Search This Blog

Wednesday, November 20, 2013

Potret Aceh tahun 1874

Dokumentasi Aceh Masa Belanda

Potret Aceh tahun 1874
Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Pada 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler saat itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira. Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, dimana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873.
Pada Tahun 1874 pecah Perang Aceh II yang berakhir pada tahun 1880. pada tahun-tahun tersebut merupakan tahun paling bersejarah bagai rakyat Aceh. sebagai gambaran bagaimana kondisi kutaraja (Ibukota Aceh) pada tahun 1874, berikut ada 70 koleksi foto-foto yang sempat direkam oleh pihak Belanda.

1. Bibak Belanda di Peunayong (Pengawalan disisi Timur) 1874



2. Mesjid Raya dengan Pasar Hewa – 1881



3. Mesjid Raya di Koetaraja



4. Perwira-perwira Marine Belanda – 1874



5. Kemah Bermain Musik dengan dekorasi – 1874



6. Medan depan “Dalam” Sultan Aceh – 1880



7. Kandang XII (Komplek Makam XII Sultan di Koetaraja)



8. Suasana Neusu – 1874



9. Pemandangan Bagian Timur Mesjid Raya



10. Benteng Belanda di Peunayong (Benteng Barat Laut) 1874
Judul : Dokumentasi Aceh Masa Belanda
Deskripsi : Potret Aceh tahun 1874 Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan m...

Melawan stigma lewat pembentukan Firma Hukum bersama

Melawan stigma lewat pembentukan Firma Hukum bersama




25 Nov Bumi Surabaya Hotel, Surabaya, Jawa-Timur.
Kongres Nasional Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa menggelar seminar diskusi Komisi II untuk:  Advokasi dan Pemberdayaan serta Peningkatan Kapasitas. Dua pembicara yang hadir adalah Ir Hadi Prajoko, SH.MA, Ketua DPD HPK Jawa Timur dan Abdon Nababan, Sekjen, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Pembicara pertama Ir Hadi Prajoko, alumni Universitas Brawijaya ini memaparkan fakta-fakta ketidakadilan yang dialami para kaum Penghayat Kepercayaan dengan berbagai stigma seperti, partai terlarang, aliran sesat dan selalu dijadikan kambing hitam jika terjadi penganiayaan atau pembunuhan.
Aparatur negara khususnya penegak hukum juga sangat lemah dalam memahami nilai-nilai Kepercayaan dan Ketuhanan, Komunitas Adat dan Tradisinya. Sehingga ketika mengangkat delik hukum, mereka lemah menyimpulkan perkara-perkara yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tersebut.
Sementara itu Sekjen AMAN, Abdon Nababan mengungkapkan jika dirinya tak merasa nyaman jika harus menyebut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Abdon Nababan lebih merasa pas  dengan sebutan penganut agama leluhur.
“Saudara-saudara sekalian sebenarnya tadi sudah dihantarkan dengan sangat baik oleh pak Hadi,  memberikan satu gambaran persoalan yang kita hadapi saat ini. Jadi kalau kita bicara tentang kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, mau mengucapkannya juga saya nggak rela, nggak pasrah, nggak kena di hati sesungguhnya,” ucap  Nababan membuka presentasinya. Namun antara penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan penganut agama leluhur sebenarnya mempunyai nasib yang sama.
Sama-sama jadi terasing di negerinya sendiri. Perbedaannya masyarakat adat punya ciri-ciri dan itu yang membuatnya berbeda dengan penghayat. Kalau penghayat mungkin ada yang dari basis leluhur tapi ada juga diilhami ajaran tertentu, dikembangkan oleh seseorang atau kelompok. Kalo di masyarakat adat itu gak ada nama penciptanya. Jadi merupakan warisan leluhur, papar Abdon Nababan lebih lanjut. Kalau masyarakat adat itu ada ciri khasnya dia terikat dengan wilayah adat. Antara agama leluhur dengan tanah itu tak bisa dipisahkan dengan wilayah di mana masyarakat adat itu hidup dan berkembang selama ratusan bahkan mungkin sudah ribuan tahun. Spiritualitas agama itu melekat dengan pengetahuan-pengetahuan dan sistem-sistem adat yang berkembang di wilayah mereka,” pungkas Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara tersebut.
Pada sisi lain kaum penghayat terlihat sedikit ragu-ragu untuk menyatakan bahwa spiritualitas mereka adalah bentuk sebuah agama.
Meski demikian antara Abdon Nababan dan Ir Hadi Prajoko sepakat menindak lanjuti hal ini dengan membangun Law Firm bersama untuk melawan stigma buruk sebagai aliran sesat yang ditujukan pada relegiusitas masyarakat adat maupun kaum penghayat kepercayaan tersebut.
Diharapkan ditindaklanjuti dengan perjanjian kerjasama pelatihan hukum dan pendidikan bagi kaum muda kedua belah pihak. ///*****

Press Release: Pemerintah Indonesia Menolak Rekomendasi Dewan HAM PBB Terkait Hak-Hak Masyarakat Adat


Press Release: Pemerintah Indonesia Menolak Rekomendasi Dewan HAM PBB Terkait Hak-Hak Masyarakat Adat

(Jakarta, 19 September 2012) Saat ini sesi ke-21 Sidang Dewan HAM PBB sedang berlangsung di Jenewa, Swiss. Sangat disesalkan Indonesia memilih untuk tidak mengambil bagian dan memberikan respons pada agenda dialog interaktif bersama Pelapor Khusus PBB untuk Hak-Hak Masyarakat adat (UNSR) dan Ketua Mekanisme Ahli Hak-Hak Masyarakat Adat (EMRIP) kemarin (18/9).
Hari ini, Indonesia akan kembali mengambil bagian dalam agenda “Consideration of UPR Report” oleh Dewan HAM PBB. Agenda hari ini merupakan kelanjutan proses rekam jejak penegakkan Hak Asasi Manusia Indonesia yang dievaluasi oleh Dewan HAM PBB dalam sesi ke-13 Universal Periodic Review (UPR) di Jenewa, Swiss (23/5) dimana beberapa isu kunci yang salah satunya adalah hak-hak masyarakat adat diangkat oleh banyak negara- negara anggota PBB yang berpartisipasi dalam sesi tersebut.
Pasca Sidang UPR, bulan Agustus lalu Kementrian Luar Negeri mengadakan Rapat Konsultasi Tindak Lanjut yang dihadiri oleh pihak pemerintah dan Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia. Dalam rapat konsultasi yang bertempat di Kantor Kementrian Luar Negeri (29/8), pemerintah Indonesia menyatakan penolakan mereka terhadap rekomendasi-rekomendasi terkait dengan masyarakat adat yang ditujukan kepada delegasi pemerintah Indonesia pada Sesi ke-13 UPR.
Pemerintah Indonesia menolak rekomendasi terkait dengan Ratifikasi Konvensi ILO No. 169 Tahun 1989 tentang Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka. Disamping itu juga pemerintah menyatakan ketegasan mereka terhadap penolakan untuk mengundang Pelapor Khusus PBB untuk Hak-Hak Masyarakat adat ke Indonesia, bahkan menolak menjamin hak-hak masyarakat adat di Indonesia.
Pemerintah menyatakan bahwa jika mereka menerima rekomendasi- rekomendasi tersebut di atas, akan ada implikasi legal yang sangat kompleks di Indonesia dan konsep masyarakat adat di Indonesia berbeda dengan konsep masyarakat adat dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP).
AMAN sebagai organisasi masyarakat adat terbesar di ASIA sangat menyesalkan pernyataan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Pernyataan tersebut bagi AMAN adalah sebuah kekeliruan yang fatal dan penolakan terhadap masyarakat adat di Indonesia adalah hal tidak dapat diterima.
Kenyataannya, Indonesia telah memiliki beberapa kebijakan nasional yang mengakui Hak-Hak Masyarakat Adat, diantaranya, UU No. 27 tahun 2007 tentang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, TAP MPR RI No. 9/2001 dan UUD 1945.
Oleh sebab itu, AMAN menyerukan kepada Pemerintah RI untuk bersikap positif dan menerima rekomendasi Dewan HAM PBB melalui UPR terkait upaya perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat, termasuk rekomendasi-rekomendasi lain terkait penegakkan hak asasi manusia di Indonesia guna pemenuhan dan penghormatan HAM di Indonesia.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Jl. Tebet Utara IIC No. 22, Jakarta Selatan 12820
Kontak Person :
Patricia Miranda Wattimena, Officer on Human Rights and International
Affairs : 085243753674 ; Email : patricia@aman.or.id

Hibah Japan Social Development Fund (JSDF)

HIBAH JSDF

 

Tujuan hibah untuk memperbaiki penghidupan 250 komunitas adat yang berada di 10 provinsi hutan utama dan untuk meningkatkan kapasitas komunitas adat untuk berpartisipasi dan memperoleh keuntungan pengembangan kebijakan hutan ditingkat nasional maupun internasional. Tujuan diatas diperoleh melalui penguatan kemampuan organisasi, teknis, kewirausahaan dari organisasi masyarakat adat. Tujuan ini akan dicapai melalui pelaksanaan 4 komponen berikut: (i) promosi dan perencanaan tataguna tanah partisipatif, (ii) peningkatan kapasitas organisasi masyarakat adat, (iii) pengembangan kapasitas usaha peningkatan pendapatan berbasis budaya dan sumber daya hutan non kayu, (iv) promosi manajemen proyek, monitoring dan evaluasi dan diseminasi pengetahuan. unduh Operational Manual Guidelines Hibah JSDF dibawah ini :

1. OM Guidelines JSDF Group Final
2. Panduan Pemetaan Partisipatif
3. Prosedur Registrasi Wilayah Adat
4. Panduan GIS (Sistem Informasi Geografis)
5. Panduan DataBase
6. Panduan Penerapan Pengaman Sosial dan Lingkungan Hidup
7. Mekanisme Kerja dengan Pengurus AMAN Wilayah dam Daerah Final
8. Format Laporan Keungan ke Bank Dunia
9. Laporan Narasi tengah Semester Proyek JSDF
10. Laporan Narasi Untuk Kegiatan (Training - Workshop etc)