Aceh Tengah
– Tanah Gayo, dataran tinggi dengan segenap anugerah Allah SWT berupa
tanah subur dan pemandangan yang memanjakan mata. Tentu saja tidak hanya
itu, banyak anugerah Yang Maha Kuasa lainnya yang dapat dinikmati siapa
saja di negeri Raja Linge itu. Satu dari sekian banyak yang dibicarakan
orang ialah Kopi Gayo.
Tanaman yang mudah dijumpai di setiap
rumah warga disana adalah tulang punggung komoditi unggulan yang sudah
diwarisi turun-temurun. Konon menurut penggalan cerita dalam masyarakat,
bahan baku utama kopi ini sudah melekat dalam kehidupan masyarakat,
bahkan diyakini kopilah satu-satunya komoditi sebagai pegangan ekonomi
masyarakat di Kabupaten Aceh Tengah.
Berbicara kopi Aceh identik berbicara
kopi yang tumbuh di Gayo dan sedikit sekali kopi yang dihasilkan di luar
tanah Gayo. Sejalan dengan itupula, banyak pihak menyadari bahwa kopi
adalah satu komoditi bernilai tinggi dan dilirik oleh sejumlah negara
luar. Dan mayarakat tanah Gayo dalam beberapa tahun kebelakang terus
berbenah dan memfokuskan diri serta mengupayakan jaringan agar kopi Gayo
tetap menjadi pilihan penikmat kopi, lokal maupun internasional.
Dalam beberapa tahun ini sejumlah
lembaga swadaya masyarakat maupun perusahaan dalam lingkar perdagangan
kopi sudah mulai mengajak petani kopi guna mencapai standarisasi
komoditi sebagai syarat agar kualitas kopi Gayo tetap menjadi salah satu
yang terbaik dalam pergadangan dunia dengan mengolah kopi secara
organik dan higienis.
Nurdin (34), petani kopi yang dijumpai
AtjehLINK, Sabtu (11/5/2013 ) di Kecamatan Bebesan menyadari benar jika
kopi adalah pegangan ekonomi bagi sebagian besar masyarakat Aceh Tengah,
sehingga dengan kopi masyarakat Aceh Tengah dapat memenuhi kebutuhan
keluarganya, sebagai contoh untuk pendidikan anak-anaknya.
“Tidak hanya orang tua saja, pada hari
libur anak-anaknya juga ikut membantu orang tua di kebun kopi. Memang
masyarakat Aceh Tengah tidak mungkin dipisahkan dari kopi karena dari
kecil saja dalam kesehariannya sudah akrab dengan kopi,” ujarnya.
Masih menurut Nurdin, mengikutsertakan
anak-anak untuk bekerja di kebun walau hari libur itu sudah dinilai
tidak baik oleh sejumlah lembaga standarisari atau LSM, namun budaya ke
kebun saat hari libur itu sepertinya sudah mendarah daging bagi
masyarakat setempat, jadi biarkan saja tetap ada dalam masyarakat selama
tidak mengganggu hak anak. “Bahkan banyak positifnya jika kita lihat
kopi adalah sesuatu yang harus diwariskan untuk anak cucu,” katanya.
Selanjutnya, sisi lain dari dunia kopi
adalah dinamika harga kopi yang berkiblat pada harga kopi dunia. Bagi
masyarakat yang tidak mengikat kontrak dengan pihak tertentu, jika harga
dunia kopi dunia turun maka kopi petani akan dibeli murah, begitu pula
sebaliknya. Dampak ini tidak akan ada jika petani sudah mengikat kontrak
harga beli dengan pihak tertentu, namun jika harga kopi dunia melebihi
harga kontrak, petani kopi tetap menerima seharga yang disepakati dalam
perjanjian.
Dari informasi yang diperoleh dari pihak
Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, hampir tidak ada masyarakat setempat
yang tidak memiliki kebun kopi yang sering disebut emasnya tanah Gayo.
Pernyataan ini tidak berlebihan karena memang intensitas interaksi
masyarakat Aceh Tengah dengan kopi tidak perlu diragukan, mulai dari
menanam dan membersihkan kebun kopi, mengupas kopi, menjemur kopi,
memilih kopi, menjual kopi dan tentu saja minum kopi.
Pemadangan yang paling mudah kita jumpai
disepanjang jalan adalah aktivitas masyarakat menjemur kopi di halaman
rumah mereka, banyak pula yang memanfaatkan sebagian badan jalan untuk
area menjemur kopi, tidak jarang juga ini kita temukan di lapangan jemur
perusahaan pengumpul kopi yang sudah berhasil mengekspor kopi Gayo
hingga ke luar negeri, seperti Australia, China, Belanda dan beberapa
negera besar lainnya di dunia.
Sebut saja Oro Coffe Gayo yang beralamat
di Kampung Mongal, Bebesen, Aceh tengah. Usaha perdagangan kopi milik H
Rasyid tersebut tergolong besar. Dalam gudangnya saja mampu menampung
puluhan ton karung biji kopi dan sudah siap ekspor.
“Ada beberapa negara luar yang menjadi
tujuan ekspor dan kami sudah merintisnya sejak beberapa tahun lalu,”
ujar lelaki berpenampilan sederhana ini saat dijumpai AtjehLINK di
tempat usahanya.
Katanya, seluruh kopi dari pabriknya
itu berasal dari kebun kopi masyarakat di Aceh Tengah dan sekitarnya
yang dibeli dengan harga yang pantas. Masyarakat yang diperkerjakan
disini untuk memilah (sortir) biji kopi juga dibedakan sesuai nama dan
kelasnya, seperti Luwak, Long Berry, Pie Berry, Fenci dan Special.
Dari barang contoh dalam toples “Kedai
Gratis” bertingkat dua miliknya yang terletak searea dengan pabrik,
lebih dari 35 nama yang tertempel dibagian luar toples. Di “Kedai
Gratis” itu pula, lelaki tamatan SPG Aceh Tengah ini memajang produk
kopinya di etalase.
Tidak ada angka pasti berapa banyak
sudah lidah penikmat kopi atau peminum kopi di penjuru dunia yang sudah
tersentuh dengan cita rasa kopi Gayo. Namun semua masyarakat sadar jika
tanah Gayo sudah memberikan yang terbaik untuk penduduknya hingga mereka
masyhur ke seantero dunia karena karena satu potensi dari banyak
potensi lainnya, yakni Kopi, tanaman berbiji kecil yang telah
‘membesarkan’ satu bangsa yang besar. (zamroe)
GAYO Nusantara.