Search This Blog

Tuesday, November 19, 2013

Rumusan dan Rekomendasi Dialog Nasional ‘Merumuskan Kedudukan Peradilan Adat dalam Sistem Peradilan Nasional’


Rumusan dan Rekomendasi Dialog Nasional ‘Merumuskan Kedudukan Peradilan Adat dalam Sistem Peradilan Nasional’

Rumusan dan Rekomendasi Dialog Nasional ‘Merumuskan Kedudukan Peradilan Adat dalam Sistem Peradilan Nasional’

Hotel Royal Kuningan, Jakarta, 10 Oktober 2013
Rumusan
1. Ada dua titik berangkat yang digunakan untuk membicarakan isu peradilan komunitas atau peradilan adat dalam sistem peradilan nasional, yakni titik tolak berbasis: (1) kerangka pikir ideologis dan (2) fakta sosial (situasi empirik). Dalam kerangka pikir ideologis, Indonesia ikut mengalami dampak dari digunakannya konsep hukum dan pembangunan, yang marak digunakan pada tahun 1970-an. Konsep ini menjadikan hukum sebagai instrumen pembangunan dengan perspektif negara-negara maju (donor), yang notabene alergi terhadap hukum lokal. Ideologi ini memang mulai bergeser dengan pendekatan yang memberi akses lebih besar kepada masyarakat pencari keadilan (access to justice). Konsep yang tampil belakangan ini dipandang memiliki kecocokan falsafah dengan alam pikir masyarakat/komunitas setempat, lebih mengedepankan proses (harmoni dan damai) daripada “kesamaan” produk (untuk mengejar kepastian hukum), di samping lebih efisien (tempat, waktu, bahasa).
2. Secara historis, peradilan-peradilan desa (Jawa) dan peradilan-peradilan pribumi (luar Jawa) sebenarnya diberi tempat dalam Pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa itu posisi peradilan adat ini memiliki kejelasan yurisdiksi. Namun, setelah Indonesia merdeka, ada kekhawatiran untuk mempertahankan eksistensi peradilan adat karena memrepresentasikan ide politik keterbelakangan. Hal ini didukung oleh perlakuan negara (terutama yang baru merdeka) untuk secepatnya mengunifikasi sistem peradilannya, mengingat peradilan adalah simbol kekuasaan negara dan sebagai alat pengembalian tertib sosial.
3. Ada keraguan dalam memetakan posisi kedudukan peradilan adat dalam sistem peradilan nasional. Disepakati bahwa duduk persoalannya terletak pada ketidakjelasan politik hukum negara kita, sehingga berada dalam kondisi “antara ada dan tiada.” Sebagai terminologi ada pengakuan terhadap hukum rakyat atau hukum adat ini, yang ditampilkan dalam berbagai istilah (hukum yang hidup, nilai-nilai dalam masyarakat, hukum asli bangsa Indonesia, dan sebagainya). Terlepas adanya asas legalitas formal dan penyederhanaan sistem peradilan menurut UU No. 1 Darurat 1951 yang dapat ditafsirkan sebagai penafikan terhadap peradilan adat, ternyata ada cukup basis legislasi yang masih memberi celah bagi pengakuan putusan-putusan peradilan adat, termasuk yurisprudensi. Secara lokal, peradilan adat seperti Peradilan Gampong dan Peradilan Damai di Aceh dan Papua juga memperlihatkan adanya eksistensi tersebut.
4. Apabila peradilan adat ingin diposisikan ke dalam sistem peradilan nasional, maka setidaknya ada tiga tawaran posisi:
a. peradilan adat mandiri, yaitu sebagai lingkungan kelima setelah peradilan umum, agama, tata usaha negara, dan militer; (kendati tetap menyisakan persoalan terkait yurisdiksi, personalia, dll).
b. peradilan adat dimasukkan ke dalam peradilan umum, dengan menjadikan peradilan adat setingkat dengan peradilan negara; (di sini tetap ada persoalan terkait misalnya dengan komposisi hakim karir dan hakim adat, personalia hakim adat ini ad-hoc atau permanen, serta variasi upaya hukumnya ke tingkat pengadilan tingkat kedua atau langsung ke Mahkamah Agung).
c. tidak perlu ada peradilan adat yang dibentuk secara formal, tetapi nilai-nilainya diakomodasi dalam putusan-putusan pengadilan seperti sekarang (dengan penekanan hakim-hakim harus menguasai hukum adat setempat).
5. Peserta diskusi memberi catatan kritis terhadap masing-masing tawaran pemosisian peradilan adat ini, antara lain:
a. apakah perlu sistem peradilan adat ini harus diintegrasikan ke dalam sistem peradilan nasional (apakah langkah ini tidak justru menjadikan formalisasi sistem peradilan adat; seberapa penting yurisdiksi peradilan adat ini harus berbagi dengan yurisdiksi peradilan negara)?
b. ada keraguan terhadap kemampuan pemerintah untuk memperkaya sistem peradilan kita dengan peradilan adat ini karena dalam beberapa kasus pemerintah sendiri masih kesulitan membentuk pengadilan-pengadilan formal, khususnya akibat adanya pemekaran daerah (hal ini ada kaitannya juga dengan ketersediaan anggaran);
c. apakah tidak cukup memberdayakan model pendekatan yang sudah ada, sehingga hakim diminta lebih progresif memanfaatkan celah yang sudah ada? Di sini digunakan konsep yang mendekatkan peradilan kepada rakyat dengan model “peradilan terapung” (meniru model perpustakaan keliling, SIM keliling dll.).
d. apakah tidak sebaiknya lembaga adat di desa yang diperkuat? (kendati ada kesulitan dalam penyelesaian kasus-kasus pidana; sementara negara cukup mengakui putusan-putusan peradilan desa tersebut).
e. seberapa siap daerah-daerah untuk menggunakan sistem peradilan adat ini, mengingat adanya keanekaragaman kedalaman internalisasi hukum adat ini ke dalam kenyataan kehidupan sehari-hari masyarakatnya?
f. bagaimana mengantisipasi pihak-pihak yang memanfaatkan keberadaan peradilan adat ini untuk mengamankan kepentingan subjektif mereka?
Catatan-catatan yang diberikan sekaligus merupakan rekomendasi agar berbagai opsi yang ditawarkan perlu diperdalam dalam forum yang lebih terfokus guna lebih siap disampaikan kepada otoritas pembentuk hukum.

Jakarta, 10 Oktober 2013

No comments: