Perundingan Bendera Aceh Diperpanjang
Jakarta – Pembahasan persoalan
bendera Aceh antara pemerintah pusat dan pemerintah Aceh diperpanjang
menjadi 90 hari, karena sejauh ini belum ada titik temu.
Perundingan lanjutan tim Kementerian
Dalam Negeri dan Pemerintah Aceh di Bogor, Jawa Barat, yang berakhir
Kamis (23/05) kemarin, belum membuahkan hasil, kecuali memperpanjang
waktu pembicaraan menjadi 90 hari.
“Kita perpanjang sampai 90 hari kedepan,
kira-kira sampai bulan Juli. Jangan buru-burulah, karena ini perlu
waktu,” kata ketua tim pemerintah pusat, yang juga Dirjen Otonomi Daerah
Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan, kepada wartawan BBC
Indonesia, Heyder Affan, Jumat (24/05) siang.
Sebelumnya, kedua pihak sepakat membahas
persoalan bendera Aceh ini dapat diselesaikan dalam waktu 60 hari, yang
menurut pemerintah Aceh, akan berakhir pada akhir Mei ini.
Dalam pertemuan di Bogor, menurut
Djohermansyah, pemerintah pusat meminta bendera Aceh itu diubah sedikit
agar tidak mirip bendera GAM. .
“Tolonglah diberikan perbaikan, atau
penyempurnaan. Misalnya (dihilangkan) garis hitamnya atau (perubahan)
warna atau ada penambahan-penambahan bintangnya, misalnya,” ungkap
Djohermansyah.
Usai pertemuan di Bogor, Mendagri
Gamawan Fauzi bertemu kembali dengan Gubernur Aceh Zaini Abdullah, Wali
Nangroe Malek Mahmud, serta Ketua DPR Aceh, Hasbi Abdullah, pada Kamis
malam di Jakarta.
Menurut Djohermansyah, pertemuan lanjutan akan digelar pada Juni nanti.
“Kita perpanjang sampai 90 hari kedepan, kira-kira sampai bulan Juli. Jangan buru-burulah, karena ini perlu waktu”.
Tolak perpanjangan
Menanggapi usulan tim Kemendagri agar bendera Aceh itu diubah sedikit gambarnya, Pemerintah Aceh sejauh ini tetap menolaknya.
“Masukan pemerintah pusat (agar bendera
Aceh diubah sedikit) boleh-boleh saja, tetapi pemerintah Aceh tetap
berpegang bahwa bendera yang dihasilkan persetujuan Gubernur dan DPR
Aceh itu sudah sesuai prosedur,” kata Kepala Biro Hukum Pemerintah Aceh,
Edrian, saat dihubungi BBC Indonesia pada Jumat (24/05) siang.
Edrian juga mempertanyakan perpanjangan
waktu menjadi 90 hari untuk proses klarifikasi Kemendagri terhadap qanun
bendera Aceh, yang menurutnya, sudah berakhir dalam waktu 60 hari.
“Kita tidak memberi ruang untuk
memperpanjang waktu (klarifikasi), karena kalau diperpanjang, maka kita
dianggap melanggar UU (pemerintahan daerah),” kata Edrian.
Menurutnya, jika waktu 60 hari itu
berakhir pada akhir Mei ini, maka perda tentang bendera dan simbol Aceh
itu “sudah punya kekuatan hukum tetap”.
Walaupun demikian, masih menurut Edrian,
pihaknya akhirnya menyetujui persoalan bendera ini diserahkan langsung
kepada Mendagri, Gubernur Aceh, Wali Nangroe Aceh serta Ketua DPR Aceh
untuk diselesaikan.
Harga mati?
Ditanya apakah Pemerintah Aceh akan
bersikukuh mempertahankan isi qanun tentang bendera Aceh, Edrian
mengatakan: “Ini bukan persoalan harga mati, tapi haruslah dihargai
setiap produk yang sudah disepakati legislatif dan eksekutuif daerah”.
Dia mengharapkan pemerintah pusat “menghargai produk hukum sesuai prosedur yang berlaku”.
Edrian mengkhawatirkan, kalau pemerintah
pusat tidak mengubah sikapnya, akan menyebabkan “hubungan tidak
harmonis antara daerah dan pusat, yang menyebabkan terjadinya gangguan.”
Sejak disetujui DPR Aceh dan disahkan
Pemerintah Aceh Maret lalu, peraturan daerah tentang bendera Aceh ini
ditolak oleh pemerintah pusat.
Bendera itu dianggap identik dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka, sehingga harus diubah.
Pemerintah Aceh serta DPR Aceh
menolaknya, dan menganggap persoalan separatis sudah selesai semenjak
ada kesepakatan damai di Helsinki, 2005 lalu.
“Masukan pemerintah pusat (agar bendera
Aceh diubah sedikit) boleh-boleh saja, tetapi pemerintah Aceh tetap
berpegang bahwa bendera yang dihasilkan persetujuan Gubernur dan DPR
Aceh itu sudah sesuai prosedur.”