Search This Blog

Sunday, May 5, 2013

Pemakaian Simbol GAM Di Aceh Dikhawatirkan Picu Konflik Baru

Pemakaian Simbol GAM Di Aceh Dikhawatirkan Picu Konflik Baru

Jakarta - Polemik bendera Aceh berlambang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) masih belum menemui titik temu. Pemerintah pusat dan daerah Aceh harus segera mencari jalan keluar. Jika tidak polemik seputar Qanun (peraturan daerah) bendera dan simbol Aceh bisa menimbulkan konflik baru.
Pengibaran bendera Aceh yang terjadi baru-baru ini banyak menuai kontroversi, ada yang pro dan kontra terhadap bendera yang di nilai mirip dengan bendera separatis GAM itu.
DPR Aceh telah mengesahkan Qanun No 3/2013 pada 22 Maret 2013, tentang Bendera dan lam­bang Aceh. Dalam Qanun dise­but­kan bahwa bendera dan lam­bang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai atribut resmi Pe­merintah Aceh.
Sementara Ke­men­terian Dalam Negeri (Ke­men­dagri) menyebutkan peneta­pan bendera dan lambing GAM sebagai bendera Aceh berben­turan dengan Peraturan Pemerin­tah No 77/2007, yang melarang dae­rah mengadopsi atribut ke­lompok.
Pengamat politik, Aidul Fitri­ciada Azhari berpedapat, polemik bendera dan lambang Aceh bukan semata soal hukum, dalam artian adanya pertentangan antara Qa­nun dan peraturan perundang-un­dangan nasional. Menurut dia, po­lemic ini juga ini soal di luar as­pek yuridis terkait kegagalan Pemerintah dalam berkomunikasi dengan Pemerintah Daerah Aceh.
“Jadi, selama ini ada proses komunikasi hukum dan politik yang macet antara Pusat dan Aceh, sehingga Qanun Aceh tiba-tiba mengadopsi lambang GAM. Ini bukti kontrol Pusat tidak berhasil terhadap Aceh,” katanya kepada Rakyat Merdeka, ke­marin Sabtu (04/05/2013).
Azhari menilai, solusi penye­lesaian polemik adalah kembali kepada kesepahaman Helsinki dan ketentuan yang ada dalam Un­dang-undang Pemerintahan Aceh. Persoalan mengenai ben­dera, kata dia, tinggal menge­ja­wantahkan Nota Kesepahaman antara Peme­rin­tah RI dan GAM itu.
“Aceh memang provinsi yang memiliki status daerah istimewa dan mempunyai otonomi khusus. Namun Aceh harus tahu bahawa mereka sudah sepakat masih menjadi bagian NKRI,” tegasnya.
Azhari membeberkan, penga­tu­ran tentang bendera dan lam­bang Aceh telah dituangkan da­lam Pasal 246 UU No 11 Th 2005 ten­tang Pemerintahan Aceh. Esen­­sinya, lambang dan bendera itu mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Aceh, serta bukanlah simbol kedaulatan.
Lantas apa saja keistimewaan dan kekhususan Aceh yang telah dirumuskan undang-undang itu ? “Ini memang masih multitafsir, tapi saya yakin permasalahan ini da­pat diselesaikan dengan baik tanpa melukai rakyat Aceh dan pemerintah,” jawab dia.
Sosiolog Universitas Gadjah Ma­da (UGM), Arie Sudjito me­nga­takan penyelesaian polemik Qanun Aceh sebaiknya disele­sai­kan secara hukum dengan meni­lik kembali posisi Undang-un­dang Nomor 11 tahun 2006 ten­tang Pemerintahan Aceh.
“Kalau terjadi sengketa (Qa­nun) antara Aceh dan pusat, maka Pemerintah Aceh bisa mengaju­kan ‘judicial review‘ ke Mahka­mah Konstitusi,” katanya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin mengata­kan, pemakaian lambang GAM di bendera Aceh merupakan ben­tuk perlawanan rakyat Aceh. Ia pun menyarankan agar peng­gu­naan lambang yang diatur dalam Qanun nomor 3 tahun 2013 ten­tang bendera dan lambang Aceh di­kaji kembali.
Juru Bicara Kementerian Da­lam Negeri (Kemendagri), Rey­donnyzar Moenek menya­takan, pemerintah pusat dan pe­me­rintah Aceh sudah membentuk tim kecil untuk membahas pole­mic soal bendera Aceh.
Reydonnyzar menyatakan, tim kecil tersebut beranggotakan 14 orang, masing-masing 7 orang dari Pemerintah Aceh dan 7 orang dari Pusat. Tim tersebut memba­has butir-butir klarifikasi Qanun Lambang dan Bendera yang be­lum disepakati. “Tim tersebut ke­mudian akan mencari kesa­maan-kesamaan pemikiran yang dapat membawa pada penyele­saian,” kata dia.
Dia mengungkapkan, pemba­hasan oleh tim kecil tersebut akan dilakukan secara rutin selama sat­u bulan ini. “Mulai dari tang­gal 7 Mei di Batam kemudian tang­­gal 14 di Jakarta, tanggal 24, serta tanggal 30-31 kemungkinan di­lang­sungkan di Aceh,” kata Don­ny sapaan akrab Rey­donny­zar kepada Rakyat Merdeka, ke­marin.
Donny berharap, polemik ben­dera Aceh ini tidak berlangsung alot. Dirinya yakin pertemuan tim kecil akan melahirkan titik temu, terutama menyangkut masalah format dan desain bendera agar qanun itu bisa sesuai.
“Kita (pusat dan Aceh) sedang mencari titik temu dan tidak bisa se­pakat mufakat sekali jadi, tetap harus ada proses yang perlu kita dia­logkan dan komunikasikan. Kita harap polemik Qanun ini bisa se­gera diselesaikan,” harap dia.
Zaini Abdullah, Kami Tidak Akan Pisah Dari Republik Indonesia
Gubernur Aceh ini mengga­ransi bahwa bendera Aceh bu­kanlah bendera kedaulatan. Ben­dera kedaulatan hanyalah satu, bendera merah putih.
“Itu bukan sesuatu yang men­jadi bendera kedaulatan, itu tidak benar. Aceh sekarang kan sudah damai. Bendera kedaulatan ada­lah merah putih, sedangkan ben­dera ini adalah bendera kekhu­susan di Aceh,” ujar dia kepada Rak­yat Merdeka, kemarin.
Zaini memastikan, Aceh tidak akan lepas dari NKRI dengan ada­nya bendera Aceh tersebut. Qanun soal bendera Aceh, kata dia, sudah sesuai dengan prose­dur UUD 1945. “Tidak ada mak­sud untuk Aceh itu keluar dari In­donesia,” tegasnya
.
Mengenai bendera Aceh yang menyerupai bendera Gerakan Aceh Merdeka, Zaini menga­ta­kan kewenangan merevisi lam­bang bendera Aceh ada di tangan DPRA.
“DPR itu sebagai wakil rakyat yang menetapkan Undang-Undang atau Qanun di Aceh,” katanya.
Zaini mengklaim, pembentu­kan Qanun bendera dan lambang Aceh sudah sesuai UUD 1945. “Jadi itu tidak ada persoalan apa-apa. Ini sah-sah saja, karena tidak di luar rel. Ini on the track, jadi ti­dak ada masalah,” tegasnya.
“Saya yakin sekali tidak ada per­soalan. Ini sah-sah saja, kare­na tidak di luar rel, ini on the track. Apa yang telah kami dapat se­karang setelah pertemuan de­ngan presiden, kami setuju semua ini di-cooling down dan kita cari solusi sebaik-baiknya,” papar dia.
Mengenai pembentukan tim kecil untuk pengesahan Qanun, gubernur menyatakan sudah di­capai kesepakatan, dan tim ter­sebut mulai bertemu pekan depan di Batam. Ia pun optimistis, me­lalui serangkaian pertemuan, tim kecil ini akan diperoleh solusi yang terbaik untuk menentukan bendera dan lambang.
“Sudah ada kemauan yang baik dari Pusat dan Aceh untuk segera menyelesaikan masalah  bendera dan lambang. Itu dulu yang ter­penting,” tuturnya.
Sebelumnya, Gubernur Aceh juga telah bertemu dengan Presi­den Susilo Bambang Yudhoyono, Menko Polhukam Djoko Suyan­to, dan Menteri Dalam Negeri Ga­mawan Fauzi untuk menya­ma­kan persepsi mengenai ben­dera Aceh ini.
Abdul Malik Haramain, Bendera Aceh Tidak Boleh Berbau Separatis
Anggota Komisi II DPR ini meminta, pemerintah Aceh mau kompromi terhadap bendera mereka. Dikatakan, meskipun Aceh memiliki keistimewaan, namun Aceh tetaplah menjadi ba­gian dari Negara Kesatuan Re­publik Indonesia (NKRI).
“Pemerintah Aceh tidak bo­leh egois, jangan mau menang sendiri. Bagaimanapun UUD 45 melarang penggunaan lam­bing sparatis. Jadi seharusnya mereka memahami,” ujar Malik ketika berbincang dengan Rak­yat Merdeka, kemarin.
Ketua DPP Partai Kebang­kitan Bangsa (PBB) Bidang Ke­pemu­daan ini memahami, ka­­lau Aceh berhak memiliki ben­­dera karena adanya Mo­ra­to­rium of Agree­ment (MoU) Hel­sinski. Kendati demikian, lambang pada bendera tersebut tidak boleh menyerupai lam­bang gerakan sparatis. Pera­turan Pemerintah 77 tahun 2007 pun menegaskan hal itu.
“Pemerintah Aceh dan ma­sya­rakatnya jangan mengar­ti­kan MoU Helsinski secara par­sial. Meskipun ada MoU Hel­sins­ki, tapi Aceh itu kan sama saja dengan Papua dan Yogya­karta, sama-sama daerah isti­me­wa yang berada di bawah NKRi,” tegas Malik.
Anggota DPR dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Timur II ini mendesak pemerintah pu­sat dalam hal ini Kementerian Da­lam Negeri segera memberi­kan pemahaman kepada peme­rintah Aceh dan warganya, su­pa­ya tidak salah menafsirkan tentang keistimewaan daerah­nya.
“Mereka harus paham, kalau simbol yang mereka gunakan tidak boleh bertentangan, kare­na bisa menyakitkan rakyat In­do­nesia lainnya,” tegas dia.
Anggota Badan Legislatif DPR ini menyarankan agar pe­merintah segera melakukan re­visi terhadap undang-undang ten­tang symbol atau lambang kedaerahan. Menurut dia, perlu dicantumkan secara tegas ten­tang larangan penggunaan sim­bol lambang separatis. Tu­juan­nya agar ke depan tidak ada lagi daerah yang seperti ini.
“Qanun Aceh Nomor 3 Ta­hun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh itu kan seting­kat perda, dan berdasarkan ke­tentuan yang ada, perda harus tun­duk dan tidak boleh berten­tangan dengan undang-undang. Sehingga apabila ada daerah lain yang mengalami kasus se­perti Aceh akan jelas ketentuan­nya. Selama mereka memutus­kan berada di bawah NKRI, maka menjadi daerah istimewa atau tidak, tetap saja harus tun­duk kepada undang-undang In­donesia,” pungkasnya.
Gamawan Fauzi, Pusat Dan Aceh Sedang Rumuskan Pemilihan Qanun
Mendagri ini mulai ber­sikap lentur terkait polemik mengenai bendera Aceh. Jika sebelumnya, dia bersikap tegas bahwa bendera Aceh yang sama persis dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) harus diubah, kali ini Mendagri mem­buka ruang kompromi.
Gamawan mengatakan, agar bendera Aceh itu tidak sama per­sis dengan bendera GAM, ma­­ka bisa saja ditambah de­ngan gambar lain. “Kita cari so­lusi. Kalau tidak persis seperti GAM, bisa ada tambahan bin­tang atau rencong misalnya. Ini yang akan kita cari titik-titik te­mu itu,” ujar dia.
Dia membeberkan, saat ini pemerintah Pusat dan Peme­rintah Aceh sepakat memben­tuk tim kecil (timcil) berang­go­takan 14 orang, masing-ma­sing 7 orang dari Pemerintah Aceh dan 7 orang dari Pusat. Tim ter­sebut membahas butir-butir kla­rifikasi Qanun Lambang dan Ben­dera yang belum disepakati.
“Kita telah sepakati ada tim kecil yang bekerja membahas substansi. Kita harapkan segera selesai,” pungkasnya.
Akil Mochtar, Lambang Tak Boleh Ancam Kedaulatan
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menilai keberadaan bendera Aceh yang dilandasi qanun Nomor 3 Tahun 2013 ten­tang Bendera dan Lambang Aceh tidak mengandung ma­salah. Menurut dia, keberadaan qanun itu secara prosedural tidak bertentangan dengan UUD 1945.
“Jika ada bendera di Aceh, itu tidak masalah. Karena di Un­dang-undang (UU) Aceh juga ada kewenangan itu. Secara pro­sedural itu tidak ada ma­salah,” ujar dia.
Akil mengatakan, seharusnya pemerintah tidak perlu khawatir dengan keberadaan bendera yang mirip dengan lambang Ge­rakan Aceh Merdeka (GAM). Sebab, antara pemerintah pusat dengan GAM telah terikat per­janjian Helsinki yang me­nye­pakati Aceh merupakan bagian dari Indonesia dan akan taat pada hukum yang berlaku.
“Dengan perjanjian Helsinki kan sudah selesai. Mengenai substansinya, itu harus dikon­sul­tasikan antara pemerintah pu­sat dan pemerintah daerah, se­hingga tidak mengancam ke­daulatan,” katanya.
Lebih lanjut, Akil menam­bah­kan, jika masyarakat Aceh ada yang keberatan dengan qa­nun itu, maka dapat mengaju­kan uji materi ke Mahkamah Agung (MA). “Kalau ada war­ga Aceh yang tidak setuju, dia bisa mengajukan gugatan ke MA,” ujar dia
Akil menjelaskan, satuan dae­rah yang bersifat khusus diakui da­lam Undang-Undang Dasar 1945. Daerah tersebut bisa mem­buat peraturan yang mengacu pada UUD. Atas dasar ini, Un­dang-Undang Daerah Aceh mem­beri kewenangan ke­pada pe­merintah daerahnya un­tuk mem­buat lambang daerah. “Ti­dak hanya Aceh. Di Undang-Un­­dang otonomi khusus peme­rin­tahan Papua juga ada,” kata dia.
Akil mengakui, saat ini ada perdebatan mengenai konsep bendera Aceh yang menyerupai bendera Gerakan Aceh Merde­ka (GAM). Namun menurut Akil, hal ini tidak perlu dirisau­kan oleh semua pihak karena ti­dak akan mengancam kedaula­tan. Dalam UUD 1945, kata Akil, telah ditetapkan bahwa ben­­dera negara Indonesia ialah Sang Merah Putih.
Kendati tidak memper­ma­sa­lah­kan, namun Akil menya­ran­kan, penentuan Qanun dibicara­kan kembali antara pemerintah pusat dan daerah. “Silahkan Pemerintah Daerah Aceh dan pemerintah pusat musyawarah­kan,” tutup dia. [Harian Rakyat Merdeka]

No comments: