Search This Blog

Friday, May 3, 2013

Adu Jago Agama

Adu Jago Agama

Monday, 14 February 2011 14:15 | Bebas | 0 Comment | Read 908 Times
Tanbihun.com – Waktu aku berusia kelas tiga sekolah dasar, aku senang sekali bermain dengan binatang. Aku punya banyak binatang peliaraan: Kucing, ikan, ayam, dan tupai. Dan biasanya aku beri nama. Ada yang biasa disebut dengan Tuo, karena kucing ini umurnya sudah sampai dua puluh tahun, berkali-kali tertabrak mobil, tetapi tetap saja ia kembali sehat. Hanya Allah yang tahu, kalau kaki kucing tuo pernah patah tetapi tanpa dibawa ke tukang sangkal putung bisa jalan kembali, memang ajaib. Ada beberapa kucingku yang dipanggil anggota keluargaku dengan enggeng-enggeng. Kucing satu ini walau doyan sama susu indomilk, dan sering tak kasih susu yang tak taruh di lemper. Tapi tetap saja dia masih kurus, hingga jalannya enggeng-enggeng.
Ayam jagoku yang kecil, tetapi pemberani ku juluki dengan wareng maksudnya singkatan dari ‘wani kerengan’ (berani bertarung). Hingga aku sampai sekarang masih saja oleh teman-teman sekolah dasarku juga dijuluki sebagai wareng.
Aku suka kucing karena rumahku tak pernah bisa tanpa kucing. Setiap kucing yang kami pindah ke tempat lain, pasti otomatis ada kucing lain yang datang ke rumah lagi dan entah dari mana. Malah kucing tuo sudah ku pindah sampai beberapa kilometer, tetapi dalam beberapa hari saja ia bisa kembali kerumah. Kata orang tua sih kucing akan kerasan singgah di rumah-rumah tua. Memang rumah yang ku tempati hingga sekarang adalah joglo, dan sudah berusia ratusan tahun.
Ayam menjadi kegemaranku, bukan karena saya sahabatnya ipin-upin, tetapi karena memang nenekku peternak ayam kampung. Ingat !!! bukan ayam kampus. Dulu ayamnya hingga dua kodi. Tiap pagi aku mengambili telur yang berada di bawah pohon pisang, dan kebanyakan di kandang ayam (pranji).
Binatang berkokok ini pula yang selalu menemani saat aku berak di kebun. Si ayam jalilah yang menghabiskan tinjaku. Ia setia menemaniku makan di pekarangan belakang rumah, unggas ini menanti setiap lemparan sisa makanan dariku. Ia selalu ingin kebagian makananku. Herannya lagi, aku lebih senang melihat ayam jago berkelahi, walau setelah itu aku merasa kasihan kepada ayam yang terluka. Biasanya ayam yang baru kelahi wajahnya memar berwarna merah kecoklatan. Sampai-sampai matanya bisa tak melihat lagi, kecongkel jalu jago lawan.
Tiap hari aku kasih makan ayam, ku latih berkelahi dengan cara menendang-nendangnya. Kemudian ayam itu berani dengan tendangan kakiku, hingga kakiku selalu disambut dengan terjangan cakar kakinya. Bahkan setiap kedatanganku akan disambut dengan gaya khas ayam jago yang sedang menantang lawan kelahinya. Dengan sayap megar ke bawah, dan tubuhnya miring berputar. Gaya mukadimah kelahinya mirip ikan cupang.
Aku mulai membanding-bandingkan ayam jagoku dengan ayam jago teman, tetangga. Mana yang bagus dan mana yang tidak. Aku cari tahu kriteria ayam jago bagus. Aku jadi sering berkeliaran di pasar ayam Kedungwuni. Waktu itu aku menginjak kelas lima sekolah dasar. Di salah satu sudut pasar ayam, ada arena tempat adu ayam. Aku beberapa kali menonton, walau banyak bapak-bapak yang melarang. Aku nyolong-nyolong untuk nonton arena pertarungan itu. Disekitaran arena tanding itu berserakan bulu ayam, dengan tanah bercampur ceceran darah yang mulai mengering.
Setelah diadu biasanya ayam jago dimandikan. Dikoroki mulutnya dengan bulu. Biasanya bulu bersimbah darah, menandakan dalam leher ayam terluka. Semua ludah ayam itu dikeluarkan, dimandikan terus di jemur di bawah terik matahari. kalau ayam agaknya akan mriang, langsung saja dikasih pil, sejenis pil flu.
Karena seringnya berkeliaran di pasar ayam, dan lebih enjoy disana dibanding di sekolahan, aku jadi tahu harga-harga ayam jago. Ayam jago, waktu itu, bisa mencapai harga setengah juta. Biasanya yang keliwat mahal ayam jago bangkok yang biasa untuk diadu. Yang sering menang, berarti jago mahal. Bahkan ayam itu bisa menjadi mascot di pasar tertentu. Dan berapapun harga ditawar tidak dilepas. Karena jago itu menjadi semacam alat pencetak uang bagi pemilik dan para penjudi.
Ayam jago bangkok mascot ini super ekstra perawatannya, diantaranya tiap saat dijamoni, tak boleh kawin dengan betina, tiap pagi dimandikan dan dijemur, Juga jalunya sering di kikir pakai beling biar runcing. Ayam jago dieksploitasi untuk kepuasan manusia, dan manusia tak merasakan betapa sakitnya binatang yang tiap kali ditarungkan dengan dibotohi sampai ratusan ribu. Padahal hewan satu ini selalu setia bertasbih membangunkan manusia dari kelalaian tidur disetiap pagi. Malu dong manusia yang punya akal, bangunnya kalah pagi dengan ayam jago yang hanya berinsting.
Saat ku tanya tentang criteria jago bangkok bagus, bakul-bakul ayam menyebutkan: berkaki kotak, jari-jarinya agak bengkok, jalunya dan cucuknya jangan terlalu panjang, tubuh tegak, mata laksana mata elang.
Setelah bertanya-tanya kesana kemari, aku jadi berpikiran bagaimana ayam jagoku bisa menjadi terbaik diantara ayam jago tetangga. Pikiran itu berawal dari peristiwa pada saat aku dapati ayam jagoku berwajah penuh darah, tanda habis berkelahi dengan ayam tetangga. Tetanggaku sengaja membawa ayamku ke dalam rumah untuk diadu. Sialan pada hari-hari berikutnua aku mendengar suara jago berkelahi. Lalu aku nekad memanjat dinding menggapai jendela.
Aku penasaran dan menebak bahwa suara kuk kuk itu suara si wareng. Suaranya begitu akrab di telinga. Saat ku lihat dari jendela wareng diadu. Aku langsung ambil batu ku lemparkan ke pintu rumah itu. Sungguh pengadu itu langsung kaget si wareng di lempar lewat jendela. Ku lempar batu sekali lagi, tapi orang itu tak berani keluar rumah. Itulah kenangan kenakalan masa kecil. Siapa yang salah pasti kalah.
Bagaimana agama untuk saat ini? Bukankah ia laksana ayam jago bangkok. Dielus-elus, dieman-eman, di poles, dipelihara untuk dibandingbandingkan dengan agama-agama lain terus intinya untuk diadu. Kita semua melihat kenyataan itu saat ini dan bahkan dari dulu.
Sejarah mengatakan bahwa rangkaian kekerasan peristiwa mihnah dan nakbah, hanya karena perbedaan pandangan antara suni dengan muktazilah. Mereka ramai memperdebatkan apakah al-qur’an kalamullah atau makhluk. Hingga Imam Ahmad bin Hanbal disiksa, dipenjarakan hingga beberapa tahun. Banyak korban berjatuhan disebabkan ayam jago muktazilah didukung kekuasaan pada peristiwa mihnah, juga pada masa pemerintahan selanjutnya ayam jago suni balas dendam memenjarakan pengikut muktazilah, karena kekuasaannya di pegang oleh orang suni.
Sekarang logika ayam jago agama juga masih terus berlaku. Bagi yang Muhammadiyah membandingkan dengan NU. Katanya Muhammadiyah lebih unggul, karena punya ribuan sekolahan, punya banyak panti asuhan yatim, rumah sakit, tidak mengabdi kepada tachayul, bidah dan khurafat. Hingga muncul berbagai buku yang bernada sombong tentang ‘sesatnya kiai NU’, ‘Pengakuan mantan kiai NU’ dan masih banyak lagi. Juga muncul komentar-komentar: “orang hidup kok kerjaannya ngurusi orang mati: ziaroh, tahlilan, wasilah, manaqib, semuanyakan ngurusi orang mati. Masalah hidup masih banyak kok milih ngurusi yang sudah mati.”
Yang NU juga membandingkan dengan yang lain dengan nada minor, “ngubur mayat kok kayak ngubur bangkai binatang, di tanam terus ditinggal pergi, tanpa di tahlili.” “Muhammadiyah gak punya kiai. Juga sangat jarang pesantrennya. Dll.”
Yang mengaku Muslim berjumawa mengatakan “Tuhan kok tiga. Tuhan kok Pakai CD” Yang Kristen balik mengklaim Islam agama penuh kekerasan karena ada doktrin jihad. Ujung dari membanding-bandingkan ini akan timbul rasa sombong, yakni menjunjung diri sendiri dan merendahkan orang lain. Di telinga kita masih jelas kan ungkapan “wong mbudiyah matine dadi celeng”, juga rasa sombong kita yang kadang gak mau makmum kepada wong jobo karena gara-gara waktu sujud kakinya tidak madal, gara-gara bacaannya kurang fasih, gara-gara kita bimbang apakah mereka ngerti ‘syarat rukun.’
Kita melihat kenyataan ini dimana-mana. Dalam diskusi selalu dibandingkan antara kebenaran ajaran suni dan syiah, misalnya tentang nikah mutah, Imamiyah, dll. Juga misalnya perdebatan antara islam liberal membahas fiqih lintas agama; pembelaan si A dengan bukunya melawan si B yang mengkritik. Bermunculan buku-buku yang mengklaim kesesatan-kesesatan paham-paham yang tak sepaham dengan penulis buku. Bahkan beberapa tokoh Islam juga dianggap sesat menyesatkan. Sampai kapanpun kalau forum-forum semacam itu dituruti akan berujung pada pertengkaran. Jangan bertindak dengan atas nama perbedaan dan mencari kebenaran sepihak dari perbedaan itu. Pasti akan berujung pada perpecahan.
Kita selalu berharap perdamaian terus menghias di negeri ini, tetapi kita rajin menyelenggarakan forum-forum permusuhan. Itu sama halnya kita memadamkan api dengan menyiram bensin. Karena setiap perdebatan adalah sama juga menyakiti diri sendiri dan orang lain. Karena sebenarnya keyakinan tak mungkin diperdebatkan. Juga orang akan merasa kesal apabila dianggap salah, karena menurut kita salah, tetapi mereka meyakini sebagai kebenaran dan masing-masing punya dasar.
Ujung dari rasa sombong adalah pertengkaran. Karena yang diremehkan akan membela diri, dan tak jarang membalas dengan meremehkan. Ujung-ungnya seperti kita lihat ormas F ingin membubarkan ormas A, ormas A juga ingin membubarkan MUI. Anda bisa lihat kan puncak dari membanding-bandingkan itu adalah adu kekuatan. Merobohkan rumah, merusak asset agama lain, menonaktifkan, mengancam, dll. Sesama agama, ormas, diadu laksana ayam jago bangkok di arena pojok pasar ayam. Siapa yang menang, siapa yang kalah, bila perlu baca takbir sekeras-kerasnya.
Bahkan pertempuran sesama muslim beda ormas itu ada yang mbotohi. Buktinya ribuan orang punya satu tujuan merusak rumah orang, hanya gara-gara gak sepikiran, punya paham yang berbeda. Ongkos untuk truknya, bensin, beli pita biru, parang yang terselip, semuanya dibiayai laksana para penjudi di arena petarungan ayam jago. Kalo semangatnya adalah saling membubarkan maka hati-hati dengan semangat fasisme itu, yakni saling memusnahkan dan menghancurkan. Apa yang akan dipanen oleh anak cucu kita, kalau kita selalu menanam benih kebencian dan saling memusnahkan. Kita sebaik mungkin harus mempelajari pengalaman-pengalaman pahit, masa-masa Rifaiyah dimusuhi dan diremehkan, agar kita tak meremehkan dan memusuhi. Karena ternyata keduanya ‘makan ati’
Kalau kita menyakiti orang lain dengan alasan membela Tuhan. Betapa kita sangat tak tahu diri ingin membela Dzat yang menjamin seratus persen hidup kita. Kita itu dzoif bin fakir bin khoto bin nisyan bagaimana mungkin membela Sang Maha Kuat, Kaya, Benar dan Tak terlampaui. Apa tidak kebalik tuh!
Kalau alasannya membela Islam, kenapa justru mencelakakan. Bukankah Islam berarti menyelamatkan kepada siapapun. Mengasihi dan menjadi rahmat bagi alam-alam dan seluruh isinya (rahmatan lil alamin). Ketika Fatkhul Makkah, Kanjeng Nabi Muhammad tak balas dendam kepada para musyrikin. Kanjeng Nabi justru memaafkan dan mengundang para musyrikin yang terlanjur melarikan diri untuk kembali ke makkah dan selamat dalam naungan kasih sayang nabi dan sahabat-sahabatnya, hingga hari itu disebut sebagai yaumul markhamah (hari kasih sayang). Justru para musyrikin itu pada akhirnya memeluk Islam sebagai pedoman dan nilai hidup. Karena petunjuk berawal dari cinta yang memancar.
Kita teramat percaya diri kalau merasa membela Islam. Islam itu agama suci, penuh kasih sayang. Sedang dosa kita bertumpuk-tumpuk. Bagaimana mungkin kita kotor hendak membela yang suci. Apa tidak kebalikannya, biarlah Islam menyucikan kita dengan nilai-nilainya yang berbunyi: “dinamakan muslim itu ketika ucapan dan perbuatannya menyelamatkan manusia lain dan alam semesta.”
Tapi aku masih meyakini pesan sahabatku EAN yang mengatakan bahwa setiap konflik agama di Indonesia bukan disebabkan factor agama, tetapi disebabkan factor lain, termasuk upaya zionis memperlemah Indonesia dengan cara mengadu domba, agar pada masa mendatang Indonesia lemah, dan bisa dimanfaatkan sebagai pedang para bani Israel untuk melawan dua kekuatan ampuh dari timur yakni India dan Cina.
Wacana yang dikembangkan di Indonesia sejak reformasi adalah civil society, yang bertujuan membentuk masyarakat mandiri dan tidak tergantung dengan pemerintah dan militer. Ternyata dibalik selubung civil society ada agenda tersembunyi upaya merenggangkan hubungan sipil dengan militer. Juga untuk melemahkan fungsi negara, hingga kekuatan pasar tak ada yang mengontrol dan dengan mudahnya modal asing, renternir IMF, perusahaan multinasional mendikte tiap kebijakan negara. Lembaga-lembaga survey juga mengandut dana dari funding-funding internasional. Kadang kerja keras kita mensurve berbagai sector penduduk Indonesia itu ujung-ujungnya datanya dimanfaatkan untuk kepentingan pemetaan para pemegang agenda menguasai dunia itu. Mereka adalah zionisme.
Akan bertambah mencengangkan kalau ternyata Persatuan Bangsa Bangsa dibentuk juga untuk kepentingan menyatukan negara-negara dalam satu kebijakan yang menguntungkan segelintir negara polisi, seperti Amerika dan Israel.
Agama untuk saat ini dimiliki banyak orang tetapi tidak dipeluk. Kalau anda memiliki ayam jago, tentu anda akan merawat, tetapi suatu saat bisa juga anda menjualnya. Bagaimana dengan keadaan agama saat ini. Demi mendapatkan kelancaran funding luar negeri maka program ormas bisa disesuaikan dengan pemberi funding, itu namanya menjual agama tidak ya? Maka ayam jago agama ini bisa sesekali dijual, demi lancarnya dana organisasi dari funding internasional. Untuk kepentingan botohan ayam jago agama kadang diadu, kalau dirasa sudah tak mumpuni, maka bolehlah ayam jago agama dijual saja.
Lha terus bagaimana ya kita seharusnya melihat agama itu? Kita samakan saja agama itu dengan istri kita. Kalau anda sudah punya istri, perlukah anda sibuk membanding-bandingkan istri anda dengan istri tetangga. “uh ternyata hidung istri tetangga lebih mancung dibanding istriku.” Pantaskah komentar demikian, walau dalam hati.
Punya istri merupakan pilihan dan keyakinan. Maka membanding-bandingkan apalagi membahas istri orang lain seratus persen akan berujung pada fitnah, dan minimal rasa cemburu yang bisa memantik percekcokan. Jangan diurusi kalau ada pria yang menuduh bahwa istri kita jelek. Karena menjelekkan pilihan, sama halnya menjelekkan pemilih. Yang paling naif lagi meyakini pilihan orang lain lebih baik dari pilihan sendiri karena itu munafik. Kita menjelekkan seseorang itu sama halnya menjelekkan Allah. Karena Allah yang membuat orang itu. Bagaimana perasaan anda kalau tulisan anda ada yang menjelekkan, atau sekedar mengkritik. Cukup membuat hati ini terganggu kan?
Beragama adalah beristri. Butuh keyakinan, dan kesetiaan. Karena selingkuh adalah murtad. Kita berusaha terus untuk selamat, menyelamatkan, diselamatkan; untuk ridlo, meridloi dan diridloi. Amin.
Paciran Lamongan, 13 Februari 2011
Ahmad Saifullah

No comments: