Search This Blog

Wednesday, April 24, 2013

Perang Gayo, Sejarah yang Tercecer

Perang Gayo, Sejarah yang Tercecer

 

 

 

 







Minggu, 11 September 2011 09:15 WIB
Oleh Hamaaddin, Aman Fatih

Harus kita akui  bahwa dalam beberapa literatur yang mengangkat sejarah perang Aceh, hanya bercerita dan mempublikasikan heroiknya perjuangan rakyat suku Aceh kawasan pesisir saja.  Hanya sedikit yang menyentuh sepak terjang rakyat Gayo. Meletusnya perang Gayo merupakan bias dari perang Aceh. Sebuah catatan sejarah yang harus kita akui bahwa perang Gayo merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah perang Aceh. Tidak lengkap kalau kita berbicara perang Aceh tanpa sedikitpun menyentuh sejarah perang Gayo.

Meletusnya perang Gayo lebih kurang 27 tahun setelah meletusnya perang Aceh di kawasan pesisir  26 Maret 1873 , atau tepatnya di awal tahun 1900-an. Pasukan Belanda mulai menyusun strategi menyerbu tanah Gayo.  Itu dilakukan untuk meredam strategi gerilya jangka panjang yang diterapkan kesultanan Aceh untuk menghindari penangkapan pasukan Belanda. Dan  belantara hutan pengunungan Gayo itulah  benteng terakhir pertahanan kerajaan kesultanan Aceh. Inilah awal meletusnya perang Gayo.

Setelah hampir sebagian pesisir daerah Aceh dikuasai pemerintahan Belanda, tentara Belanda mengintensifkan sasaran ke bagian pedalaman Aceh  (Tanah Gayo). Soalnya, daerah tersebut dijadikan tameng tempat berlindungnya para pejuang Aceh yang terus bergerilya. Tentara Belanda telah  dua kali melakukan serangan secara besar - besaran ke tanah Gayo. Pertama, pada tahun 1902 pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Coliju menyerang tanah Gayo melalui kawasan Isaq, tapi hanya sampai wilayah dekat Burni Intem - Intem. Serangan ini mengalami kegagalan, karena perlawanan yang sengit dan sulitnya medan yang dilalui. Kedua ; pada 8 Februari 1904 di bawah pimpinan Van Daalen, dengan menggunakan 3 buah kapal berkekuatan 10 Brigade Morses dengan 12 perwira terbaik.  Sebelum melakukan penyerangan ke tanah Gayo, penguasa tertinggi kolonial Belanda di Aceh (Sebagai Gubernur Militer Belanda ) Letnan Jenderal J.B. Van Heutsz membentuk Pasukan Marsose (Het Korps Marechaussee) yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Van Daalen. Pasukan khusus ini dibentuk untuk menguasai daerah pedalaman Aceh, termasuk  dataran tinggi  Gayo.

Keberhasilan serangan pasukan Belanda yang kedua ini  berbekal laporan seorang Antropolog berkebangsaan Belanda yaitu C. Snock Hurgronje yang berjudul Het Gayoland En Zijne Bewoners ( Negeri Gayo dan Penduduknya ).

Daerah tanah Gayo merupakan wilayah yang paling terakhir dimasuki Belanda selama menjajah di Nusantara ini. Baru pada tahun 1902, Belanda menginjakkan kakinya di daerah dingin ini. Hal ini pun disebabkan strategi gerilya jangka panjang yang diterapkan Kesultanan Aceh untuk menghindari penangkapan pasukan Belanda. Dan di belantara hutan pengunungan itulah  benteng terakhir pertahanan kerajaan kesultanan Aceh

Sebelumnya rakyat Gayo dengan gigih mempertahankan Aceh dari serangan Belanda. Baik di daerah dataran tingggi tanah Gayo sendiri maupun di daerah pesisir Aceh, terutama di Aceh Timur dan Pase. Perjuangan ini terus berlangsung sampai dengan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik ini.

Tragedi yang terjadi pada tahun 1904 adalah saat Letnan Colonel GCE Van Derlan menggempur Tanah Gayo, yang mengakibatkan 2.500 orang rakyat Gayo tewas. Ini merupakan fakta tertulis dengan tinta emas atas perjuangan Rakyat Gayo.

Tokoh - tokoh perjuangan yang pernah terlibat pertempuran dengan pasukan Belanda di luar maupun di dataran tinggi Tanah Gayo sendiri, sebelum kemerdekaan, antara lain; Tengku Tapa (Mustafa) yang berjuang di Aceh Timur dan Pase antara tahun 1893 sampai 1900.

Inen Mayak Tri yang merupakan srikandi Tanah Gayo (setara dengan kegigihan Tjut Nyak Dhien ). Dia  tewas ditembak Belanda di bawah pimpinan Van Heutsz  pada hari Jumat bulan November tahun 1899, di sebuah gubuk di hutan Lukup.

Ada juga Pang Amin atau lebih dikenal dengan sebutan Panglima Perang Amin. Beliau ini berasal dari Belah Gele. Pang Amin menghimpun dan melatih dengan gigih rakyat Gayo untuk menentang penjajahan Kolonialis Belanda.

Aman Njerang, pejuang gagah berani yang 20 tahun  lebih mengembara di belantara hutan tanah Gayo. Beliau syahid pada 3 oktober 1922,  ketika bertempur dengan Marsose di kawasan pegunungan Van Daelen, wilayah Geumpang perbatasan Aceh Tengah dengan Aceh Barat. Pedangnya kemudian dibawa Letnan Jordans ke Belanda. Akhirnya, pedang yang telah berumur sekitar  120 tahun ( setelah 82 tahun berada di Belanda ),  pada hari Jumat (4/3/2003) dikembalikan ke Aceh. Sekarang pedang tersebut tersimpan di museum Aceh.

Masih banyak lagi perjuangan - perjuangan asal negeri ini yang syahid, gugur dalam mempertahankan dan mengusir penjajahan Belanda, seperti Pang Akup, Pang Bedel, Pang Bin, Pang Reben, Pang Ramung dan lain sebagainya.

Masa pendudukan Jepang
Sejak Belanda menginjakkan kakinya di Dataran Tinggi Tanah Gayo pada tahun 1901, daerah ini setiap harinya dibasahi darah para syuhada, yang tidak mau negerinya di kuasai Belanda. Akhirnya, setelah 41 tahun lamanya Belanda menguasai dataran tinggi tanah Gayo, dengan diiringi kedatangan Dai Nipon, pada tahun 1942, Belanda angkat kaki dari wilayah Tanah Gayo itu.

Kedatangan Tentara Dai Nipon atau lebih dikenal dengan sebutan “Saudara Tua” dari timur bukannya melepaskan penderitaan rakyat Gayo. Sebaliknya, penderitaan rakyat bertambah parah. Lepas dari perangkap anjing, masuk ke perangkap harimau.

Kekejaman Tantara Jepang selama menduduki Negeri Dingin ini ( ± 3,5  tahun ), lebih menyakitkan daripada masa penjajahan Hindia Belanda ( ± 350 tahun ). Adanya kerja paksa pembangunan Jalan Takengon - Blangkejeren, Takengon - Bireuen dan lain sebagainya.

Melihat penderitaan rakyat yang telah mencapai puncaknya, pejuang muslimin Gayo yang berpusat di Tedet Kemukiman Samarkilang, di bawah pimpinan Tengku Pang Akob, menyerang pos dan tangsi tantara Jepang pada 2 Mei 1945. Puluhan tantara Jepang tewas secara mengenaskan.

Dibalik penderitaan pada masa pendudukan Jepang, ada beberapa hal yang dipandang positif. Salah satunya, rakyat Gayo  terpaksa untuk meningkatkan kemampuan militer dan keterampilan menenun pakaian.

Berakhirnya masa pendudukan bangsa Jepang, wilayah Tanoh Gayo secara hukum telah merdeka karena daerah ini tidak termasuk dalam wilayah Indonesia berdasarkan perjanjian Linggarjati ( baca 15 Februari 1946 ) poin 1 dengan artian dalam kondisi vacum of power. Begitu juga dengan  Piagam Konsitusi RIS ayat 6,7. Masyarakat Gayo hanya ikut membantu merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Dalam catatan sejarah perang,  Gayo telah 15 kali mengirim para mujahidin ke Medan Area,  Sumatera Utara. Pucak pertempuran yang paling dahsyat dan tercatat dengan tinta emas dalam arsip perjuangan rakyat Gayo adalah pertempuran yang terjadi di Rajamerahe Sukaramai Kandi Bata Tanah Karo.

Dataran tinggi daerah tanoh Gayo merupakan nafas terakhir perjuang rakyat Indonesia dalam mempertahankan republik ini( baca : tempat mengudaranya Radio Rimba Raya ), yaitu dengan lantangnya membantah pemberitaan Radio milik Belanda yang menginformasikan bahwa Indonesia sudah tidak ada.

Radio Rimba Raya ini juga merupakan pemancar gerilya yang menyajikan nyanyian - nyanyian rakyat yang dapat membakar semangat pejuang, bahkan merupakan satu-satunya sarana diplomasi politik Indonesia. Dan Radio ini terus berperan sampai saat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Pemerintahan Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta yang merupakan salah satu butir hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag , Belanda.

Penutup
Keagungan jiwa dan semangat perjuangan Rakyat Gayo dalam mempertahankan agama dan Tanah Air  sebelum dan sesudah kemerdekaan, memberi isyarat ketangguhan daya tangkal dan ini merupakan modal bagi Rakyat Gayo untuk mempertahankan kesucian agama dan Tanah Air dari berbagai macam penjajahan.

Semangat dan jiwa itu menjadi modal pula untuk menggalang pembangunan di daerah dataran tinggi tanah Gayo, di era pembangunan nasional dewasa ini, dan di masa yang akan datang.

* Penulis adalah antropolog, guru SMAN 1 Timang Gajah,  dan dosen FISIP Universitas Gajah Putih, Takengon

No comments: