Islam Masuk ke Nusantara Saat Rasulullah SAW Masih Hidup
Image via Wikipedia
Islam
masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke
14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebut
juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang
sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari
tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa
perguruan tinggi.
Namun,
tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang orientalis
asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan
Islam?
Orientalis
ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia
mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang
Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di
zamannya.
Menurut
sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad
SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagang
Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai
saat itu.
Mengutip
buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, Pustaka
Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah soal
masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in Archaeology di
Australia National University, telah melakukan banyak penelitian
arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.
Bellwood
menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima
masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur
perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara
dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu
dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera
dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.
Dalam
catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki
beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain
itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin
bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi
pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di
Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini
hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi
diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari
Cina.
Masih
menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar
sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan
kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas.
Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru
didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi
bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa
pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai
catatannya.
Di
Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya. Pangeran
Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan huruf Jawi
kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 sampai
100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan
Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di
Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha
baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa
Kerajaan Sriwijaya.
Temuan G. R Tibbets
Adanya
jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan
Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan
Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang
terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari
wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan
bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara
saat itu.
“Keadaan
ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat
persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina
sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat
itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China.
Sebuah
dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat
tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah
Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah
Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah
pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim
yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.
Di
perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah
melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi
perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di
sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat
pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal
madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah
(masjid).
Temuan
ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat
sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu
kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat
Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah
mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah
Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya
oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di
Amerika.
Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari Nusantara
Dari
berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir
Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur.
Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara
kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman
Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya
mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus
pun masuk dalam wilayah Aceh.
Amat
mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh
kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak
awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria,
Armenia, China, dan sebagainya.
Sebuah
peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur
Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2
Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat
sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan
wewangian dari kapur barus.
Bahkan
dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari
kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat
pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun
sebelum Masehi!
Berdasakan
buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah
awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah
makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya
tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan
bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu.
Sebuah
Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO)
Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada
sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan
multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China,
Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya.
Tim
tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya
sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus
itu sangatlah makmur.
Di
Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang
Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki
kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun
pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang
ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga
berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya
lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau
penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang
memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat
yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai (Rz/eramuslim)
Islam
Masuk ke Nusantara Ketika Rasulullah SAW Masih Hidup (Bag.2,
Tamat) Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam”
(1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh
mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad
ke-7 M.
Setelah
abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut
laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta
Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri
Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. Hirth dan W. W.
Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII
Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159).
Bukti
lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan
kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun
1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah
merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to
Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).
Dari
bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke
Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat
dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun
610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama
tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara
diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama
tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari
Makkah ke seluruh Jazirah Arab.
Menurut
literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah
perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun
sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di
pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam.
Selaras
dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an,
karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman
bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya
dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke
pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1)
Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6)
Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalif Utsman.
Naskah
Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi
semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari
zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan
pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di
Tashkent, Asia Tengah.
Mengingat
bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka
pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan
al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh
di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.
Perjanjian
Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak
Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246
mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah
Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan
sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman
menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa
Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki,
dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William
II (Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1,
1979, hal. 390-391).
Sebab
itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini
berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para
al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an.
Menengok
catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya
tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan
yang berbeda dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu
membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja.
Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan
dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah
populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini
melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi
dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka—para
pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana
nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha
Sriwijaya.
Perjalanan
dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan
kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan
waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2,
5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan.
Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam
seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu
selama 5 hingga 10 tahun.
Jika
ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula
membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi
pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib
r. a.
Kenyataan
inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin
bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di
Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan
menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih
memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai
seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang
jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu
dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri
Syam untuk berniaga.
“Sebab
itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam,
maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan
dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu,” ujar
Mansyur yakin.
Dalam
literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai
orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo
ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir
di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan
bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali
berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke
Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat
kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang
duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).
Catatan-catatan
kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering
menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang
abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang
menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.
Gujarat
Sekadar Tempat SinggahJelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam
pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori
Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para
pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang
berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari
India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam
perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh
sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan
sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera
Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan
Sumatera.
Bukalah
atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari
Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat
strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang
meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India
beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus,
terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan
terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini hingga pusat
Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu
mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa.
Disebabkan
letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah
dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan
India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan
Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan
demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali
disinari cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu,
Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah. (Rz, Tamat/eramuslim)
sumber: http://iwantaufik.blogdetik.com/2010/03/15/tahukah-anda-islam-masuk-ke-nusantara-saat-rasulullah-saw-masih-hidup/
sumber: http://iwantaufik.blogdetik.com/2010/03/15/tahukah-anda-islam-masuk-ke-nusantara-saat-rasulullah-saw-masih-hidup/
No comments:
Post a Comment