Bencana dalam Alquran
Oleh Moch Syarif Hidayatullah
(Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta)
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan
pandangan Islam ihwal bencana alam. Pandangan itu diambil dari Alquran
dan hadis sebagai rujukan utama idiom, istilah, konsep, dan tema pokok
dalam Islam.Ini terkait dengan sembilan kata yang diketahui berisi
pandangan Islam soal bencana: zhulumat, al-kubar, al-karb, su', nailan,
'adzab, sayyi'ah, da'irah, dan mushIbah. Ada enam bencana alam yang
disinggung Alquran, seperti banjir, gempa, angin topan, hujan batu,
kemarau, dan kelaparan. Dari keenam bencana alam itu, diskusi mengenai
bencana apakah sebagai ujian atau siksa, diketahui lebih banyak sebagai
siksa. Meski demikian, bencana tidak bisa dicegah, hanya bisa
diantisipasi saja. Cara orang melalui bencana juga ada beraneka, yang
berbanding lurus dengan misteri bencana, yang kemudian dianggap sebagai
hikmah. Ada delapan hikmah yang bisa didapat saat bencana. Semua data
yang berkaitan dengan bencana diunduh untuk menghasilkan pandangan Islam
secara utuh.
Kata kunci : bencana alam, Islam, ujian, siksa
PENDAHULUAN
Yang disebut bencana alam itu--sesuai
definisi yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 131)--adalah
sesuatu yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian, atau
penderitaan yang disebabkan oleh alam. Biasanya bencana ini menyangkut
segala kejadian yang menimpa dalam skala yang besar dan efek yang luar
biasa. Ada banyak bencana alam yang mengitari kehidupan ini, seperti
gempa bumi, tsunami, banjir bandang, tanah longsor, dan kekeringan.
Selain bencana alam, ada bencana lain yang juga bisa berakibat fatal,
yaitu bencana akibat ulah tangan manusia, seperti pengeboman,
peperangan, kecelakaan beruntun, kecelakaan pesawat, dan
kebakaran.Tulisan ini disajikan ketika bencana dalam skala besar datang
silih berganti seperti hela nafas. Tsunami, gempa bumi, banjir, lumpur
Porong, dan kekeringan, susul-menyusul menghabiskan air mata kita
sebagai bangsa. Ini tidak memasukkan bencana ekonomi, politik, budaya,
keamanan, pertahanan, dan moral, yang tak akan pernah bisa dibincangkan
dalam tulisan sederhana ini. Indonesia benar-benar tak berdaya di tengah
keterpurukan di berbagai bidang. Kejatuhan yang bertubi-tubi melanda
bumi pertiwi persis seperti pepatah “sudah jatuh tertimpa tanggaâ€.
Lalu, apa sebetulnya yang terjadi dengan bencana yang tak juga
menampakkan tanda-tanda akan berhenti? Ada apa dengan negeri ini? Adakah
bencana itu ada kaitannya dengan ulah sebagian kita yang mengabaikan
merawat dan menjaga anugerah Ilahi, sehingga yang semula anugerah
berubah menjadi nestapa? Atau, bencana itu menjadi penanda negeri ini
akan diangkat derajatnya? Pandangan Islam yang tercermin dalam Alquran
dan sabda Nabi Muhammad (hadis) terkait dengan banyaknya bencana, akan
disajikan di tulisan ini, yang diharapkan sebisa mungkin melengkapi
beberapa tinjauan Islam sebelumnya terkait dengan masalah ini yang
terlihat belum utuh dan sistematis.
METODOLOGI
Dalam tulisan ini, ragam bahasa tulis
yang dipergunakan sebagai data dengan pertimbangan bahwa ragam tulis
lebih mantap dan terencana. Bahasa Arab tulis yang dipergunakan sebagai
data tulisan ini adalah bahasa Arab baku (fusha), terutama yang
diperoleh dari Alquran dan hadis. Pemilihan Alquran dan hadis sebagai
sumber data didasarkan pada pandangan bahwa ragam bahasa tulis Alquran
dan hadis adalah ragam bahasa baku yang dipahami oleh semua penutur Arab
dan kegramatikalannya pun tidak diragukan (Holes 1995). Alasan lain
dipilihnya Alquran dan hadis adalah karena keduanya menjadi sumber utama
semua idiom, istilah, dan tema pokok Islam. Data yang menjadi objek
tulisan saya adalah semua kata yang berkaitan dengan bencana alam yang
terdapat dalam Alquran dan hadis. Untuk melihat masing-masing kata dalam
konstruksi kalimat, tulisan ini memanfaatkan sumber data utama dari Al
Quran Digital Versi 2.0 (CD-ROM).2004. Pengumpulan data dilakukan dengan
menginventariskan data yang diambil dari sumber data di atas dengan
teknik sadap dan catat (Mahsun 2000: 66-67). Ayat dan hadis yang memuat
data dikumpulkan untuk memudahkan pengamatan terhadap konteks
masing-masing kata di atas. Data yang dikumpulkan berperan sebagai
percontoh untuk menemukan kaidah yang pada akhirnya diharapkan juga
menjangkau data yang pada saat diteliti tidak ditemukan.Tulisan ini
merupakan studi kasus yang bersifat kualitatif (Merriam 1988: 16 dalam
Nunan 1992: 77). Dengan kata lain, tulisan ini akan mengamati,
mendeskripsikan, menganalisis, dan menjelaskan pandangan Islam, terutama
dalam Alquran (dalam beberapa kasus melibatkan hadis), terkait dengan
bencana alam. Secara umum, metode yang digunakan dalam tulisan ini
adalah kajian lapangan. Namun, tulisan ini juga memanfaatkan kajian
pustaka, yaitu pada saat menjelaskan makna kata dalam konstruksi
kalimat. Dengan pertimbangan untuk menghasilkan konteks makna yang
akurat berdasarkan intuisi penutur asli bahasa Arab, tulisan ini
memanfaatkan pendapat para ahli tafsir Alquran, seperti Al-Qurthubi
(1997) dan Ibn Katsir (1997). Tulisan ini juga memanfaatkan terjemahan
Alquran yang dipergunakan untuk memperbandingkan makna kata yang
diteliti dengan buku tafsir di atas. Terjemahan Alquran yang
dipergunakan berasal dari Tim Yayasan Penyelenggara Penterjemah
Al-Qur’an. 2004. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama
RI. Langkah pemerolehan data kata pada konstruksi kalimat, secara
kronologis dapat dirinci sebagai berikut: (1) menemukan kata yang
termasuk dalam kategori musibah dan bencana alam, melalui fasilitas
mesin pencari yang tersedia pada CD-ROM; (2) mengamati makna yang
terdapat pada kata itu berdasarkan konteks dan koteksnya; (3)
mengklasifikan data yang sudah teridentifikasi berdasarkan ciri semantis
untuk memperoleh klasifikasi jenis bencana alam.Untuk analisis pada
saat kata itu berada dalam konstruksi kalimat, tulisan ini memanfaatkan
teori Cruse (1986) dan (2000). Cruse (2000: 105) menyebut sebuah kata
bisa saja tidak hanya mempunyai satu makna. Kasus seperti itu bisa saja
terjadi bila sebuah kata merujuk pada acuan yang berbeda sesuai dengan
konteks pemakaian kata itu.Interpretasi yang diberikan pada kata
tertentu akan sangat beragam dari satu konteks ke konteks yang lain.
Sebagai contoh kalimat (a) They moored the boat to the bank dan (b) He
is the manager of a local bank. Berdasarkan konteksnya, kata bank pada
kalimat (a) harus bermakna ‘sloping side of river’ dan pada kalimat (b)
harus bermakna ‘financial institution’. Cruse (1986: 8) menyebut dua
sumber utama pada data primer dalam kasus seperti itu: (1) keluaran yang
produktif dari seorang penutur asli suatu bahasa baik yang tertulis
maupun yang terucap; (2) keputusan makna intuitif yang dikemukakan oleh
penutur asli pada materi bahasa dalam satu jenis atau yang lain. Jadi,
secara intuitif penutur asli pada umumnya bisa membedakan perbedaan
makna yang terjadi pada kata itu.
HASIL DAN DISKUSI
Kata Bencana dalam AlquranDalam bahasa
Arab, segala hal yang tidak disukai yang menimpa seseorang disebut
mushIbah (lih. Al-Ayid, 2003: 754). Kata ini diserap dalama bahasa
Indonesia menjadi musibah yang mempunyai dua makna: pertama, ‘kejadian
(peristiwa) menyedihkan yang menimpa’; kedua, ‘malapetaka’ (lih. Alwi
dkk., 2002: 766). Alquran juga menggunakan kata ini di antaranya untuk
memaknai apa yang kita kenal sebagai bencana. Ini paling tidak terlihat
dalam bentuk verba perfektif pada QS 3: 146 (ashaba); dalam bentuk verba
imperfektif pada QS 13: 31 (y[t]ushIbu); dan dalam bentuk nomina pada
QS 9: 50 (mushIbah).
Selain kata ini, Alquran--sesuai
terjemahan yang dilakukan oleh tim ahli Departemen Agama (Al Quran
Digital 2.0, CD-ROM 2004)—menggunakan kata lain yang berkonsep
bencana. Sedikitnya ada delapan kata yang kemudian dipadankan dengan
bencana.Pertama, kata zhulumat (bentuk plural dari zhulmah), seperti
terdapat pada QS 6: 23. Kedua, kata al-kubar, seperti terdapat pada QS
74: 35. Ketiga, kata al-karb, seperti terdapat pada QS 37: 115, 37: 76,
21: 76, 6: 64. Keempat, kata su', seperti terdapat pada QS 33: 17.
Kelima, kata nailan, seperti terdapat pada QS 9: 120. Keenam, kata
'adzab, seperti terdapat pada QS 9: 26. Ketujuh, kata sayyi'ah (bentuk
tunggal), seperti terdapat pada QS 3: 120, 4: 78—79; kata sayyi'at
(bentuk jamak), seperti terdapat pada QS 7: 168. Kedelapan, kata
da'irah, seperti terdapat pada QS 5: 52.
Namun demikian, kata mushIbah-lah yang
paling banyak dipergunakan sebagai pengganti konsep bencana dalam bahasa
Indonesia. Kata ini sendiri sedikitnya terdapat pada 50 ayat di
Alquran. Kelima puluh ayat itu dikelompokkan oleh al-Zuhayli (2002: 762)
menjadi 16 tema. Keenam belas tema itu masing-masing: (1) ketika
musibah datang, seperti pada QS 2: 214, 38: 25; (2) meramalkan musibah,
seperti pada QS 7: 131; (3) musibah itu takdir dari Allah, seperti pada
QS 3: 166, 4: 78, 9: 51, 57: 22, 64: 11; (4) Allah saja yang bisa
menyirnakan musibah, seperti pada QS 6: 17, 10: 12, 10: 107, 16:
53—54, 3: 33; (5) sabar dalam menghadapi musibah, seperti pada QS 2:
155—156, 3: 165, 3: 172, 22: 35, 31: 17; (6) siksa berupa musibah,
seperti pada QS 3: 165, 4: 62, 7: 100, 16: 34, 24: 63, 28: 47, 30: 36,
39: 51, 42: 30, 42: 48; (7) musibah mengenai siapa saja, seperti pada QS
8: 25; (8) putus asa saat musibah datang, seperti pada QS 17: 83, 30:
36; (9) kufur ketika musibah datang, seperti pada QS 22: 11, 42: 48;
(10) kepanikan menghadapi musibah, seperti pada QS 7: 95; 22: 11; 14:
49; 41: 51; 70: 19—20; (11) musibah yang menjadi siksa, seperti pada
QS 7: 156; 9: 52; 11: 81; 13: 31; (12) musibah di jalan Allah, seperti
pada QS 3: 146; (13) musibah akibat kelalaian manusia, seperti pada QS
3: 165; 4: 106; (14) musibah berupa kematian, seperti pada QS 5: 106;
(15) musibah yang disukai musuh, seperti pada QS 3: 120; 4: 72; 9: 50;
(16) musibah akibat kezaliman, seperti pada QS 3: 117.
Hanya saja kata mushIbah berikut
derivasi dan infleksinya yang terdapat di Alquran itu tidak selalu
mengacu pada konsep bencana alam yang menjadi bahasan tulisan ini. Kata
mushIbah dalam Alquran itu mengacu pada definisi kata ini dalam bahasa
Arab. Konsepnya lebih luas daripada kata bencana alam, karena musibah
apa pun meskipun skala dan efeknya kecil tetap saja bisa disebut
mushIbah, yang tentu saja dalam bahasa Indonesia tidak bisa disebut
bencana alam.
Ujian atau Siksa? Pertanyaan ini selalu
saja menarik peneliti yang mengkaji tema bencana alam dalam tinjauan
agama apa pun. Dalam Islam pun, pertanyaan ini juga banyak muncul. Kesan
ini pun tercermin dalam beberapa ayat Alquran. Sejauh pengamatan saya,
Alquran mengelompokkan bencana menjadi dua kelompok ini.
Kelompok bencana yang menjadi ujian
terdapat setidaknya pada ayat berikut: "Mengapa ketika ditimpa bencana
(pada Perang Uhud), padahal kalian telah mengalahkan dua kali lipat
musuh-musuhmu (pada Perang Badar), kalian berkata, 'Darimana datangnya
(bencana berupa kekalahan) ini?' Katakanlah, 'Itu (berasal) dari
(kesalahan) dirimu sendiri.' Allah Mahakuasa atas segala sesuatu," (QS
Ali Imran [3]: 165). Kelompok bencana yang menjadi siksa yang
diakibatkan perilaku zalim terdapat pada ayat berikut: "Perumpamaan
harta yang mereka nafkahkan di dalam kehidupan dunia ini, seperti angin
yang mengandung hawa yang sangat dingin, yang menyapu tanaman kaum yang
menganiaya diri sendiri, lalu angin itu merusaknya. Allah tidak
menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka
sendiri," (QS Ali Imran [3]: 117). Bencana akibat perilaku maksiat
terdapat pada ayat berikut: "Ketika mereka melupakan apa yang
diperingatkan kepada mereka, Kami (Allah) menyelamatkan orang-orang yang
melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang
lalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat maksiat,"
(QS Al-A'raf [7]: 165). Bencana yang menjadi siksa terdapat pada ayat
berikut: "Orang yang tidak beriman senantiasa ditimpa bencana disebabkan
perbuatan mereka sendiri atau bencana itu terjadi dekat tempat kediaman
mereka, sehingga janji Allah itu terbukti. Allah tidak menyalahi
janji," (QS Al-Ra'd [13]: 31).
Pada ayat-ayat di atas parameternya
sangat jelas, mana bencana yang menjadi ujian dan mana bencana yang
menjadi siksa. Bila bencana itu diakibatkan karena kesalahan yang tidak
disengaja, maka bencana itu menjadi ujian bagi pelakunya, untuk kemudian
mengukur seberapa besar kadar keimanannya. Sebaliknya, bila bencana itu
diakibatkan oleh perilaku maksiat, zalim, dan tidak beriman yang
disengaja, maka bencana itu menjadi siksa.
Namun, bila yang dimaksudkan bencana
alam, maka Alquran selalu mengelompokkannya ke dalam bencana yang
menjadi siksa dan berkait dengan perilaku tidak beriman. Ada lima
bencana alam yang disinggung dalam Alquran: gempa, banjir, angin topan,
petir, hujan batu, dan paceklik. Terkait dengan gempa, Alquran
menginformasikan pada beberapa ayat berikut:
- Ayat
- (1)
"Katakanlah, 'Dialah yang berkuasa untuk
mengirimkan siksa kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu," (QS
Al-An'am [6]: 65).
- (2)
"Karena itu mereka ditimpa gempa, lalu
mereka menjadi mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal
mereka," (QS. Al-A'raf [7]: 78).
- (3)
"Musa memilih tujuh puluh orang dari
kaumnya untuk (memohonkan tobat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami
tentukan. Lalu, ketika mereka digoncang gempa bumi, Musa berkata, 'Ya
Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan
aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan
orang-orang yang kurang akal di antara kami? Itu hanyalah cobaan dari
Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki
dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah
Yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan
Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya,"(QS Al-A'raf [7]: 155).
- (4)
"Mereka tidak mengimani Syuaib, lalu
mereka ditimpa gempa yang dahsyat, dan jadilah mereka mayat-mayat yang
bergelimpangan di tempat-tempat tinggal mereka,"(QS Al-Ankabut [29]:
37).
Data (1) memang tidak secara eksplisit
menyebut gempa, tetapi yang dimaksud siksa yang dari bawah kakimu adalah
gempa bumi. Ayat ini berkaitan dengan orang yang tidak beriman atas
Alquran sebagai kitab suci. Data (2) juga berkaitan dengan sekelompok
orang yang tidak mengimani kenabian Shaleh. Sementara itu, data (3)
terkait dengan perbuatan sekelompok orang yang membuat patung anak lembu
untuk dijadikan sesembahan selain Allah. Data (4) dengan tegas menyebut
sekelopok orang yang tidak mengimani kenabian Syuaib.Keempat data di
atas sangat jelas menunjukkan bahwa gempa bumi itu berkaitan dengan
siksa sebagai akibat perilaku tidak beriman.Terkait dengan banjir,
Alquran menginformasikan pada beberapa ayat berikut:
- (5)
"Tetapi mereka berpaling, Kami pun
datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun
mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit,
pohon Atsl, dan sedikit dari pohon Sidr," (QS Saba' [34]: 16).
- (6)
"Lalu Kami wahyukan kepadanya, 'Buatlah
bahtera di bawah pantauan dan petunjuk Kami. Lalu, apabila perintah Kami
telah datang dan tanur telah memancarkan air, maka masukkanlah ke dalam
bahtera itu sepasang dari tiap-tiap (jenis), dan (juga) keluargamu,
kecuali orang yang telah lebih dahulu ditetapkan (akan ditimpa azab) di
antara mereka. Janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang
yang zalim, karena sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan," (QS
Al-Mukminun [23]: 27).
- (7)
"Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya.
Dia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun, lalu
mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim,"
(QS Al-Ankabut [29]: 14).
Menurut Al-Qurthubi (1997), data (5)
terkait dengan kaum Saba' yang mengingkari nikmat Tuhan. Banjir itu
sebagai akibat atas ketidakberiman mereka pada Zat yang memberi nikmat.
Banjir besar itu sendiridisebabkan oleh runtuhnya bendungan Ma'rib.
Tanur yang disebutkan pada data (6) adalah semacam alat pemasak roti
yang diletakkan di dalam tanah terbuat dari tanah liat. Biasanya, tidak
ada air di dalamnya. Terpancarnya air di dalam tanur itu menjadi tanda
bahwa banjir besar akan melanda negeri itu. Informasi pada data (6) itu
dilengkapi oleh data (7) bahwa banjir itu diakibatkan perilaku tidak
beriman kaum Nuh terhadap kenabian Nuh (Noah).Ketiga data di atas sangat
jelas menunjukkan bahwa banjir itu berkaitan dengan siksa sebagai
akibat perilaku tidak beriman.Terkait dengan angin topan, Alquran
menginformasikan pada beberapa ayat berikut:
- (8)
"Dialah yang telah menurunkan ketenangan
ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di
samping keimanan mereka (yang telah ada). Kepunyaan Allahlah tentara
langit dan bumi. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,"(QS Al-Fath
[48]: 4).
- (9)
"Tatkala mereka melihat azab itu berupa
awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, mereka berkata, 'Inilah awan
yang akan menurunkan hujan kepada kami.' (Bukan!) bahkan itulah azab
yang kamu minta supaya datang dengan segera, (yaitu) angin (topan) yang
mengandung azab yang pedih,"(QS Al-Ahqaf [46]: 24).
- (10)
"Kami meniupkan angin (topan) yang amat
gemuruh kepada mereka dalam beberapa hari yang sial, karena Kami hendak
merasakan kepada mereka itu siksa yang menghinakan dalam kehidupan
dunia. Padahal, siksa akhirat lebih menghinakan, sementara mereka tidak
diberi pertolongan,"(QS Fushshilat [41]: 16).
- (11)
"Atau apakah kamu merasa aman dari
dikembalikan-Nya kamu ke laut sekali lagi, lalu Dia meniupkan atas kamu
angin topan dan ditenggelamkan-Nya kamu disebabkan kekafiranmu.Kamu
tidak akan mendapat seorang penolong pun dalam hal ini terhadap
(siksaan) Kami," (QS Al-Isra [17]: 69).
- (12)
"Hai orang-orang yang beriman, ingatlah
akan nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika datang
kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan
dan tentara yang tidak dapat kamu lihat. Allah Maha Melihat akan apa
yang kamu kerjakan,"(QS Al-Ahzab [33]: 9).
- (13)
"Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus," (QS [54]: 19).
- (14)
"Apakah kamu merasa aman (dari hukuman
Tuhan) yang menjungkirbalikkan sebagian daratan bersama kamu atau Dia
meniupkan (angin keras yang membawa) batu-batu kecil? dan kamu tidak
akan mendapat seorang pelindungpun bagi kamu,"(QS Al-Isra [17]: 68).
- (15)
"Kaum 'Ad telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang," (QS Al-Haqqah [69]: 6).
- (16)
"Angin itu tidak membiarkan satu pun yang dilaluinya, melainkan dijadikannya seperti serbuk," (QS Al-Dzariyat [51]: 42).
- (17)
"Allah menimpakan angin itu kepada
mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus. Kamu lihat
kaum 'Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul
pohon kurma yang telah kosong (lapuk),"(QS Al-Haqqah [69]: 7).
- (18)
"Pada (kisah) 'Ad ketika Kami kirimkan kepada mereka angin yang membinasakan," (QS Al-Dzariyat [51]: 41).
- (19)
"Kami telah menghembuskan kepada mereka
angin yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka), kecuali keluarga
Luth. Mereka Kami selamatkan sebelum fajar menyingsing,"(QS Al-Qamar
[54]: 34).
Data (8) memang tidak disebutkan soal
angin topan. Namun, menurut Ibn Katsir (1997), tentara langit dan bumi
yang ada di ayat itu ialah penolong yang dijadikan Allah untuk
orang-orang mukmin seperti malaikat-malaikat, binatang-binatang, angin
topan, dan sebagainya. Dengan kata lain, tentara langit dan bumi akan
memukul orang yang tidak beriman. Data (9) terkait dengan kaum 'Ad yang
tidak beriman atas kenabian Hud. Data (10) juga terkait dengan kaum 'Ad.
Data (11) terkait dengan orang yang tidak beriman atas kenikmatan yang
diterima. Data (12) terkait dengan sekelompok orang menentang Allah dan
Rasul-Nya. Data (13) juga terkait dengan kaum 'Ad. Data (14) terkait
dengan orang yang tidak beriman atas kenikmatan yang diterima. Data (15)
juga terkait dengan kaum 'Ad.Data (16) pun terkait dengan kaum 'Ad.
Data (17) juga terkait dengan kaum 'Ad. Data (18) pun terkait dengan
kaum 'Ad. Data (19) terkait dengan kaum Luth yang tidak mengimani ajakan
Luth untuk hidup normal dalam kecenderungan seksual. Ketiga ayat di
atas sangat jelas menunjukkan bahwa banjir itu berkaitan dengan siksa
sebagai akibat perilaku tidak beriman. Data di atas sangat jelas
menunjukkan bahwa angin topan itu berkaitan dengan siksa sebagai akibat
perilaku tidak beriman.Terkait dengan hujan batu, Alquran
menginformasikan pada beberapa ayat berikut:
- (20)
"Kami turunkan hujan atas mereka (hujan
batu), lalu amat buruklah hujan yang ditimpakan atas orang-orang yang
diberi peringatan itu,"(QS Al-Naml [27]: 58).
- (21)
"Mereka (kaum musyrik Mekah) telah
melalui sebuah negeri (Sadum) yang (dulu) dihujani dengan hujan terburuk
( hujan batu). Apakah mereka tidak menyaksikan runtuhan itu?"(QS
Al-Furqan [25]: 40).
- (22)
"Kami hujani mereka dengan hujan (batu).
Amat jeleklah hujan yang menimpa orang-orang yang telah diberi
peringatan itu," (QS Al-Syuara [26]: 173).
"Kami turunkan kepada mereka hujan
(batu). Perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu,"
(QS Al-A'raf [7]: 84).
- (23)
"Masing-masing (mereka itu) Kami siksa
disebabkan dosanya. Di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya
hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras
yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam
bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan. Allah sekali-kali
tidak hendak menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri
mereka sendiri,"(QS Al-Ankabut [29]: 40).
Semua data yang menginformasi siksa
berupa hujan batu di atas berkaitan dengan kaum Luth yang tidak
mengimani kenabian Luth serta tidak mengindahkan anjuran Luth untuk
hidup normal secara seksual. Terkait dengan petir, Alquran
menginformasikan pada beberapa ayat berikut:
- (24)
"Jika mereka berpaling, maka katakanlah,
'Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa
kaum 'Ad dan Tsamud,'"(QS Al-Syura [41]: 13).
- (25)
"Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu
menurunkan kepada mereka sebuah Kitab dari langit. Mereka telah meminta
kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata, 'Perlihatkanlah
Allah kepada kami dengan nyata." Mereka disambar petir karena
kezalimannya. Mereka menyembah anak sapi, sesudah datang kepada mereka
bukti-bukti yang nyata, lalu Kami aafkan (mereka) dari yang demikian.
Kami telah berikan kepada Musa keterangan yang nyata," (QS Al-Nisa [4]:
153).
- (26)
"(Kami lakukan terhadap mereka beberapa
tindakan)[377], disebabkan mereka melanggar perjanjian itu, juga karena
kekafiran mereka terhadap keterangan-keterangan Allah, karena membunuh
para nabi tanpa (alasan) yang benar, dan karena mengatakan, 'Hati kami
tertutup.' Bahkan, sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka
karena kekafirannya, karena itu mereka tidak beriman kecuali sebahagian
kecil dari mereka,"(QS Al-Nisa [4]: 155).
- (27)
"Mudah-mudahan Tuhanku akan memberi
kepadaku (kebun) yang lebih baik daripada kebunmu (ini). Mudah-mudahan
Dia mengirimkan keputusan (berupa petir) dari langit kepada kebunmu;
hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin,"(QS Al-Kahf [18]: 40).
- (28)
"Kaum Tsamud telah Kami beri petunjuk,
tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk.
Karenanya mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa
yang telah mereka kerjakan,(QS Fushshilat [41]: 17).
- (29)
"Mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhannya, lalu mereka disambar petir dan mereka melihatnya," (QS Al-Dzariyat [51]: 44).
- (30)
"Kaum Tsamud telah dibinasakan dengan kejadian yang luar biasa," (QS Al-Haqqah [69]: 5).
Data (24) menyinggung petir yang telah
menyambar kaum 'Ad dan Tsamud. Data (25) menyinggung ihwal orang Yahudi
pada zaman Nabi Musa juga tersambar petir karena ingin melihat Allah
sebagai buah dari ketidakimanan mereka. Data (26) memang tidak menyebut
secara langsung ihwal petir, tetapi pada frasa beberapa tindakan,
menurut Al-Qurthubi (1997), salah satu yang dimaksudkan orang Yahudi
disambar petir. Data (27) menginformasikan ihwal perilaku sseorang yang
syirik sehingga kebunnya disambar petir. Data (28) menyinggung siksa
yang diterima kaum Tsamud. Demikian pula dengan data (29). Data (30) pun
berkaitan dengan siksa yang diterima kaum Tsamud, meskipun tidak
disebutkan kata petir di ayat itu. Hanya yang dimaksud dengan kejadian
luar biasa itu, menurut Ibn Katsir (1997), ialah petir yang amat keras
yang menyebabkan suara mengguntur yang dapat menghancurkan. Ayat-ayat di
atas sangat jelas menunjukkan bahwa bencana alam yang berhubungan
dengan petir berkaitan langsung dengan perilaku tidak beriman dan syirik
yang berbuah siksa.
Terkait dengan kemarau, paceklik, dan kelaparan, Alquran menginformasikan pada beberapa ayat berikut:
- (31)
"Andaikata mereka Kami belas kasihani,
dan Kami lenyapkan kemudaratan yang mereka alami, mereka benar-benar
akan terus menerus terombang-ambing dalam keterlaluan mereka,"(QS
Al-Mukminun [23]: 75).
- (32)
"Kami telah menghukum (Firaun dan)
kaumnya dengan (mendatangkan) musim kemarau yang panjang dan kekurangan
buah-buahan, supaya mereka mengambil pelajaran," (QS Al-A'raf [7]:
130).
- (33)
"Untuk orang-orang yang zalim ada azab selain daripada itu, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui," (QS Al-Thur [52]: 47).
- (34)
"Allah telah membuat suatu perumpamaan
(dengan) sebuah negeri yang dulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang
kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya
mengingkari nikmat-nikmat Allah. Karena itu, Allah merasakan kepada
mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu
mereka perbuat,"(QS Al-Nahl [16]: 112).
- (35)
"Tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata," (QS Al-Dukhan [44]: 10).
Data (31) terkait dengan kaum musyrikin
yang mengalami kelaparan, karena tidak ada bahan makanan yang datang
dari Yaman ke Mekah. Padahal, saat ittu Mekah dan sekitarnya dalam
keadaan paceklik. Data (32) sangat gamblang menginformasikan hukuman
yang diterima Firaun beserta pendukungnya yang tidak mengimani Allah.
Data (33) memang tidak secara eksplisit menginformasikan kemarau, tetapi
yang dimaksud azab yang lain ialah musim kemarau, kelaparan malapetaka
yang menimpa mereka, azab kubur, dan lain-lain. Data (34) terkait dengan
penduduk suatu negeri yang mengingkari keneikmatan Tuhan lalu mendapat
bencana kelaparan dan ketakutan. Data (35) juga tidak secara gamblang
menginformasikan kelaparan, tetapi yang dimaksud kabut yang nyata,
menurut Ibn Katsir (1997), ialah bencana kelaparan yang menimpa kaum
Quraisy karena mereka menentang Nabi Muhammad Saw.
Data yang terhimpun pada bagian ini
membantah pandangan yang menyatakan bahwa bencana alam yang terjadi
murni akibat gejala alam semata. Dari data yang ada, bencana alam selalu
berkaitan erat dengan perilaku tidak beriman yang berbuah siksa. Gejala
alam memang ada, tetapi itu bukan satu-satunya. Ada kesalahan yang kita
buat baik sebagai pribadi maupun sebagai bangsa, sehingga Tuhan melalui
alam sebagai makhluk-Nya menunjukkan kekuatan-Nya.
Mengantisipasi BencanaDalam Islam, semua
yang sudah ditentukan Tuhan pasti akan terlaksana. Rela atau tidak,
ketentuan Tuhan tetap berlaku. Allah Swt. berfirman, “Ketika Allah dan
Rasul-Nya memutuskan sesuatu, maka mereka tidak mempunyai pilihan
lain,†(QS Ali Imran [3]: 36). Bila mengikuti logika ayat ini, bencana
alam yang memang sudah menjadi keputusan dan skenario Allah, maka siapa
pun tidak punya pilihan lain untuk menghindarinya. Lalu, apakah tidak
ada celah untuk bisa menghindarinya? Sebetulnya masih ada celah, meski
itu hanya meminimalisasi kemungkinan bencana menjadi lebih banyak
dampaknya. Caranya dengan mengantisipasi segala kemungkinan sehingga
bisa lebih siap dalam menghadapi kemungkinan terburuk yang bisa saja
terjadi. Meskipun ini tidak bisa menjadi jaminan sepenuhnya, karena
setiap bencana punya rahasia dan misterinya tersendiri.
Mengenai mengantisipasi musibah, kisah
perahu Nabi Nuh menjadi pelajaran tersendiri. Nabi Nuh memang sudah
diperintahkan Allah untuk menyiapkan perahu untuk keselamatannya dan
keselamatan orang-orang yang berada di barisannya. Allah memerintahkan
membuat perahu itu karena akan ada banjir bandang luar biasa di negeri
yang ditinggalinya. “Buatlah kapal itu dengan pengawasan dan petunjuk
wahyu Kami Jangan bicarakan di hadapan-ku tentang orang-orang yang zalim
itu. Mereka itu akan ditenggelamkan,†(QS Hud [11]: 37). Perahu ini
adalah bagian dari antisipasi untuk menghindari musibah. Ketika banjir
bandang benar-benar terjadi, Nabi Nuh bersama kaumnya yang taat
selamat.
Kisah Nabi Nuh ini memberikan pelajaran
amat berharga. Upaya antisipasi harus tetap dilakukan, meski upaya itu
tidak boleh membuat takabur akan kemampuan yang dimiliki. Ketakaburan
akan antisipasi ini pernah ditunjukkan oleh Qan'an, putra Nuh, yang
tidak mau mengikuti ajakan Nuh untuk naik ke atas kapal. "Aku akan
mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!"
(QS Hud [11]: 43). Padahal, Nuh sudah melarang. "Nuh berkata, 'Tidak ada
yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha
Penyayang,'" (QS Hud [11]: 43). Karena tidak mendengar perintah sang
ayah, Qan'an termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. Ini juga memberi
pelajaran agar kita mau mendengar orang-orang yang
diberikan kemampuan lebih oleh Allah yang memang diyakini kejujuran dan
reputasinya. Orang-orang itu bisa berangkat dari kalangan ilmuwan atau
bisa juga dari kalangan awam yang memiliki kearifan lokal. Masalah gempa
misalnya, seseorang yang berada di daerah rawan gempa mesti mendengar
apa nasihat para ahli tentang rumah tahan gempa. Masalah tsunami,
seseorabf juga harus mendengar dan mengamalkan nasihat para cerdik
pandai untuk membuat bangunan yang bisa menyelamatkannya dari bencana
dahsyat bila kita berada di wilayah yang rawan tsunami dan siklus
tsunami sudah dekat waktunya. Selain para ilmuwan, patut juga mendengar
orang-orang yang memiliki kearifan lokal, yang memang dianugerahi Allah
kemampuan membaca penanda situasi dan kemampuan mengakrabi alam.
Belakangan negeri ini punya Mbah Maridjan, yang dengan gagah berani
menyatakan Gunung Merapi aman. Bangsa ini pun tidak pernah kehabisan
orang-orang seperti Mbah Maridjan ini. Dulu ada Ronggowarsito dan tentu
saja para wali songo.
Nabi Muhammad semenjak 15 abad lalu
sudah menitipkan prinsip penting dalam masalah antisipasi ini. Ketika
ada sahabat yang meninggalkan untanya tanpa diikat lantaran ia
bertawakal sepenuhnya pada Allah, Nabi langsung menegur orang itu,
“Ikat dulu, baru tawakal,†(HR Al-Tirmidzi). Dari sabda Nabi
Muhammad ini pula Islam mengajarkan bahwa manusia tidak bisa
mengandalkan usaha, tanpa disertai tawakal. Manusia hanyalah hamba yang
dikendalikan skenario Tuhan. Manusia juga tidak boleh hanya mengandalkan
tawakal, tanpa disertai usaha, karena Tuhan juga tidak menurunkan hujan
emas begitu saja. Lalu, optimalisasi peran usaha dan tawakal hanya bisa
mantap apabila diiringi doa. Dengan berdoa, siapa saja menjadi lebih
tenang menerima ketentuan Allah, positif atau negatif dalam
pandangannya. Doa sekaligus menunjukkan ketidakmampuannya mencapai apa
yang diinginkannya dalam berusaha dan bertawakal.
Kerelaan akan ketentuan yang sudah
digariskan-Nya juga membuat seseorang mampu menerimanya dengan ikhlas.
Terkait dengan ini, Nabi Muhammad pernah mewanti-wanti, "Siapa saja yang
rela (akan ketentuan Allah), maka dia akan memperoleh kerelaan Allah.
Sebaliknya, siapa saja yang marah (pada ketentuan Allah), maka dia akan
mendapat murka Allah," (HR Al-Thabrani). Keyakinan bahwa Dia berlaku
adil dan tidak ceroboh dalam menentukan takdir-Nya seperti ini, hanya
bisa diperoleh bila seseorang berprasangka baik terhadap-Nya. Dalam
salah satu hadis qudsi, Allah Swt. berfirman, “Aku ini bergantung
dengan prasangka hamba-Ku pada-Ku,†(HR Al-Bukhari). Itu berarti bila
seseorang berprasangka positif pada Allah, maka positif juga takdir yang
akan didapatkan. Namun, bila negatif prasangka negatif, maka takdir
yang akan ditetapkan-Nysa juga akan negatif. Sikap berprasangka positif
ini ditandai dengan mau bersabar melalui bencana dan rela menerima
takdir sembari terus berusaha. Sikap seperti ini pasti akan
menghantarkannya pada jalan keluar. Allah berfirman, “Bersabarlah
dalam menunggu ketetapan Tuhanmu. Kamu berada dalam penglihatan-Ku,â€
(QS Al-Thur [52]: 48). Melalui Bencana dan Sikap PascabencanaSemua orang
pasti tidak mengharapkan mendapat bencana, meskipun mereka tahu bencana
itu penting dalam proses kemanusiaan, keberagaamaan, dan penghambaan.
Namun sesuai sunatullah, tidak jarang sesuatu yang tidak diinginkan
justru menjadi sesuatu yang banyak manfaatnya di kemudian hari.
Sebaliknya, sesuatu yang menyenangkan justru banyak mendatangkan madarat
di belakang hari. Bukankah banyak penyakit yang disebabkan oleh sesuatu
yang sangat disukai, seperti daging, yang manis-manis, es, dan lain
sebagainya? Sebaliknya, bukankah sebagian besar obat justru rasanya
tidak sangat disukai? Inilah sunatullah yang sudah diabadikannya dalam
ayat kauniyah di atas dan ayat qauliyah berikut: “Boleh jadi kalian
membenci sesuatu, padahal sesuatu itu sangat baik buat kalian. Boleh
jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal sesuatu itu sangat tidak baik
buat kalian,” (QS Al-Baqarah [2]: 216).
Terkait dengan bencana ini, banyak cara
orang dalam menyikapinya. Masyah (2007) menyebut beberapa variasi orang
dalam menyikapi musibah, seperti reaktif, emosional, arif, kontemplatif,
korektif, antisipatif, administratif, informatif, introspektif,
inovatif, responsif, produktif, kontraproduktif, traumatis, histeris,
koruptif, pasif, aktif, solider, altruistif, bahkan proaktif, atau hanya
sekadar rekreatif. Semua sikap ini, menurutnya, berhubungan erat dengan
kualitas orang yang bersangkutan.Saat bencana datang di menit-menit
pertama, biasanya memang belum disadari dampak yang akan timbul
setelahnya. Beberapa saat setelah bencana itu menimpa, barulah
terpikirkan banyak hal yang mungkin terjadi di kemudian hari. Saat
itulah biasanya seseorang mulai bersedih, menangis, dan berkeluh kesah.
Pertanyaannya, apa salah seseorang menangis dan bersedih setelah
mendapat bencana dalam pandangan Islam? Jawabnya, tidak, karena kedua
hal itu manusiawi. Nabi Muhammad saja saat ditinggal putranya yang
bernama Ibrahim pergi menghadap Sang Khalik, beliau juga bersedih dan
bahkan menangis. Saat ditinggal istrinya yang pertama, Khadijah, dan
pamannya yang selalu membela perjuangannya, Abu Thalib, Nabi Muhammad
juga sangat terpukul. Beliau begitu bersedih hingga tahun itu dinamakan
dengan ‘am al-huzn (tahun kesedihan).
Ketika ada seorang sahabat yang bertanya
setelah melihat Nabi menangis atas kematian Ibrahim, putranya, “Apa
Anda menangis? Bukankah Anda melarang kita menangis di saat seperti
ini?†Apa jawab Nabi? “Aku hanya dilarang berteriak-teriak histeris.
Mata ini tak kuasa menahan tetes air mata. Hati pun tak sanggup menahan
sedih. Tapi, aku hanya mengatakan apa yang diridai Allah.â€
Jawaban Nabi ini sekaligus memberi kunci
menyikapi bencana. Karena, memang ternyata banyak yang salah sangka
seolah-olah dilarang menangis dan bersedih saat mendapat bencana.
Padahal, anggapan seperti itu tidak benar adanya. Memang, ada hadis Nabi
yang menyatakan—kalau benar ini hadis—mayat akan disiksa lantaran
teriakan histeris keluarganya. Hadis ini yang sering dijadikan alasan
orang menyalahkan orang lain yang menangisi dan bersedih saat mendapat
bencana seperti kematian. Namun, bila teliti melihat redaksi hadis itu,
yang dilarang bukan menangis dan bersedih, tapi berteriak histeris.
Tangapan Nabi atas pertanyaan sahabat di atas juga semakin meyakinkan
kita semua bahwa menangis dan bersedih bukan suatu yang
salah. Mengapa berteriak histeris dilarang? Berteriak
histeris itu simbol keputusasaan, seolah-olah semuanya sudah berakhir.
Dengan bersikap seperti itu, seolah-olah tidak ada lagi yang bisa
diharapkan. Biasanya ini dilakukan oleh orang yang mengidap sindrom
Firaun. Ini juga biasa dilakukan orang-orang yang biasa mendramatisasi
persoalan. Berteriak histeris juga merupakan reaksi berlebihan atas
bencana yang menimpa. Ini juga melanggar asas proporsionalitas.
Seorang muslim harus menyadari bahwa
dirinya milik Allah. Ia bahkan tidak mempunyai kekuatan sedikit pun
menolak bencana yang menghampiri, meski itu sekecil titik sariawan yang
menghiasi bagian mulutnya. Dengan kata lain, ia sesungguhnya tidak
memiliki apa pun, bahkan atas apa yang melekat, apalagi hanya sekadar
menempel di tubuhnyaa. Semua yang ada pada dirinya hanya semata-mata
titipan ilahi, yang memang dipergunakan-Nya untuk menguji sejauh mana ia
memanfaatkannya untuk kepentingan yang memang disukai-Nya. Karena
sifatnya merupakan titipan, ia pasti tak sanggup menolak ketika
Pemiliknya meminta kembali. Dan, yang mesti ddisadari dari awal bahwa
semua ini pasti akan diminta-Nya kembali, bahkan nyawa yang mengalirkan
nafas kehidupan ini juga tak akan sanggup ditolak ketika Dia
memintanya.
Nah, apakah ketika satu demi satu atau
semua yang sudah diberikan-Nya itu diambil, seseorang tidak punya
harapan lagi? Tentu saja tidak. Ini sudah menjadi sunatullah (hukum
alam) bahwa ketika ada yang datang pasti ada yang pergi. Bila ada yang
hilang pasti akan ada ganti. Kesadaran akan sunatullah yang paling
mendasar ini sebetulnya akan banyak membantu proses pemulihan
pascabencana. Asalkan ini dipahami dengan arif dan sanggup dijalani
proses demi proses yang harus dilalui sebagai bagian dari ketentuan
Allah, tentu apa pun yang dialami, bahkan seberat apa pun, akan menjadi
mudah saja, atau setidaknya tidak terlalu didramatisasi seolah dunia
sudah berakhir.
Optimisme seperti ini yang tersembul
dalam doa yang biasa dipanjatkan orang-orang saleh setelah mendapat
bencana: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Allahumma ajirni fi
mushibati wa akhlifni khairan minha†(kita semua milik Allah dan kita
pasti akan kembali pada-Nya. Ya Allah, selamatkan aku dalam menghadapi
musibah ini dan berikan aku ganti yang lebih baik daripada sesuatu yang
sudah pergi).
Doa ini memberikan penyadaran luar biasa
bahwa yang memiliki semua ini, termasuk hidup ini dan seluruh perangkat
pendukungnya, adalah Allah. Sesuai dengan mekanisme dan manajemen ilahi
semenjak zaman azali, semua yang menjadi milik-Nya pasti akan kembali
pada-Nya, satu demi satu atau sekaligus, perlahan atau langsung
mendadak. Seseorang hanya bisa berharap diberi keselamatan dalam
menghadapi musibah itu, baik keselamatan ragawi maupun keselamatan
rohani, baik kesalamatan imani maupun kesalamatan materi. Harapan ini
pun juga dibarengi dengan optimisme bahwa Allah akan mengirimkan ganti
yang lebih baik daripada milik-Nya yang sudah diambil-Nya sebelum
bencana.
Kunci lain yang bisa mempercepat
pemulihan pascamusibah dan pascamasalah ialah menata diri untuk tetap
berada di jalan-Nya. Dengan kata lain, seseorang harus tetap konsisten
menjalankan apa yang menjadi kewajiban dan menjauhi apa yang bukan
menjadi hak sebagai orang yang beragama. Inilah yang dalam bahasa agama
biasa disebut takwa. Kata ini memang terlalu populer, tetapi
implementasinya tidak mengakar dalam kehidupan keseharian. Padahal, ini
sesungguhnya yang mampu menjamin kesempurnaan keberagamaan seseorang.
Tidak hanya itu, sikap ini juga mampu mengantarkan seseorang pada
kesempurnaan kemanusiaan. Sikap ini pun sangat bermanfaat untuk
mengembalikan dan memulihkan sisi kemanusiaan yang terkoyak pada saat
mengalami bencana. Dengan memiliki sikap ini, kehambaan dan penghambaan
tidak labil. Kalaupun berfluktuasi, bukan fluktuasi yang mengantarkannya
pada sisi negatif. Ia stabil meski digoncang apa pun.
Allah telah menjamin akan memberikan
jalan keluar atas semua kesulitan hidup bila seseorang memiliki sikap
ini. Dia juga berjanji akan selalu memberi rezeki dari pintu yang tak
terduga pada orang yang memiliki sikap ini. Apalagi bila mau menambahkan
sikap ini dengan kepasrahan yang disertai usaha dan doa, maka yakinlah
Dia pula yang akan mencukupi apa pun yang kita butuhkan. “Siapa saja
yang bertakwa pada Allah, maka Allah akan memberinya jalan keluar dan
membukakan pintu rezeki dari tempat yang tak terduga. Siapa yang pasrah
kepada Allah, niscaya Dia akan mencukupi kebutuhannya,†(QS Ath-Thalaq
[65]: 2-3). “Siapa saja yang bertakwa pada Allah, niscaya Allah
memudahkan segala urusannya,†(QS Ath-Thalaq [65]: 4). Dan, yang
terpenting, jaminan dan janji Allah tidak pernah diingkari-Nya. Biasanya
hanya soal waktu saja.
"Setiap ada kesulitan pasti ada
kelapangan," (QS Al-Insyirah [94]: 5). Setiap habis hujan deras pasti
mentari bersinar lebih indah. Setiap kemacetan separah apa pun, pasti
setelahnya ada kelengangan yang menjadi penghibur bagi pengendara yang
melaluinya. Seperti sudah disinggung sebelumnya, manusia memang tidak
bisa menolak bencana. Ia hanya bisa meminimalisasinya. Itu pun jika
Allah berkehendak. Karena, semua yang dikehendaki-Nya pasti terlaksana.
Nah, ketika kehendak-Nya itu sudah terlaksana, yakinilah bahwa semua
sudah diukurnya. Dia juga pasti adil memperlakukan ketentuan-Nya.
Kehendak-Nya pun pasti diiringi kehendak-Nya yang lain, yang meskipun
mulanya terlihat menyusahkan, tetapi pada akhirnya akan menyenangkan.
Dia tidak akan memberikan bencana melebihi kadar yang sanggup
ditanggung. "Allah pasti melaksanakan semua yang dikehendaki-Nya. Allah
juga telah menentukan kadar segala sesuatu," (QS Ath-Thalaq [65]: 2-3-).
Hikmah di Balik BencanaKesadaran seperti itu juga harus dibarengi
dengan optomisme bahwa Allah yang memberi bencana itu telah menyiapkan
hikmah di balik bencana.
Posted by. GAYO Nusantara.
No comments:
Post a Comment