Search This Blog

Wednesday, June 26, 2013

Alas Gayo Mulai Sirna


Alas Gayo Mulai Sirna

suaraleuserantara June 26, 2013 0
Anan Linung, Nutu Nayu : Seorang nenek di kampung Linung Bulen kecamatan Bintang, menutu nayu diusianya yang tak muda lagi. Kamis (20/6/2013). Nayu adalah istilah gayo memproses tikar secara tradisional di dataran tinggi gayo. (foto: SuaraLeuserAntara/wyra)
Anan Linung, Nutu Nayu : Seorang nenek di kampung Linung Bulen kecamatan Bintang, menutu nayu diusianya yang tak muda lagi. Kamis (20/6/2013). Nayu adalah istilah gayo memproses tikar secara tradisional di dataran tinggi gayo. (foto: SuaraLeuserAntara/wyra)
TAKENGEN |SuaraLeuserAntara|: Ike ilagang turah i lepih (kalau sudah mulai dikerjakan harus diselesaikan-red), demikian pribahasa Gayo yang melekat pada para pembuat penganyam tikar gayo (Gayo-nayu).
Tikar gayo terbuat dari kertan (tumbuhan yang hidup dirawa-rawa). Kini Tikar Gayo sangat sulit didapatkan di dataran tinggi gayo khususnya Kabupaten Aceh Tengah, yang dahulunya merupakan suatu kebanggaan bagi masyarakat gayo sebagai tempat duduk ornag yang dimuliakan juga sebagai seserahan.
“ Sayang mengunakan untuk keseharian, kecuali untuk tamu terhormat, reje (kepala desa), imam, petue (orang yang dituakan-red),” kata Wardiana Inen Hasbenar pembuatan anyaman tikar, yang telah menekuni membuat alas gayo sejak 25 tahun hingga sekarang, dan tinggal satu-satunya perempuan yang berusia tua yang masih membuat tikar gayo, di kampung Linung Bulen Kecamatan Bintang Kabupaten Aceh Tengah.
Proses pembuatan tikar, membutuhkan kesabaran, ketekunan, ketelitian sebagai pertanda filosofi yang sangat berharga di gayo. Dengan duduk di atas alas gayo adalah orang terhormat dan memunculkan kebersamaan, penghargaan. “Siapa yang duduk di atas tikar, akan mengemban amanah hidup,” kata Purnama K Ruslan, ketua Dewan Kesenian Takengen, Minggu (23/6/2013).
Katanya lagi, bahwa langkanya tikar, salah satu keprihatinan kita sebagai masyarakat yang menghormati adat tapi alas gayo sudah punah, mengalami kepunahan yang tragis,kata bang Pur panggilan akrabnya.
Kini, tikar gayo mulai sulit didapati, seiring langkanya kolam-kolam tempat tumbuhnya kertan, dan tidak ada regenerasi para pembuat tikar yang dilakukan kaum perempuan di gayo. Sehingga tikar gayo memiliki harga yang fantastis, sekitar Rp 500 ribu. Kalah saing dengan tikar plastik yang menjamur di pasaran yang hanya dibandrol Rp 150 ribu hingga Rp 250 ribu saja.
Pembuatan tikar bagi masyarakat gayo dilakukan kaum perempuan. Dahulu, semua anak gadis yang dewasa biasa telah mampu membuat tikar, minimal mengetahui proses nayu. Kini di dataran tinggi tidak lagi dijumpai alas gayo dijual di pasaran. Pun ingin mendapatkan tikar, harus langsung ke pengrajin.
Bahan utama pembuatan tikar gayo adalah kertan, biasanya dibuat untuk tikar berukuran panjang yang disebut juga Alas Kolak (4 meter x 1,5 meter) dan Tetopang ( 3 x 1 meter).
Ada juga Cike, Sepirok, dan Beldem, sebagai bahan baku yang mirip kertan namun memiliki ukuran yang sedikit berbeda sehingga biasa digunakan untuk membuat kerajinan khas gayo lainnya seperti tempat nasi, tempat membungkus barang bawaan, bahkan untuk membungkus mayat yang hendak dibawa ke makam, terkadang ikut dikubur dalam makam.
Cike lebih banyak dibuat untuk Ampang (tempat duduk pengantin saat ijab kabul dan alas duduk orang yang dihormati-red). Sentong, tempat nasi yang terbuat dari cike atau beldem.
“Kalau warna tambahan hanya dua dalam tikar gayo, merah dan hijau,” kata Inen Aina, pembuat alas gayo, di kampung Kung, Kecamatan Pegasing Kabupaten Aceh Tengah.
Proses nayu juga tidak mudah, beberapa proses pembuatan tikar (gayo: nayu), dimulai dengan Nuling, memotong kertan di kolam. Peram, menyimpang kertan selama tiga hari sebelum dijemur.
Pepet (jepit-red), kertan yang sudah kering dijadikan kasur tidur, atau ditindih dengan benda-benda yang berat agar lebih pipih. Sale (meletakkan kertan yang sudah kering di para- para-red) biasanya orang gayo dulu menyimpannya di atas dapur hingga kering.
Ramal (mengikat kertan dan dicuci kembali). Tutu, menumbuk kertan di atas batu yang keras biasanya dilakukan tiga orang perempuan atau lebih. Tidak sekedar menumbuk karena beresiko kertan sobek. Pada proses menumbuh di atas batu ini, biasanya bisa menghasilkan suara yang indah dengan dentuman kayu di atas batu, dengan berirama.
Proses terakhir, Nayu (menganyam tikar, menjalin kertan menjadi tikar -red). Masyarakat gayo dulu membuat tikar hendak menjelang bulan ramadhan.
Selain untuk mengisi kekosongan waktu karena tidak dapat bekerja keras, juga bisa dijadikan tikar baru saat lebaran ketika menerima tamu. Terlebih bisa dijual untuk kebutuhan berlebaran.
Sebelum Ramal, ada beberapa Kertan yang diberi warna hijau dan merah dengan menggunakan kesume (pewarna buatan yang dibeli di pasar tradisional-red). Proses itu disebut dengan Rayang.
Ketika menjaling tikar, Nayu kertan yang sudah melalui tahap proses pewarnaan dijadikan sebagai motif tikar. Beberapa motif yang dikenal di kalangan masyarakat gayo, kiding lipen (kaki kelabang), tulen iken (tulang ikan), rehal, taris keben, leladu, lintem dan pinggiran tikar disebut Riris.
Uniknya lagi kelebihan ujung kertan saat membuat tikar tidak dipotong dengan gunting tapi dengan pisau, sehingga membutuhkan kesabaran juga, disebut Tetos.
Tikar gayo, ada juga disebut alas bebujung yaitu tikar yang tidak disambung, sehingga mengikuti panjang kertan itu sendiri, tidak seperti alan kolak yang bisa mencapai 4 meter.
Langus, adalah memipihkan kertan dengan tangan menggunakan sepotong bambu kering. Bila ada kekurangan kertan untuk dijalin.
Bila nayu sudah kerjakan tapi tidak juga menghasilkan tikar, bisa saja disebabkan oleh kesibukan pembuatnya biasa disebut Puyuken (kerjaan yang tidak diselesaikan-red). (wyra)

No comments: