BENCANA ALAM MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN
BENCANA MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN
A.
Pendahuluan
Dalam
makalah ini penulis akan membahas tentang pandangan al-Qur’an mengenai bencana,
yang meliputi bentuk-bentuk bencana serta Penyebab dan maksud diturunkannya bencana
tersebut.
Pembahasan
akan dimulai dengan penjelasan secara sepintas mengenai makna bencana, kemudian
barulah masuk ke dalam pembahasan pokok dari makalah ini, seperti term-term
yang dipakai al-Qur’an untuk menunjukkan bencana, bentuk-bentuk bencana,
Penyebab dan maksud diturunkannya bencana. Untuk mendapatkan pemahaman yang
lebih jauh, penulis akan merujuk ke dalam berbagai kitab tafsir seperti Tafsîr
al-Misbah, Tafsîr al-Marâghiy dan Tafsîr ibn Katsîr serta berbagai kitab
tafsir lainnya. Khusus untuk menjelaskan berbagai istilah-istilah penting yang berhubungan dengan ayat al-Qur’an
penulis akan lebih banyak merujuk ke dalam kitab Mufradât Alfâdz al-Qur’ân karya
al-Ashfahâniy.
B.
Bencana dan Pembagiannya
1.
Pengertian
Bencana
Bencana secara etimologis
adalah sesuatu yang menyebabkan dan menimbulkan kesusahan, kerugian,
penderitaan, malapetaka, kecelakaan dan marabahaya, dan dapat juga berarti gangguan, godaan serta tipuan.[1] Kata
bencana selalu identik dengan sesuatu dan situasi negatif yang dalam bahasa
Inggris sepadan dengan kata disaster. Disaster berasal dari
Bahasa Yunani, disatro, dis berarti jelek dan astro yang
berarti peristiwa jatuhnya bintang-bintang ke bumi.
|
Dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana dijelaskan bahwa Bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.[3]
2.
Bentuk-bentuk
Bencana
Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
dijelaskan beberapa macam bencana diantaranya:
a.
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain
berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan
tanah longsor.[4]
Menurut G. Bankoof, bencana alam adalah konsekuensi dari
kombinasi aktivitas alami (suatu peristiwa fisik, seperti letusan gunung, gempa bumi,
tanah longsor)
dan aktivitas manusia.
Karena ketidakberdayaan manusia, akibat kurang baiknya manajemen keadaan
darurat, sehingga menyebabkan kerugian dalam bidang keuangan dan struktural,
bahkan sampai kematian. menurutnya Kerugian yang dihasilkan tergantung pada
kemampuan untuk mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan mereka.[5]
b.
Bencana nonalam, yaitu bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa nonalam yang
antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan
wabah penyakit.
c.
Bencana sosial adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh
manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat,
dan teror.[6]
3.
Bencana Menurut Perspektif al-Qur’an
a. Term-term yang Digunakan
al-Qur’an untuk Mengungkapkan bencana
Di dalam
al-Qur’an, terdapat beberapa istilah yang memiliki kaitan erat dengan bencana
ini, di antaranya adalah mushîbah, balâ’, ’iqab dan fitnah dan
‘adzâb, sayyiât, ba’s, dharra’.
Kata musibah berasal dari bahasa Arab, مصيبة,
yaitu dari kata اصاب - يصيب yang berarti “sesuatu yang menimpa atau mengenai”. Kata
اصاب
ini digunakan untuk yang baik dan yang buruk (وأصاب: جاء في الخير
والشر).[7]
Menurut al-Râghib
al-Asfahâniy, asal makna kata mushîbah (مُصِيْبَةٌ)
adalah lemparan (al-ramiyyah), kemudian penggunaannya lebih dikhususkan
untuk pengertian bahaya atau bencana, seperti yang beliau ungkapkan berikut
ini: والمصيبة أصلها في الرمية، ثم اختصت بالنائبة[8]
. Ibn Manzhur juga
mengartikan mushîbah dengan sesuatu yang menimpa berupa bencana.[9]
Di dalam tafsir Ruh
al-Bayân, Isma’il Haqqiy mendefinisikan mushîbah dengan “apa saja
yang menimpa manusia, berupa sesuatu yang tidak menyenangkan” ({مُّصِيبَةٌ} هي ما يصيب الإنسان من مكروه).[10]
Sedangkan menurut hadîts Nabi, yang dimaksud
dengan mushîbah adalah segala sesuatu yang tidak menyenangkan bagi orang
yang beriman. Sebagaimana pada hadîts berikut:
روى عكرمة أن مصباح
رسول الله صلى الله عليه وسلم انطفأ ذات ليلة فقال : " إنا لله وإنا إليه راجعون" فقيل :
أمصيبة هي يا رسول الله ؟ قال : "نعم كل ما آذى المؤمن فهو مصيبة".[11]
Artinya:
“Ikrimah meriwayatkan bahwa pada suatu malam lampu
Rasul Allah Saw pernah mati, lalu beliau membaca: إِنَّا
لِلَّهِ وَإِنَّا إلَيْهِ رَاجِعُوْنَ
(Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nyalah kami
kembali). Para sahabat bertanya: “Apakah ini
termasuk musibah hai Rasulullah?” beliau menjawab, “Ya, apa saja yang menyakiti
orang mukmin disebut musibah.”
Al-Qur'an
menggunakan kata mushîbah untuk sesuatu sesuatu yang tidak menyenangkan
yang menimpa manusia. Di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa musibah merupakan
sesatu yang menimpa karena ulah manusia dan atas izin Allah. Ini seperti
ditegaskan oleh firman Allah:
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ
أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيْرٍ. [الشورى، 42: 30]
Artinya:
“Dan apa saja musibah
yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah
memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” [QS. asy-Syura (42):
30]
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ وَمَن يُؤْمِن
بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ. [التغابن، 64: 11]
Artinya:
“Tidak ada suatu
musibah pun yang menimpa seseorang kecuali atas izin Allah, dan barangsiapa
yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS. at-Taghabun (64): 11]
يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِلُ.
[الطارق، 86: 9]
Artinya:
“Pada hari dinampakkan
segala rahasia.” [QS. ath-Thariq (86): 9]
Sesuatu
bencana disebut dengan balâ’, karena dengan bencana tersebut dapat
menampakkan kualitas keimanan seseorang. Atau dengan kata lain balâ’ juga
diartikan dengan ujian[13]
(berasal dari kata bala- yablu) sehingga dengan adanya bencana tersebut dapat
menguji mana yang beriman dan mana yang tidak. Dari beberapa ayat yang menggunakan kata bala’
dalam berbagai bentuknya dapat diperoleh beberapa hakekat berikut:
1)
Balâ’ (ujian) adalah keniscayaan
hidup. Itu dilakukan Allah, tanpa keterlibatan manusia yang diuji dalam
menentukan cara dan bentuk ujian tersebut. Yang menentukan cara, waktu, dan
bentuk ujian adalah Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya:
اَلَّذِي خَلَقَ اْلمَوْتَ وَالحْيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ
أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ العَزِيْزُ الْغَفُوْرُ. [الملك، 67: 2]
Artinya:
“(Dia) Yang
menciptakan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu (melakukan bala’), siapakah
di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.” [QS. al-Mulk (67): 2]
Karena balâ’ adalah keniscayaan
bagi manusia mukallaf, maka tidak seorang pun yang luput darinya.
Semakin tinggi kedudukan seseorang semakin berat pula ujiannya, karena itu
ujian para nabi pun sangat berat. Dikarenakan balâ’ adalah keniscayaan hidup, maka
ada pula balâ’
(ujian) tersebut berupa sesuatu yang menyenangkan. Adapun contoh dari balâ’ (ujian)
yang menyenangkan adalah anugerah yang diberikan Allah kepada Nabi Sulaiman
yang menyadari bahwa fungsi nikmat tersebut adalah sebagai ujian.
هَذَا مِن فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ
وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ
كَرِيمٌ. [النمل، 27: 40]
Artinya:
“Ini termasuk kurnia
Tuhanku untuk menguji aku (melakukan bala’), apakah aku bersyukur atau
mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya
ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya dan barangsiapa yang ingkar, maka
sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” [QS. an-Naml (27): 40]
2)
Anugerah/nikmat yang berupa ujian itu,
tidak dapat dijadikan bukti kasih Allah sebagaimana penderitaan tidak selalu
berarti murka-Nya. Hanya orang-orang yang tidak memahami makna hidup yang
beranggapan demikian. Hal ini antara lain ditegaskan-Nya dalam QS. al-Fajr (89):
15-17:
فَأَمَّا اْلإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلاَهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ
وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ. وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلاَهُ فَقَدَرَ
عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ. كَلاَّ بَل لاَّ تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ.
[الفجر، 89: 15-17]
Artinya:
“Adapun manusia
apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan,
maka ia berkata: “Tuhanku telah memuliakanku.” Adapun bila Tuhannya mengujinya
lalu membatasi rizkinya dia berkata: “Tuhanku menghinakanku.” Sekali-kali tidak
(demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim.” [QS. al-Fajr (89):
15-17]
3)
Balâ’ (ujian) yang menimpa seseorang
dapat merupakan cara Allah mengampuni dosa, mensucikan jiwa, dan meninggikan
derajatnya. Dalam perang Uhud tidak kurang dari tujuh puluh orang sahabat Nabi Muhammad
saw yang gugur. Al-Qur'an dalam konteks ini membantah mereka yang menyatakan
dapat menghindar dari kematian sambil menjelaskan tujuannya:
قُل لَّوْ كُنتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ
الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحَّصَ
مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَاللهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ. [آل عمران، 3: 154]
Artinya:
“Katakanlah: “Sekiranya
kamu berada di rumah kamu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati
terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.” Dan Allah (berbuat
demikian) untuk menguji (melakukan bala’) apa yang ada dalam dadamu dan untuk
membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” [QS.
Ali Imran (3): 154]
Adapun
kata yang satu turunan dengan kata fitnah
dalam al-Qur’an mengandung banyak arti, di antaranya:
1)
Membakar dalam neraka, membakar dalam arti dimasukkan ke dalam
2)
Menyiksa atau siksaan
3)
Kesesatan atau dosa
4)
Gila
5)
Serta Ujian atau cobaan, baik berupa
nikmat maupun kesulitan.[14]
Arti fitnah yang terakhir itulah yang kemudian
akan digunakan untuk memahami makna bencana dalam al-Qur’an.
وَاعْلَمُواْ أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ
وَأَنَّ اللهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ. [الأنفال، 8: 28]
Artinya:
“Dan ketahuilah, bahwa
harta kamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan (fitnah) dan
sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. al- Anfal (8): 28][15]
Bahkan pada
QS. al-Anbiya’: 35 Allah mempersamakan antara kata balâ’ dan fitnah. Allah berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوَكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ
فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ. [الأنبياء، 21: 35]
Artinya:
“Tiap-tiap yang
berjiwa akan merasakan mati. Kami akan
menguji kamu (melakukan bala’) dengan keburukan dan kebaikan sebagai
cobaan/ fitnah (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu
dikembalikan.” [QS. al-Anbiya’ (21): 35]
Ini
berarti bahwa fitnah/cobaan diturunkan Allah sebagai peringatan, dan
tentu saja apabila peringatan tidak juga diindahkan—setelah berkali-kali— maka
adalah wajar menjatuhkan tindakan yang lebih keras. Dalam konteks uraian
tentang fitnah, al-Qur'an menggarisbawahi bahwa fitnah tidak hanya
ditimpakan kepada orang-orang kafir/zalim saja, melainkan juga kepada mereka yang taat kepada-Nya:
وَاتَّقُواْ فِتْنَةً لاَّ تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمْ خَآصَّةً
وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ. [الأنفال، 8: 25]
Artinya:
“Dan peliharalah diri kamu
dari pada siksaan (fitnah) yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim
saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksa-Nya.” [QS.
al-Anfal (8): 25]
Ayat di atas menggunakan tiga kata yang kesemuanya
dapat berarti sesuatu yang tidak menyenangkan. Yaitu kata fitnah, tushibanna
yang seakar dengan kata mushîbah, serta ‘iqâb yang terambil dari
kata ‘aqiba yang berarti belakang/kesudahan. Kata ‘iqab digunakan dalam arti kesudahan
yang tidak menyenangkan/ sanksi pelanggaran. Berbeda dengan ‘aqibah/
akibat yang berarti dampak baik atau buruk dari satu perbuatan. Dan
dari ayat di atas dapat difahami bahwa fitnah dapat menimpa orang yang
tidak bersalah.[16]
Beberapa
kesimpulan yang dapat dipetik dari ayat-ayat di atas, antara lain adalah bahwa musibah
terjadi atau menimpa manusia akibat kesalahan manusia sendiri, bala’
merupakan keniscayaan dan dijatuhkan Allah SWT, walau tanpa kesalahan manusia.
Adapun fitnah, maka ia adalah bencana yang dijatuhkan Allah dan dapat
menimpa yang bersalah dan tidak bersalah.
Di samping tiga istilah kunci di atas penulis juga
akan menelusuri ayat-ayat yang mengungkap bencana ini lewat kata-kata yang
berhubungan langsung bencana tersebut seperti سيل، طوفان، رجفة، صاعقة (banjir, topan, gempa, petir).
b. Bentuk-bentuk Bencana yang
Terdapat al-Qur’an
Di dalam al-Qur’an telah
diisyaratkan berbagai bencana yang pernah terjadi, di antaranya adalah bencana
alam, bencana non alam serta bencana kemanusiaan.
Di antara bencana
alam yang pernah dijelaskan al-Qur’an adalah banjir, topan, gempa dan petir dan hujan batu.
1) Banjir dan topan
Di dalam al-Qur’an
istilah banjir disebutkan dengan istilah al-sail. Menurut al-Ashfahâniy,
kata al-Sail secara bahasa merupakan mashdar dari kata سال
yang penggunaannya digunakan untuk menunjukkan air yang melanda manusia, yang
–air tersebut bukan- dari hujan ([17]سال... والسيل
أصله مصدر، وجعل اسما للماء الذي يأتيك ولم يصبك مطره), dan bentuk jamak
dari kata al-sail adalah al-suyûl.[18]
Selain
itu istilah banjir juga digunakan dengan istilah طوفان dan طغى
الماء . Kata thûfân
adalah segala peristiwa atau kejadian yang meliputi/mengepung. Maka banjir
juga disebut dengan thûfân karena air yang datang waktu itu memang
mengepung manusia. Ini penulis simpulkan dari Mufradat Alfadz al-Qur’an, seperti
pada kutipan berikut ini:
“والطوفان:
كل حادثة تحيط بالإنسان، وعلى ذلك قوله: {فأرسلنا عليهم الطوفان} [الأعراف/133]،
وصار متعارفا في الماء المتناهي في الكثرة لأجل أن الحادثة التي نالت قوم نوح كانت
ماء[19]
Sedangkan طغى الماء
/air yang melampaui batas juga dapat diartikan dengan banjir. Pada Kata tagha
berarti melampaui batas di dalam kemaksiatan (تجاوز
الحد في العصيان). Istilah tagha
ini tidak hanya dikhususkan kepada manusia, melainkan juga air. Maka banjir
dapat juga disebut sebagai air yang melampaui batas kewajaran. Ini penulis
fahami dari kutipan berikut ini:
…أن الطغيان لا يخلص الإنسان، فقد كان قوم نوح أطغى منهم فأهلكوا.
وقوله: {إنا لما طغى الماء} [الحاقة/11]، فاستعير الطغيان فيه لتجاوز الماء الحد،
وقوله: {فأهلكوا بالطاغية} [الحاقة/5]، فإشارة إلى الطوفان المعبر عنه بقوله: {إنا
لما طغى الماء} [الحاقة/11][20]
“… tughyân tidak terbatas dilakukan oleh
manusia, dan sungguh kaum Nuh mereka
ditimpa oleh sesuatu yang berlebihan, yang menyebabkan mereka hancur, seperti
firman Allah {إنا
لما طغى الماء} [الحاقة/11], dan kata tughyan dipakai untuk air yang
melampaui batas, seperti pada ayat {فأهلكوا بالطاغية} [الحاقة/5], maksudnya
adalah thûfân. Seperti pada ayat: {إنا لما طغى الماء} [الحاقة/11]
Di dalam
al-Qur’an terdapat beberapa kisah yang erat kaitannya dengan banjir ini. Di antaranya
adalah banjir yang terjadi pada masa Nabi Nuh, Umat Nabi Musa dan bangsa Saba’
1)
Banjir
Zaman nabi Nuh
Peristiwa Banjir
yang menimpa umat nabi Nuh digambarkan oleh ayat berikut:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ
فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلَّا خَمْسِينَ عَامًا فَأَخَذَهُمُ الطُّوفَانُ
وَهُمْ ظَالِمُونَ
Artinya:
Dan
Sesungguhnya kami Telah mengutus Nuh kepada kaumnya, Maka ia tinggal di antara
mereka seribu tahun kurang lima
puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang
yang zalim. 29: 14
Umat nabi Nuh
ditimpa oleh banjir yang sangat dahsyat, sehingga digambarkan di dalam surat (QS. Hud: 42) bahwa
gelombang pada waktu itu menyerupai sebuah gunung.[21]
Demikianlah gambaran betapa dahsyatnya banjir yang terjadi di waktu itu.
Adapun penyebab
dari banjir ini, dijelaskan oleh ujung ayat, bahwa semua itu terjadi akibat
kezaliman dari umat nabi Nuh itu sendiri. Secara hukum alamnya, air tersebut
berasal dari dua arah yaitu air yang berasal dari air hujan serta air yang
berasal dari lautan/bumi. Karena itu ketika
peristiwa banjir itu akan selesai Allah berfirman:
وَقِيلَ يَاأَرْضُ ابْلَعِي مَاءَكِ وَيَا
سَمَاءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاءُ وَقُضِيَ الْأَمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى
الْجُودِيِّ وَقِيلَ بُعْدًا لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Dan
difirmankan: "Hai bumi telanlah airmu, dan Hai langit (hujan)
berhentilah," dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan[720] dan
bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi[721], dan dikatakan: "Binasalah
orang-orang yang zalim ." (QS. Hud: 44)
Peristiwa banjir
yang menimpa umat nabi Nuh ini dipahami oleh Quraish Shihab dengan bencana
Tsunami, seperti bencana yang menimpa bangsa Indonesia belakangan ini. Beliau
berdalil dengan QS. Hud: 40
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَمْرُنَا وَفَارَ
التَّنُّورُ قُلْنَا احْمِلْ فِيهَا مِنْ كُلٍّ زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ وَأَهْلَكَ
إِلَّا مَنْ سَبَقَ عَلَيْهِ الْقَوْلُ وَمَنْ ءَامَنَ وَمَا ءَامَنَ مَعَهُ
إِلَّا قَلِيلٌ
“Hingga apabila
perintah kami datang dan periuk telah mendidih,[22] kami berfirman:
"Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang
(jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang Telah terdahulu
ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman." dan
tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit.”
Kata فَارَ التَّنُّورُ
/””periuk mendidih” dipahami sebagai bumi yang
bergoncang (gempa terjadi serupa dengan periuk yang menggelegar karena
mendidihnya air). Menurut Quraish Shihab ini menggambarkan bahwa banjir yang
melanda umat Nabi Nuh didahului oleh peristiwa gempa bumi.[23]
Sehingga tepat dikatakan bahwa tersebut adalah rangkaian peristiwa
tsunami.
Bagi umat nabi
Nuh yang taat, tatkala air tersebut telah mencapai puncaknya, Allah
menyelamatkan mereka dengan menyuruh mereka naik ke bahtera yang telah dibuat Nabi
Nuh sebelumnya (QS. Al-Haqqah: 11-12)
2)
Banjir
Zaman Nabi Musa
Bencana
banjir yang menimpa umat yang hidup di zaman nabi Musa/pendukung
Fir’aun adalah seperti yang terdapat di dalam ayat berikut:
فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمُ الطُّوفَانَ
وَالْجَرَادَ وَالْقُمَّلَ وَالضَّفَادِعَ وَالدَّمَ ءَايَاتٍ مُفَصَّلَاتٍ
فَاسْتَكْبَرُوا وَكَانُوا قَوْمًا مُجْرِمِينَ
Artinya
“Maka kami
kirimkan kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak dan darah sebagai bukti
yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang
berdosa.”(QS: al-A’raf: 133)
Menurut
al-Marâghi, sebagai tanda kenabian bagi nabi Musa terhadap
umatnya yang tidak patuh, maka Allah mengirimkan kepada mereka 5 buah
bencana, yang salah satunya adalah thûfân. Thûfân menurut beliau
adalah banjir yang sangat dahsyat yang terjadi karena hujan yang sangat
lebat dan menenggelamkan negri mereka.
Hujan tersebut juga disertai dengan cuaca yang sangat dingin.[24] Bahkan Quraish Shihab
menjelaskan bahwa banjir ketika itu juga
disertai dengan kilatan guntur
dan api, sehingga gambaran bencana di waktu itu betul-betul sangat dahsyat.
Selain
dari banjir di dalam ayat ini juga dijelaskan jenis bencana lain yang menimpa
mereka yaitu berupa wabah belalang, katak dan penyakit. Sehingga pengikut
Fir’aun betul-betul merasakan iqab yang sangat berat dan akhirnya mereka
memohon kepada Nabi Musa untuk didoa’kan agar mereka diampuni oleh Allah (QS.
al-‘A’raf: 134-135). Dan di antara dosa yang pernah dilakukan umat Nabi Musa
ini adalah karena telah mempersekutukan Allah, tidak mensyukuri nikmat serta
menganggap Nabi Musa sebagai orang yang membawa sial (QS. al-‘A’raf: 131).
3)
Banjir
pada masa Saba’
Kerajaan Saba’
merupakan suatu kerajaan yang hidup di bawah pimpinan ratu Saba’,
yang hidup di daerah Yaman Selatan. Kerajaan ini berkuasa pada abad VIII SM,
yang wilayah kekuasaannya meliputi Ethiopia dan salah satu negri yang
cukup terkenal ketika itu yaitu Ma’rib dengan kandungan yang sangat besar. Pada
awalnya kerajaan ini adalah sebuah kerajaan yang dianugrahi nikmat yang
berlimpah, berupa kebun-kebun yang subur.[25]
Adapun yang
menjadi perintah Allah bagi kaum ini yaitu supaya mereka memakan dari rezki yang halal serta dituntut untuk
mensyukuri nikmat Allah (QS. Saba’: 15). Namun justru kaum ini berpaling,
sehingga Allah menghukum mereka dengan banjir yang menghancurkan seluruh ladang
mereka, seperti yang dijelaskan ayat berikut:
فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ
سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ وَبَدَّلْنَاهُمْ
بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِنْ
سِدْرٍ قَلِيلٍ
Artinya:
Tetapi
mereka berpaling, Maka kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan kami
ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang
berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. (QS.Saba’: 34: 16)
Di dalam ayat ini
dijelaskan bahwa bencana yang ditimpakan Allah adalah sail al-‘arim. Sail
berarti banjir dan kata ‘arim terdapat beberapa perbedaan penafsiran di antaranya:
a. kata ini terambil dari kata ‘aramah (keras atau besar), b. ‘arim
dianggap sebagai nama dari banjir tersebut, dan. c. ‘arim bermakna tempat
yang dibangun untuk menampung air/bendungan.[26]
Meski terdapat
perbedaan pemahaman mengenai kata ‘arim ini, namun ketiga makna ini
menunjukkan jika banjir yang menimpa kerajaan Saba’
adalah banjir yang sangat dahsyat.
Adapun alasan
kenapa Allah menurunkan banjir ini berdasarkan ayat berikutnya dari Surat Saba’
ini adalah karena akibat dari kekafiran manusia. (QS. Saba’:17)
2) Gempa
Di dalam al-Qur’an
gempa disebut dengan istilah rajfah. Kata rajfah atau rajf
adalah bahasa Arab yang artinya الاضطراب الشديد (goncangan yang sangat
dahsyat). Kata rajfah ini dipakai untuk berbagai goncangan baik di darat
maupun di laut seperti pada perkataan, “رجفت الأرض ورجف البحر” (bumi dan berguncang, dan laut berguncang).[27]
Di dalam al-Qur’an penggunaan kata rajfah ini ada yang menunjukkan makna
gempa, dan adapula yang bermakna goncangan dahsyat yang ada kaitannya dengan
huru-hara kiamat. Di antara peristiwa gempa yang pernah diabadikan oleh
al-Qur’an adalah gempa yang pernah menimpa umat Nabi Shaleh (Tsamud[28])
dan umat Nabi Syu’aib (Madyan) serta umat Nabi Musa. Adapun gempa yang menimpa
umat Nabi Shaleh adalah seperti yang terdapat di dalam ayat:
فَعَقَرُوا النَّاقَةَ وَعَتَوْا عَنْ
أَمْرِ رَبِّهِمْ وَقَالُوا يَاصَالِحُ ائْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ
الْمُرْسَلِينَ(77)فَأَخَذَتْهُمُ الرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا فِي دَارِهِمْ
جَاثِمِينَ
Artinya:
Kemudian
mereka sembelih onta betina itu, dan mereka berlaku angkuh terhadap perintah
Tuhan. dan mereka berkata: "Hai Shaleh, datangkanlah apa yang kamu
ancamkan itu kepada kami, jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang diutus
(Allah)". Karena itu mereka ditimpa gempa, Maka jadilah mereka mayat-mayat
yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka. (al-A’raf: 77-78)
Kepada Kaum Tsamud
Allah telah mengutus seorang rasul yang bernama Shaleh. Ia diutus untuk memberi
peringatan kepada umatnya yang berlaku sombong dan cenderung mengabaikan
perintah Allah (Qs. Al-Dzariyat: 44).
Namun kedatangan Shaleh sebagai pembawa peringatan justru tidak membawa
arti apa-apa, karena mereka tetap saja engkar, bahkan mereka menghina Shaleh
dan menganggapnya sebagai seorang kadzdzab (pembohong) dan atsir
(sombong).[29]
Ketika keengkaran mereka semakin menjadi-jadi maka Allah menguji mereka dengan seekor nâqah/onta.
Di mana antara mereka dan onta tersebut telah di atur pembagian jatah air
minum, serta mereka dilarang untuk membunuh onta tersebut, karena dengan
membunuh onta tersebut akan dapat mendatangkan azab Allah.[30]
Tetapi larangan ini tidak mereka acuhkan, bahkan mereka menantang Nabi Allah
untuk mendatangkan azab yang telah diancamkan kepada mereka, sehingga akhirnya
Allah mengazabnya dengan gempa yang sangat dahsyat, sedangkan di dalam ayat
lain azab tersebut berupa sha’iqah atau shaihah wâhidah (petir).
Menurut Quraish Shihab ini menunjukkan bahwa betapa besarnya petir yang terjadi
waktu itu sehingga ia tidak hanya menggoncangkan hati orang yang mendengarnya
namun juga dapat menggoncang bumi (gempa).[31]
Sedangkan
gempa yang menimpa umat Nabi Syu’aib adalah seperti yang dijelaskan oleh firman
Allah (QS. Al-A’raf:: 91)
فَأَخَذَتْهُمُ الرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا
فِي دَارِهِمْ جَاثِمِينَ
Artinya:
“Kemudian
mereka ditimpa gempa, Maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di
dalam rumah-rumah mereka (al-A’raf: 91)
Adapun penyebab
diturunkannya azab berupa gempa ini adalah karena kedurhakaan mereka terhadap
Agama Allah dan perangai mereka yang
merusak tatanan sosial dengan mengurangi takaran dan timbangan dan gemar
melakukan kerusakan serta berlaku sombong.
(QS.
al-‘A’raf: 85). Peristiwa gempa yang menimpa umat Nabi Syu’aib ini juga ditegaskan pada ayat berikut:
فَكَذَّبُوهُ فَأَخَذَتْهُمُ الرَّجْفَةُ
فَأَصْبَحُوا فِي دَارِهِمْ جَاثِمِينَ
Artinya:
Maka mereka
mendustakan Syu'aib, lalu mereka ditimpa gempa yang dahsyat, dan jadilah mereka
mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat-tempat tinggal mereka. (al-Angkabut:
37)
Di
dalam ayat-ayat di atas dijelaskan bahwa kondisi mereka yang ditimpa gempa
tersebut sungguh sangat memprihatinkan, yaitu digambarkan dengan kata جَاثِمِينَ.
Kata جَاثِمِينَ merupakan bentuk jamak dari جَاثِمِ yang bermakna tertelungkup dengan dadanya
sambil melengkungkan betis sebagaimana halnya kelinci. Ini merupakan gambaran
dari ketiadaan gerak anggota tubuh, atau dengan kata lain ini menggambarkan
kematian.[32] Sedangkan
menurut al-Biqa’iy kata جاثم bermakna kondisi terpaku dengan tidak
bergerak sedikitpun.[33]
Peristiwa gempa tidak
hanya melanda dua umat Nabi di atas, namun juga menimpa umat Nabi Musa,
sebagaimana digambarkan oleh ayat
al-Qur’an berikut ini.
وَاخْتَارَ مُوسَى قَوْمَهُ سَبْعِينَ
رَجُلًا لِمِيقَاتِنَا فَلَمَّا أَخَذَتْهُمُ الرَّجْفَةُ قَالَ رَبِّ لَوْ شِئْتَ
أَهْلَكْتَهُمْ مِنْ قَبْلُ وَإِيَّايَ أَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ السُّفَهَاءُ
مِنَّا إِنْ هِيَ إِلَّا فِتْنَتُكَ تُضِلُّ بِهَا مَنْ تَشَاءُ
وَتَهْدِي مَنْ تَشَاءُيَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ
فَالَّذِينَ ءَامَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ
الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya:
“Dan Musa
memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan Taubat kepada kami)
pada waktu yang Telah kami tentukan. Maka ketika mereka digoncang gempa bumi,
Musa berkata: "Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau
membinasakan mereka dan Aku sebelum ini. apakah Engkau membinasakan kami Karena
perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara Kami? itu hanyalah cobaan dari
Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan
Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah yang
memimpin kami, Maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkaulah
pemberi ampun yang sebaik-baiknya".(al-A’raf: 155)
Di zaman nabi Musa,
selain ditimpa oleh lima
buah bencana, sebagaimana yang dijelaskan pada ayat sebelumnya, mereka juga
pernah ditimpa oleh gempa. Gempa ini tidak hanya menimpa pengikut Fir’aun
tetapi juga pengikut Nabi Musa. Menurut ibn ‘Abbas mereka ditimpa oleh gempa
karena mereka tidak melarang kaumnya untuk menyembah anak sapi.[34]
Pendapat ini juga diperpegangi oleh Muhammad ibn Ka’ab al-Qarzhiy, meskipun beliau
hanya mengungkapkan bahwa umat Nabi Musa ini ditimpa musibah karena mereka
tidak melaksanakan ‘amar ma’rûf.[35]
Dan di dalam ayat ini juga dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang menimpa tersebut
tidak hanya sekedar azab bagi umat yang durhaka, melainkan cobaan bagi manusia
secara umum. Yaitu apakah mereka akan beriman, atau justru sebaliknya, engkar
setelah adanya cobaan tersebut.
3) Angin Badai
Angin di dalam bahasa
Arab disebut dengan الريح. Ini
sebagaimana yang didefenisikan oleh al-Ashfahâniy, menurutnya الريح معروف، وهي
فيما قيل الهواء المتهرك[36] (al-rîh adalah istilah yang
sudah populer, yaitu sebagaimana dikatakan sebagai udara yang bergerak). Kata
al-rîh di dalam al-Qur’an ada yang menunjukkan angin yang membawa
rahmat dan ada pula untuk menunjukkan angin yang membawa bencana. Angin yang membawa bencana di dalam al-Qur’an diungkapkan dengan kata الريح yang
disifati dengan berbagai sifat seperti قاصفا، عاسف، عقيم atau dengan kata azab. Kata ‘ashif pada dasarnya dipakai untuk penyebutan tanaman
yang hancur. Dan angin yang disifati dengan ‘ashif ini berarti angin
tersebut adalah angin yang dapat menghancurkan apa saja yang mengenainya
sebagai mana hancurnya tanaman.[37]
Demikian juga dengan qâshif, kata ini juga berarti sesuatu yang dapat
menghancurkan segala sesuatu yang dilewatinya.[38]
Sedangkan ‘aqîm bermakna gersang.
Seseorang disebut dengan aqîm jika ia tidak bisa memiliki anak.[39]
Bencana angin pernah menimpa umat terdahulu seperti angin yang melanda kaum
‘Ad,[40]
sebagaimana yang terdapat di dalam ayat berikut:
وَأَمَّا عَادٌ فَأُهْلِكُوا بِرِيحٍ
صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍ(6)سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ
أَيَّامٍ حُسُومًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيهَا صَرْعَى كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ
خَاوِيَةٍ
Artinya:
”Adapun kaum ‘Ad maka
mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang,
yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan
hari terus menerus; maka kamu lihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati bergelimpangan
seakan-akan mereka tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk).” (QS. al-Haaqqah:
69: 6-7)
Selain ayat ini, di
dalam QS. Fushshilat: 16 juga memakai istilahرِيحٍ صَرْصَر. Kata صَرْصَر ada yang
memahaminya terambil dari kata al-shirr
dengan meng-kasrah-kan huruf shad, yaitu angin yang sangat dingin
yang menusuk ke tulang-tulang, atau dari kata al-shar dengan men-fatah-kan
huruf shad, yaitu angin yang sangat panas. Adalagi yang memahami bahwa
ia terambil dari kata al-sharrah yaitu bermakna suara yang sangat keras.[41]
jadi angin tersebut, demikian dahsyatnya sehingga mengeluarkan suara gemuruh
yang sangat keras.
Sebelum angin dingin
yang kencang ini melanda kaum ‘Ad mereka menyangka bahwa angin tersebut
merupakan kumpulan awan yang akan membawa hujan buat mereka, namun setelah
sampai, ternyata ia adalah angin yang sangat dingin sebagai azab buat kaum
tersebut, sebagaimana yang terdapat di dalam (QS.Ahqaf: 24).[42]
Hal ini berlanjut selama tujuh malam delapan hari sehingga ini membuat mereka
mati bergelimpangan. Di dalam ayat di atas kondisi mereka diumpamakan seperti
tunggul-tunggul pohon kurma yang telah lapuk bagian dalamnya. Dan di dalam
QS.al-Dzariyat digambarkan kondisi mereka tak obahnya seperti serbuk.
وَفِي عَادٍ إِذْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمُ
الرِّيحَ الْعَقِيمَ(41)مَا تَذَرُ مِنْ شَيْءٍ أَتَتْ عَلَيْهِ إِلَّا جَعَلَتْهُ
كَالرَّمِيمِ
Artinya:
Dan juga pada (kisah) Aad ketika kami kirimkan kepada mereka angin yang
membinasahkan. Angin itu tidak membiarkan satupun yang dilaluinya, melainkan
dijadikannya seperti serbuk. (al-Dzariyat: 41-42)
Adapun tabi’at dari
kaum ‘Ad yang diungkapkan oleh al-Qur’an, sehingga mereka ditimpa oleh angin
dingin ini, adalah karena mereka adalah umat yang menyombongkan diri di atas
bumi (Qs. Ahqaf: 15), sedangkan di dalam Qs. Haqqah: 4 diungkapkan karena
mereka umat yang mengingkari hari kiamat. Sedangkan di dalam Qs. al-A’raf:
65-72 juga diungkapkan kesalahan dari kaum ‘Ad ini, yaitu mereka umat yang
tidak mengindahkan seruan Nabi Allah Hud as, bahkan mereka menganggap nabi Hud
sebagai orang yang kurang akal dan menantang untuk didatangkan azab kepada
mereka.
Di samping bencana
angin badai yang menimpa kaum ‘Ad di dalam al-Qur’an juga dijelaskan bahwa
dengan adanya angin badai yang dingin
ini, Allah juga pernah menghancurkan tentara yang merupakan musuh umat Islam.
Ini merupakan salah satu nikmat Allah kepada tentara Islam waktu itu.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اذْكُرُوا
نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَاءَتْكُمْ جُنُودٌ فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ
رِيحًا وَجُنُودًا لَمْ تَرَوْهَا وَكَانَ اللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ بَصِيرًا
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang Telah dikurniakan)
kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu kami kirimkan kepada
mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. dan adalah
Allah Maha melihat akan apa yang kamu kerjakan.” (QS: al-Ahzab: 9)
Peristiwa ini terjadi
ketika perang Khandak/Ahdzab.[43]
Di mana pada waktu itu tentara Islam yang hanya berjumlah 3.000 orang,
berperang menghadapi kaum Kafir yang berjumlah 12.000 tentara. Adapun bentuk pertolongan Allah
waktu itu, salah satunya adalah lewat angin kencang yang dingin. Angin ini
menyerang dan merusak seluruh perbekalan yang mereka bawa.
Meskipun Umat-umat
terdahulu pernah dihancurkan oleh Allah dengan angin azab, namun hal ini juga
tidak tertutup akan melanda umat-umat yang hidup belakangan, terutama ketika
mereka melakukan pelayaran. Di mana pada waktu itu manusia tidak bisa merasa
aman dari bahaya badai yang dapat menenggelamkan kapal yang mereka tumpangi.
Ini sesuai dengan ayat berikut yang mencela perilaku kaum musyrikîn yang
selalu lupa diri setelah mereka diselamatkan oleh Allah dari berbagai azab,
baik di daratan maupun di lautan:
أَمْ أَمِنْتُمْ أَنْ يُعِيدَكُمْ فِيهِ
تَارَةً أُخْرَى فَيُرْسِلَ عَلَيْكُمْ قَاصِفًا مِنَ الرِّيحِ فَيُغْرِقَكُمْ
بِمَا كَفَرْتُمْفَيُغْرِقَكُمْ بِمَا كَفَرْتُمْ ثُمَّ لَا تَجِدُوا لَكُمْ
عَلَيْنَا بِهِ تَبِيعًا
Artinya:
“Atau apakah
kamu merasa aman dari dikembalikan-Nya kamu ke laut sekali lagi, lalu dia
meniupkan atas kamu angin taupan dan ditenggelamkan-Nya kamu disebabkan
kekafiranmu. dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun dalam hal Ini
terhadap (siksaan) kami.” (QS: al-Isra’: 69)
4) Petir
Di dalam al-Qur’an
petir disebut dengan istilah صاعقة. Kata
صاعقة
dalam bahasa Arab berarti الصوت الشديد من الجو (suara yang sangat dahsyat dari udara).[44]
Di dalam al-Qur’an penggunaan kata صاعقة ini selain bermakna petir/api ada juga yang
berarti kematian, seperti yang terdapat di dalam QS. Al-Zumar: 68.
Di antara peristiwa
petir yang pernah diabadikan oleh al-Qur’an adalah petir yang pernah menimpa bangsa Tsamud, umat Nabi Musa dan Kaum ‘Ad.
Adapun petir yang menimpa kaum Tsamud adalah seperti yang terdapat di dalam
ayat:
وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ
فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى الْهُدَى فَأَخَذَتْهُمْ صَاعِقَةُ الْعَذَابِ
الْهُونِ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Dan adapun
kaum Tsamud, Maka mereka Telah kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai
buta (kesesatan) daripada petunjuk, Maka mereka disambar petir azab yang
menghinakan disebabkan apa yang Telah mereka kerjakan. (QS. Fussilat: 17)
وَفِي ثَمُودَ إِذْ قِيلَ لَهُمْ
تَمَتَّعُوا حَتَّى حِينٍ(43)فَعَتَوْا عَنْ أَمْرِ رَبِّهِمْ فَأَخَذَتْهُمُ
الصَّاعِقَةُ وَهُمْ يَنْظُرُونَ
Dan pada
(kisah) kaum Tsamud ketika dikatakan kepada mereka: "Bersenang-senanglah
kalian sampai suatu waktu. Maka mereka berlaku angkuh terhadap perintah
Tuhannya, lalu mereka disambar petir dan mereka melihatnya. (Qs. Al-Dzariyat: 43-44)
Jika di dalam surat al-A’raf Allah menjelaskan bahwa
bencana yang menimpa bangsa Tsamud adalah gempa, maka di dalam ayat ini disebut
dengan shâ’iqah/petir. Menurut Quraish Shihab antara keduanya saling
memiliki keterkaitan karena begitu kerasnya petir tersebut, sehingga ia tidak
hanya menggoncangkan hati orang yang mendengar, namun juga dapat menggoncang
bumi dan sekalian bangunan yang ada padanya, Atau yang kita namakan dengan
gempa.[45]
Jika diperhatikan pendapat Quraish Shihab ini sangat dapat diterima, mengingat,
tidak hanya pada kisah Tsamud, melainkan pada kisah Musa juga demikian.[46]
Di mana terkadang Allah mengungkapkan azab yang mereka terima adalah shâ’iqah/petir,
dan pada ayat lain Allah mengatakannya dengan rajfah/gempa.
Demikian
dahsyatnya peristiwa ini, sehingga pada ayat lain bencana yang diterima bangsa
Tsamud ini disebut dengan istilah thâghiyah (QS. Haqqah: 5), yang dapat
diartikan dengan teriakan yang luar biasa menggelegar, yakni suara guntur yang bercampur
dengan kilat. Sedangkan di dalam Qs. Al-Qamar: 32 bencana tersebut disebut
dengan shaihah al-wahidah (suara keras yang mengguntur) sehingga
menyebabkan mereka mati bergelimpangan tak obahnya seperti batang-batang yang
kering lagi lapuk (hasyîm al-muhtazhir).
Adapun
dosa yang dilakukan oleh bangsa Tsamud adalah seperti yang telah dijelaskan
pada pembahasan sebelumnya (ketika mereka ditimpa gempa).
Di dalam ayat lain
juga dijelaskan bahwa petir yang melanda kaum ‘Ad dan Tsamud ini merupakan
sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi generasi berikut, supaya mereka
tidak engkar dan tidak dilanda petir seperti ini. Sebagaimana yang dijelaskan
oleh ayat berikut:
فَإِنْ أَعْرَضُوا فَقُلْ أَنْذَرْتُكُمْ صَاعِقَةً
مِثْلَ صَاعِقَةِ عَادٍ وَثَمُودَ
Artinya:
Jika mereka
berpaling Maka Katakanlah: "Aku Telah memperingatkan kamu dengan petir,
seperti petir yang menimpa kaum 'Aad dan Tsamud".(QS. Fussilat: 13)
5) Hujan Batu
Sebuah bencana yang luar biasa
dahsyat yang pernah terjadi adalah hujan batu yang menimpa kaum Luth,
sebagaimana yang dijelaskan QS. Hud: 82-83.
فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا
سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ
مَنْضُودٍ(82)مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَ وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ
Artinya:
Maka tatkala
datang azab kami, kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami
balikkan), dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan
bertubi-tubi, 83. Yang diberi tanda oleh
Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.
Ketika kaum Luth melakukan tindakan
penyimpangan seksual, dan tidak lagi menghiraukan ajakan Luth (QS. al-A’raf:
80-81), maka Allah mendatangkan kepada mereka bencana yang sangat dahsyat.
Allah menghancurkan negri tersebut sehancur-hancurnya dengan membalikkannya,
yang di dalam ayat di atas diungkapkan dengan istilah “menjadikan yang di
atasnya ke bawahnya”. Negri itu semakin hancur setelah Allah menghujani mereka
dengan hujan sijjil/batu. Sijjil yaitu batu yang terbuat dari
tanah, atau tanah yang bercampur air lalu membeku dan mengeras menjadi batu,
sebagaimana yang disebutkan di dalam QS. Al-Dzariyat: 33 dengan sebutan
hijarah min thîn. Masing-masing batu yang ditimpakan tersebut telah diberi
tanda oleh Allah yang khusus dijadikan untuk menghancurkan umat Luth, yang juga
melakukan perbuatan maksiat khusus/di luar fitrah. Menurut banyak ahli tafsir
pada masing-masing batu tersebut telah terdapat nama-nama orang yang akan
dihancurkannya. Ini sebagaimana yang ditulis oleh ibn Katsir,[47]
Qurthûbiy dan mufassir lainnya.
Di antara
yang termasuk bencana yang non alam dan kemanusiaan yang dijelaskan al-Qur’an
adalah:
a)
Bencana
Kemanusiaan, berupa ketakutan, kelaparan dan kemiskinan seperti di dalam
QS. Al-Baqarah [2]: 156
Bencana kelaparan merupakan sesuatu yang telah sering dan
biasa terjadi di dalam peradaban umat manusia. Di Zaman Nabi Musa merekapun
juga pernah mengalami kesusahan pangan setelah Allah mengirim kepada mereka
hukuman banjir, yang diiringi wabah belalang dan kutu yang merusak tanaman
mereka serta katak-katak menghancurkan persediaan logistik yang mereka miliki.
Di samping itu mereka juga ditimpa oleh penyakit darah.[48]
Di antara yang dapat menyebabkan bencana kelaparan adalah
terjadinya kemarau yang panjang, seperti yang terjadi pada kisah Yusuf. Di mana
untuk mengatasi paceklik Yusuf mengusulkan untuk menanami tanaman sebelum masa
kemarau itu datang.[49]
Bencana-bencana kekurangan pangan ini boleh jadi merupakan
ujian dari Allah (Qs. al-Baqarah: 150) atau merupakan peringatan dan azab
karena keingkaran yang dilakukan manusia (QS. Al-Nahl: 112).
b) Musibah Kematian, seperti Firman Allah
dalam QS. Al-Mâ’idah [5]: 106
Di dalam ayat ini Allah mengungkapkan istilah mushibah
al-maût yaitu tanda-tanda akan datangnya kematian. Jika hal ini menimpa
seseorang yang berada di perjalanan, ia ingin berwasiat dan tidak ada orang
yang beriman, maka ia boleh menjadikan saksi selain dari orang yang beriman.
c)
Kekalahan
di medan perang
Kekalahan di medan perang menurut al-Qur’an dianggap sebagai
sebuah bencana. Sebagai contoh adalah apa yang menimpa umat Islam ketika perang
Uhud. Di dalam perang itu tentara Islam mengalami kekalahan dan sekian banyak
dari sahabat Nabi meninggal. Ketika itu turun Firman Allah (QS. Ali ‘Imran:
140-141) yang menjelaskan bahwa bencana yang dialami tentara Islam merupakan bala’
dari Allah, sehingga jelas mana yang betul-betul beriman dan mana yang
tidak.
c. Penyebab dan Maksud Diturunkannya
Bencana
Dari penjelasan dan
isyarat ayat al-Qur’an, setidaknya bencana yang menimpa manusia dapat dilihat dari
beberapa sudut pandang yaitu:
1)
Bencana/Musibah tidak terjadi kecuali atas izin Allah
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ وَمَن يُؤْمِن
بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ. [التغابن، 64: 11]
Artinya:
“Tidak ada suatu
musibah pun yang menimpa seseorang kecuali atas izin Allah, dan barangsiapa
yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS. al-Taghabun (64): 11]
Menurut
Sayyid Quthub apa yang diungkapkan di dalam ayat ini merupakan dasar atau
hakikat keimanan. Di mana segala sesuatunya terjadi adalah atas izin Allah.
Sehingga seseorang yang ditimpa musibah akan sadar bahwa itu semua terjadi
adalah atas kehendak Allah. Dengan ini orang yang beriman hatinya akan tetap
tenang ketika terjadi bencana, sedangkan bagi yang sempat lalai mereka akan
ingat kembali kepada Allah dan senantiasa mengintrospeksi diri atas kesalahan
yang diperbuat. Sedangkan terhadap bagi orang yang engkar semuanya ini
diturunkan oleh Allah sebagai hukuman atas apa yang telah mereka perbuat.
2)
Musibah Sebagai Dampak Kesalahan
Manusia (human eror)
Manusia
sebagai penyebab timbulnya musibah digambarkan dengan beberapa istilah di dalam
al-Qur’an seperti: karena tangan manusia, karena kezhaliman yang mereka
lakukan, karena keengkaran mereka atau dosa yang mereka lakukan, sehingga
semuanya itu terjadi sebagai hukuman atas apa yang telah mereka perbuat, baik
secara langsung maupun tidak. Ini seperti yang ditegaskan oleh firman Allah
berikut:
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ
أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيْرٍ. [الشورى، 42: 30]
Artinya:
“Dan apa saja musibah
yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah
memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” [QS. al-Syura (42): 30]
Di
antara bentuk perbuatan mereka tersebut adalah berbagai dosa dan kesalahan yang
dilakukan manusia, sebagaimana ayat berikut:
أَنَّمَا
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ
النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
Artinya:
Sesungguhnya Allah
menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian
dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang
fasik. (QS. Al-Maidah:49)
Surat
al-Syura: 30, menurut ibn ‘Asyur memiliki kaitan yang erat dengan ayat ke-28,
yang menguraikan tentang diturunkannya hujan setelah sebelumnya masyarakat
Mekah menderita paceklik. Di sini mereka diingatkan bahwa petaka yang mereka
alami adalah akibat kedurhakaan mereka terhadap Allah.[50] Meski ayat ini secara konteks tertuju kepada
kafir Mekah, namun dari segi kandungannya tertuju kepada seluruh masyarakat,
kapanpun dan dimanapun.
Maka berbagai
bencana yang timbul, pada dasarnya diakibatkan oleh manusia dengan ragam
dosa-dosa yang dilakukannya sendiri, al-Qur’an telah membuktikannya, bagaimana
Musibah menimpa umat terdahulu karena dosa dan kekafiran mereka.
Kaum
Nabi Hud mendustakan Nabinya, maka mereka dibinasahkan oleh Allah dengan angin (QS.
al-Hâqqah: 69: 6-7), kaum Nabi Shaleh angkuh, kafir, dan menyembelih onta
mukjizat yang tidak boleh diganggu, maka dilanda dahsyatnya bermacam-macam
azab, seperti petir dan gempa (QS. Al-A’raf: 77-79), Kaum Nabi Nuh diazab oleh
Allah karena kemusyrikan dan kemaksiatan
yang mereka lakukan. Mereka ditenggelamkan dengan banjir, hingga salah seorang
anak Nabi Nuh sendiri, yang bernama Qan’an pun turut tenggelam karena
keinkarannya, seperti disebutkan dalam surat Huud : 41-44, Kaum Nabi Luth terlibat
praktek penyimpangan seksual hubungan sejenis– sehingga diazab Allah dengan
hujan batu panas dan buminya dibalik, sedangkan kaum Nabi Syu’aib di Madyan
penduduknya menjadi mayat-mayat yang bergelimpangan akibat dihantam gempa
karena telah meluasnya tindak kecurangan dalam menakar dan menimbang (al-A’raf:
85-94). Begitupun Fir’aun dan kroni-kroninya dihujani bencana beruntun dengan
angin topan, belalang, kutu, kodok, dan darah, serta gempa (Al-A’raf: 133-136)
Meski
manusia sebagai penyebab diturunkannya musibah, namun pada hakekatnya menurut
penulis semua tetap diturunkan oleh Allah.
3)
Bencana/Musibah bertujuan untuk menempa manusia
Al-Qur'an
menegaskan bahwa:
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِي أَنفُسِكُمْ
إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ.
لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللهُ
لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ. [الحديد، 57: 22-23]
Artinya:
“Tiada suatu musibah
pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kamu sendiri melainkan
telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang
demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari
kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya
kepada kamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan
diri.” [QS. al-Hadid (57): 22-23]
Jadi di
samping untuk menghukum manusia-manusia yang engkar, bencana atau musibah juga
dapat melatih manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang sadar. Sehingga
ini dapat meningkatkan derajat mereka.
Selain
itu dengan adanya bencana juga akan dapat menampakkan mana yang betul-betul
hamba Allah yang beriman, dan mana mereka yang munafik.
C. Penutup
- Kesimpulan
Dari pembahasan singkat terhadap ayat-ayat al-Qur’an mengenai
bencana dapat disimpulkan
bahwa bencana yang terjadi di muka bumi ini, baik bencana alam maupun nonalam,
merupakan fitnah yang diturunkan atas izin Allah. Di mana bencana tersebut tidak
hanya menimpa orang-orang yang berdosa saja melainkan juga mereka yang tidak
berdosa (berbuat salah). Ketika yang ditimpa itu adalah orang yang engkar, itu
merupakan ‘iqab dari dosa yang ia lakukan, sedangkan bagi yang beriman itu dapat
dijadikan ujian yang akan meningkatkan derajatnya di sisi Allah. Selain itu
dengan adanya bencana juga akan tampak mana yang betul-betul orang yang memihak
kepada Agama Allah dan mana yang munafik.
- Saran
Berhubung penulis tidak sempat menelusuri seluruh ayat
(beserta penafsirannya) yang di sana
terdapat kata-kata yang berhubungan dengan bencana ini, maka demi keutuhan
pembahasan, penulis mengharapkan juga ada peneliti lain yang mau membahas tema ini
DAFTAR KEPUTAKAAN
Al-Ashfahâniy, Abiy
al-Qâsim Al-Husain ibn Muhammad ibn Mufadhdhal, al-ma’ruf bi
al-Rhâghib, Mufradât Alfâz al-Qur’ân, Damaskus: Dar al-Qalam, 2002
Al-Biqa’iy, Burhan al-Dîn
abiy al-Hasan Ibrahim ibn ‘Umar, Nazm
al-Durar fi Tanâsub al-Ayat wa al-Suwar,
Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415 H
Al-Hâim, Syihab al-Dîn Ahmad
ibn Muhammad al-Mishriy, Al-Tibyân fi Tafsîr Gharîb al-Qur’an, Al-Qahirah:
Dar al-Shahabah al-Turats bi Thantha, 1992
Jalal al-Dîn Ahmad ibn
Muhammad al-Mahalliy dan Jalal al-Dîn ‘abd
al-Rahmân ibn Abiy Bakr
al-Suyûthiy, Tafsîr Jalaian, Qahirah: Dar al-Hadîts,
[t.th]
Ibn Katsîr, Abu al-Fidâ’
Ismâ’îl ibn ‘Umar al-Qursyiy al-Dimasyqiy, Tafsîr al-Qur’an al-Azhîm, Tahqiq
Sami Muhammad Salamah, Majma’ al-Mulk Fahd: Dar al-Thayyibah, 1999
Al-Khalwatiy, Isma’il
Haqqiy ibn Mushthafa all-Istanbûliy al-Hanafiy, Tafsîr Ruh al-Bayân, Al-Qahirah: Dar al-Ihyya’
al-Turats, [t.th]
Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Washith, Kairo: Maktabah
al-Syuruq, 2004
Ibn Manzur, Al-Imam
al-‘Alamah, Lisân al-Arab, Beirut: Dar al-Shadir, [t.th]
Al-Maraghiy, Ahmad
Mushtafa, Tafsîr al-Maraghiy, Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah
Mushthafa al-Bâbiy al-Halabiy wa Auladuhu, 1946
Al-Qurthûbiy, abiy ‘abd
Allah Muhammad ibn Ahmad Ahmad abiy Bakr ibn Farah al-Anshariy al-Khazrajiy
Syams al-Dîn, al-Jâmi’ li Ahkam al-Qur’an, Riyad: Dar al-Kutub, 2003
Al-Rhaziy, Muhammad ibn abi Bakr ibn ‘abd al-Qâdir, Mukhtar
al-Shihah, Beirut:
Maktabah Libnan al-Nasyirun, 1995
Shihab, M. Quraish, Menabur
pesan ilahi, al-Qur’an dan dinamika Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Lentera
hati, 2006
__________, Tafsir
al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati,
2008
Al-Suyuthi, ‘Abd al-Rahman
ibn Kamal Jalaluddin, Al-Dur al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, Beirut:
Dar al-Fikr, 1993
Tim
Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1990
‘Umar, Ahmad
Mukhtar, al-Mu’jam al-Maushû’iy li Alfâdz al-Qur’ân al-Karîm wa Qirâ’âtuhu,
Qism al-Alfadz Riyadh: Muassasah Sutur al-Ma’rifah, 1423
Undang-undang Nomor.
24 tahun 2007, tentang Penanggulangan
Bencana, Bab I, Pasal. 1
No comments:
Post a Comment