Ada dua legenda yang dikaitkan dengan Abdul Rauf Singkel. Legenda
pertama menyatakan bahwa ia adalah mubaligh pertama yang mengislamkan
Aceh (lihat Liaw Yock Fang, 1975: 198 dan Braginsky, 1998: 474). Legenda
kedua menyatakan bahwa khotbah-khotbahnya telah membawa “para pelacur”
dari “bordil”, yang konon dibuka oleh Hamzah Fansuri di ibukota Aceh,
untuk kembali ke jalan yang benar (Snouck Hurgronje dalam Braginsky,
1998: 474). Braginsky (1998) menegaskan bahwa kedua legenda itu tentu
saja tidak sesuai dengan kebenaran sejarah.
Namun, tentang peranan Abdul Rauf sebagai mualim, ulama dan pendakwah
yang berpengaruh dalam kedua legenda tersebut, tentu saja tidak bisa
disangkal. Arah gagasannya selalu praktis. Sebagai seorang mualim ia
selalu menaruh perhatian besar pada murid-muridnya. Karya-karyanya
selalu bertolak dari perhatiannya yang demikian itu, yaitu untuk
membantu mereka memahami Islam dengan lebih baik lagi, menasehati mereka
supaya tidak tertimpa musibah, memperteguh kesalehan mereka, dan
menghindarkan mereka dari tindakan salah dan tidak toleran (A. Johns
dalam Braginsky, 1998: 474).
Abdul Rauf Singkel, yang bernama panjang Syeh Abdul Rauf bin Ali al-Jawi
al-Fansuri al-Singkili, lahir di Fansur, lalu dibesarkan di Singkil
pada awal abad ke-17 M. Ayahnya adalah Syeh Ali Fansuri, yang masih
bersaudara dengan Syeh Hamzah Fansuri. A. Rinkes memperkirakan bahwa
Abdul Rauf lahir pada tahun 1615 M. Ini didasarkan perhitungan, ketika
Abdul Rauf kembali dari Mekah, usianya antara 25 dan 30 tahun (lihat
Abdul Hadi WM, 2006: 241). Namun, Abdul Hadi WM (2006) menyatakan bahwa
perkiraan itu bisa meleset, karena Abdul Rauf berada di Mekah sekitar 19
tahun, dan kembali ke Aceh pada 1661. Bila dalam usia 30 tahun ia
kembali dari Mekah, berarti ia dilahirkan pada 1630.
Selama sekitar 19 tahun menghimpun ilmu di Timur Tengah, Abdul Rauf
tidak hanya belajar di Mekah saja. Ia juga mempelajari ilmu keagamaan
dan tasawuf di bawah bimbingan guru-guru yang termasyhur di Madinah. Di
kota ini, ia belajar kepada khalifah (pengganti) dari tarekat
Syattariyah, yaitu Ahmad Kusyasyi dan penggantinya, Mula Ibrahim Kurani
(Braginsky, 1998: 474). Dalam kata penutup salah satu karya tasawufnya,
Abdul Rauf menyebutkan guru-gurunya. Data yang cukup lengkap tentang
pendidikan dan tradisi pengajaran yang diwarisinya ini merupakan data
pertama tentang pewarisan sufisme di kalangan para sufi Melayu. Ia juga
menyebutkan beberapa kota Yaman (Zabit, Moha, Bait al-Fakih, dan
lain-lain), Doha di Semenanjung Qatar, Madinah, Mekah, dan Lohor di
India. Di samping itu, ia juga menyebutkan daftar 11 tarekat sufi yang
diamalkannya, antara lain Syattariyah, Kadiriyah, Kubrawiyah,
Suhrawardiyah, dan Naqsyabandiyah (Braginsky, 1998: 474).
Sepeninggal Ahmad Kusyasyi, Abdul Rauf memperoleh izin dari Mula Ibrahim
Kurani untuk mendirikan sebuah sekolah di Aceh. Sejak 1661 hingga
hampir 30 tahun berikutnya, Abdul Rauf mengajar di Aceh. Liaw Yock Fang
(1975) menyebutkan bahwa muridnya ramai sekali dan datang dari seluruh
penjuru Nusantara. Dan, karena pandangan-pandangan keagamaannya sejalan
dengan pandangan Sultan Taj al-‘Alam Safiatun Riayat Syah binti Iskandar
Muda (1645-1675), Abdul Rauf kemudian diangkat menjadi Syeikh Jamiah
al-Rahman dan mufti atau kadi dengan sebutan Malik al-Adil, menggantikan
Syeh Saif al-Rijal yang wafat tidak lama setelah ia kembali ke Aceh
(Abdul Hadi WM, 2006: 241-242). Selain itu, ia juga bersikap keras
terhadap orang-orang yang menolak berkuasanya seorang raja perempuan
(lihat Mat Piah et.al, 2002: 61).
Walaupun disibukkan oleh tugas mengajar dan pemerintahan, Abdul Rauf
masih sempat menulis berbagai karya intelektual dan juga karya sastra
berbentuk syair—banyak di antaranya yang masih tersimpan sampai
sekarang.
Mulanya, ketika dititahkan oleh Sultanah untuk menulis Mir‘at al-Tullab
pada 1672, ia tidak bersedia karena merasa kurang menguasai bahasa
Melayu setelah lama bermukim di Haramayn (Arab Saudi). Tetapi setelah
mempertimbangkan masak-masak perlunya kitab semacam ini ditulis dalam
bahasa Melayu, ia pun mengerjakannya, dengan dibantu oleh dua orang
sabahat (Zalila Sharif dan Jamilah Haji Ahmad dalam Abdul hadi WM, 2006:
243). Oman Fathurrahman (dalam Osman, 1997: 242) mencatat bahwa
karyanya tidak kurang dari 36 kitab berkenaan dengan fikih dan syariat,
tasawuf, dan tafsir Al-Qur‘an dan hadis.
Pengaruh Abdul Rauf juga mencapai umat Islam di Jawa. Braginsky (1998)
menyebutkan bahwa Abdul Rauf pernah berkunjung ke Banten. Sedangkan Liaw
Yock Fang (1975) menyebutkan bahwa salah satu karya Abdul Rauf dikutip
dalam sebuah risalah sufi yang terkenal di Jawa. Sementara itu, tarekat
Syattariyah, yang juga banyak penganutnya di Jawa, membubuhkan nama
Abdul Rauf dalam silsilah para sufi besar penganut tarekat tersebut.
Sehingga, Abdul Rauf jelas dikenal oleh orang-orang Jawa yang
menganutnya.
Barangkali yang paling diingat orang tentang Abdul Rauf adalah bahwa ia
berpenting sekali dalam menengahi silang pendapat antara Nuruddin
al-Raniri dan Hamzah Fansuri tentang aliran wujudiyyah. Braginsky (1998)
telah menguraikan pendekatan Abdul Rauf yang lebih sejuk dan damai
terhadap aliran yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri tersebut.
Ketika wafat pada tahun 1693, Abdul Rauf dimakamkan di muara sebuah
sungai di Aceh, di samping makam Teuku Anjong yang dikeramatkan oleh
orang Aceh (Abdul Hadi WM, 2006: 246), sehingga ia dikenal juga sebagai
Syeh Kuala atau Tengku di Kuala (Liaw Yock Fang, 1975: 198).
B. Pemikiran
1. Tasawuf
Dalam banyak tulisannya, Abdul Rauf Singkel menekankan tentang
transendensi Tuhan di atas makhluk ciptaan-Nya. Ia menyanggah pandangan
wujudiyyah yang menekankan imanensi Tuhan dalam makhluk ciptaan-Nya.
Dalam karyanya yang berjudul Kifayat al-Muhtajin, Abdul Rauf berpendapat
bahwa sebelum Tuhan menciptakan alam semesta, Dia menciptakan Nur
Muhammad. Dari Nur Muhammad inilah Tuhan kemudian menciptakan permanent
archetypes (al-a‘yan al-kharijiyyah), yaitu alam semesta yang potensial,
yang menjadi sumber bagi exterior archetypes (al-a‘yan al-kharijiyyah),
bentuk konkret makluk ciptaan. Selanjutnya, Abdul Rauf menyimpulkan
bahwa walaupun a‘yan al-kharijiyyah adalah emanasi (pancaran) dari Wujud
Yang Mutlak, ia tetap berbeda dari Tuhan. Abdul Rauf mengumpamakan
perbedaan ini dengan tangan dan bayangannya. Walaupun tangan sangat
sukar untuk dipisahkan dari banyangannya, tetapi bayangan itu bukanlah
tangan yang sebenarnya (lihat Azyumardi Azra dalam Osman, 1997: 174).
Secara umum, Abdul Rauf ingin mengajarkan harmoni antara syariat dan
sufisme. Dalam karya-karyanya ia menyatakan bahwa tasawuf harus
bekerjasama dengan syariat. Hanya dengan kepatuhan yang total terhadap
syariat-lah maka seorang pencari di jalan sufi dapat memperoleh
pengalaman hakikat yang sejati. Pendekatannya ini tentu saja berbeda
dari pendekatan Nuruddin al-Raniri yang tanpa kompromi. Abdul Rauf
cenderung memilih jalan yang lebih damai dan sejuk dalam berinteraksi
dengan aliran wujudiyyah. Maka, walaupun ia menentang aliran yang
diajarkan oleh Hamzah Fansuri itu, ia tidak menyatakannya secara
terbuka. Lagipula, ia juga tidak setuju dengan cara-cara radikal yang
ditempuh oleh Nuruddin (lihat Azyumardi Azra dalam Osman, 1997: 174).
Menariknya, dalam karya-karyanya ia tidak menyebut Nuruddin al-Raniri,
yang karya-karyanya mungkin sekali telah dikenalinya, tetapi seolah-olah
mengisyaratkan peristiwa tragis yang pernah terjadi, melalui kutipan
sebuah hadis: “Jangan sampai terjadi seorang muslim menyebut muslim lain
sebagai kafir. Karena jika ia berbuat demikian, dan memang demikianlah
kenyataannya, lalu apakah manfaatnya. Sedangkan jika ia salah menuduh,
maka tuduhan ini akan dibalikkan melawan ia sendiri” (Johns dalam
Braginsky, 1998: 476).
Dengan caranya yang lebih damai ini, ia dapat menahan berkembangnya
heterodoksi dalam Islam yang disebabkan oleh tafsir yang kurang tepat
terhadap ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani (Abdul Hadi
WM, 2006: 241).
Penekanannya tentang pentingnya syariat dalam tasawuf muncul dalam Umdat
al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufradin (Pijakan bagi Orang-orang yang
Menempuh Jalan Tasawuf). Di dalam kitab ini, Abdul Rauf menguraikan
masalah zikir. Zikir adalah dasar dari tasawuf dan karena itu merupakan
metode yang penting dalam disiplin kerohanian sufi. Abdul Rauf membagi
zikir menjadi dua, yaitu zikr hasanah dan zikir darajat. Zikir yang
pertama tidak mengikuti aturan tertentu, sedangkan zikir yang kedua
terikat aturan yang ketat (Abdul Hadi WM, 2006: 241).
Zikir darajat dilakukan setelah seseorang bertobat, kemudian menjalani
upacara tertentu seperti duduk bersila menyilangkan dua kaki dan
berpakaian bersih, menghadap kiblat, memilih tempat yang gelap agar
dapat berkonsentrasi dan memejamkan mata. Setelah itu ia mulai berzikir,
mengucapkan kalimat la ilaha Illa Allah. Kalimat ini dibaca dengan
irama tertentu sambil menggoyang-goyangkan kepala. Zikir dilakukan
dengan nafas teratur, lidah menyentuh langit-langit bagian belakang,
sembari mengucapkan kalimat la ilaha Illa Allah dengan pikiran. Biasanya
24 kalimat itu diucapkan baru nafas dihela (Abdul Hadi WM, 2006: 244).
Abdul Rauf mengajarkan dua metode zikir, yaitu zikir keras (jabr) dan
zikir pelan (sirr). Zikir keras dimulai dengan zikir nafiy
(pengingkaran) dan isbat (penegasan), yaitu mengucap la ilaha Illa Allah
berulangkali. Zikir ini mengandung penegasan untuk mengingkari selain
Tuhan dan peneguhan bahwa satu-satunya Tuhan adalah Allah Ta‘ala. Ini
dapat dibaca juga dalam Syair Perahu. Di samping itu terdapat zikir gaib
dengan mengucap Hu Allah dan zikir penyaksian (al-syahadah) dengan
mengucapkan Allah, Allah. Zikir pelan dilakukan dengan nafas teratur,
dengan membayangkan kalimat la ilaha saat menghela nafas dan illa Allah
saat menarik nafas ke dalam hati. Tujuan zikir ini adalah pemusatan
diri, bukan untuk membayangkan kehadiran gambar Tuhan seperti dalam
praktik Yoga Pranayama (Abdul Hadi WM, 2006: 244-245).
Semua ajaran tasawuf didasarkan pada gagasan sentral Islam yang sama,
yaitu tauhid, tetapi para sufi mempunyai beragam cara dalam
menafsirkannya. Dasar pandangan Abdul Rauf tentang tauhid antara lain
tertera dalam kitab Tanbih al-Masyi. Ia mengajarkan agar murid-muridnya
senantiasa mengesakan al-Haq (Yang Maha Benar) dan menyucikan-Nya dari
hal-hal yang tidak layak baginya, yaitu dengan mengucap la ilaha Illa
Allah. Kalimat ini mengandung empat tingkatan tauhid. Pertama, penegasan
penghilangan sifat dan perbuatan pada diri yang tidak layak disandang
Allah. Tiga tingkatan tauhid berikutnya adalah uluhiya, yaitu mengesakan
ketuhanan Allah, sifat, yaitu mengesakan sifat-sifat Allah, dan zat,
mengesakan Zat Tuhan (Othman Mohd. Isa dalam Abdul Hadi WM, 2006:
245-246).
Menurut Abdul Rauf, “Salah satu bukti keesaan Allah SWT adalah tidak
rusaknya alam. Allah berfirman, ‘Sekiranya di langit dan di bumi ini ada
tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak dan
binasa‘.” Berangkat dari pengetahuan inilah kemudian ia membicarakan
hubungan ontologis atau kewujudan antara Pencipta dan
ciptaan-ciptaan-Nya, antara Yang Satu dan “yang banyak”, antara al-wujud
dan al-maujudat. Alam adalah wujud yang terikat pada sifat-sifat
mumkinat atau serba mungkin. Oleh karena itu alam disebut sebagai
sesuatu selain al-Haq (Oman Fathurrahman dalam Abdul Hadi WM, 2006:
246).
2. Syariat
Abdul Rauf Singkel juga menulis kitab dalam bidang syariat. Yang
terpenting adalah Mirat al-Turab fi Tashil Ma‘rifah al-Ahkam
al-Syar‘iyyah li al-Malik al-Wahab (Cermin Para Penuntut Ilmu untuk
Memudahkan Tahu Hukum-hukum Syara‘ dari Tuhan, bahasa Melayu). Kitab ini
merupakan kitab Melayu terlengkap yang membicarakan syariat. Sejak
terbit, kitab ini menjadi rujukan para kadi atau hakim di wilayah
Kesultanan Aceh. Dalam kitabnya ini, Abdul Rauf tidak membicarakan fikih
ibadat, melainkan tiga cabang ilmu hukum Islam dari mazhab Syafii,
yaitu hukum mengenai perdagangan dan undang-undang sipil atau
kewarganegaraan, hukum perkawinan, dan hukum tentang jinayat atau
kejahatan (Ali Hasmy dalam Abdul Hadi WM, 2006: 243).
Bidang pertama termasuk fikih muamalah dan mencakup urusan jual beli,
hukum riba, kemitraan dalam berdagang, perdagangan buah-buahan, sayuran,
utang-piutang, hak milik atau harta anak kecil, sewa menyewa, wakaf,
hukum barang hilang, dan lain-lain. Bidang yang berkaitan dengan
perkawinan mencakup soal nikah, wali, upacara perkawinan, hukum talak,
rujuk, fasah, nafkah, dan lain-lain. Sedangkan jinayat mencakup hukuman
pemberontakan, perampokan, pencurian, perbuatan zinah, hukum membunuh,
dan lain-lain (Ali Hasmy dalam Abdul Hadi WM, 2006: 243).
3. Tafsir
Dalam bidang tafsir, Abdul Rauf menghasilkan karya berjudul Tarjuman
al-Mustafid. Pada hakikatnya, karya ini merupakan terjemahan Melayu dari
kitab tafsir yang lain, yaitu tafsir al-Jalalain. Karya ini
diselesaikan oleh muridnya, Daud Rumi, dan beberapa pengarang belakangan
lainnya, dengan mengambil agak banyak bagian dari tafsir al-Baidawi dan
al-Kazin (Riddel dalam Braginsky, 1998: 275). Walaupun kitab ini
tergolong sebagai tafsir, tetapi Braginsky (1998) menganggapnya sebagai
terjemahan lengkap Al-Qur‘an dalam bahasa Melayu yang pertama, yang
seperti lazimnya berbentuk sebagai tafsir dan bukan karangan eksegesis
yang rinci.
4. Sastra
Walaupun kuatrin terpisah-pisah, yang tidak lain merupakan bait-bait
syair, terkadang terdapat dalam Bustan as-Salatin karya Nuruddin
al-Raniri, tetapi penerus tradisi penulisan “syair religius-mistik”
adalah Abdul Rauf Singkel. Braginsky (1998: 491-484) telah membahas
syair-syair tesebut dan menyimpulkan bahwa dalam syair-syairnya, Abdul
Rauf Singkel menegaskan tentang Sifat Kekekalan (Kadim) Tuhan di satu
pihak, dan sifat kemakhlukan (muhadas) manusia di pihak lain, yang
menyebabkan adanya perbedaan mutlak di antara keduanya. Jadi, karya
sastra Abdul Rauf yang berupa syair ini masih memiliki hubungan yang
sangat erat dengan keyakinan tasawufnya.
Dalam sebuah naskah yang disalin di Bukit Tinggi pada 1859, diberitakan
bahwa Abdul Rauf-lah yang telah mengarang Syair Makrifat. Dalam syair
ini, dibahas tentang empat komponen agama Islam, yaitu iman, Islam,
tauhid, dan makrifat, dan tentang makrifat sebagai pengenalan sufi yang
memahkotai keempat komponen itu. Syair ini juga menegaskan bahwa hanya
orang yang paham akan makna semuanya yang layak disebut sebagai orang
yang telah menganut agama yang sempurna.
C. Karya
Oman Fathurrahman (dalam Osman, 1997: 242) mencatat tidak kurang dari 36
kitab berkenaan dengan fikih dan syariat, tasawuf, dan tafsir Al-Qur‘an
dan hadis, di antaranya adalah:
1.Daka‘ik al-Huruf (Kehalusan-kehalusan Huruf), dikutip dalam al-Tuhfa
al-mursala ila ruh al-nabi, risalah ilmu tasawuf yang sangat penting di
Jawa.
2.Tafsir Baidhawi (terjemahan, 1884, diterbitkan di Istambul).
3.Mirat al-Turab fi Tashil Ma‘rifah al-Ahkam al-Syar‘iyyah li al-Malik
al-Wahab (Cermin Para Penuntut Ilmu untuk Memudahkan Tahu Hukum-hukum
Syara‘ dari Tuhan, bahasa Melayu).
4.Umdat al-muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufradin (Pijakan bai Orang-orang yang Menempuh Jalan Tasawuf).
5.Tanbih al-Masyi al-Mansub ila Tariq al-Qusyasyi (Pedoman bagi Penempuh Tarekat al-Qusyasyi, bahasa Arab).
6.Bayan al-Arkan (Penjelasan tentang Rukun-rukun Islam, bahasa Melayu).
7.Bidayah al-Baligah (Permulaan yang Sempurna, bahasa Melayu).
8.Sullam al-Mustafiddin (Tangga Setiap Orang yang Mencari Faedah, bahasa Melayu).
9.Piagam tentang Zikir (bahasa Melayu).
10.Tarjuman al-Mustafid bi al-Jawy.
11.Syarh Latif ‘Ala Arba‘ Hadisan li al-Imam al-Nawawiy (Penjelasan
Terperinci atas Kitab empat Puluh Hadis Karangan Imam Nawawi, bahasa
Melayu).
12.Al-Mawa‘iz al-Ba‘diah (Petuah-petuah Berharga, bahasa Melayu).
13.Kifayat al-Muhtajin.
14.Bayan Tajilli (Penjelasan tentang Konsep Manifestasi Tuhan).
15.Syair Makrifat.
16.Al-Tareqat al-Syattariyah (Untuk Memahami jalan Syattariyah).
17.Majmu al-Masa‘il (Himpunan Petranyaan).
18.Syam al-Ma‘rifat (Matahari Penciptaan).
D. Pengaruh
Syeh Abdul Rauf Singkel memiliki banyak murid yang tersebar di kepulauan
Nusantara. Dua muridnya juga masyhur, yaitu Syeh Jamaluddin al-Tursani
dan Syeh Yusuf al-Makasari. Jamaluddin al-Tursani adalah seorang ahli
hukum ketatanegaraan terkenal dan pernah menjadi Kadi Malik al-Adil di
istana Aceh pada awal abad ke-18 M. Ia terkenal berkat karya hukum
ketatanegaraannya yang komprehensif, Syafinat al Hukam (Bahtera Para
Hakim), yang merupakan perluasan baik terhadap Taj al-Salatin maupun
Bustan al-Salatin. Sedangkan Syeh Yusuf al-Makasari adalah seorang ulama
dari Makassar. Ulama inilah yang mendampingi Sultan Ageng Tirtayasa
dalam perjuangannya melawan kolonialisme Belanda (Abdul Hadi WM, 2006:
246).
Pada saat Abdul Rauf menjadi mufti, Aceh adalah kesultanan yang sangat
penting di dunia Melayu karena menjadi tempat persinggahan para jemaah
haji. Orang dari Jawa dan daerah lain di Indonesia yang pergi naik haji,
harus singgah di Aceh. Sewaktu di Aceh, tidak sedikit pula dari jemaah
haji belajar agama dan ilmu tasawuf kepada Abdul Rauf (A.H. Johns dalam
Liaw Yock Fang, 1975: 197). Mungkin inilah sebabnya tarekat Syattariyah
agak populer di Jawa dan nama Abdul Rauf sering disebut dalam silsilah
tarekat tersebut. Sebuah karangan Abdul Rauf, yaitu Dakai‘ik al-Huruf,
dikutip dalam al-Tuhfa al-mursala ila ruh al-nabi, sebuah risalah ilmu
tasawuf yang sangat penting di Jawa (Liaw Yock Fang, 1975: 197).
Bersama dengan Nuruddin al-Raniri, Abdul Rauf Singkel menunjukkan bahwa
Islam, sebagaimana yang dipraktekkan di Asia Tenggara, adalah bagian
dari pasang surut gagasan dan praktek religius dan mistisisme di dunia.
Gagasan dan praktek ini berakar pada Al-Qur‘an dan kehidupan komunitas
Islam awal, tetapi kemudian berkembang ke berbagai arah yang
berbeda-beda. Perdebatan yang terjadi di Aceh, dan juga di dunia Melayu
pada umumnya, tidak bersifat unik bagi daerah ini saja, karena telah
muncul juga di berbagai belahan dunia Islam lainnya. Menurut Piah dkk
(2002), Aceh menangkap gagasan dan praktek-praktek ini dan
mengeskpresikannya dengan cara yang rumit dan menantang bagi kaum Muslim
yang memahami keimanan mereka melalui medium bahasa Melayu.