Kata M Jusin Saleh, Ada 4 “Ulu ni Tari” di Gayo Lut
Takengon-LintasGayo.co :
Tari asli Gayo di Aceh Tengah dan Bener Meriah atau disebut Gayo Lut
itu pada dasarnya ada 4 macam dengan dasar penciptaan tersendiri sesuai
dengan keadaan tertentu dalam hidup masyarakat Gayo. Demikian
diterangkan tokoh seni Gayo, M. Jusin Saleh di Takengon, Kamis 5
Desember 2013.
Keempat tari yang disebut sebagai “Ulu
ni Tari” (dasar tari) tersebut diantaranya tari Seneng, tari Turun Ku
Lut, tari Cincang Nangka dan tari Guru Didong. Selanjutnya dijelaskan M
Jusin Saleh, tari Seneng dilakukan pada mulanya saat mendirikan rumah
yang ditarikan satu orang saja.
“Penari Seneng menari di atas ampang dan
diatas tiang rumah sebelum di beri dinding dan atap. Tari ini butuh
keahlian menyeimbangkan badan karena berbahaya,” kata M Jusin. Jika
ingin tanya bagaimana menarikannya tanya ke Arifin Banta Cut, kerabat
kejurun Syiah Utama, dia sempat menyaksikan tari tersebut. Timpal M
Jusin.
Dalam perkembangannya, tari Seneng
dilakukan saat acara kebesaran kerajaan atau pemerintahan. Filosofinya,
segala kegiatan yang diprogramkan disiapkan lebih dahulu segala
sesuatunya. “Tari Seneng pertanda sesuatu program sudah layak untuk
dimulai, Asal muasal tari ini adalah tari Ni Wo,” terang M Jusin.
Selanjutnya tari Turun Ku Lut,
menurutnya adalah tari yang dilakukan saat mengevaluasi atau menilai
kebijakan seorang Raja dalam memimpin selama 1 tahun.
Dalam hal ini, tarian diiringi dengan
pembacaan penilaian oleh para Sagi Pendari (satu orang tokoh masyarakat
di satu Kampung yang memilih raja) tentang apa keluhan masyarakatnya
selama 1 tahun.
Proses tari Turun Ku Lut biasanya
diakhiri dengan memandikan raja ke sungai atau ke danau Lut Tawar
pertanda kesalahan yang terdahulu sudah diakui sang raja dan memulai
kembali pemerintahannya dengan menampung aspirasi yang disampaikan Sagi
Pendari.
Ditanya kenapa Sagi Pendari yang
menyampaikan koreksi kepada Raja, M Jusin menegaskan karena sang Raja
dipilih Sagi Pendari. “Raja di Gayo tidak dipilih oleh Raja yang
berkuasa, namun oleh Sagi Pendari,” kata dia.
Contoh kasus ini pernah terjadi di
Kerajaan Bukit menjelang kemerdekaan RI. Saat itu mestinya Reje Maun
yang berkuasa, namun karena usianya masih sangat muda akhirnya Sagi
Pendari memilih Reje Ilang sebagai Reje Bukit hingga proklamasi
kemerdekaan RI.
Tari Gayo selanjutnya adalah tari
Cincang Nangka. Tarian ini perlambang keadaan sedang kacau, negeri
sedang ada masalah. Dan terakhir, tari Guru Didong yang biasanya
dilakukan sebagai tarian pembuka acara bergembira. “Tari Guel, termasuk
dalam kategori tari Guru Didong,” kata M Jusin.
Gerakan tari Guel tidak cocok menyambut tamu
Gerakan tari Guel sangat tidak cocok
ditarikan untuk menyambutan tamu. Demikian ditegaskan M Jusin Saleh.
Pasalnya, dasar adanya tari Guel adalah ekspresi seni saat menaklukkan
Gajah Putih, seekor hewan dalam sejarahnya akan diberikan oleh Reje
Linge kepada Raja Aceh.
“Bagaimana bisa, tari menaklukkan hewan
dilakukan untuk menyambut tamu, terlebih seorang pejabat sekelas
presiden,” ujar M Yusin. Dia meminta agar segera dilakukan upaya-upaya
menggali kembali tari-tari Gayo agar lestari, bukan saja dari gerakan
dan iringan musik, namun juga filosofinya agar tidak salah penempatan.
“Penjelasan saya ini menurut hasil
penelusuran dan pengkajian saya pribadi serta diskusi dengan berbagai
pihak selama bertahun-tahun. Saya siap berdiskusi membahas adat, seni
dan budaya Gayo,” kata M Jusin Saleh yang mengaku sedang menyiapkan
sejumlah buku tentang adat dan budaya Gayo. (Kha A Zaghlul)