Search This Blog

Thursday, July 18, 2013

Bencana Menurut Prespektif Islam

Bencana Menurut Prespektif Islam

Oleh: MUHAMMAD BIN HJ TAIB
Tidak ada di kalangan manusia yang suka pada bencana. Kerana bencana itu sangat menyusahkan manusia.Kerana itulah manusia bersedih sedih hati dengan bencana.Walaupun demikian tidak ada di kalangan manusia baik itu secara perseorangan maupun secara kelompok, dapat mengelak atau dapat terlepas daripada bencana, sekalipun dia seorang yang berkuasa atau seorang yang kaya. Cuma ada orang yang ditimpa bencana sekali-sekali saja, ada yang selalu, ada yang ringan, ada yang berat, ada terjadi pada dirinya, keluarga dan harta bendanya atau kedudukannya dan lain-lain lagi. Diantara bencana-bencana itu mana yang lebih berbahaya?Sebenarnya bencana terbagi menjadi dua:
Pertama: Yang bersifat hissi atau bersifat lahir
Bencana ini berbagai macam bentuknya, di antaranya seperti sakit, harta hilang, kematian keluarga yang tercinta, difitnah, dipermalukan, dipukul orang, jatuh miskin, turun pangkat, perniagaan rugi, diPHK, harta musnah oleh bencana alam, tidak naik pangkat, dipenjara dan lain-lain.
Kedua: Yang bersifat maknawi atau rohani

Berbagai macam bentuk pula, di antaranya seperti melupakan ilmu yang telah dipelajari, tercabut iman, atau iman berkurang, ilmu tidak diamalkan, iman tercabut yang ada hubungan dengan akidah. Iman merosot karena beberapa sebab, diantaranya seperti ada amalan yang biasa dikerjakan tidak dikerjakan,atau memlakukan dosa baik itu kecil maupun besar. Dosa itu, ada dosa lahir dan ada dosa batin.Di antara dosa-dosa itu ialah seperti berzina, riba, korupsi,mencuri, menipu, minum arak, judi, mengumpat, memfitnah,menghina, menghasut, hasad, tamak, bakhil, pemarah, mengadu domba dan lain-lain.
Di antara dua bentuk bencana ini, bencana yang paling berbahaya ialah bencana yang bersifat rohani dan maknawi, karena bencana ini akan membawa ke Neraka.Sebaliknya bencana yang bersifat hissi tidak membawa ke Neraka. Bahkan mungkin menguntungkan karena mungkin dapat menghapuskan dosa atau mendapat derajat di dalam Syurga, asalkan pandai menerimanya.

Oleh karena itu bencana yang bersifat rohani dan maknawi ini sangat dibenci dan wajib dijauhi. Maksudnya, setiap dosa adalah bencana, maka wajib dijauhi. Tapi bencana yang bersifat hissi tidak perlu dibenci. Ia hanya menyusahkan. Dan tidak menjadi satu kesalahan untuk berusaha mengelaknya. Juga tidak salah kalau setelah ditimpa suatu bencana, kita berusaha menghilangkannya karena bagi orang yang lemah iman dan tidak tahan dengan ujian dapat jatuh pada dosa atau tercabut iman dengan ujian yang berat itu.

Tapi bagi orang yang mampu berhadapan dengan ujian atau orang yang imannya kuat, tidak salah pula untuk tidak berusaha menghilangkannya. Karena sifat redha dengan ketentuan Allah itu salah satu sifat terpuji. Ia merupakan sifat-sifat Rasul. Dan itu pahalanya amat besar di sisi Allah yang Maha Pemurah.

Di akhir zaman ini oleh karena kebanyakan umat Islam sudah jahil dengan ilmu agama, kemudian cinta dunianya pula begitu mendalam, maka mereka hanya terpaut dan terpengaruh dengan kehidupan yang terdekat yaitu dunia ini. Kehidupan di Akhirat sekadar tahu adanya Akhirat, namun hatinya tidak ke sana. Timbullah acuh tak acuh dengan Akhirat. Maka timbullah salah berfikir. Kita memandang perkara yang terdekat itu amat besar dan serius sekali. Nikmatnya pun dipandang besar. Bencananya pun dipandang besar. Akibatnya nikmat dan bencana di Akhirat dipandang kecil saja. Maka sebab itulah kita lupa daratan dengan nikmat dunia. Terasa sangat menderita dengan bencana dunia. Justeru itu banyak dikalangan umat Islam apabila ditimpa bencana yang bersifat hissi di dunia ini, seperti sakit, miskin, dipecat, tidak naik pangkat, turun pangkat, difitnah, hilang harta, rugi di dalam perniagaan, dipukul, dipenjara dan lain-lain, masya-Allah bukan main sedihnya. Derita jiwanya, kusut fikirannya, marah-marah saja, merungut-rungut, tidak bahagia, gelisah, rasa kesal tidak sudah. Mengadu di sana, mengadu di sini, jumpa siapa saja diluahkan perasaan susahnya. Kekusutan fikirannya sampai begitu terlihat sekali, kelihatan pada wajahnya. Melakukan apa saja serba tidak kena. Begitulah perasaan kecewa dengan ujian itu.

Bila iman tiada atau iman terlalu lemah, kemudian langsung putus asa. Ada yang mau bunuh diri untuk menyelesaikan masalahnya. Dia pikir dengan cara itu dapat menyelesaikan masalah. Dia ditipu oleh syaitan terkutuk karena memandang besarnya dunia ini. Tersesat jalan di dunia ini, dan ke Neraka akibatnya. Wal’iyazubillah.

Bagi orang Islam yang kuat imannya, dengan ujian dan bencana dunia ini yang bersifat hissi, dia tidak begitu ambil pusing. Bahkan bagi golongan muqarrobin dan siddiqin seperti para nabi, para Sahabat dan para auliya, mereka sangat terhibur dengan ujian dunia itu. Mereka merrasa dosa mereka terampuni dengan ujian dunia dan bencana itu.
Contohnya cerita di bawah:

Di zaman Rasulullah SAW, ada seorang perempuan mempunyai tiga orang anak lelaki. Dia sanggup melepaskan semua anaknya ke medan perang. Dia tersenyum ketika anak sulung dan anak keduanya mati syahid di medan perang. Dia menangis apabila diberitahu bahwa anak bungsunya turut mati syahid. Bila ditanya mengapa dahulu senyum, sekarang baru menangis, beliau menjawab, “Aku sedih karena tiada lagi anak yang hendak kukorbankan untuk jihad fisabilillah.” Umat Islam di zaman gemilang dan di zaman keemasan terutama di sekitar 300 tahun selepas Rasulullah SAW, mereka sangat sensitif dengan bencana yang bersifat maknawi dan rohani.

Mereka sangat memandang besar akan bencana itu. Mereka terlalu takut dengan ujian yang bersifat maknawi dan rohani itu. Jiwa mereka sangat tersiksa dengan ujian itu. Bahkan bencana yang bentuk ini, belum datang pun mereka amat takut kalau-kalau di masa depan akan ditimpa dengan bencana ini, baik itu secara sedar atau tidak. Karena bencana ini adalah dimurkai oleh Allah dan kalau Allah tidak mengampuni, akan ke Neraka, wal’iyazubillah.

Justeru itulah jika mereka ditimpa bencana ini, hati mereka menderita.Mereka menangis mengalirkan air mata. Hilang selera makan, hilang rangsangan dengan isteri, tidak senyum berbulan-bulan. Mereka akan tebus dengan apa sahaja kebaikan bahkan jika mereka tertinggal amalan yang sunat sekalipun mereka merasa telah berdosa, mereka merasa ini adalah satu bencana.

Hayati cerita di bawah ini:

“Pada suatu hari, Sayidina Abu Bakar pergi ke kebunnya untuk melihat hasil tanamannya itu. Dilihatnya pohon-pohon dan tanamannya banyak yang sudah berbuah. Karena terlalu asyik melihat buah-buahnya yang sudah masak itu, beliau terlena dan tertinggal shalat berjemaah Ashar bersama Rasulullah SAW. Dengan rasa takut dan kesal yang tidak terkira, kebun itu langsung diwakafkan untuk umat Islam dan digandakan shalatnya sebanyak 70 kali.”
Sebaliknya kebanyakan umat Islam di akhir zaman ini tidak sensitif dengan bencana maknawi dan rohani. Kita tidak terasa apa-apa dengan bencana ini. Kita rileks saja. Kita tidak merasa bersalah bahkan ada yang melupakan sama sekali seolah-olah bencana ini tidak terjadi dan tidak pernah terjadi kepada dirikita.

Sebagai contoh, kita tidak terasa bencana apabila meninggalkan shalat atau terlewat shalat. Kita tidak terrasa bencana dengan mengumpat, dengan memfitnah, dengan menghina, dengan mendurhakai ibu bapak, kepada guru, dengan zina, berbohong, dengan menipu, dengan korupsi, dengan membuka aurat, dengan pergaulan bebas, dengan tidak berzakat, tidak berpuasa, dengan sombong, riyak, dengan tamak, bakhil, dengan pemarah, berdendam, hasad dengki, mengadu domba, menghasut, bertengkar, membunuh, riba, tidak belajar, tidak berbelas kasihan, tidak tenggang rasa, tidak bertoleransi, tidak sabar, tidak pemurah, tidak redha, tidak membantu orang dan lain-lain.

Oleh karena bencana maknawi dan rohani ini tidak dianggap dan tidak dipandang bencana, maka adakalanya dianggap kebiasaan dan diamalkan setiap hari hingga dijadikan budaya. Sebagai contoh, bila kita berkumpul-kumpul, mengumpat dan mengatai orang sering kita dengar bersama, tertawa bersama, rasa senang bersama, sambung-menyambung antara satu sama lain mengumpat orang lain. Adakalanya yang diumpat itu kawan sendiri,ibu ayahnya, gurunya, pemimpin sendiri, isteri dan suami sendiri, hingga terlewat atau tertinggal shalat. Bertambah lagi membesar bencana itu yang tidak lagi dianggap bencana. Kemudian setelah selesai ada yang menipu orang, ada yang pulang ke rumah marah-marah pada isteri, membentak-bentak tidak menentu Bertambah merebak lagi bencana itu, ibarat orang sakit, sakitnya telah kronik. Namun tidak terasa itu adalah bencana yang memecah-belah rumah tangga, keluarga, satu masyarakat, satu bangsa kemudian akhirnya terjun ke Neraka.

No comments: