Search This Blog

Friday, April 26, 2013

Melacak Korupsi di Tanah Serambi Mekah

Selasa, 02 Pebruari 2010

  Melacak Korupsi di Tanah Serambi Mekah

Aliansi Jurnalis Independen membukukan kumpulan liputan korupsi di Aceh pasca tsunami. Dibuat dalam bentuk dwibahasa.
Melacak Korupsi di Tanah Serambi Mekah
Kumpulan Liputan Korupsi di Aceh Pasca Tsunami
Bencana tsunami 26 Desember 2004 di Nanggroe Aceh Darussalam menimbulkan duka mendalam sekaligus simpati komunitas internasional. Beragam bantuan dari banyak negara dan lembaga –disamping bantuan dari dalam negeri—mengucur ke Bumi Serambi Mekah itu. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi dibentuk Pemerintah untuk membangun kembali Aceh yang porak poranda.

Tetapi tidak semua alokasi dana dan bantuan berada di satu tangan. Ada yang langsung membangun sendiri, ada pula yang menggelontorkan dana lewat kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat. Apapun bentuknya, yang jelas triliunan rupiah menyebar di Aceh pasca tsunami.

Tentu saja, pemberi bantuan punya niat baik untuk ikut berpartisipasi merehabilitasi kerusakan dan merekonstruksinya kembali. Sayang, tak semua kucuran dana itu dikelola dengan baik. Duit yang berlimpah malah dimanfaatkan sejumlah kalangan untuk mengeruk keuntungan pribadi. Ironisnya, tak semua perilaku menyimpang itu terendus aparat penegak hukum. Entah karena tak memiliki bukti atau “daya penciuman” sang aparat yang kurang tajam.

Liputan sejumlah jurnalis yang dimuat dalam buku ini bisa jadi mengarahkan penciuman aparat hukum untuk lebih tajam lagi. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyelenggarakan sayembara peliputan investigasi kasus korupsi di Aceh pasca tsunami. Ada 24 proposal yang masuk. Sebanyak 12 jurnalis mendapat kesempatan melaksanakan liputan investigasi tersebut. Hasil karya sebagian jurnalis itulah yang dikompilasi dalam buku Rembukan Gelap ini.

“Rembukan Gelap” tak ubahnya sebagai penulisan ulang liputan para jurnalis (cetak/online, televisi, dan radio) yang memang sudah dimuat di media masing-masing. Misalnya, penelusuran wartawan Detik.com terhadap proyek Taman Bustanussalatin. Temuan sang wartawan benar-benar mencengangkan: Alamat Yayasan yang mengelola Taman itu baik di Aceh maupun di Bandung tak jelas. Ada pula dugaan penyelewenangan dana Asuransi Kesehatan buat warga miskin (Askeskin) di Pidie, atau dana PETA di Bener Meriah. Di Aceh Tengah, proyek Kawasan Peternakan Terpadu Ketapang, alih-alih untung, yang didapat malah buntung.

REMBUKAN GELAP
KUMPULAN LIPUTAN KORUPSI DI ACEH PASCA TSUNAMI

Editor: Satrio Arismunandar, Willy Pramudya
Penerbit: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
Tahun terbit: 2009
Halaman: 93 versi Indonesia + 86 versi Inggris

Membaca hasil liputan investigasi jurnalis tak ubahnya mengingat kembali peristiwa yang sering terulang ketika bencana mendatangkan simpati dan dana, ketika itu pula dimanfaatkan orang tak bertanggung jawab untuk mengeruk keuntungan. Kita tentu masih ingat bencana gempa dan tsunami di Tasikmalaya dan Cilacap telah mengantarkan beberapa oknum pejabat setempat ke balik jeruji besi. Beruntung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan penyimpangan dana bantuan untuk korban bencana.

Penelusuran korupsi di daerah dan hasilnya dikompilasi sebenarnya bukan pertama kali dilakukan. Pada 2002 lalu, kompilasi 16 kajian korupsi di berbagai daerah diterbitkan. Richard Halloway menjadi editor empat jilid buku “Stealing from the People, 16 Studies on Corruption in Indonesia”. Buku ini lebih memetakan bagaimana korupsi itu dilakukan.

Kajian lain bisa dibaca lewat buku Frenky Simanjuntak dan Anita Rahman Akbarsyah, “Membedah Fenomena Korupsi, Analisa Mendalam Fenomena Korupsi di 10 Daerah di Indonesia”. Buku ini merupakan studi fenomena korupsi di kabupaten Tanah Datar, Cilegon, Wonosobo, Yogyakarta, Denpasar, Palangkaraya, Mataram, Maumere, Parepare, dan Gorontalo.

Dua buku terakhir lebih memetakan pola-pola korupsi dengan perspektif non-jurnalistik. Sehingga, kita tidak akan mendapatkan sudut pandang dua sisi (cover both sides), sebagaimana biasa dilakukan jurnalis (hal. 57). Lepas dari perspektif itu, ketiga buku sama-sama menyajikan potret buruk korupsi kepada kita. Juga, menggambarkan bahwa korupsi sering terjadi karena ada kesempatan dan lemahnya pengawasan. Pengawasan itu di satu sisi termasuk dari masyarakat. Di sisi lain, masyarakat sangat berharap aparat hukum menindaklanjuti dugaan korupsi itu. Seringkali masyarakat menganggap bukti yang dibutuhkan sudah cukup. Tinggal menunggu langkah pasti aparat penegak hukum (hal. 39).

Buku lain dengan tema sejenis namun lebih spesifik adalah “Ruang Gelap Penyusunan Anggaran: Pola-Pola dan Data Indikasi Penyimpangan Anggaran Daerah” (2006), editor Agus Sahlan Mahbub dan Mas’alina Arifin. Deretan buku kajian sejenis mungkin bisa ditambah. Yang penting dilihat adalah tujuan dan spirit penerbitan buku-buku sejenis.

Tujuan buku “Rembukan Gelap” ini tentu bukan hendak memaksa aparat hukum bertindak. Melalui kompilasi ini, pembaca diharapkan dapat menemukan berbagai pertanda betapa gurita korupsi telah mengakar jauh ke tubuh bangsa ini, hingga ke setiap sudutnya” (hal. 9).

Dan, kalau ingin tahu lebih detail gurita korupsi itu, tentu kita harus membaca bukunya.

No comments: