|
Sebagaimana
dikemukakan terdahulu, bahwa sebelum Nabi Muhammad saw membawa Islam,
dunia Arab dengan dunia Melayu sudah menjalin hubungan dagang yang erat
sebagai dampak hubungan dagang Arab-Cina melalui jalur laut yang telah
menumbuhkan perkampungan-perkampungan Arab, Parsia, Hindia dan lainnya
di sepanjang pesisir pulau Sumatera. Karena letak gegrafisnya yang
sangat strategis di ujung barat pulau Sumatra, menjadikan wilayah Aceh
sebagai kota pelabuhan transit yang berkembang pesat, terutama untuk
mempersiapkan logistik dalam pelayaran yang akan menempuh samudra luas
perjalanan dari Cina menuju Persia ataupun Arab.
Hadirnya pelabuhan transito sekaligus kota perdagangan seperti Barus,
Fansur, Lamri, Jeumpa dan lainnya dengan komuditas unggulan seperti
kafur, yang memiliki banyak manfaat dan kegunaan telah melambungkan
wilayah asalnya dalam jejaran kota pertumbuhan peradaban dunia. ”Kafur
Barus”, ”Kafur Fansur”, ”Kafur Barus min Fansur” yang telah menjadi
idiom kemewahan para Raja dan bangsawan di Yunani, Romawi, Mesir, Persia
dan lainnya. Kedudukan Barus-Fansur lebih kurang seperti kedudukan
Paris saat ini yang terkenal dengan inovasi minyak wangi mewahnya.
Hadirnya komuditas unggulan ini telah melahirkan berbagai teknologi
pengolahan dalam penangannya. Karena sangat dibutuhkan sebagai bahan
obat-obatan, wangi-wangian ataupun sebagai barang sakral dalam ritual
keagamaan pagan, menjadikan asal kafur dan wilayah sekitarnya berkembang
pesat. Tentu dari para petani, pedagang sampai para pengolah, peneliti,
tabib sampai tukang sihir terlibat dalam proses pembuatan kafur yang
bermutu. Tentu hal ini mengakibatkan hadirnya para pakar ke kota
penghasil kafur dan membuat komunitas baru sesuai dengan peran
masing-masing. Itulah sebabnya wajah orang Aceh berbeda dengan wajah
orang Jawa, Makassar ataupun Melayu. Wajah mereka lebih kosmopolit yang
merupakan perpaduan dari keturunan Arab, Cina, India, Parsi dan tentunya
Eropa. Dan perpaduan ini telah berjalan berabad-abad sebelum kedatangan
Islam di wilayah ini.
Sehubungan dengan penyebaran Islam, tentu perkampungan para keturunan
Arab lebih dominan mudah menerima kedatangan Islam, dengan beberapa
alasan (i) sumber utama al-Qur’an dan pengajarannya menggunakan bahasa
Arab, yang tentu lebih mudah difahami oleh mereka yang sudah terbiasa
dengan bahasa Arab seperti keturunan Arab yang sudah menyebar di
sepanjang Barus-Fansur-Lamuri, (ii) hukum, budaya, pola hidup ataupun
tradisi yang dibawa Islam lebih dekat dengan kebiasaan orang Arab yang
memang sudah dilaksanakan sejak zaman Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as
yang merupakan bapak kaum Arab, sehingga keturunan Arab pra-Islam ini
mudah langsung mengikutinya karena sudah menjadi kebiasaan hidupnya,
(iii) semangat kekeluargaan dan kesukuan sangat tinggi di kalangan
bangsa Arab, termasuk Arab pra-Islam yang sangat menghormati dan
menghargai sesamanya, itulah sebabnya banyak orang Arab yang membela
Rasul walaupun tidak masuk Islam, inilah yang terjadi pada keturunan
perantauan Arab ini, ada kebanggaan kesukuan memeluk agama Islam yang
dibawa dari tanah leluhurnya daripada mengikuti ajaran lain, (iv) tentu
ajaran Islam yang rasional, adil, menawarkan persamaan kedudukan dan
status menjadi daya tarik bagi masyarakat kosmopolit yang telah berbaur
dengan berbagai peradaban besar sebagaimana yang dialami keturunan Arab
(v) disamping kepandaian dan ketampanan para pembawa Islam keturunan
Arab telah membuat jatuh hati para Raja dan Meurah, mengangkat mereka
jadi menantu, penasihat atau panglima dan ada yang menggantikan
kedudukan Raja atas dukungan komunitas Arab yang memang sudah mapan dan
memiliki kedudukan terhormat.
Jadi dengan demikian, tidak diragukan bahwa Islam telah tumbuh
berkembang di Aceh, terutama di pesisirnya bersamaan dengan
perkembangannya di semenanjung Arabia dan Parsia. Penyiaran ini utamanya
dilakukan para pedagang Muslim asal Aceh yang bergagang ke Arab,
ataupun pedagang Arab, Persia, India, Cina atau lainnya yang memang
telah hilir mudik antara Dunia Arab Mesir sampai ke Tiongkok Cina
melalui sebuah daerah yang oleh Claudius Ptolemaeus, disebut bernama
”Barousai”, yang tidak diragukan maksudnya adalah Barus di dekat Lamuri
wilayah Aceh.liv
Penyebaran Islam juga dilakukan oleh para diplomat yang di utus para
Khalifah yang menggantikan kedudukan Nabi Muhammad, terutama di zaman
Khalifah Umar bin Khattab yang terbukti telah mengutus beberapa orang
shahabat ke Cina yang meninggal di sana. Di samping untuk berdakwah
tentu untuk memberikan sebuah tawaran umum para Khalifah kepada semua
Raja: ”Engkau memeluk Islam, artinya bersaudara dengan kami, jika tidak
engkau membayar jizyah sebagai tanda ketundukan pada Islam, jika engkau
menolak keduanya, berarti akan terjadi peperangan, karena sabda Nabi saw
: ”Aku diperintah memerangi manusia pembangkang sehingga mereka
mengakui tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusannya”.
Cina menjadi salah satu tujuan dakwah Islam, karena pada masa itu Cina
sudah menjadi salah satu Kerajaan besar. Tentu sebelum sampai ke Cina,
para diplomat itu akan singgah di sekitar pesisir pantai Sumatra dan
mencari perkampungan Arab dengan komunitasnya.
Sejak dahulu perdagangan antara negara-negara Timur dengan Timur Tengah
dan Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur
darat, yang juga disebut ”jalur sutra” (silk road), dimulai dari Cina
Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur
perdagangan ini, yang menghubungkan Cina dan India dengan Eropa,
merupakan jalur tertua yang sudah di kenal sejak 500 tahun sebelum
Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung)
dan Indonesia, melalui Selat Malaka ke India; dari sini ke Laut Tengah
dan Eropa, ada yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan ada juga yang
melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara Laut
Merah, Cina dan Indonesia sudah berjalan sejak abad pertama sesudah
Masehi.lv
Akan tetapi, karena sering terjadi gangguan keamanan pada jalur
perdagangan darat di Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi
perdagangan Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka) menjadi semakin
ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab, Persia dan India telah mondar
mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Negeri Cina dengan menggunakan
angin musim, untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapal-kapal Sumatra
telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya,
pedagang-pedagangnya telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan
pantai timur Afrika.lvi
Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, telah menumbuhkan
kota-kota pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatra.
Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di antara Arab, Cina dan
Eropa melalui jalur laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin ramai,
termasuk di wilayah Aceh yang diketahui telah memiliki beberapa kota
pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota
pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota perdagangan.lvii
Maka berdasarkan fakta sejarah ini pulalah, keberadaan Kerajaan Islam
Jeumpa Aceh yang diperkirakan berdiri pada abad ke 7 Masehi dan berada
disekitar Kabupaten Bireuen sekarang menjadi sangat logis. Sebagaimana
kerajaan-kerajaan purba pra-Islam yang banyak terdapat di sekitar pulau
Sumatra, Kerajaan Jeumpa juga tumbuh dari pemukiman-pemukiman penduduk
yang semakin banyak akibat ramainya perdagangan dan memiliki daya tarik
bagi kota persinggahan. Melihat topografinya, Kuala Jeumpa sebagai kota
pelabuhan memang tempat yang indah dan sesuai untuk peristirahatan
setelah melalui perjalanan panjang.
Kerajaan Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis
Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah
Kerajaan yang benar keberadaannya pada sekitar abad ke 7 Masehi yang
berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di
sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana
Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah
utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet. Masa itu Desa Blang
Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan
kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala
Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya
dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa
tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke
”Pintou Rayeuk” (pintu besar).
Menurut silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh
Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam
Jeumpa dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia (India Belakang ?)
yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan
Puteri Mayang Seulodong dan memiliki beberapa anak, antara lain Syahri
Poli, Syahri Tanti, Syahri Nuwi, Syahri Dito dan Makhdum Tansyuri yang
menjadi ibu daripada Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak yang berdiri
pada tahun 805 Masehi. Menurut penelitian Sayed Dahlan al-Habsyi, Syahri
adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di
Nusantara sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief,
Sunan, Teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina
Husein bin Ali, Puteri Syahribanun, anak Maha Raja Parsia terakhir yang
ditaklukkan Islam.
Sampai saat ini, penulis belum menemukan silsilah keturunan Pengeran
Salman ke atas, apakah beliau termasuk dari keturunan Nabi Muhammad saw
atau keturunan raja-raja Parsia. Karena di silsilah yang dikeluarkan
Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sulu tidak disebutkan. Namun menurut
pengamatan pakar sejarah Aceh, Sayed Hahlan al-Habsyi, beliau adalah
termasuk keturunan Sayyidina Husein ra. Karena (i) beliau memberikan
gelar Syahri kepada anak-anaknya, yang jelas menunjuk kepada moyangnya
(ii) beliau mengawinkan anak perempuannya dengan cucu Imam Ja’far Sadiq,
yang menjadi tradisi para Sayid sampai saat ini (iii) anak beliau,
Syahri Nuwi adalah patron dari rombongan Nakhoda Khalifah, bahkan ada
yang menganggap kedatangan rombongan ini atas permintaan Syahri Nuwi
untuk mengembangkan kekuatan Ahlul Bayt atau keturunan Nabi saw di
Nusantara setelah mendapat pukulan di Arab dan Parsia. Itulah sebabnya,
hubungan Syahri Nuwi dengan rombongan Nakhoda Khalifah yang bermazhab
Syi’ah sangat dekat dan menganggap mereka sebagai bagian keluarga.
Yang perlu dicermati, kenapa Pangeran Salman al-Parsi memilih kota kecil
di wilayah Jeumpa sebagai tempat mukimnya, dan tidak memilih kota
metropolitan seperti Barus, Fansur, Lamuri dan sekitarnya yang sudah
berkembang pesat dan menjadi persinggahan para pedagang manca negara?
Ada beberapa kemungkinan, (i) beliau diterima dengan baik oleh
masyarakat Jeumpa dan memutuskan tinggal di sana, (ii) beliau merasa
nyaman dan sesuai dengan penguasa (meurah), (iii) keinginan untuk
mengembangkan wilayah ini setingkat Barus, Lamuri dan lainnya dan (iv)
menghindar dari pandangan penguasa.
Alasan terakhir ini, mungkin dapat diterima sebagai alasan utama.
Mengingat Pangeran Salman adalah salah seorang pelarian politik dari
Parsia yang tengah bergejolak akibat peperangan antara Keturunan Nabi
saw yang didukung pengikut Syiah dengan Penguasa Bani Abbasiah masa itu
(tahun 150an Hijriah). Beliau bersama para pengikut setianya memilih
ujung utara pulau Sumatera sebagai tujuan karena memang daerah sudah
terkenal dan sudah terdapat banyak pemeluk Islam yang mendiami
perkampungan-perkampungan Arab atau Persia. Kemungkinan Jeumpa adalah
salah satu pemukiman baru tersebut. Untuk menghindari pengejaran itulah,
beliau memilih daerah pinggiriran agar tidak terlalu menyolok. Itulah
sebabnya, Pangeran Salman juga dikenal dengan nama-nama lainnya, seperti
Meurah Jeumpa, atau ada yang mengatakan beliau sebagai Abdullah.
Di bawah pemerintahan Pangeran Salman, Kerajaan Islam Jeumpa berkembang
pesat menjadi sebuah kota baru yang memiliki hubungan luas dengan
Kerajaan-Kerajaan besar lainnya. Potensi, karakter, pengetahuan dan
pengalaman Pangeran Salman sebagai seorang bangsawan calon pemimpin di
Kerajaan maju dan besar seperti Persia yang telah mendapat pendidikan
khusus sebagaimana lazimnya Pangeran Islam, tentu telah mendorong
pertumbuhan Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat pemerintahan dan
perdagangan yang berpengaruh di sekitar pesisir utara pulau Sumatra.
Jeumpa sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara memperluas hubungan
diplomatik dan perdagangannya dengan Kerajaan-Kerajaan lainnya, baik di
sekitar Pulau Sumatera atau negeri-negeri lainnya, terutama Arab dan
Cina. Banyak tempat di sekitar Jeumpa berasal dari bahasa Parsi, yang
paling jelas adalah Bireuen, yang artinya kemenangan, sama dengan makna
Jayakarta, asal nama Jakarta yang didirikan Fatahillah, yang dalam
bahasa Arab semakna, Fath mubin, kemenangan yang nyata.
Untuk mengembangkan Kerajaannya, Pangeran Salman telah mengangkat
anak-anaknya menjadi Meurah-Meurah baru. Ke wilayah barat, berhampiran
dengan Barus-Fansur-Lamuri yang sudah berkembang terlebih dahulu, beliau
mengangkat anaknya, Syahri Poli menjadi Meurah mendirikan Kerajaan Poli
yang selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Pidie. Ke sebelah timur,
beliau mengangkat anaknya Syahr Nawi sebagai Meurah di sebuah kota baru
bernama Perlak pada tahun 804. Namun dalam perkembangannya, Kerajaan
Perlak tumbuh pesat menjadi kota pelabuhan baru terutama setelah
kedatangan rombongan keturunan Nabi yang dipimpin Nakhoda Khalifah
berjumlah 100 orang. Syahr Nuwi mengawinkan adiknya Makhdum Tansyuri
dengan salah seorang tokoh rombongan tersebut bernama Ali bin Muhammad
bin Jafar Sadik, cicit kepada Nabi Muhammad saw. Dari perkawinan ini
lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H
atau tahun 840 M dilantik menjadi Raja dari Kerajaan Islam Perlak
dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Melalui
jalur perkawinan ini, hubungan erat terbina antara Kerajaan Islam Jeumpa
dengan Kerajaan Islam Perlak. Karena wilayahnya yang strategis Kerajaan
Islam Perlak akhirnya berkembang menjadi sebuah Kerajaan yang maju
menggantikan peran dari Kerajaan Islam Jeumpa.
Setelah tampilnya Kerajaan Islam Perlak sebagai pusat pertumbuhan
perdagangan dan kota pelabuhan yang baru, peran Kerajaan Islam Jeumpa
menjadi kurang menonjol. Namun demikian, Kerajaan ini tetap eksis, yang
mungkin berubah fungsi sebagai sebuah kota pendidikan bagi kader-kader
ulama dan pendakwah Islam. Karena diketahui bahwa Puteri Jeumpa yang
menjadi ibunda Raden Fatah adalah keponakan dari Sunan Ampel. Berarti
Raja Jeumpa masa itu bersaudara dengan Sunan Ampel. Sementara Sunan
Ampel adalah keponakan dari Maulana Malik Ibrahim, yang artinya kakek,
mungkin kakek saudara dari Puteri Jeumpa. Maka dari hubungan ini dapat
dibuat sebuah kesimpulan bahwa, para wali memiliki hubungan dengan
Kerajaan Jeumpa yang boleh jadi Jeumpa masa itu menjadi pusat pendidikan
bagi para ulama dan pendakwah Islam Nusantara. Namun belum ditemukan
data tentang masalah ini.
Setelah berdirinya beberapa Kerajaan Islam baru sebagai pusat Islamisasi
Nusantara seperti Kerajaan Islam Perlak (840an) dan Kerajaan Islam
Pasai (1200an), Kerajaan Islam Jeumpa yang menjalin kerjasama diplomatik
tetap memiliki peran besar dalam Islamisasi Nusantara, khususnya dalam
penaklukkan beberapa kerajaan besar Jawa-Hindu seperti Majapahit
misalnya. Di kisahkan bahwa Raja terakhir Majapahit, Brawijaya V
memiliki seorang istri yang berasal dari Jeumpa (Champa), yang menurut
pendapat Raffless berada di wilayah Aceh dan bukan di Kamboja
sebagaimana difahami selama ini. Puteri cantik jelita yang terkenal
dengan nama Puteri Jeumpa (Puteri Champa) ini adalah anak dari salah
seorang Raja Muslim Jeumpa yang juga keponakan dari pemimpin para Wali
di Jawa, Sunan Ampel dan Maulana Malik Ibrahim. Mereka adalah para Wali
keturunan Nabi Muhammad yang dilahirkan, dibesarkan dan dididik di
wilayah Aceh, baik Jeumpa, Perlak, Pasai, Kedah, Pattani dan sekitarnya.
Dan merekalah konseptor penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dengan
gerakannya yang terkenal dengan sebutan Wali Songo atau Wali Sembilan.
Perkawinan Puteri Muslim Jeumpa Aceh dengan Raja terakhir Majapahit
melahirkan Raden Fatah, yang dididik dan dibesarkan oleh para Wali, yang
selanjutnya dinobatkan sebagai Sultan pada Kerajaan Islam Demak, yang
ketahui sebagai Kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Kehadiran Kerajaan
Islam Demak inilah yang telah mengakhiri riwayat kegemilangan Kerajaan
Jawa-Hindu Majapahit.
Sejarah ini dapat diartikan sebagai keberhasilan strategi Kerajaan Islam
Jeumpa Aceh yang kala itu sudah berafiliasi dengan Kerajaan Islam Pasai
yang telah menggantikan peranan Kerajaan Islam Perlak dalam menaklukkan
dan mengalahkan sebuah kerajaan besar Jawa-Hindu Majapahit dan
mengakhiri sejarahnya dan menjadikan pulau Jawa sebagai wilayah
kekuasaan Islam di bawah Kerajaan Islam Demak yang dipimpin oleh Raden
Fatah, yang ibunya berasal dari Kerajaan Jeumpa di Aceh. Jadi dapat
dikatakan bahwa, Kerajaan Jeumpa Acehlah yang telah mengalahkan dominasi
Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dengan strategi penaklukan lewat
perkawinan yang dilakukan oleh para Wali Sembilan, yang memiliki garis
hubungan dengan Jeumpa, Perlak, Pasai ataupun Kerajaan Aceh Darussalam.
Setelah Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi tumbuh
dan berkembang, maka pusat aktivitas Islamisasi nusantarapun berpindah
ke wilayah ini. Dapat dikatakan bahwa Kerajaan Islam Perlak adalah
kelanjutan atau pengembangan daripada Kerajaan Islam Jeumpa yang sudah
mulai menurun peranannya. Namun secara diplomatik kedua Kerajaan ini
merupakan sebuah keluarga yang terikat dengan aturan Islam yang
mengutamakan persaudaraan. Apalagi para Sultan adalah keturunan dari
Nabi Muhammad yang senantiasa mengutamakan kepentingan agama Islam di
atas segala kepentingan duniawi dan diri mereka. Bahkan dalam
silsilahnya, Sultan Perlak yang ke V berasal dari keturunan Kerajaan
Islam Jeumpa.
i Masalah Islamisasi Nusantara, lihat misalnya : S.M.N. Al-Attas,
“Prelimenary Statement on A General Theory of the Islamization”, dalam
Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago, Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1969,. Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke
Indonesia di Medan, Medan: Panitia Seminar, 1963. T.D. Situmorang dan A.
Teeuw, Sejarah Melayu, Jakarta: Balai Pustaka, 1958, hlm. 65-66. T.
Ibrahim Alfian (ed). Kronika Pasai, Yogjakarta: Gajah Mada University
Press, 1973, hlm. 100. Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Medan:
Waspada, 1981. Teuku Iskandar, De Hikayat Atjeh, (S-gravenhage: NV. De
Nederlanshe Boek-en Steendrukkerij V. H.L. Smits, 1959). Husein
Djajaningrat, Kesultanan Aceh: Suatu Pembahasan Tentang Sejarah
Kesultanan Aceh Berdasarkan Bahan-bahan Yang Terdapat Dalam Karya
Melayu, Teuku Hamid (terj.) (Banda Aceh: Depdikbud DI Aceh. 1983). Siti
Hawa Saleh (edt), Bustanus as-Salatin, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 1992). Denys Lombard, Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda
1607-1636, (terj), (Jakarta: Balai Pustaka,1992). C. Snouck Hurgronje,
Een- Mekkaansh Gezantscap Naar Atjeh in 1683”, BKI 65, (1991). Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 196. A. Hasymi, 59 Aceh Merdeka
Dibawah Pemerintah Ratu (Jakarta: Bulan Bintang, 1997).
ii Azra, op.cit. hal. 28
iii Al-Attas, op.cit. hal. 54-55
iv Azra, op.cit. hal.30
v Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia; Bandung; Mizan; 1995; hal. 81.
vi Op.cit, hal. 92-93
vii A. Hasymi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia:
Kumpulan prasaran pada seminar di Aceh, Bandung:al-Ma’arif, 1993, cet.
3, , hal. 7; . lihat juga A. Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam di
Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1990. hal.146.
viii N.J. Krom, Zaman Hindu, terjemahan Arief Effendi, Jakarta:
Pembangunan, 1956, hal. 10-12. (Nicholaas Johannes Krom, “De Naam
Sumatra”, Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde, deel 100,
1941). William Marsden, The History of Sumatra, Oxford University Press,
Kuala Lumpur, cetak ulang 1975. D.G.E. Hall, A History of South East
Asia, London: Macmillan & Co. Ltd., 1960, hlm. 1-5. D.H. Burger dan
Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1960, hlm. 15.
ix D.H.Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15.)
x M.A.P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the
Indonesia Archipelago. The Hague: Martinus Nijhoff, 1962, hlm. 345
(catatan 122)
xi Peter Bellwood, Man’s Conquest of the Pacific. The Prehistory of
Southeast Asia and Oceania, New York: Oxford University Press. 1979.
Peter Bellwood, Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago, Orlando,
Florida: Academic Press. 1985.
xii Tibbetts; Pre Islamic Arabia and South East Asia, JMBRAS, 19 pt. 3,
1956, hal. 207. Dr. Ismail Hamid “Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak
Islam” .Jakarta: Pustaka Al-Husna cet. 1, 1989, hal. 11).
xiii Prof. Dr. HAMKA, Dari Perbendaharaan Lama; Jakrta: Pustaka Panjimas; cet.III; 1996; Hal. 4-5.
xiv Lihat: W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia & Malaya
Compiled from Chinese Source, Jakarta: Bharata, 1960. B. Schrieke,
Indonesian Sociological Studies, Part Two, The Hauge-Bandung: W. Van
Hoeve Ltd, 1957, .Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan, terjemahan dan edisi
J.V.G. Mills, Hakluyt Society, 1970,
xv F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese
and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal.
159.
xvi Lihat: artikel “Kafur”, A. Dietrich, Ensiklopedia Islam (E.I) 2 hal: 435-436.
xvii W. Heyd, Histoire du commerce du Levant [Sejarah Pergadangan di
Kawasan Syria-Libanon], edisi Prancis yang disusun kembali oleh Furcy
Raynand, Amsterdam: Adolf M, Hakkert, 1967, tambahan I, hal 590).
xviii Ibn Baytar, Traite des Simples par Ibn el-Beithar. Terj. Dr. L. Leclerc, 3 jil. –Paris: 1881-1887.
xix G. Celentano, L.V. Vaglieri, “Trois Epitres d’al-Kindi: textes et
traduction avec XIX plaches facsimile des trois epitres”, dalam Annali
dell Istituto universitario Orientale di Nipoli, jil 34, buku 3 (1974)
hal 523-562.
xx Tibbetts, Arabic Texts, hal. 27-28.
xxi Wolters, Early Indonesian Commerce, hal. 178)
xxii Tibbetts, Arabic Texts, hal. 30
xxiii Ibid, hal. 37-38
xxiv Ibid, hal. 44-45
xxv K. A. Nilakanta Sastri, History of Srivijaya (Madras: University of Madras, 1949), hal. 80, 81.
xxvi Almut Netolitzky, Das Ling-wai Tai-ta von Chou-chu-fei,( Weisbaden: Heiner Verlag, 1977), hal. 40-41)
xxvii Friedrich Hirth and W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the
Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, Entitled
Chu-fan-chi (St. Petersburg: Imperial Academy of Sciences, 1911), hal.
72).
xxviii Ibid, hal.114
xxix Henry Yule and Henri Cordier, The Book of Ser Marco Polo, 2 vols. (Reprint, Amsterdam: Philo Press, 1975), 2:299)
xxx Ibid, hal. 300
xxxi ibid
xxxii Th. C. Th. Pigeaud, Jam in the Fourteenth Century, 5 vols. (The Hague: Nyhoff, I960), 1:11
xxxiii Mills, Ma Huan, hal 122-123.
xxxiv Ibid, hal. 123-124
xxxv ibid
xxxvi T. Iskandar, Hikayat Atjeh, op.cit. hal. 17
xxxvii Friedrich Hirth and W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the
Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, Entitled
Chu-fan-chi (St. Petersburg: Imperial Academy of Sciences, 1911), hal.
72). W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia & Malaya
Compiled from Chinese Source, Jakarta: Bharata, 1960, hlm. 280.
xxxviii N.J. Krom, Zaman Hindu, terjemahan Arief Effendi, Jakarta:
Pembangunan, 1956, hal. 10-12. D.G.E. Hall, A History of South East
Asia, London: Macmillan & Co. Ltd., 1960, hlm. 1-5. D.H. Burger dan
Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1960, hlm. 15.
xxxix Lebih terinci lihat misalnya : Dr. Subhi Shaleh, Mabahits fi ‘ulum
al-Qur’an, Beirut : Dar Ilm li al-Maliyin, tt. Syaikh Muhammad Ali
al-Shabuni, al-Tibyan fi ‘ulum al-Qur’an, Damsyik : Maktabah al-Ghazaly,
Thabaah Tsalist, 1981. Dr. M. Ali al-Hasan, al-Manar fi ‘ulum
al-Qur’an, Amman : Matbaah al-Syuruq, 1983. Dr. Shabir Thayyimah, Hazha
al-Qur’an, Bairut : Dar al-Jiil, 1989. Syaikh Muhammad Rasyid Ridho,
al-wahy al-Muhammady, Bairut : Dar al-Fiqr, 1968.
xl Karel Steenbrink, Pondok Pesantren, Jakarta: LP3ES,
xli Sir Thomas Stamford Raffles, The History of Java, from the earliest
Traditions till the establisment of Mahomedanism. Published by John
Murray, Albemarle-Street. 1830. Vol II, 2nd Ed, Chap X, hal. 74. 122
xlii JJ. Meinsma,. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi ing Tahun 1647. S’Gravenhage, 1903
xliii Lihat :Umar Hasyim, Riwayat Maulana Malik Ibrahim. Semarang:Menara Kudus. 1980.
xliv (Lihat misalnya: D.R. SarDesai,Vietnam, Trials and Tribulations of a
Nation. 1988. ppg 33-34,. David P. Chandler, A History of Cambodia
(Boulder: Westview Press, 1992.) George F. Hourani “Arab Seafaring”
Princeton University Press, New Jersey, 1979. Nicholas Tarling, “The
Cambridge History of Southeast Asia” vol.1 Cambridge University Press,
Cambridge, 1992. Lafont, P. B., “Aperçu sur les relations entre le Campa
et l’Asie du Sud-Est,” Actes du Séminaire sur le Campa organisé à
l’Université de Copenhague, le 23 mai 1978 (Paris: 1988b) hal. 71-82.
Manguin Pierre Yves, “Etudes cam II; l’introduction de l’Islam au
Campa,” Bulletin de l’Ecole Française d’Extrême-Orient, Vol. LXVI (1979)
hal.. 255-287.
xlv Lihat : Tun Suzanna Tun Hj.Othman dkk. Dinast-Dinastii Quraysh (Hasyimy) di Alam Melayu, Johor:tt.
xlvi Lihat : Wan Muhammad Shagir Abdullah, Syekh Muhammad Arifin Syah, Utusan Melayu, 24 Juli 2006
xlvii A.H. Johns, “Islam in Southeast Asia: Reflections and New
Directions”, Indonesia, Cornell Modern Indonesia Project, 1975, no.19
(April). Hal. 8
xlviii TD. Situmorang dan A. Teeuw, Sejarah Melayu, op.cit. hal. 168-173
xlix Lihat :Umar Hasyim, Riwayat Maulana Malik Ibrahim. Semarang:Menara
Kudus. 1980. Al-Murtadho, H. Sayid Husein, dan KH Abdullah Zaky Al-Kaaf,
Drs. Maman Abd. Djaliel, 1999. Keteladanan Dan Perjuangan Wali Songo
Dalam Menyiarkan Islam Di Tanah Jawa. CV Pustaka Setia, Bandung.
Nasab-Alwi (Ammu al-Faqih), Situs Asyraaf Malaysia (Situs Persatuan
Alawiyyin Malaysia) Martin van Bruinessen, 1994. Najmuddin al-Kubra,
Jumadil Kubra and Jamaluddin al-Akbar: Traces of Kubrawiyya influence in
early Indonesian Islam, Bijdragen tot de Taal- Land- en Volkenkunde
150. 305-329
l Lihat: Modus, No.15/Th.V/23-29 Juli 2007
li Ibid
lii Wan Huseein Azmi, Islam di Acheh, Kuala Lumpur: UKM.
liii ibid
liv D.G.E. Hall, A History of South East Asia, London: Macmillan &
Co. Ltd., 1960, hlm. 1-5. D.H. Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis
Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15. Ma Huan,
Ying-yai Sheng-lan, terjemahan dan edisi J.V.G. Mills, Hakluyt Society,
1970, hlm. 120. W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia &
Malaya Compiled from Chinese Source, Jakarta: Bharata, 1960, hlm. 209.
B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, Part Two, The
Hauge-Bandung: W. Van Hoeve Ltd, 1957, hlm. 17.
lv D.H.Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15.
lvi M.A.P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the
Indonesia Archipelago. The Hague: Martinus Nijhoff, 1962, hlm. 345
(catatan 122)
lvii Ibid
Sumber Hilmy Bakar - http://kerajaanatjeh.blogspot.com