Adu Jago Agama
Tanbihun.com – Waktu
aku berusia kelas tiga sekolah dasar, aku senang sekali bermain dengan
binatang. Aku punya banyak binatang peliaraan: Kucing, ikan, ayam, dan
tupai. Dan biasanya aku beri nama. Ada yang biasa disebut dengan Tuo,
karena kucing ini umurnya sudah sampai dua puluh tahun, berkali-kali
tertabrak mobil, tetapi tetap saja ia kembali sehat. Hanya Allah yang
tahu, kalau kaki kucing tuo pernah patah tetapi tanpa dibawa ke tukang
sangkal putung bisa jalan kembali, memang ajaib. Ada beberapa kucingku
yang dipanggil anggota keluargaku dengan enggeng-enggeng. Kucing satu
ini walau doyan sama susu indomilk, dan sering tak kasih susu yang tak
taruh di lemper. Tapi tetap saja dia masih kurus, hingga jalannya
enggeng-enggeng.
Ayam jagoku yang kecil, tetapi pemberani
ku juluki dengan wareng maksudnya singkatan dari ‘wani kerengan’
(berani bertarung). Hingga aku sampai sekarang masih saja oleh
teman-teman sekolah dasarku juga dijuluki sebagai wareng.
Aku suka kucing karena rumahku tak
pernah bisa tanpa kucing. Setiap kucing yang kami pindah ke tempat lain,
pasti otomatis ada kucing lain yang datang ke rumah lagi dan entah dari
mana. Malah kucing tuo sudah ku pindah sampai beberapa kilometer,
tetapi dalam beberapa hari saja ia bisa kembali kerumah. Kata orang tua
sih kucing akan kerasan singgah di rumah-rumah tua. Memang rumah yang ku
tempati hingga sekarang adalah joglo, dan sudah berusia ratusan tahun.
Ayam menjadi kegemaranku, bukan karena
saya sahabatnya ipin-upin, tetapi karena memang nenekku peternak ayam
kampung. Ingat !!! bukan ayam kampus. Dulu ayamnya hingga dua kodi. Tiap
pagi aku mengambili telur yang berada di bawah pohon pisang, dan
kebanyakan di kandang ayam (pranji).
Binatang berkokok ini pula yang selalu
menemani saat aku berak di kebun. Si ayam jalilah yang menghabiskan
tinjaku. Ia setia menemaniku makan di pekarangan belakang rumah, unggas
ini menanti setiap lemparan sisa makanan dariku. Ia selalu ingin
kebagian makananku. Herannya lagi, aku lebih senang melihat ayam jago
berkelahi, walau setelah itu aku merasa kasihan kepada ayam yang
terluka. Biasanya ayam yang baru kelahi wajahnya memar berwarna merah
kecoklatan. Sampai-sampai matanya bisa tak melihat lagi, kecongkel jalu
jago lawan.
Tiap hari aku kasih makan ayam, ku latih
berkelahi dengan cara menendang-nendangnya. Kemudian ayam itu berani
dengan tendangan kakiku, hingga kakiku selalu disambut dengan terjangan
cakar kakinya. Bahkan setiap kedatanganku akan disambut dengan gaya khas
ayam jago yang sedang menantang lawan kelahinya. Dengan sayap megar ke
bawah, dan tubuhnya miring berputar. Gaya mukadimah kelahinya mirip ikan
cupang.
Aku mulai membanding-bandingkan ayam
jagoku dengan ayam jago teman, tetangga. Mana yang bagus dan mana yang
tidak. Aku cari tahu kriteria ayam jago bagus. Aku jadi sering
berkeliaran di pasar ayam Kedungwuni. Waktu itu aku menginjak kelas lima
sekolah dasar. Di salah satu sudut pasar ayam, ada arena tempat adu
ayam. Aku beberapa kali menonton, walau banyak bapak-bapak yang
melarang. Aku nyolong-nyolong untuk nonton arena pertarungan itu.
Disekitaran arena tanding itu berserakan bulu ayam, dengan tanah
bercampur ceceran darah yang mulai mengering.
Setelah diadu biasanya ayam jago
dimandikan. Dikoroki mulutnya dengan bulu. Biasanya bulu bersimbah
darah, menandakan dalam leher ayam terluka. Semua ludah ayam itu
dikeluarkan, dimandikan terus di jemur di bawah terik matahari. kalau
ayam agaknya akan mriang, langsung saja dikasih pil, sejenis pil flu.
Karena seringnya berkeliaran di pasar
ayam, dan lebih enjoy disana dibanding di sekolahan, aku jadi tahu
harga-harga ayam jago. Ayam jago, waktu itu, bisa mencapai harga
setengah juta. Biasanya yang keliwat mahal ayam jago bangkok yang biasa
untuk diadu. Yang sering menang, berarti jago mahal. Bahkan ayam itu
bisa menjadi mascot di pasar tertentu. Dan berapapun harga ditawar tidak
dilepas. Karena jago itu menjadi semacam alat pencetak uang bagi
pemilik dan para penjudi.
Ayam jago bangkok mascot ini super
ekstra perawatannya, diantaranya tiap saat dijamoni, tak boleh kawin
dengan betina, tiap pagi dimandikan dan dijemur, Juga jalunya sering di
kikir pakai beling biar runcing. Ayam jago dieksploitasi untuk kepuasan
manusia, dan manusia tak merasakan betapa sakitnya binatang yang tiap
kali ditarungkan dengan dibotohi sampai ratusan ribu. Padahal hewan satu
ini selalu setia bertasbih membangunkan manusia dari kelalaian tidur
disetiap pagi. Malu dong manusia yang punya akal, bangunnya kalah pagi
dengan ayam jago yang hanya berinsting.
Saat ku tanya tentang criteria jago
bangkok bagus, bakul-bakul ayam menyebutkan: berkaki kotak, jari-jarinya
agak bengkok, jalunya dan cucuknya jangan terlalu panjang, tubuh tegak,
mata laksana mata elang.
Setelah bertanya-tanya kesana kemari,
aku jadi berpikiran bagaimana ayam jagoku bisa menjadi terbaik diantara
ayam jago tetangga. Pikiran
itu berawal dari peristiwa pada saat aku dapati ayam jagoku berwajah
penuh darah, tanda habis berkelahi dengan ayam tetangga. Tetanggaku
sengaja membawa ayamku ke dalam rumah untuk diadu. Sialan pada hari-hari
berikutnua aku mendengar suara jago berkelahi. Lalu aku nekad memanjat
dinding menggapai jendela.
Aku penasaran dan menebak bahwa suara
kuk kuk itu suara si wareng. Suaranya begitu akrab di telinga. Saat ku
lihat dari jendela wareng diadu. Aku langsung ambil batu ku lemparkan ke
pintu rumah itu. Sungguh pengadu itu langsung kaget si wareng di lempar
lewat jendela. Ku lempar batu sekali lagi, tapi orang itu tak berani
keluar rumah. Itulah kenangan kenakalan masa kecil. Siapa yang salah
pasti kalah.
Bagaimana agama untuk saat ini? Bukankah
ia laksana ayam jago bangkok. Dielus-elus, dieman-eman, di poles,
dipelihara untuk dibandingbandingkan dengan agama-agama lain terus
intinya untuk diadu. Kita semua melihat kenyataan itu saat ini dan
bahkan dari dulu.
Sejarah mengatakan bahwa rangkaian kekerasan peristiwa mihnah dan nakbah, hanya karena perbedaan
pandangan antara suni dengan muktazilah. Mereka ramai memperdebatkan
apakah al-qur’an kalamullah atau makhluk. Hingga Imam Ahmad bin Hanbal
disiksa, dipenjarakan hingga beberapa tahun. Banyak korban berjatuhan
disebabkan ayam jago muktazilah didukung kekuasaan pada peristiwa
mihnah, juga pada masa pemerintahan selanjutnya ayam jago suni balas
dendam memenjarakan pengikut muktazilah, karena kekuasaannya di pegang
oleh orang suni.
Sekarang logika ayam jago agama juga masih terus berlaku. Bagi yang Muhammadiyah
membandingkan dengan NU. Katanya Muhammadiyah lebih unggul, karena
punya ribuan sekolahan, punya banyak panti asuhan yatim, rumah sakit,
tidak mengabdi kepada tachayul, bidah dan khurafat. Hingga muncul
berbagai buku yang bernada sombong tentang ‘sesatnya kiai NU’,
‘Pengakuan mantan kiai NU’ dan masih banyak lagi. Juga muncul
komentar-komentar: “orang hidup kok kerjaannya ngurusi orang mati:
ziaroh, tahlilan, wasilah, manaqib, semuanyakan ngurusi orang mati. Masalah hidup masih banyak kok milih ngurusi yang sudah mati.”
Yang NU juga membandingkan dengan yang
lain dengan nada minor, “ngubur mayat kok kayak ngubur bangkai binatang,
di tanam terus ditinggal pergi, tanpa di tahlili.” “Muhammadiyah gak
punya kiai. Juga sangat jarang pesantrennya. Dll.”
Yang mengaku Muslim berjumawa mengatakan
“Tuhan kok tiga. Tuhan kok Pakai CD” Yang Kristen balik mengklaim Islam
agama penuh kekerasan karena ada doktrin jihad. Ujung dari
membanding-bandingkan ini akan timbul rasa sombong, yakni menjunjung
diri sendiri dan merendahkan orang lain. Di telinga kita masih jelas kan
ungkapan “wong mbudiyah matine dadi celeng”, juga rasa sombong kita
yang kadang gak mau makmum kepada wong jobo karena gara-gara waktu sujud
kakinya tidak madal, gara-gara bacaannya kurang fasih, gara-gara kita
bimbang apakah mereka ngerti ‘syarat rukun.’
Kita melihat kenyataan ini dimana-mana. Dalam diskusi selalu dibandingkan antara kebenaran ajaran suni dan syiah, misalnya tentang nikah mutah, Imamiyah, dll. Juga misalnya perdebatan antara islam liberal
membahas fiqih lintas agama; pembelaan si A dengan bukunya melawan si B
yang mengkritik. Bermunculan buku-buku yang mengklaim
kesesatan-kesesatan paham-paham yang tak sepaham dengan penulis buku.
Bahkan beberapa tokoh Islam juga dianggap sesat menyesatkan. Sampai
kapanpun kalau forum-forum semacam itu dituruti akan berujung pada
pertengkaran. Jangan bertindak dengan atas nama perbedaan dan mencari
kebenaran sepihak dari perbedaan itu. Pasti akan berujung pada
perpecahan.
Kita selalu berharap perdamaian terus
menghias di negeri ini, tetapi kita rajin menyelenggarakan forum-forum
permusuhan. Itu sama halnya kita memadamkan api dengan menyiram bensin.
Karena setiap perdebatan adalah sama juga menyakiti diri sendiri dan
orang lain. Karena sebenarnya keyakinan tak mungkin diperdebatkan. Juga
orang akan merasa kesal apabila dianggap salah, karena menurut kita
salah, tetapi mereka meyakini sebagai kebenaran dan masing-masing punya
dasar.
Ujung dari rasa sombong adalah
pertengkaran. Karena yang diremehkan akan membela diri, dan tak jarang
membalas dengan meremehkan. Ujung-ungnya seperti kita lihat ormas F
ingin membubarkan ormas A, ormas A juga ingin membubarkan MUI. Anda bisa
lihat kan puncak dari membanding-bandingkan itu adalah adu kekuatan.
Merobohkan rumah, merusak asset agama lain, menonaktifkan, mengancam,
dll. Sesama agama, ormas, diadu laksana ayam jago bangkok di arena pojok
pasar ayam. Siapa yang menang, siapa yang kalah, bila perlu baca takbir
sekeras-kerasnya.
Bahkan pertempuran sesama muslim beda
ormas itu ada yang mbotohi. Buktinya ribuan orang punya satu tujuan
merusak rumah orang, hanya gara-gara gak sepikiran, punya paham yang
berbeda. Ongkos untuk truknya, bensin, beli pita biru, parang yang
terselip, semuanya dibiayai laksana para penjudi di arena petarungan
ayam jago. Kalo semangatnya adalah saling membubarkan maka hati-hati
dengan semangat fasisme itu, yakni saling memusnahkan dan
menghancurkan. Apa yang akan dipanen oleh anak cucu kita, kalau kita
selalu menanam benih kebencian dan saling memusnahkan. Kita sebaik
mungkin harus mempelajari pengalaman-pengalaman pahit, masa-masa Rifaiyah dimusuhi dan diremehkan, agar kita tak meremehkan dan memusuhi. Karena ternyata keduanya ‘makan ati’
Kalau kita menyakiti orang lain dengan
alasan membela Tuhan. Betapa kita sangat tak tahu diri ingin membela
Dzat yang menjamin seratus persen hidup kita. Kita itu dzoif bin fakir
bin khoto bin nisyan bagaimana mungkin membela Sang Maha Kuat, Kaya,
Benar dan Tak terlampaui. Apa tidak kebalik tuh!
Kalau alasannya membela Islam, kenapa
justru mencelakakan. Bukankah Islam berarti menyelamatkan kepada
siapapun. Mengasihi dan menjadi rahmat bagi alam-alam dan seluruh isinya
(rahmatan lil alamin). Ketika Fatkhul Makkah, Kanjeng Nabi Muhammad
tak balas dendam kepada para musyrikin. Kanjeng Nabi justru memaafkan
dan mengundang para musyrikin yang terlanjur melarikan diri untuk
kembali ke makkah dan selamat dalam naungan kasih sayang nabi dan sahabat-sahabatnya,
hingga hari itu disebut sebagai yaumul markhamah (hari kasih sayang).
Justru para musyrikin itu pada akhirnya memeluk Islam sebagai pedoman
dan nilai hidup. Karena petunjuk berawal dari cinta yang memancar.
Kita teramat percaya diri kalau merasa
membela Islam. Islam itu agama suci, penuh kasih sayang. Sedang dosa
kita bertumpuk-tumpuk. Bagaimana mungkin kita kotor hendak membela yang
suci. Apa tidak kebalikannya, biarlah Islam menyucikan kita dengan
nilai-nilainya yang berbunyi: “dinamakan muslim itu ketika ucapan dan
perbuatannya menyelamatkan manusia lain dan alam semesta.”
Tapi aku masih meyakini pesan sahabatku
EAN yang mengatakan bahwa setiap konflik agama di Indonesia bukan
disebabkan factor agama, tetapi disebabkan factor lain, termasuk upaya
zionis memperlemah Indonesia dengan cara mengadu domba, agar pada masa
mendatang Indonesia lemah, dan bisa dimanfaatkan sebagai pedang para
bani Israel untuk melawan dua kekuatan ampuh dari timur yakni India dan
Cina.
Wacana yang dikembangkan di Indonesia
sejak reformasi adalah civil society, yang bertujuan membentuk
masyarakat mandiri dan tidak tergantung dengan pemerintah dan militer.
Ternyata dibalik selubung civil society ada agenda tersembunyi upaya
merenggangkan hubungan sipil dengan militer. Juga untuk melemahkan
fungsi negara, hingga kekuatan pasar tak ada yang mengontrol dan dengan
mudahnya modal asing, renternir IMF, perusahaan multinasional mendikte
tiap kebijakan negara. Lembaga-lembaga survey juga mengandut dana dari
funding-funding internasional. Kadang kerja keras kita mensurve berbagai
sector penduduk Indonesia itu ujung-ujungnya datanya dimanfaatkan untuk
kepentingan pemetaan para pemegang agenda menguasai dunia itu. Mereka adalah zionisme.
Akan bertambah mencengangkan kalau
ternyata Persatuan Bangsa Bangsa dibentuk juga untuk kepentingan
menyatukan negara-negara dalam satu kebijakan yang menguntungkan
segelintir negara polisi, seperti Amerika dan Israel.
Agama untuk saat ini dimiliki banyak
orang tetapi tidak dipeluk. Kalau anda memiliki ayam jago, tentu anda
akan merawat, tetapi suatu saat bisa juga anda menjualnya. Bagaimana
dengan keadaan agama saat ini. Demi mendapatkan kelancaran funding luar
negeri maka program ormas bisa disesuaikan dengan pemberi funding, itu
namanya menjual agama tidak ya? Maka ayam jago agama ini bisa sesekali
dijual, demi lancarnya dana organisasi dari funding internasional. Untuk
kepentingan botohan ayam jago agama kadang diadu, kalau dirasa sudah
tak mumpuni, maka bolehlah ayam jago agama dijual saja.
Lha terus bagaimana ya kita seharusnya
melihat agama itu? Kita samakan saja agama itu dengan istri kita. Kalau
anda sudah punya istri, perlukah anda sibuk membanding-bandingkan istri
anda dengan istri tetangga. “uh ternyata hidung istri tetangga lebih
mancung dibanding istriku.” Pantaskah komentar demikian, walau dalam
hati.
Punya istri merupakan pilihan dan
keyakinan. Maka membanding-bandingkan apalagi membahas istri orang lain
seratus persen akan berujung pada fitnah, dan minimal rasa cemburu yang
bisa memantik percekcokan. Jangan diurusi kalau ada pria yang menuduh
bahwa istri kita jelek. Karena menjelekkan pilihan, sama halnya
menjelekkan pemilih. Yang paling naif lagi meyakini pilihan orang lain
lebih baik dari pilihan sendiri karena itu munafik. Kita menjelekkan
seseorang itu sama halnya menjelekkan Allah. Karena Allah yang membuat
orang itu. Bagaimana perasaan anda kalau tulisan anda ada yang
menjelekkan, atau sekedar mengkritik. Cukup membuat hati ini terganggu
kan?
Beragama adalah beristri. Butuh
keyakinan, dan kesetiaan. Karena selingkuh adalah murtad. Kita berusaha
terus untuk selamat, menyelamatkan, diselamatkan; untuk ridlo, meridloi
dan diridloi. Amin.
Paciran Lamongan, 13 Februari 2011
Ahmad Saifullah