Teungku Chik Di Tiro
TEUNGKU CHIK DI TIRO
Salah satu daerah di
Indonesia yang mengangkat senjata untuk merebut kemerdekaan dari
penjajah adalah Aceh. Orang Aceh, baik pria maupun wanita, pada umumnya
tergerak hatinya dengan ikhlas untuk bertempur maju ke medan perang.
Mereka bersedia mati syahid untuk membela cita-cita nasional, dan demi
tegaknya agama dan bangsa. Salah satu pahlawan nasional yang berasal
dari Aceh adalah Tgk Chik Di Tiro. Ulama ini diangkat sebagai pahlawan
nasional dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 087/TK/Tahun 1973
tertanggal 6 November 1973.
Perang Kolonial Belanda di Aceh
Aceh yang merupakan
propinsi yang paling ujung letaknya, di sebelah utara pulau Sumatra,
bagian paling barat dan paling barat dan paling utara dari Kepulauan
Indonesia. Secara astronomis, Aceh ini terletak di antara 950 13′ dan
980 17′ BT dan 20 8′ dan 50 40′ LU2 (JMBRAS, 1879: 129). Daerah ini
mencakup daerah seluas 55.390 Km. Dengandemikian, secara geografis, Aceh
mempunyai letak yang sangat strategis. Daerah ini terletak di tepi
Selat Malaka. Karena letaknya di tepi Selat Malaka, maka daerah ini
pentingpula dilihat dari sudut lalu lintas internasionai sehingga
merupakan pintu gerbang sebelahbarat kepulauan Indonesia. Sejak zaman
Neolithikum, Selat Malaka merupakan terusan penting dalam migrasi bangsa
di Asia, gerak ekspansi kebudayaan India dan sebagai jalanniaga dunia
selat Malaka adalah jalan penghubung antara dua pusat kebudayaan Cina
dan India. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila wilayah sekitar
Selat Malaka selalu mempunyai peranan penting sepanjang gerak sejarah
Indonesia. Muncul dan berkembangnya kerajaan di sekitar wilayah ini
tidak mungkin kita pisahkan dari letak geografisnya yang sangat
strategis tersebut.
Karena keadaan geografis yang strategis
ini membawa dampak Aceh banyak didatangi oleh berbagai bangsa asing
dengan berbagai macam motif dan kepentingan, baik budaya, politis,
maupun ekonomis. Dengan berbagai motif dan kepentingan tersebut akan
dapat membawa dampak positif dan negatif pula bagi perkembangan sejarah
Aceh itu sendiri. Di antara bangsa asing (Barat) terdapat bangsa yang
bermaksud menancapkan kuku kekuasaannya di bumi Aceh, sehingga timbullah
reaksi yang berupa perlawananperlawanan terhadap bangsa asing yang
melakukan tindakan tersebut. Salah satu bangsa asing pertama yang
menghadapi perlawanan rakyat Aceh adalah Portugis. Sejak Portugis
menduduki Malaka pada tahun 1511 Aceh merasa kedudukannya terancam.
Karenanya Aceh mencoba melawan dan mengusir Portugis dari Malaka.
Konflik Aceh-Portugis ini berlangsung sepanjang abad XVI hingga akhir
perempatan abad XVIl. Serangan terhadap kedudukan Portugis berulang kali
dilakukan, yang pertama pada tahun 1537 dan yang terakhir pada tahun
1568. Pada serangan terakhir itu, Aceh telah menggunakan kekuatan yang
terdiri atas 15.000 orang Aceh, 400 orang Turki, disertai pula dengan
200 buah meriam besar dan kecil (Djajadiningrat, 1961: 65). Bangsa Asing
lain yang berusaha menancapkan kuku kekuasaannya di bumi Aceh adalah
Belanda.
Rintisan permakluman perang Aceh oleh Belanda diumumkan oleh komisaris pemerintah yang merangkap Wakil Presiden Dewan Hindia Belanda F.N. Nieuwenhuijn, diawali dengan penandatanganan Traktat Sumatra antara Belanda dan Inggris dalam tahun 1871, yang antara lain “memberi kebebasan kepada Belanda untukmemperluas kekuasaannya di Pulau Sumatra” sehingga tidak ada kewajiban lagi bagi Belanda untuk menghormati hak dan kedaulatan Aceh yang sebelumnya telah diakui, baik oleh Belanda maupun lnggris seperti yang tercantum di dalam Traktat London yang ditandatangani pada tahun 1824. Pada hari Rabu tanggal 26 Maret 1873 dari geladak kapal perang Citadel Van Antwerpen – yang berlabuh di antara pulau Sabang dengan daratan Aceh – Belanda memaklumkan perang kepada Aceh. Mulai saat itu, Aceh tertimpa malapetaka dan Belanda sendiri menghadapi suatu peperangan yang paling dahsyat, terbesar, dan terlama semenjak kehadirannya di Nusantara. Namun demikian, permakluman perang tersebut tidak serta merta diikuti dengan kegiatan fisik militer karena Belanda masih menunggu terhimpunnya kekuatan perangnya yang sedang bergerak menuju Aceh dan kapal-kapal perang Belanda yang telah tiba di Aceh terus melakukan pengintaian dan provokasi di perairan Aceh. Selain itu, Belanda mengirim surat kepada Sultan yang meminta agar ia mengakui kedaulatan Belanda. Dinyatakan pula bahwa Aceh telah melanggar pasal-pasal perjanjian pada tahun 1857.
Rintisan permakluman perang Aceh oleh Belanda diumumkan oleh komisaris pemerintah yang merangkap Wakil Presiden Dewan Hindia Belanda F.N. Nieuwenhuijn, diawali dengan penandatanganan Traktat Sumatra antara Belanda dan Inggris dalam tahun 1871, yang antara lain “memberi kebebasan kepada Belanda untukmemperluas kekuasaannya di Pulau Sumatra” sehingga tidak ada kewajiban lagi bagi Belanda untuk menghormati hak dan kedaulatan Aceh yang sebelumnya telah diakui, baik oleh Belanda maupun lnggris seperti yang tercantum di dalam Traktat London yang ditandatangani pada tahun 1824. Pada hari Rabu tanggal 26 Maret 1873 dari geladak kapal perang Citadel Van Antwerpen – yang berlabuh di antara pulau Sabang dengan daratan Aceh – Belanda memaklumkan perang kepada Aceh. Mulai saat itu, Aceh tertimpa malapetaka dan Belanda sendiri menghadapi suatu peperangan yang paling dahsyat, terbesar, dan terlama semenjak kehadirannya di Nusantara. Namun demikian, permakluman perang tersebut tidak serta merta diikuti dengan kegiatan fisik militer karena Belanda masih menunggu terhimpunnya kekuatan perangnya yang sedang bergerak menuju Aceh dan kapal-kapal perang Belanda yang telah tiba di Aceh terus melakukan pengintaian dan provokasi di perairan Aceh. Selain itu, Belanda mengirim surat kepada Sultan yang meminta agar ia mengakui kedaulatan Belanda. Dinyatakan pula bahwa Aceh telah melanggar pasal-pasal perjanjian pada tahun 1857.
Batas waktu yang diberikan 1 x 24 jam
oleh Belanda kepada Sultan Aceh menunjukkan bahwa Belanda benar-benar
akan menyerang. Jawaban yang diberikan Sultan jauh dari memuaskan bahkan
ditegaskan bahwa di dunia tidak seorang pun yang berdaulat kecuali
Allah semata. (Said, 1961 : 397) Dihadapkan dengan kenyataan perang yang
akan segera meletus, maka Aceh melakukan mobilisasi, baik di sekitar
pantai yang berhadapan langsung dengan armada Belanda seperti di sekitar
Ule Lheue. Pantai Ceureumen, Kuta Meugat, Kuala Aceh maupun di tempat
strategis lainnya serta pusat-pusat kekuatan di Mesjid Raya, Peunayong,
Meuraksa, Lam Paseh, Lam Jabat, Raja Umong, Punje, Seutuy, dan di
sekitar Dalam (Kraton Sultan).
Akhirnya, tindak lanjut dari permakluman
perang Belanda kepada Aceh menjadi kenyataan. Pada tanggal 6 April 1873
dengan kekuatan 3.200 prajurit dan 168 perwira yang dipimpin J.H.R.
Kohler, Belanda mendaratkan pasukannya di Pantai Ceureumen (Sofyan, 1990
: 26). Dengan demikian, terlihatlah nyata niat jahat Belanda untuk
menancapkan kekuasaannya di bumi Aceh. Suatu perang kolonial resmi telah
dikibarkan oleh pihak Belanda. Perang ini kemudian dikenal oleh
masyarakat Aceh sebagai “Perang Belanda atau Perang Kaphe Ulanda”, yang
oleh Belanda dikenal dengan “Perang Aceh”.
Kemudian, pantai Ceureumen pun menjadi
lautan darah. Banyak anggota pasukan Belanda dan rakyat Aceh yang gugur.
Menurut catatan para pejuang Aceh yang gugur diperkirakan 900 orang
(Reid, 1969: 21-35). Walaupun demikian, penyerangan pertama Belanda ini
dianggap gagal karena serangan ini tidak berhasil menundukkan Aceh. Di
samping kuatnya perlawanan, kurangnya informasi tentang Aceh serta
keadaan musim yang tidak menguntungkan menjadi sebab serangan pertama
Belanda ini gagal. J. H. R. Kohler sebagai panglima perang pun tewas
tertembak oleh seorang anggota pasukan Aceh di dekat Masjid Raya.
Belanda tidak dapat menguasai kraton. Mereka dipukul mundur dengan
menderita kekalahan berat, 45 orang tewas termasuk 8 opsirnya serta 405
orang luka-luka diantaranya 23 opsir. Pada tanggal 29 April 1873 pasukan
Belanda ditarik kembali ke Batavia (Sofyan, 1990: 85).
Hal ini menunjukkan bahwa Belanda tidak
tahu kondisi Aceh secara menyeluruh. Semula Belanda menduga Aceh dapat
ditaklukkan dengan mudah seperti daerah-daerah lain di Indonesia.
Menurut Belanda pada saat itu Aceh berada dalam masa kemunduran apabila
dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, baik dari segi politik maupun
segi ekonomi. Tentang ini Kraijnhoof, misalnya, menyimpulkan bahwa
situasi pemerintahan kesultanan Aceh lemah dan perlengkapan militer
tidak berarti dibandingkan dengan Belanda. Oleh karena itu, Belanda
berani menyerang Aceh. Namun kenyataanya perang Belanda di Aceh tidak
hanya mencakup masalah ekonomi dan politik, tetapi ada segi-segi lain
yang tidak diperhitungkan oleh Belanda, sehingga Belanda menelan
kekalahan (Ahmad, dkk, 1993: 4).
Kegagalan ekspansi pertama ini
menyebabkan pemerintah Belanda melipatgandakan pasukannya untuk
menundukkan Aceh. Untuk itu, Pemerintah Hindia Belanda memanggil seorang
pensiunan jenderal, J. Van Swieten. la diangkat sebagai panglima perang
pada agresi kedua ini dengan kekuatan 249 perwira dan 6.950 tentara
(Sofyan, 1990: 28). Dipundaknya terdapat tugas berat untuk menyerang dan
merebut Aceh dan kepadanya juga diberi wewenang mengadakan perjanjian
dengan sultan. Selain menjadi panglima perang, la diangkat pula sebagai
Komisaris Pemerintah Hindia Belanda di Aceh. Dalam agresi kedua ini
Belanda berhasil menduduki istana dan mesjid raya pada tanggal 24
Januari 1874. Namun Belanda tidak berhasil menangkap Sultan beserta
keluarganya. Sementara itu, Sultan beserta keluarganya dan pengikutnya
sudah lebih dulu menyingkir ke Longbata pada tanggal 15 Januari 1874
sehingga usaha Van Swieten untuk menangkap Sultan menemui kegagalan. Di
tempat baru ini Sultan mendirikan markas pertahanannya. Bersama-sama
dengan Panglima Polem dan para pengikutnya yang lain, sultan bertekad
untuk meneruskan perjuangan melawan Belanda. Namun nasib buruk tidak
dapat dihindari Sultan Mahmud Syah, ia diserang wabah kolera dan mangkat
pada tanggal 29 Januari 1874 di Pagar Ayer dan dimakamkan di Cot Bada
(Pusponegoro, dkk, 1992: 249). Sebagai penggantinya diangkatlah Sultan
Muhammad Daud yang masih kecil sebagai Sultan Aceh.
Sejak itulah pemerintah Belanda dengan
bermacam-macam siasat politiknya berusaha menaklukkan seluruh Aceh
seperti yang dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Pembesar
kerajaan. panglima dan rakyat Aceh yang masih mencintai kemerdekaan
mengungsi ke pedalaman dan mengadakan perlawanan. Pada waktu Seulimum
jatuh pada tahun 1879 dapat dikatakan seluruh Aceh Tiga Sagi berada
dalam kekuasaan Belanda dan pemerintahan sipil pun berjalan dengan
lancar (Jakub, 1952: 21). Kaum pejuang mundur ke daerah yang masih
merdeka. Sultan Muhammad Daud yang masih kecil itu serta pengiringnya
mengungsi ke pedalaman di Keumala, daerah Pidie, sedangkan rakyat
pejuang mundur ke Gunung Biram Lamtamot, di kaki Gunung Seulawah. Mereka
tidak mau menyerah, biar mati dalam hutan, asal jangan ditangkap musuh.
Namun perlawanan secara teratur tidak ada lagi.
Kaum pejuang yang berada di kaki Gunung
Selawah tersebut lama-kelamaan tidak sabar dan menderita terus-menerus
dalam hutan menahan gigitan nyamuk Malaria dan kekurangan makanan. Oleh
karena itu, muncullah kemudian dua golongan di kalangan kaum pejuang
tersebut, ada yang terpaksa menyerah pulang ke kampung halaman karena
tidak tahan menderita lebih lama. Ada pula yang mendaki Seulawah menuju
daerah Pidie mencari batuan untuk meneruskan perjuangan. Pada awal
tahun 1881, mereka tiba di Tiro menjumpai Tgk Chik Muhammad AminDayah
Tjut, seorang ulama Tiro yang mempunyai pengaruh besar. Dua kali
diadakan musyawarah antara pemimpin-pemimpin dan ulama-ulama seluruh
Pidie. Keputusannya diangkatlah Tgk Sjech Saman, yang terkenal kemudian
dengan Tgk Chik Di Tiro, menjadi panglima perang untuk merebut kembali
tanah air yang telah jatuh ke tangan musuh.
Dengan demikian, dalam kondisi yang amat
genting di mana kraton, mesjid raya, wilayah lainnya dikuasai Belanda
serta semangat pejuang yang mulai menurun amatlah tepat kalau kemudian
muncul kepemimpinan Tgk Sjech Muhammad Saman. Dia seorang pejuang yang
mendengungkan perang di jalan Allah, Perang Sabil. Siapa pun yang mati
di medan perang, maka disebut mati syahid, surgalah ganjarannya. Pada
akhirnya, perang dikumandangkan menyebar ke seluruh wilayah Aceh.
Seluruh lapisan masyarakat bahumembahu mengangkat senjata untuk mengusir
Belanda dari bumi Aceh.
Masa Kecil-Remaja
Muhamad Saman yang kemudian terkenal
dengan nama Tgk Chik Di Tiro, adalah putra dari Tengku Sjech Abdullah,
anak Tgk Sjech Ubaidillah dari kampung Garot negeri Samaindra, Sigli.
Ibunya bernama Siti Aisyah, putri dari Tgk Sjech Abdussalam Muda Tiro
anak Leube Polem Tjot Rheum, kakak dari Tgk Chik Muhammad Amin Dajah
Tjut. Ia lahir pada tahun 1836 Masehi, bertepatan dengan 1251 Hijriah di
Dajah Krueng kenegerian Tjombok Lamlo (Kota Bakti) (Zentgraff, 1982:
29). Teungku Chik Di Tiro mempunyai lima orang putra yaitu Tgk Mat Amin,
Tgk Mahidin, Tgk di Tungkob, Tgk di Buket (Tgk Muhammad Ali
Zainulabidin), dan Tgk Lambada. Teungku Chik Di Tiro semasa kecilnya
hidup dalam masyarakat kaum agama dan bergaul dengan ayahnya yang
mengajar bermacam-macam ilmu di Garot. Setelah berusia 15 tahun la
pindah belajar pada pamannya Tgk Chik Dayah Tjut di Tiro dalam
bermacammacam ilmu. Kemudian, la pindah belajar pada Tgk Muhammad Arsyad
(Tgk Chik di Jan di Ie Leubeu). Setelah itu, ia menuntut ilmu lagi pada
Tgk Abdullah Dajah Meunasah Blang. Akhirnya, ia belajar pada Tgk Chik
Tanjung Bungong di Tanjung Bungong. Namun Tgk Chik Di Tiro belum puas
terhadap ilmu yang didapatnya selama ini. Oleh karena itu, ia kemudian
pergi ke Lam Krak, Aceh Besar untuk memperluas wawasan dan pandangannya.
Setelah dua tahun berada di sana, ia
pulang kembali ke Tiro dan mengajar bersama pamannya Tgk Dayah Tjut.
Dengan kedatangan Muhammad Saman di Tiro dan mengajar di pesantren
tersebut menyebabkan pesantren menjadi semakin terkenal di kalangan
masyarakat Aceh. Setelah beberapa tahun di Tiro hatinya tergerak untuk
menunaikan ibadah haji dan memperdalam lagi ilmu agama serta menambah
wawasannya di Mekkah. Sebelum keberangkatannya ke Mekkah ia minta restu
pada pamannya yang sekaligus gurunya Tgk Dayah TJut di Lam Krak. Selama
di Lam Krak Tgk Chik Di Tiro sempat berjuang melawan Belanda karena ia
diajak oleh kawan-kawannya. Oleh karena ada surat dari parnannya agar ia
pulang ke Tiro dan segera menunaikan ibadah haji, maka Tgk Chik Di Tiro
meninggalkan ternan-teman seperjuangannya dan pergi menunaikan ibadah
haji. Di Mekkah seIain menunaikan haji, Tgk Chik Di Tiro juga
mempergunakan waktunya untuk menjumpai pemimpin-pemimpin Islam yang ada
di sana. Dari mereka, Tgk Chik Di Tiro tahu tentang perjuangan para
pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imprialisme dan kolonialisme.
Selain itu, ia juga bertemu dengan pejuang Islam lainnya yang berasal
dari Jawa, Sumatra, Kalimantan dan pulau-pulau lain di Indonesia. Dari
hasil pendidikan agama dan pengalaman selama berada di Mekkah dan ikut
perjuangan di Lam Krak itulah tertanam di dalam jiwanya yang berakar
dalam dan teguh. Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Tgk Chik
Di Tiro sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun
nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikannya
dalam kehidupan nyata. Tgk Chik Di Tiro menerima penunjukkan menjadi
panglima perang oleh rakyat dan para ulama.
Masa Perjuangannya
Ketika awal pertama kali Tgk Chik Di Tiro
berjuang, ia tidak mernpunyai apa-apa. Tanggapan terhadap perjuangannya
pun ada yang bersikap sinis kepadanya. Teungku Chik Di Tiro bukan
keturunan panglima, ia hanya seorang haji dan ulama. Menghadapi sikap
sinis sebagian orang tersebut, Tgk Chik Di Tiro menerima dengan sabar.
Hal tersebut malah menjadikan sebuah tantangan yang harus ditaklukkan.
Usaha pertama yang dilakukannya adalah membangkitkan semangat para
pejuang dan mengumpulkan para pejuang dalam satu kesatuan yang kokoh
yang tidak dapat dipecah belah. Untuk itu, iamengadakan perjalanan
keliling Aceh. Pada setiap kesempatan la singgah di suatu tempat, ia
mengadakan ceramah di masjid atau mengadakan kenduri. Pada kesempatan
itu ia pergunakan untuk menyebarluaskan ajarannya mengenai perang Sabil,
menyadarkan orang-orang untuk memerangi kaum kafir, berjuang di jalan
yang diridhoi oleh Allah, serta untuk memperoleh segala informasi dari
mereka yang hadir.
Selain itu, ia juga mengirim surat kepada para uleebalang dan keuchik yang
tidak dapat dihubungi secara lisan yang berisi panggilan suci kepada
mereka untuk berjuang di jalan Allah, baik kepada mereka yang telah
mengakul kedaulatan dan memihak kepada Belanda maupun kepada mereka yang
karena suatu hal kembali lagi ke kampung halaman. Seruan tersebut
ditujukan kepada imam-imam negeri, Teungku-teungku, keuchik, panglima
dan akhirnya kepada semua kaum muslimin dan terutama juga untuk Teuku
Nek Meuraxa, Tengku Panglima Masjid Raya dan Teuku Malikul Adil. Seruan
yang berisi ajakan Perang Sabil ini diperkuat lagi dengan Hikayat Perang
Sabil. Idiologi Perang Sabii ini muncul sejak abad XVII dihidupkan
kembali melalui Hikayat Perang Sabil pada pertengahan kedua
abad XIX ketika negeri ini dilanda serangan kaum kafir sehingga banyak
rakyat umum tertarik kepada gerakan Perang sabil yang didengungkan oleh
Tgk Chik Di Tiro. Seruan Perang Sabil yang dikumandangkan oleh Tgk Chik
Di Tiro mendapat sambutan hangat dari berbagai kalangan, baik kaum ulama
maupun panglima. Dengan adanya bantuan tersebut, Tgk Chik Di Tiro
semakin kuat dan siap menghadapi Belanda. Hasil usaha menghimpun
kekuatan tidak lah sia-sia. Ulama ini berhasil menghimpun kekuatan
sebanyak 6000 orang pasukan (sofyan, 1990: 36).
Gerakan angkatan Perang Sabil Tgk Chik Di
Tiro mulai menampakkan pengaruhnya. Pemerintah Hindia Belanda di Aceh
pun mulai mendengar gerakan perang ini. Namun mereka belum tahu siapa
sebenarnya Tgk Chik Di Tiro. Gubernur Van der Heyden menyebut keadaan
Aceh dalam sebuah laporannya sebagai berikut “Suasana Aceh sekarang
seperti api dalam sekam ….” (Sofyan, 1990 : 49). Setelah persiapan
dirasa cukup, maka segera diambil langkah pertama yaitu memutuskan
hubungan antar benteng Belanda Pasukan Perang Sabil memotong kawat
telepon antar benteng agar mereka tidak dapat saling berhubungan.
Sebagai markas besar, Tgk Chik Di Tiro membangun sebuah benteng yang
kuat di Mureu. Lokasi benteng ini mempunyai letak yang sangat strategis
yaitu terletak di tepi Krueng Inong.
Kemudian, serangan terbuka dilaksanakan
dengan menyerang kedudukan bentengbenteng Belanda di Krueng Jreu, Gle
Kameng, dan Indrapuri. Ketiga benteng tersebut diserang habis-habisan
oleh pasukan Perang Sabil. Akhirnya ketiga benteng tersebut dapat
direbut oleh pasukan Perang Sabil pada tahun 1881. Belanda dapat dipukul
mundur dari ketiga benteng tersebut dan akhirnya memperkuat
benteng-benteng di Lambaro, Aneuk Galong, dan Samahani. Selama kurun
waktu 1882-1883 terjadi pertempuran yang dahsyat antara kedua pihak.
Pasukan Tgk Chik Di Tiro mengalami banyak kemajuan. Beberapa benteng
dapat direbutnya dari Belanda seperti benteng di Krueng Raja dan Kadju.
Karena kuatnya tekanan pasukan Tgk Chik Di Tiro, maka akhirnya Belanda
pun menarik diri dari salah satu benteng terkuatnya selama ini di Aneuk
Galong dan mundur ke Lambaro dan Keutapang dua. Untuk mempertahankan
diri Belanda membuat garis konsentrasi yang terbentang dari Kuta Pohama
ke Keutapang Dua. Tgk Chik Di Tiro berusaha merebutnya dari arah laut,
tetapi belum berhasil.
Pada 5 Maret 1883 Gubemur Van Der Hoeven
memberitahukan kepada pemerintah pusat di Jawa tentang kondisi Aceh
tersebut. Namun kemudian gubernur ini malah diganti oleh P.F Laging
Tobias pada 16 Maret 1883. Pada masa pemerintahannya Belanda menghadapi
masalah yang berat sampai pada ia mengeluarkan laporan yang mengatakan
bahwa Belanda di Aceh hampir putus asa (Sofyan, 1990: 57). Pada masa
itu, Tgk Chik Di Tiro sempat pula menyerang Kutaraja, walaupun tidak
berhasil merebutnya. Seorang controuler Belanda J.P. Van der
Lith menemui ajalnya sedangkan Panglima Pang Nyak Hasan dari pihak Aceh
tewas (Sofyan, 1990: 35). Melihat Belanda hampir jatuh, Tgk Chik Di Tiro
memberi ultimatum kepada Belanda dengan mengirim surat kepada Asisten
Residen Van Langen pada tahun 1885 untuk mengadakan perdamaian. Tgk Chik
Di Tiro bersedia berdamai dengan Belanda apabila Belanda bersedia
memeluk agama Islam. Namun surat ini tidak mendapat reaksi apa-apa dari
pihak Belanda. Selama tiga tahun, surat perdamaian yang diajukan oleh
Tgk Chik Di Tiro tidak berbalas. Pada Mei 1888, ia mengirim surat lagi
dengan nada yang sama kepada pihak Belanda. Namun kali ini pun usaha Tgk
Chik Di Tiro mengajak Belanda untuk berdamai dengan mengajak mereka
masuk Islam tidak berhasil. Demikian pula usaha Belanda mengajak ulama
ini berdamai dan bersedia berdiam di Kutaraja tidak berhasil. Akhirnya
Tgk Chik Di Tiro pun setelah itu tidak pernah lagi mengajak berdamai
kepada Belanda. Sejak kegagalan Tgk Chik Di Tiro mengajak damai dengan
Belanda telah berlangsung pertempuran di berbagai tempat seperti di
sekeliling Kota Tuanku dan Peukan Krueng Tjut. Dari
pertempuran-pertempuran yang telah berlangsung di berbagai tempat tidak
tahu berapa kerugian yang jatuh di pihak Belanda, tidak ada angka pasti.
Selama Gubernur Van Teijn berkuasa Belanda mempergunakan strategi “Wait and See” yaitu
menunggu sampai keadaan berubah. Kenyataannya strategi yang diterapkan
Belanda ini hasilnya jauh dari yang diharapkan. Belanda sering terpukul
mundur pada banyak pertempuran. Akhirnya, untuk mengimbangi pasukarr
Aceh Belanda membentuk satu korps tentara baru yang disebut Korps Marsose di bawah pimpinan J. Notten pada tanggal 2 April 1890.
Walaupun Belanda membentuk korps Marsose Tgk
Chik Di Tiro terus bertempur melawan Belanda tidak kurang dahsyatnya
dibanding tahun-tahun sebelumnya. Semangat pasukan pun tidak pernah
pupus menghadapi Belanda. Selama tahun 1890 Tgk Muhammad Amin putera Tgk
Chik Di Tiro yang tertua sudah ikut memimpin pasukan. Beberapa kali ia
mendapat luka dan terpaksa diangkut ke Aneuk Galong.
Akhir Perjuangannya
Mengetahui bahwa jiwa Perang Sabil
terdapat pada Tgk Chik Di Tiro, maka Belanda berusaha membunuh ulama
ini. Belanda kembali mempergunakan siasat adu domba di mana salah
seorang bangsawan yang berambisi menjadi panglima sagi diperalat
untuk membunuh ulama tersebut. Tgk Chik Di Tiro diundang ke Tui
Seilemeung dan di dalam benteng itu ulama ini diberi makanan beracun.
Tgk Chik Di Tiro kemudian jatuh sakit. Pada tanggal 25 Januari 1891
ulama ini wafat di Aneuk Galong. Perjuangannya diteruskan oleh
anak-anaknya yang lain. Dapat dikatakan tidak satupun diantara
anak-anaknya yang tidak terlibat di dalam perang melawan Belanda.
Kebesaran dan pengaruh keluarga ini dapat digambarkan seperti yang
dikatakan oleh Zentgraaf (1982) sebagai berikut. “Tak ada satu keluarga
Acehpun yang waktu itu, yang begitu besar dalam Perang Aceh, selain
keluarga ulama Tiro, dan tidak pula ada keluarga Aceh lainnya, yang
meneruskan Perjuangan sampai kepada titik darah penghabisan, selain
keluarga itu. Keluarga inilah dalam peperangan itu, merupakan sasaran
operasi penyerangan bala tentara kita, yang merupakan bahagian yang
paling mengesankan dalam sejarah perang Aceh dan dapat menjadi sumber
cerita-cerita kepahlawanan”
.
.
No comments:
Post a Comment