Search This Blog

Tuesday, April 30, 2013

Ganti Rugi Tanah di Tanah Gayo

Ganti Rugi Tanah di Tanah Gayo

Sebuah Tanggapan terhadap berita berjudul Warga Tolak Ganti Rugi Pembangunan Jalan Elak, di Harian Serambi Indonesia tanggal 28/12/2008.
***
Bismillahirrahmanirrahim. Pertama kita patut memberikan apresiasi kepada masyarakat Jalan Elak atas kesediaannya turut serta dalam mewujudkan program pembangunan Pemerintah Daerah. Walaupun kenyataannya pihak masyarakat masih keberatan atas harga Ganti Rugi tanah yang ditawarkan oleh Pemkab Aceh Tengah.
Melihat persolan yang terjadi, saya teringat ketika menjadi panitia pada sebuah Seminar Nasional tentang Program Percepatan Pembangunan 1000 KM Jalan Tol di Jakarta pada awal tahun 2006. Seminar ini diselenggarakan oleh Dirjen Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum bekerjasama dengan Bank Dunia dan Gabungan Perusahaan Penilai Indonesia. Salah satu isu yang dibahas adalah Tentang Pembebasan Lahan untuk Jalan Tol sesuai dengan Peraturan Presiden yang baru diterbitkan (waktu itu) yakni Perpres No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Merujuk pada Perpres tersebut kemudian dikaitkan dengan Penetapan Harga Ganti Rugi Tanah (Saya sedikit kurang setuju dengan istilah Ganti Rugi, karena kesannya hanya rugi yang diganti, kenapa tidak Ganti Untung) dalam pasal 15 ayat (1) point a dikatakan bahwa Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas Nilai Jual Obyek Pajak atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan penetapan Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia. Kemudian dilanjutkan pada ayat (2) bahwa Dalam rangka menetapkan dasar perhitungan ganti rugi, Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Maksud Pasal 15 ayat (1) diatas mengenai Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah berdasarkan Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 15, Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah adalah lembaga/tim yang profesional dan independen untuk menentukan nilai/harga tanah yang akan digunakan sebagai dasar guna mencapai kesepakatan atas jumlah/besarnya ganti rugi. Sampai hari ini, Penilai Independen yang diakui pemerintah adalah Penilai yang berada dibawah Asosiasi MAPPI (Masyarakat Profesi Penilai Indonesia). Sedangkan pada ayat (2) yang menetapkan Siapa yang menjadi Tim Penilai sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 ayat 15 adalah Bupati atau Walikota, kecuali Propinsi DKI, Tim Penilai ditetapkan oleh Gubernur.
Kembali kepada masalah Ganti Rugi Pembebasan Tanah di Jalan Elak (Aceh Tengah), apakah Pemerintah Daerah telah menggunakan atau menetapkan siapa Tim Penilai sebagai profesional untuk menentukan harga tanah-tanah tersebut?. Ini perlu diingatkan kembali baik kepada Pemerintah Daerah, maupun kepada masyarakat. Sehingga dalam hal ganti rugi tanah ini kedua pihak, yakni Pemda dan Masyarakat sama-sama tidak dirugikan atau adil. Menurut berita ini, pemerintah masih menawarkan pada harga Rp. 150 ribu per meter persegi, sementara masyarakat menganggap harga tersebut tidak seusai dengan harga pasar.
Pertanyaan saya kepada pemda adalah, apakah pemerintah daerah Aceh Tengah telah mengikuti aturan berdasarkan Perpres No. 36 Tahun 2005 tersebut. Kalau belum jawabannya, atas dasar apa Pemda membuat penawaran dengan angka 150 ribu per meter persegi tersebut. Kemudian sebaliknya juga kepada masyarakat, kalau dikatakan bahwa mereka menuntut sesuai dengan harga pasar yakni Rp.350 ribu hingga Rp. 400 ribu per meter persegi, berapa angka pastinya dari kisaran tersebut yang layak sebagai ganti rugi. Kemudian, pertanyaan kepada kedua belah pihak, apakah sama harga untuk semua lokasi/posisi tanah dan semua kondisi aset diatas tanah dimaksud, seperti bangunan dan sarana pelengkap lainnya, kemudian bagaimana mebedakan nilai bangunan permanen dan non permanen apabila terkena pemotongan akibat pelebaran/pembuataan jalan.
Nah disinilah fungsi dari Penilai Independen. Mereka akan melihat setiap objek atau tanah pada lokasi yang mungkin saling berdekatan, namun hampir pasti memiliki keunikan dari masing-masing objek. Tidak main asal zoning seperti yang dilakukan oleh Kantor PBB dalam pengenaan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Pajak Bumi Bangunan yang tercantum pada SPPT PBB kita selama ini. Umumnya mereka mengenakan pajak tidak melihat secara detail posisi, kondisi atau keadaan objek, lebar jalan didepannya, elevasi tanah, hingga kondisi riil lingkungan sekitar objek secara parsial, namun “pukul rata” untuk semua objek, atau hanya berdasarkan form Isian SPT Tahunan yang syarat dengan manipulasi. Akibatnya, Wajib Pajak yang tanahnya memiliki kondisi/letak lebih baik disamakan dengan yang kurang baik, atau Wajib Pajak yang rumahnya semi permanen bahkan gubuk hampir tumbang tarif pajak dari NJOP disamakan dengan rumah mewah atau permanen lain disekitarnya.
Atas dasar alasan-alasan demikian, maka diperlukan penilaian oleh Penilai Independen. Penilaian dilakukan berdasarkan survey lapangan untuk mengidentifikasi masing-masing jenis objek serta menentukan nilai yang benar-benar sesuai dengan nilai pasar melalui analisis data pembanding dan adjusment terhadap karakteristik dari masing-masing objek atau tanah, sehingga harga ganti rugi yang ditetapkan adil bagi Pemerintah Daerah dan adil bagi Masyarakat. Karena bagi Penilai prinsipnya bekerja profesional, walaupun banyak pemda masih menganggap biaya untuk jasa mereka relatif mahal. Namun akan jauh lebih mahal biaya sosial yang dapat timbul jika masyarakat tidak merasakan keadilan pemerintah daerah dari ganti rugi tanah tersebut. Hal ini juga bisa kita jadikan pelajaran untuk masalah pembebasan tanah pada Proyek Pembangunan PLTA Peusangan yang juga akan dibangun di Aceh Tengah. Demikian Wassalam [Uwein]
About these ads

No comments: