangan beserta seluruh isinya-senilai Rp 12 juta saat itu-dibakar habis. Tapi Teuku Ahmad Jeunib, yang jelas-jelas menyatakan setia pada Republik-tidak luput dari pembantaian. Para korban termasuk orang tua dan anak-anak uleebalang yang tak berdosa.
Farkhan Hamid ingat satu peristiwa yang dituturkan oleh ayahnya. Serombongan orang meminta ayahnya datang ke sebuah lapangan. Di sana, puluhan orang bersiap-siap menghabisi belasan bocah, anak-anak para uleebalang. Ayah Hamid terperanjat, berteriak: "Tunjukkan padaku hukum Allah yang membenarkan tindakan ini." Massa terdiam. Anak-anak itu lantas dilindungi di pesantren milik keluarganya.
Salah satu keturunan uleebalang yang selamat berhasil dihubungi TEMPO, dia tidak mau disebut identitasnya, menolak berkomentar. "Saya ini sudah uzur, lebih baik tak usah ngomongin hal itu," katanya. Terlalu pahit.
Apakah penyebab Perang (Revolusi Sosial) Cumbok di Aceh?
Perang/Revolusi sosial Cumbok terjadi pada sekitar tahun 1946 (?) terutama di area Pidie, Aceh Timur, Aceh Utara dsk.
Perang terjadi antara Gol. Uleebalang (teuku) yang dikomandoi T. Cumbok dan Gol. Ulama (Teungku)
Sampai sekarang ada dua hal sumber yg menyatakan sebab khusus Peperangan tsb, sbb:
1. T Cumbok memprakarsai perang karena uleebalang saat itu menginginkan status quo sebagai landlord dan elit politik ingin mempertahankan "kekuasaannya" terlebih banyak uleebalang (teuku) merupakan 'gelar pemerintahan militer hindia belanda' sebagai penguasa lokal / administratif (politik belanda utk memecah struktur masyarakat di Aceh atas anjuran snouck hargrunje) yag disuplai sebelumnya (persenjataan dan legitimasi) oleh Belanda sehingga khawatir apabila NKRI merdeka , peranan dan kepentingan sosial politik dan kekuasaannya menjadi terganggu; atau
2. T. Cumbok tidak setuju atas bergabungnya Aceh kepada NKRI, yg sewaktu itu didukung PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yg didukung penuh oleh Tgk Daud Beureueh, atau
3. Sebab2 lainnya mohon pencerahannya
Apakah penyebab Perang (Revolusi Sosial) Cumbok di Aceh?
Perang/Revolusi sosial Cumbok terjadi pada sekitar tahun 1946 (?) terutama di area Pidie, Aceh Timur, Aceh Utara dsk.
Perang terjadi antara Gol. Uleebalang (teuku) yang dikomandoi T. Cumbok dan Gol. Ulama (Teungku)
Sampai sekarang ada dua hal sumber yg menyatakan sebab khusus Peperangan tsb, sbb:
1. T Cumbok memprakarsai perang karena uleebalang saat itu menginginkan status quo sebagai landlord dan elit politik ingin mempertahankan "kekuasaannya" terlebih banyak uleebalang (teuku) merupakan 'gelar pemerintahan militer hindia belanda' sebagai penguasa lokal / administratif (politik belanda utk memecah struktur masyarakat di Aceh atas anjuran snouck hargrunje) yag disuplai sebelumnya (persenjataan dan legitimasi) oleh Belanda sehingga khawatir apabila NKRI merdeka , peranan dan kepentingan sosial politik dan kekuasaannya menjadi terganggu; atau
2. T. Cumbok tidak setuju atas bergabungnya Aceh kepada NKRI, yg sewaktu itu didukung PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yg didukung penuh oleh Tgk Daud Beureueh, atau
3. Sebab2 lainnya mohon pencerahannya

Ulama-Ulama dan kitab-kitab Aceh

Ulama-Ulama dan kitab-kitab Aceh

Berkembangnya ilmu pengetahuan di Aceh pada masa terdahulu tidak terlepas dari peran ulama. Mereka berperan penting dalam mensosialisasikan pentingnya ilmu pengetahuan kepada masyarakat. Menurut mereka menuntut ilmu merupakan  yang harus menjadi perhatian serius semua pihak. Untuk memotivasi masyarakat untuk itu mereka menyertai pesannya dengan hadits Nabi SAW, sehingga menuntut ilmu dalam masyarakat Aceh dilandasi oleh semangat mencari pahala dan beribadah, di samping itu partisipasi masyarakat luas dalam pengembangan pendidikan agama juga sangat besar.

Partisipasi itu bisa sebatas memberi dukungan baik moril maupun materi kepada orang yang menuntut ilmu, malah dengan menghadiri majelis ilmu saja sudah mendapat apresiasi dengan adanya janji pahala yang sangat besar dari Allah SWT.

Hal itu dapat dijumpai dalam beberapa kitab yang ditulis oleh ulama Aceh, salah satunya kitab Syifaul Qulub yang ditulis oleh Arif Billah Syeikh Abdullah, yang merupakan salah satu kitab yang terhimpun dalam kitab Jam’u al-jawamik. Kitab yang berisi 400 hadits itu menempatkan bab keutamaan ilmu dan ulama pada bagian pertama.

Ini menunjukkan seriusnya Syekh Abdullah dalam memandang pentingnya ilmu pengetahuan bagi masyarakat Aceh.

Kitab yang umumnya dibaca oleh murid pemula itu telah berdampak luas dalam masyarakat Aceh sehingga terbangunnya struktur masyarakat adat yang mengharuskan anak-anak untuk belajar agama dengan meunasah sebagai sentralnya.

Sementara bagi yang ingin meningkatkan ilmunya akan pergi ke dayah-dayah dengan sistem meudagang (mondok) hingga bertahun-tahun lamanya.

Dalam kurun waktu yang sangat lama Aceh menjadi pusat kajian Islam di nusantara berkat semangat keagamaan tersebut, sehingga ada adagium yang  berkembang seolah-olah kalau tidak bisa mengaji bukan orang Aceh namanya.

Walaupun ada masyarakat Aceh yang lahir sebelum kemerdekaan Indonesia yang buta aksara latin, tapi mereka umumnya sangat lancar membaca huruf Arab dan Arab Jawi, ini menandakan budaya keilmuan telah berkembang di zaman dahulu sesuai dengan konteks yang ada pada masanya. Karena sebelum Belanda Menjajah Aceh, kitab yang berkembang pada masa itu adalah Arab jawi.

Dalam kitab Syifaul Qulub, Syeikh Abdullah menuliskan:

“Barangsiapa menolong ia akan orang yang alim yakni orang yang mengajar, atau menolong ia akan orang yang mutaallim, yakni orang yang belajar, jikalau adanya dengan qalam yang patah sekalipun, maka serasa-rasa ia berbuat ka’bah tujuh puluh kali (hadits)”.

Kutipan-kutipan hadits seperti di atas telah menumbuhkan semangat infaq di kalangan masyarakat, sehingga banyak yang memberi sumbangan kepada lembaga pengajian agama, baik dalam bentuk uang maupun wakaf tanah. Sehingga dimana-mana dalam masyarakat sangat banyak didapatkan tanah wakaf yang dikelola oleh imum gampong selama masih menjabat dan mengajar Al-Quran untuk anak-anak.

Hal yang sama juga kita dapatkan pada lembaga yang lebih tinggi seperti dayah yang sering dibangun di atas tanah wakaf, dan pembangunan juga dilakukan dengan  sumbangan masyarakat sekitar, malah dalam waktu yang sangat lama dayah Aceh tidak mendapat dana dari pemerintah.

Di samping pentingnya ilmu pengetahuan, Syekh Abdullah juga menekankan pentingnya memberi penghormatan kepada para ulama.

“Siapa yang mempermuliakan ulama maka bahwasanya mereka itu pada Allah Ta’ala itu mulia ia (hadits)”.

Pesan-pesan tersebut membentuk karakter masyarakat Aceh yang cinta ulama serta menghormati mereka.

Apalagi dalam lembaga pendidikan seperti dayah rasa hormat kepada guru telah menjadi tatanan yang melekat erat bagi setiap santrinya. Bagi santri jika tidak hormat kepada guru akan dihantui oleh perasaan bersalah (ceumeureuka) dengan gurunya, dan itu akan sangat tabu bagi masyarakat Aceh.

Penghormatan kepada ulama juga disebabkan karena keterlibatan masyarakat yang sangat tinggi dalam pengembangan pendidikan agama di Aceh, sehingga lulusan dari lembaga pendidikan tersebut juga mendapat tempat yang terhormat. Bagi masyarakat awam, lulusan dari lembaga pendidikan merupakan kader yang telah dibesarkan oleh mereka sendiri secara bersama-sama.

Penghormatan kepada ulama yang telah mengakar tersebut menjadikan mereka sebagai pusat fatwa (peuneutoh) dalam berbagai persoalan sosial masyarakat.

Adab dan Perilaku

Adab lebih tinggi dari ilmu, demikian pemahaman masyarakat Aceh mengenai pentingnya adab dan sopan santun dalam kehidupan, adab itu sendiri berlaku bagi semua kalangan, baik masyarakat umum hingga ulama sekalipun.

Adab di Aceh sudah menjadi tata krama yang mentradisi dari generasi ke generasi, sehingga melahirkan kondisi sosial masyarakat yang santun, lembut dan menghormati orang lain.

Dalam dunia pendidikan juga sama, adab itu sangat dijunjung tinggi, seorang murid harus menghormati guru, demikian juga guru harus menghargai muridnya, sehingga proses belajar mengajar berjalan dengan harmonis dan bebas dari beban psikologis.

Suasana penuh keakraban dapat kita lihat dalam lembaga pendidikan agama di Aceh, tidak pernah terjadi murid memprotes guru dengan cara yang tidak wajar apalagi demonstrasi tanpa kendali.

Hal itu dapat kita  baca dalam kitab karya Syeikh Muhammad anak dari Syeikh Khatib dalam kitabnya Dawaul Qulub yang juga merupakan salah satu kitab yang terkumpul dalam kitab Jam’u Jawami’ Al-Musannafat, karya Syeikh Ismail Bin Abdul Muthallib Al-Asyi.

Syeikh Muhammad juga menekankan pentingnya penampilan seorang yang berilmu dalam  masyarakat seperti style pakaian, dan tingkah laku. Berikut kutipannya:

“Inilah khatimah pada menyatakan segala perbuatan yang tak dapat tiada bagi murid”.

Disini syeikh Muhammad mengingatkan para murid agar tetap menjaga jati dirinya dimana pun berada, seperti menjaga pakaian agar sesuai sunnah Nabi saw., selalu mendahului dalam memberi salam kepada siapa pun, menyayangi semua orang tanpa pilih kasih, tidak berburuk sangka pada manusia walaupun ia bersifat fasiq sekalipun, tidak boleh menghina orang lanjut usia, serta selalu menuntut ilmu dimana pun  berada.

Perbedaan Mazhab

Persoalan khilafiah sebenarnya sudah selesai bagi masyarakat Aceh, seperti perbedaan mazhab yang akhir-akhir ini sering dipertentangkan. Menurut ulama Aceh tempo dulu, mazhab yang dianut di Aceh adalah empat mazhab sekaligus, yaitu, mazhab Syafii, Hanbali, Maliki dan Hanafi. Keempat mazhab tersebut diakui kebenarannya dan dijadikan standar kompetensi para imam, mufti dan ulama di Aceh.

Hal itu pula yang menyebabkan Aceh menjadi sentral peradaban Islam di Asia Tenggara kala itu, karena semua persengketaan dari lintas mazhab pun mampu diselesaikan disini.

Malah pengakuan terhadap empat mazhab tersebut tertuang dalam konstitusi Aceh kala itu, Qanun Meukuta Alam Al-Asyi. Sebagaimana yang tercantum dalam kitab tazkirah Tabaqat, karya Tgk. Di Mulek:

 “Maka peganglah dengan sungguh-sungguh hati Qanun Meukuta Alam al-Asyi dari karena mengikuti… Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i (dan) Imam Hanbali. Dan empat mazhab itu semuanya tunduk kepada Syari’at Rasullullah saw. … Yakni berhimpun empat, yaitu Islam dan Iman dan Tauhid dan Makrifat, maka barulah bernama agama.

Disni juga mencerminkan pemikiran mazhab ulama Aceh masa lalu yang multi mazhab dan toleran dengan dinamika persoalan umat. Bahkan mereka berani pindah mazhab jika suatu persoalan tidak bisa diselesaikan oleh salah satu mazhab.

“Yaitu jika tiada boleh hukumnya dalam mazhab Imam Syafi’i, maka dicari hukumnya dalam mazhab Ahmad Imam Hanbali. Dan jika tiada hukumnya dalam mazhab Imam Hanbali, maka dicari hukumnya dalam mazhab Imam Malik. Dan jika tiada dalam mazhab Imam Malik, maka dicari  hukumnya dalam mazhab Imam Abu Hanifah. Karena adalah Imam yang empat itu pangkat Mujtahid Mutlak yang sah dalam Ahlussunnah waljama’ah.

Keragaman mazhab disini hanya terbatas pada empat mazhab saja karena masih dalam koridor ahlus sunnah wal jamaah sebagaimana yang ditegaskan oleh Tgk. Di Mulek. Malah pada masa Iskandar Muda di Aceh dibentuk mufti empat mazhab yang disebut dengan Syaikh Al-Islam supaya dapat mengakomodir semua pemasalahan umat.

“Maka sebab itulah paduka Sri Sultan Sulaiman Meukuta Alam Iskandar Muda Perkasa Alam Syah mendirikan Mufti empat mazhab, yakni Syaikh al-Islam; Mufti Empat dalam negeri Aceh Darussalam. Karena menjaga dan memeliharakan hukum Syara’ Syari’at Rasulullah saw. dari kaum yang Tujuh Puluh Dua yang khianat kepada agama Islam.

Dan maka jika alim ulama yang Ahlus-Sunnah Waljama’ah masuk ke dalam negeri Aceh dari luar negeri, maka dipermuliakannya oleh Sultan Iskandar Muda serta diberikan surat ber-Cap Sembilan dan diberikan tadah. Jika alim ulama itu bermukim dalam negeri Aceh. Dan jika ia musafir maka diberikan belanja sekedar mencukupi yaitu makanan dan pakaian. Dan jika pulang ia ke negeri di mana pun negerinya maka diberikan hadiahnya dan ongkos kapal dibayar oleh kerajaan Aceh.

Disini disebutkan bahwa Iskandar Muda sangat hormat pada ulama berbagai mazhab ahlus sunnah wal jamaah, juga disediakan berbagai fasilitas yang dibutuhkan. Sehingga banyak terdapat ulama dari berbagai bangsa yang menetap dan ikut mengajar masyarakat Aceh.


  1.  Teungku Di Lueng Keueng
  2.  Abunek Krueng Kale
  3.  Teungku Gle Payong
  4.  Teungku Keuneu’eun
  5.  Teungku Di Anjong
  6.  Teungku Di  Li -eue
  7.  Teungku Lam Bhuek
  8.  Teungku Di Jurong
  9.  Teungku Lam Gut
  10.  Teungku Di Bitai
  11.  Teungku Gle Weueng
  12. Teungku Di Reuloh
  13.   Teungku Di Blang
  14.   Teungku Di Meugong
  15.   Teungku Di Jabo
  16.   Tuwan Di Pulo
  17.   Teungku Lhok Pawoh
  18.   Teungku Lhok Nibong
  19.   Teungku Di Pu-uek
  20.   Teungku Di Meuse
  21.   Teungku Syekh Saman
  22.   Syiah ‘Abdurrauf ( halaman 19 – 20 )
  23.    Teungku Di Ulee Gle
  24.    Teungku Awe Geutah
  25.     Teungku Batee Badan
  26.     Teungku Ulee Jurong ( sama dgn no. 8 di atas?)
  27.     Teungku Di Bathoh
  28.     Teungku Di Peulumat
  29.     Teungku Pante Peulumat
  30.     Teungku Tanoh Mirah
  31.     Teungku Tanoh Abee
  32.     Teungku Gunong Ijo
  33.      Teungku Di Baet
  34.     Teungku Bak Keureuma
  35.     Teungku Di Cot Bak Goeh
  36.    Tuwan Di Cantek
  37.     Teungku Salah Nama
  38.      Teungku Anoe Manyang
  39.      Tuwan Pulo Angkasa
  40.      Teungku Paya Duwa
  41.      Teungku Di Gandrien
  42.      Teungku Lam Guha ( gelar atau sekedar sebutan?)
  43.      Teungku Lam Duson ( ada orangnya atau hanya sebutan?)
  44.      Teungku Syik Krueng Kale ( sama dgn no. 2 di atas?)
  45.       Teungku Batu Bara
  46.       Teungku Di Aron ( halaman 142, 152 – 174 )
Catatan:   1).  Naskah asal Kitab Teungku Di Cucum yang berhuruf Arab Melayu atau Jawi alias Jawoe ini belum diberi nama/judul oleh pengarangnya. Teungku Di Cucum mempersilakan orang lain memberikan  nama yang ‘bagus’ bagi karya beliau. Setelah selesai saya alih aksara ke huruf Latin pada Selasa, 25 Jumadil Akhir 1423 H/ 3 September 2002 M,  pukul 15.00 Wib., hasil salinan itu saya beri judul sementara “Tambeh Gohna Nan”( Tambeh Belum Bernama). Tgk Di Cucum saya perkirakan hidup pada zaman awal kedatangan Belanda di Aceh. Banyak tanda-tanda zaman itu tersirat dalam kitab beliau  “Tambeh Gohna Nan”.
2). Dalam  deretan lebih 40 Ulama Aceh itu, hanya Teungku Syik Krueng Kale satu-satunya yang bergelar Teungku Syik.
3. Pertanyaan yang timbul, bagaimana kiprah dan sejarah dari para Ulama  Aceh ini  dan  dimana   kuburan  beliau  berada  sekarang !!!?????.
Bale Tambeh, 9 Desember 2011, T.A. S akti
Kata Pengantar Tuwanku Raja Keumala: Ketika Menyalin Hikayat Akhbarul Karim
47. Teungku Syekh Abbas Kuta  Karang
48. Teungku Muhammad Amin Dayah Cut
49. Teungku Zainul Abidin
50. Teungku Di Cot Plieng
51. Teungku Pante Kulu
52. Teungku Pante Ceureumen/Teungku Nyak Kob
53. Tuwanku Raja Keumala
( Sumber: Kata Pengantar Tuwanku Raja Keumala: Ketika Menyalin Kitab  Akhbarul Karim. Kisah lebih lanjut tentang karya-karya para Ulama Aceh ini dapat dibaca dalam blog tambeh/Bek Tuwo Budaya. Sejauh catatan yang saya baca, Tuwanku Raja Keumala hidup antara tahun 1880 – 1930 M.  Kitab Akhbarul Karim  selesai disalin beliau  di kampung Kedah, Kuta Raja, Aceh Besar pada  18 Ramadhan 1337 H. Bale Tambeh, Sabtu, 10 Desember 2011 pkl 10.33 malam, T.A. Sakti ).
 

Beru Gayo Pembaca 400 Buku: 4S Penyebab Hancurnya Generasi Gayo dan Islam

Beru Gayo Pembaca 400 Buku: 4S Penyebab Hancurnya Generasi Gayo dan Islam

Beru Gayo Pembaca 400 Buku: 4S Penyebab Hancurnya Generasi Gayo dan Islam

edelwis_ist
Edelwis Mentovani (foto:ist)
BERU Gayo yang sudah membaca lebih 400 judul buku Edelwis Mentovani Diara Gayo,rupanya punya pandangan sendiri terhadap generasi muda di Tanoh  Gayo. Tidak tanggung-tanggung memang, siswi kelas III IPA SMA Negeri 1 Bebesen, Aceh Tengah ini meletakannya pada istilah 4S yakni Style, Sport, Song, Free Seks.

Walau cuma melalui Lomba pidato berbahasa inggris yang digelar Gabungan Organisasi Wanita (GOW) Aceh Tengah, Kamis (14/11/2013/) yang, tapi dijabarkannya dengan lancar.
Berikut penjabaran istilah 4S yang disampaikan si “Imut” Edelwis Mentovani Diara Gayo kepada LintasGayo.co di Takengon,Jum’at kemarin:
1. Style, Gaya yang terpengaruh oleh media televisi, sehingga menghilangkan nilai-nilai budaya lokal dalam keseharian.
2. Sport, pengaruh sepak bola lebih kuat dibanding pelajaran dan memahami nilai-nilai.
3. Song, nyanyian yang melebihi dari usia,dan kuatnya pengaruh   media seperti K-Pop.
4.Free Sex, akibat mudah mengakses internet tanpa kontrol.
(tarina)

Inisiator Pembentukan Dewan Adat Gayo di Terima Bupati Gayo Lues

Home / Keber Ari Gayo / Inisiator Pembentukan Dewan Adat Gayo di Terima Bupati Gayo Lues

Inisiator Pembentukan Dewan Adat Gayo di Terima Bupati Gayo Lues

Inisiator Pembentukan Dewan Adat Gayo bersama Bupati Gayo Lues, Ibnu Hasyim (Wein Mutuah | LintasGayo.co)
Inisiator Pembentukan Dewan Adat Gayo bersama Bupati Gayo Lues, Ibnu Hasyim (Wein Mutuah | LintasGayo.co)
Belang Kejeren – LintasGayo.co : Inisiator pembentukan Dewan Adat Gayo (DAG), diterima Bupati Gayo Lues, di Pendopo Bupati, Senin (25/11/2013). Pertemuan yang dihadiri, Zulfan Diara Gayo, Windo Gus Syahputra, Edy Saputra, dan Khalisudin, bertemu Bupati Gayo Lues, Ibnu Hasyim.
Amatan LintasGayo.co, turut hadir dalam pertemuan tersebut, Sekda Gayo Lues, Abu Bakar Djasbi, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Gayo Lues, Rasyidin Porang.
Penyerahan draft Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), kepada Bupati oleh salah seorang inisiator DAG, Zulfan Diara Gayo.
Pertemuan tersebut berlangsung dengan suasana keakraban, dan Ibnu Hasyim sangat responsif terhadap pembentukan dewan adat itu, sebagai wadah melestarikan adat dan budaya Gayo. Hingga berita ini diterbitkan, pertemuan tersebut sedang berlangsung.
(Darmawan Masri)