Search This Blog

Monday, May 13, 2013

Kopi ‘Besarkan’ Tanah Gayo

Kopi ‘Besarkan’ Tanah Gayo

Kopi1 (1)Aceh Tengah – Tanah Gayo, dataran tinggi dengan segenap anugerah Allah SWT berupa tanah subur dan pemandangan yang memanjakan mata. Tentu saja tidak hanya itu, banyak anugerah Yang Maha Kuasa lainnya yang dapat dinikmati siapa saja di negeri Raja Linge itu. Satu dari sekian banyak yang dibicarakan orang ialah Kopi Gayo.
Tanaman yang mudah dijumpai di setiap rumah warga disana adalah tulang punggung komoditi unggulan yang sudah diwarisi turun-temurun. Konon menurut penggalan cerita dalam masyarakat, bahan baku utama kopi ini sudah melekat dalam kehidupan masyarakat, bahkan diyakini kopilah satu-satunya komoditi sebagai pegangan ekonomi masyarakat di Kabupaten Aceh Tengah.
Berbicara kopi Aceh identik berbicara kopi yang tumbuh di Gayo dan sedikit sekali kopi yang dihasilkan di luar tanah Gayo. Sejalan dengan itupula, banyak pihak menyadari bahwa kopi adalah satu komoditi bernilai tinggi dan dilirik oleh sejumlah negara luar. Dan mayarakat tanah Gayo dalam beberapa tahun kebelakang terus berbenah dan memfokuskan diri serta mengupayakan jaringan agar kopi Gayo tetap menjadi pilihan penikmat kopi, lokal maupun internasional.
Dalam beberapa tahun ini sejumlah lembaga swadaya masyarakat maupun perusahaan dalam lingkar perdagangan kopi sudah mulai mengajak petani kopi guna mencapai standarisasi komoditi sebagai syarat agar kualitas kopi Gayo tetap menjadi salah satu yang terbaik dalam pergadangan dunia dengan mengolah kopi secara organik dan higienis.
Nurdin (34), petani kopi yang dijumpai AtjehLINK, Sabtu (11/5/2013 ) di Kecamatan Bebesan menyadari benar jika kopi adalah pegangan ekonomi bagi sebagian besar masyarakat Aceh Tengah, sehingga dengan kopi masyarakat Aceh Tengah dapat memenuhi kebutuhan keluarganya, sebagai contoh untuk pendidikan anak-anaknya.
“Tidak hanya orang tua saja, pada hari libur anak-anaknya juga ikut membantu orang tua di kebun kopi. Memang masyarakat Aceh Tengah tidak mungkin dipisahkan dari kopi karena dari kecil saja dalam kesehariannya sudah akrab dengan kopi,” ujarnya.
Masih menurut Nurdin, mengikutsertakan anak-anak untuk bekerja di kebun walau hari libur itu sudah dinilai tidak baik oleh sejumlah lembaga standarisari atau LSM, namun budaya ke kebun saat hari libur itu sepertinya sudah mendarah daging bagi masyarakat setempat, jadi biarkan saja tetap ada dalam masyarakat selama tidak mengganggu hak anak. “Bahkan banyak positifnya jika kita lihat kopi adalah sesuatu yang harus diwariskan untuk anak cucu,” katanya.
Selanjutnya, sisi lain dari dunia kopi adalah dinamika harga kopi yang berkiblat pada harga kopi dunia. Bagi masyarakat yang tidak mengikat kontrak dengan pihak tertentu, jika harga dunia kopi dunia turun maka kopi petani akan dibeli murah, begitu pula sebaliknya. Dampak ini tidak akan ada jika petani sudah mengikat kontrak harga beli dengan pihak tertentu, namun jika harga kopi dunia melebihi harga kontrak, petani kopi tetap menerima seharga yang disepakati dalam perjanjian.
Dari informasi yang diperoleh dari pihak Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, hampir tidak ada masyarakat setempat yang tidak memiliki kebun kopi yang sering disebut emasnya tanah Gayo. Pernyataan ini tidak berlebihan karena memang intensitas interaksi masyarakat Aceh Tengah  dengan kopi tidak perlu diragukan, mulai dari menanam dan membersihkan kebun kopi, mengupas kopi, menjemur kopi, memilih kopi, menjual kopi dan tentu saja minum kopi.
Pemadangan yang paling mudah kita jumpai disepanjang jalan adalah aktivitas masyarakat menjemur kopi di halaman rumah mereka, banyak pula yang memanfaatkan sebagian badan jalan untuk area menjemur kopi, tidak jarang juga ini kita temukan di lapangan jemur perusahaan pengumpul kopi yang sudah berhasil mengekspor kopi Gayo hingga ke luar negeri, seperti Australia, China, Belanda dan beberapa negera besar lainnya di dunia.
Sebut saja Oro Coffe Gayo yang beralamat di Kampung Mongal, Bebesen, Aceh tengah. Usaha perdagangan kopi milik H Rasyid tersebut tergolong besar. Dalam gudangnya saja mampu menampung puluhan ton karung biji kopi dan sudah siap ekspor.
“Ada beberapa negara luar yang menjadi tujuan ekspor dan kami sudah merintisnya sejak beberapa tahun lalu,” ujar lelaki berpenampilan sederhana ini saat dijumpai AtjehLINK di tempat usahanya.
Katanya,  seluruh kopi dari pabriknya itu berasal dari kebun kopi masyarakat di Aceh Tengah dan sekitarnya yang dibeli dengan harga yang pantas. Masyarakat yang diperkerjakan disini untuk memilah (sortir) biji kopi juga dibedakan sesuai nama dan kelasnya, seperti Luwak, Long Berry, Pie Berry, Fenci dan Special.
Dari barang contoh dalam toples “Kedai Gratis” bertingkat dua miliknya yang terletak searea dengan pabrik, lebih dari 35 nama yang tertempel dibagian luar toples. Di “Kedai Gratis” itu pula, lelaki tamatan SPG Aceh Tengah ini memajang produk kopinya di etalase.
Tidak ada angka pasti berapa banyak sudah lidah penikmat kopi atau peminum kopi di penjuru dunia yang sudah tersentuh dengan cita rasa kopi Gayo. Namun semua masyarakat sadar jika tanah Gayo sudah memberikan yang terbaik untuk penduduknya hingga mereka masyhur ke seantero dunia karena karena satu potensi dari banyak potensi lainnya, yakni Kopi, tanaman berbiji kecil yang telah ‘membesarkan’ satu bangsa yang besar. (zamroe)

GAYO Nusantara.

No comments: