Jangan Melarang Orang Menyalahkan Budidaya Korup(tor/si)
(Tanggapan atas Opini Saudari Salihati)
(Oleh : Mamnun Ariga)
Aku
terhenyak membaca opini saudari Salihati yang melarang orang
menyalahkan para koruptor. Semangatnya patut diacungi empat jempol.
Namun, sikap saudari terkesan mendukung perilaku korupsi atau berpihak
kepada koruptor, meski kesan tak selalu berarti pesan. Ada baiknya anda
menegaskan keberpihakan dalam menyikapi penyakit bangsa sebagai musuh
bersama.
Rakyat memiliki andil dalam setiap
tindak pidana korupsi yang terjadi, mungkin itu yang ingin anda
tegaskan. Jangan lupa, pola tersebut terjadi tak semata dalam waktu
singkat. Korupsi telah menjadi bagian dari ‘warisan’ kolonialisme
Belanda dan VOC( Vereenigde Oostindische Compagnie).
Jadi, kenyataan tersebut harus dipahami
sebagai rangkaian sejarah panjang silsilah korupsi di Indonesia. Belanda
boleh pergi dari Nusantara, namun, birokrasi yang korup justru menjadi
warisan mereka yang pernah menjajah kita. Anak jajahan memang memiliki
kecenderungan untuk meniru dan mengadopsi nilai dari tiran yang pernah
mengangkangi hargadirinya.
Saat sebuah tiran tumbang, entah itu
kolonialisme, junta militer atau kekuasaan despotik lainnya,
‘kenikmatan’ menindas seolah menginduksi atau mengkontaminasi para
penguasa transisi. Tak perlu jauh bercermin. Aceh menunjukkan realita
peralihan depotisme kekuasaan sejak Belanda, Indonesia hingga penguasa
lokal terkini.
Lantas, apa dan dimana letak kesalahan
saat sekelompok orang yangberstatus rakyat sebuah wilayah menyalahkan
sesuatu yang nyata salah? Analogi ‘Satu Jari Menunjuk Orang Empat Jari
Menunjuk Diri Sendiri’ sungguh tak sepadan untuk membandingkan
penyalahan korupsi oleh rakyat terhadap penguasanya. Sebab korupsi telah
dipahami sebagai kejahatan sistemik yang melibatkan sekelompok orang
dalam bermufakat jahat terhadap kekayaan negara. Bahkan, koruptor tak
lagi menempati level budaya. Indonesia telah berada pada stadium
budidaya korupsi dan pelestarian koruptor.
Kesalahan sistemik tak dapat menempatkan
rakyat selaku pihak inferior sebagai pemegang andil besar menjangkitnya
epidemi korupsi. Tentu aku tak ‘kan suka membantah dan berbantahan jika
Saudari Salihati berbijak pikir menyalahkan sistem dengan birokrasi
berbelit yang mendukung budaya dan budidaya korupsi di Indonesia. Negara
dan segenap jabatan serta pejabat publiknyalah yang mesti dipersalahkan
dalam kondisi makzulnya kebenaran secara sistemik, bukan pihak yang
menyalahkan pendosa publik.
Pendirian komisi-komisi yang berada di
bawah presiden menjadi bukti nyata bahwa Nusantara berada dalam kondisi
timpang. Tugas yang seharusnya dituntaskan oleh institusi reguler
semacam kepolisian, kejaksaan dan kehakiman telah menjadi bagian dari
adonan cakekorupsi. Pengaburan realitas bernegara dengan sistem ‘Gali
Kasus untuk Menutup Kasus’ mungkin telah merabunkan pandangan publik
terhadap pendirian komisi-komisi ad hoc tersebut. Namun, Anda
selaku Raushan Fikr mengemban tugas menjaga ingatan publik tentang
realitas tersebut, bukan justru membangun polarisasi hakikat
benar-salah.
Mungkin akan lebih indah jika Anda lebih
menyelami realitas ‘Hujan Rp 50.000 Mengeringkan Lima Tahun Keadilan
sebab Salah Memilih Pengemban Amanah’. Janganlah menutup mata pada
kenyataan hidup rakyat yang kerap kesulitan mencari beras segantang.
Kondisi. Aku akan menggunakan kata
tersebut untuk menggambarkan betapa terhimpitnya rakyat sehingga tak
berpikir panjang dan bijak menerima Rp 50.000,- ini hari sembari
menumbalkan 5×365 hari esok yang mereka punya. Seorang lapar yang
memiliki uang Rp 2.000,- dalam sakunya tentu lebih mungkin membeli
sebungkus mie instan ketimbang seporsi nasi. Meski ia sadar mie instan
buruk bagi kesehatannya. Kondisi yang menjadikan rakyat jelata tak
memiliki banyak pilihan sebab birokrasi melambungkan hegemoni Daulat
Tuanku, bukan Daulat Rakyat.
Tak ‘kan ada perdebatan andai Saudari
Salihati yang Muda Bestari menjuduli opini tersebut dengan ‘Jangan cuma
Menyalahkan Koruptor’. Aku selaku pembaca (tanpa maksud mewakili pembaca
lain) terlanjur memahaminya sebagai tindak pelarangan terhadap sikap
menyalahkan koruptor.
Jikapun para koruptor menggunakan logika
dagang dalam meraup suara rakyat dalam segala bentuk pemilihan pejabat
publik, aku cenderung tetap menyalahkan mereka. Kepemimpinan macam apa
yang menggunakan sikap pamrih dalam mengemban tugas publik?! Kewibawaan
macam apa yang mendasari pengumpulan suara di atas logika dagang?
‘Jangan Salahkan Koruptor’ terkesan
menyalahkan setiap orang yang menyalahkan koruptor dan tindak pidana
korupsi. Judul pendapat Anda menyimpangkan posisi salah-benar dalam
logika hukum. Kesan yang kudapat dari judul tersebut (ini juga pendapat
pribadi) koruptor (yang nyata berperan sebagai Mustakbirin) adalah Si
Benar dan setiap orang yang menyalahkan koruptor menyandang peran
sebagai Si Salah. Semoga aku yang salah memaknainya, aku melakukan
penafsiran berdasarkan pemahaman logika seorang hamba laeh tanpa latar
pendidikan yang memadai.
Jadi, sebagai seorang dha’if, aku
tersesat dalam bimbang usai mencermati pendapat Anda yang berlatar
pendidikan tinggi. Siapakah yang harus dipersalahkan atas seluruh tindak
pidana korupsi yang terjadi di Nusantara?
Apakah Apa Ma’e yang sedang menyabit
rumput untuk pakan ternak di gerumbul belukar? Cek Fatimah yang sedang
berdagang cindoy di Peukan Lueng Putu? Atau si Kapluek yang sedang
bermain kelereng?
Kutulis ini saat gelisah memenuhi
dinding sempit benak yang resah usai membacai buah pikir seorang Saudari
Muda Bestari yang tak kukenal. Kutulis pula untuk menegaskan bahwa
koruptorlah yang bersalah sebab mencuri fulus republik dan menelantarkan
kesejahteraan rakyat. Kutulis untuk meredam dentam resah menghimpitkan
gema dalam kepala. Kutulis teruntuk Saudari Salihati yang kuanggap
mencintai dan berpihak pada kebenaran serta membenci para Mustakbirin.
Semoga aku yang salah.
(Penulis adalah seorang buruh pemetik kopi di dataran tinggi Gayo)