Search This Blog

Monday, May 6, 2013

Gayo, Bangsa Kuno yang Tersisa*

 

|

Gayo, Bangsa Kuno yang Tersisa*

=bagian terakhir dari dua tulisan =
Oleh: Hammaddin Aman Fatih*
foto penulisMENURUT sebuah  informasi yang di sampaikan secara turun temurun dari satu genarasi Gayo ke generasi Gayo selanjutnya (baca: kekeberen/bahasa Gayo). Bahwa kata Gayo berasal dari kata “Garib “ atau  “Gaib “. Hal ini dihubungkan dengan datangnya pertama kali leluhur orang Gayo ke wilayah ini,  yaitu pemimpin rombangan yang datang tidak nampak wujudnya tapi suaranya kedengaran. Ada lagi yang menghubungkan kata Gayo dengan “dagroian“ berasal dari kata–kata “drang–gayu“ yang artinya orang Gayo. Dan ada juga menyebut dengan sebutan pegayon yang artinya mata air yang jernih.
Hal diatas mungkin bisa kita anggap sebuah kebenaran sementara. Kalau kita melihat dari sudut lingguistik. Karena makanan yang dikonsumsi berubah setiap generasinya, yang pada akhir berpengaruh kepada konstruksi gigi yang bisa mempengaruhi dialek suara.
Mereka pertama kali menetap di bagian pesisir pulau sumatera. Seterusnya mereka bermigrasi menyelusuri sungai –sungai yang berada di pedalaman Aceh. Makanya setiap perkampungan kuno, yang pasti berada dipinggiran alur sungai, karena melalui sungailah mereka bermigrasi.
Yang menjadi sebuah pertanyaan, mengapa mereka memilik  dataran tinggi yang berada di pedalaman Aceh (baca: Tanah Gayo)? Menurut sebuah sumber, kenapa mereka memilih Dataran Tinggi Tanah Gayo adalah karena diyakini daerah tersebut merupakan daerah yang aman secara geografis dan iklim yang sangat bersahabat dengan penghuninya, sejak era pra sejarah.
Menurut beberapa sumber, dataran tinggi tanah Gayo dari dulu diyakini sebagai daerah yang paling aman dari geteran gempa dengan gaya gratifikasi lebih tinggi dibandingkan dari daerah–daerah yang ada di Indonesia, terutama daerah Linge sekarang. Sehingga daerah tersebut menjadi tujuan utama untuk menetap dan berkembang. Sehingga dalam konteks budaya, setiap anggota yang sudah berkeluarga di tanah Gayo diberi gelar “aman”.
Secara umum, mereka masuk ke tanoh Gayo melalui jalur–jalur sungai besar, antara lain: Pertama, dari muara Sungai Peusangan yang berhulu ke Danau Laut Tawar. Sehingga mereka di sebut pegayon (air mata yang jernih). Hal ini juga di perkuat dengan diketemukannya kehidupan di dataran  tinggi Tanoh Gayo di zaman pra sejarah. Bukti ini dapat kita lihat dari hasil penelitian Madya Bidang prasejarah Balai Arkeologi Medan yang menemukan adanya sebuah kehidupan manusia purba di Ceruk Mendale dan Loyang Putri Pukes. Bahwa proses hunian telah berlangsung dikawasan ini sejak periode mesolitik pada masa 3.580 tahun yang lalu. Dan dalam penelitian tersebut mereka juga menemukan kerangka manusia purba yang diyakini sebagai salah satu leluhur rakyat Gayo. Hal masih dilakukan pengetesan DNA (Deoxyribonucleic Acid) untuk menguji hipotesa tersebut.
Kedua, jalur Sungai Jambu Aye kira-kira baru pada tahun 300 SM menyingkir kepedalaman wilayah Aceh. Hal ini disebabkan kedatangan Melayu Muda dari Kincir dan Kamboja. Dan juga dilatar belakangi ekonomi, yaitu karena masyarakat tersebut bermata pencaharian  mencari ikan dan bercocok tanaman. Sebahagian dari mereka untuk memperluas usaha dan  menambah penghasilan, terus menyelusuri sungai tersebut, terus menyelusuri sampai ke muara sungai yang ada di pedalaman di daerah Samarkilang atau orang Belanda menyebut dengan sebutan Samarlang bukan Samalanga. Akhirnya ada sebahagian yang terus menetap di sana tidak pulang lagi menata kehidupan baru yang terus berkembang dari hari ke hari.
Beberapa periode kemudian (baca: abad Masehi) terjadi pembauran dengan pendatang–pendatang baru berikutnya yang menetap dan berkembang di tanah Gayo. Yaitu:
Pertama: ini berhubungan masuknya pengaruh budaya Islam (baca: aliran Syiah maupun Suni) di lingkungan Kerajaan Linge. Konon kabarnya dibawa oleh oleh orang–orang keturunan Persia yang datang ke tanah Gayo. Ada sebuah informasi yang mengatakan bahwa orang Gayo yang berada di daerah Serule merupakan keturunan mereka, yang mempunyai ciri–ciri fisik tinggi kurus dengan warna mata coklat gelap dengan hidung mancung. Mereka ini berbeda dengan bentuk fisik orang Gayo kebanyakan.
Kedua: berhubungan dengan pelarian politik dari daerah Peurlak, yaitu ketika Raja Linge mengizinkan rombongan Malik Ishak yang berjumlah 300 orang untuk tinggal dan sekaligus diberi hak untuk mendirikan kerajaan Islam di Isaq.
Ketiga: ada sebuah informasi yang mengatakan, bahwa dulunya ada rombongan pengungsi dari wilayah kerajaan Majopahit yang menetap di sekitar daerah yang sekarang di kenal dengan sebutan daerah Penarun. Raut wajah mereka lebih mirip kejawaan. Informasi ini berhubungan dengan cerita yang berkembang di masyarakat tentang “Legenda Keris Majapahit”.
Ke-empat: berhubungan dengan kedatangan orang–orang dari tanah Batak yang menuntut hak warisan sebagai keturunan Gayo yang dulunya merantau ke tanah Batak (Lihat legenda anak Reje Linge yang lari ke tanah Karo). Dan hal ini diperkuat dengan penelitian Ketut Wiradanyana yang memunculkan hipotesa bahwa Orang Batak Berasal Dari Tanoh Gayo (Serambi Indonesia  hal 18, Kajian Arkeologis ; Suku Batak dari Gayo, terbitan 12 Desember 2011).
Kelima: Menurut Akmal yang pernah menjadi seorang interprerter peneliti Asing era Gubernur Aceh Ali Hasjmy, hal ini berhubungan dengan pembangkang politik pada masa pemerintahan Hindia Belanda yang dibuang ke luar Pulau Jawa, yaitu ke Digul, Suriname, Aceh (tanah Gayo).
Ke-enam: era tahun 1900–an yang itu dengan dibukanya lahan perkebunan di dataran tinggi tanah Gayo oleh Belanda. Karena kekurangan tenaga pekerja maka pemerintahan kolonialisme Belanda mendatang pekerjanya dari daerah luar tanah Gayo, khususnya dari Pulau Jawa.
Dengan perjalanan waktu (periode) dan adanya interaksi antara mereka terjadilah pembauran (melalui jalur perkawinan). Beberapa generasi kemudian sampai sekarang. Mereka inilah cekal bekal masyarakat Gayo yang sekarang. Masyarakat tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu di dataran tinggi tanah Gayo yang berada di pedalaman Aceh.
Penutup
Alangkah naifnya sekarang, kita bertanya kepada orang lain, siapa kita sebenarnya? Banyak penulis Gayo menggunakan referensi yang bersumber dari orang asing yang notabene mempunyai kepentingan tersendiri. Malahan hal yang sangat sensitif dalam budaya Gayo menggunakan literatur asing, khususnya  Snock Hurgranje seorang antropolog asal Belanda.
Menurut  Surahman, seorang Sarjana Ilmu Politik sekarang dosen Fisip UGP Takengon, bahwa Snock Hurgranje merupakan spionase (mata-mata) asing yang membuat dua buku tentang Budaya Masyarakat Gayo. Yang asli dikirim langsung ke Amesterdam  Belanda dengan tujuan untuk menaklukan Gayo. Sedangkan satu lagi (buku palsu) beredar di Indonesia yang bertujuan untuk menyenangkan masyarakat Gayo. Dan dia melakukan penelitian hanya 6 bulan di Meulaboh dengan metode wawancara.
Yang menjadi sebuah pertanyaan, apakah bisa dikatakan data itu valid? hanya melakukan penelitian dengan rentang waktu yang sesingkat itu?. Adakah cerita Ikan Depik merupakan salah satu ikan khas yang hidup di Danau Laut Tawar dalam catatan penelitiannya? Mungkin kasus ini sama dengan Marco Pola yang katanya penjelajah yang bercerita tentang Budaya Cina. Dia tidak sedikitpun menyinggung tentang “Tembok Cina”. Tembok ini merupakan salah satu karya manusia yang bisa dilihat telanjang dari bulan (tanpa alat). Percayakah kita dengan karyanya itu?
Untuk  penulisan deskripsi sejarah Gayo, sah–sah saja kita menggunakan literatur lokal. Tapi, jangan terlalu berlebih-lebihan, sehingga tidak terjadi pembenaran yang membabi-buta. Marilah kita cari bandingan dengan literatur luar yang mungkin nilai ilmiahnya lebih kuat dibandingan lokal yang sering terlalu berbau mistik yang cenderung berbentuk isu (kekeberen-bahasa Gayo).
Penulis mengajak seluruh komponen lapisan masyarakat rakyat Gayo untuk melihat dan mengkaji kembali serta memperkenalkan kepada rakyat Gayo khususnya, kepada dunia luar pada umumnya tentang sejarah yang telah lama terkoyak dan terkubur oleh arus perjalanan peradaban zaman.
Mencari mana yang benar serta mana yang salah, mana yang relevan dan mana yang tidak, perlu diberi baju atau dengan kata lain berangkat dari yang aslinya, dihiasi dan diserasikan sesuai serta sejalan dengan tuntunan zaman dengan rekontruksi ulang. Jangan sampai sejarah – sejarah di tanoh Gayo menjadi dongeng di masa yang akan datang karena kita tidak membudayakan budaya menulis. Orang di luar dongeng menjadi catatan sejarah, karena mereka mau menulis.(antro_madin[at]yahoo.co.id)
*Suntingan dari Isi Buku “People of the Coffee” yang masih dalam proses penerbitan sekaligus rivisi tulisan dengan judul Rekonstruksi Jejak Leluhur Rakyat Gayo yang pernah di muat Lintas Gayo.
**Seorang antropolog, guru biasa di SMAN 1 Timang Gajah dan Ketua P3M  Fisip UGP.

No comments: