LHOKSEUMAWE |SuaraLeuserAntara|: Lembaga Anti Korupsi, Masyarakat
Transparansi Aceh (MaTA), menemukan ada kejanggalan dalam pembangunan
jalan Bireuen – Takengen, yang dilaksanakan sejak tahun 2011. Minggu 2
Juni 2013.
Pembangunan jalan tersebut, telah ditemukan adanya indikasi korupsi.
Proyek pembangunan jalan tersebut merupakan proyek tanggap darurat,
untuk penanganan bencana longsor diruas jalan Bireuen-Takengon KM 26+000
dari Kota Bireuen.
pada 1 Januari 2011. Pemerintah Aceh saat itu melakukan Penunjukan
Langsung (PL) kepada PT. Mutiara Aceh Lestari untuk melaksanakan proyek
tersebut. berdasarkan hasil penulusuran MaTA, bukti-bukti adanya
indikasi korupsi, yaitu:
1. Terdapat dua pekerjaan yang dilaksanakan oleh PT. Mutiara Aceh
Lestari untuk ruas jalan Bireun-Takengon. Dua paket pekerjaan tersebut
terdiri dari Paket Km 26+000 s.d 27+500 (1.500 meter) yang dilaksanakan
berdasarkan kontrak sedangkan satu paket pekerjaan lainnya yaitu Paket
27+500 s.d 28+850 (1.300 meter) dilaksanakan tanpa kontrak.
2. Dalam paket pekerjaan pertama di atas (paket Km 26+000 s.d
27+500), BPK RI telah melakukan audit dan menemukan kelebihan pembayaran
sebesar Rp 379.038.730,35. Anehnya, walaupun berdasarkan audit BPK RI
tersebut sudah dinyatakan terjadi kelebihan pembayaran, namun Pemerintah
Aceh malah kembali menganggarkan dana untuk paket kegiatan ini sebesar
Rp 50.000.000.000 dalam APBA-Perubahan tahun anggaran 2012. Penganggaran
ini didasari oleh permintaan melalui surat dari PT. Mutiara Aceh
Lestari yang menyatakan bahwa untuk pengerjaan paket kegiatan tersebut
sudah menghabiskan dana sebesar Rp. 75.000.000.000.
3. Selain itu, PT. Mutiara Aceh Lestari kembali meminta pembayaran
untuk tahap ketiga kepada Pemerintah Aceh sebesar Rp 40.000.000.000.
Berdasarkan penelusuran informasi yang dilakukan oleh MaTA diduga kuat
bahwa dalam APBA Tahun Anggaran 2013 permintaan dana tersebut sudah
dialokasikan.
4. Merujuk pada beberapa informasi yang diterima oleh MaTA diduga
bahwa permintaan dana dari dua tahap terakhir tersebut (sebesar Rp
50.000.000.000 dan Rp 40.000.000.000) tersebut akan digunakan untuk
melunasi/ menutupi paket pekerjaan kedua yaitu Paket 27+500 s.d 28+850
(1.300 meter) yang dilakukan tanpa berdasarkan kontrak antara PT.
Mutiara Aceh Lestari dengan Pemerintah Aceh.
5. Pembayaran tahap kedua tersebut dilakukan oleh Pemerintah Aceh
walaupun hasil audit yang dilakukan oleh Inspektorat Aceh belum selesai.
Hal ini didasarkan pada rekemondasi oleh Inspektorat Aceh yang
ditandatangani oleh Drs. Samidan Angkasa Wijaya selaku Inspektur Aceh.
6. Dengan demikian, potensi kerugian keuangan negara sebesar Rp
50.379.038.730,35 (terdiri dari Rp 379.038.730,35 yang berdasarkan LHP
LKPA BPK RI dan 50.000.000.000 dalam APBA-Perubahan tahun anggaran
2012). Angka potensi ini akan bertambah apabila dalam APBA Tahun
Anggaran 2013 ini akan kembali dicairkan sebesar Rp 40.000.000.000. Bila
ini terjadi maka total potensi kerugian keuangan negara dalam proyek
Pembangunan Jalan Bireuen-Takengon (Proyek Tanggap Darurat) Di Provinsi
Aceh dapat mencapai Rp 90. 379.038.730,35.
Atas dasar temuan tersebut, MaTA telah melaporkan kasus indikasi
korupsi dalam pelaksanaan pembangunan ruas jalan Bireuen – Takengon Km
26+000 s.d 27+500 (1.500 meter) yang dilaksanakan sejak tahun 2011 ke
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan telah di terima oleh KPK pada
tanggal 16 Mei 2013.
Koordinator MaTA Alfian mengharapkan, agar Pemerintahb Aceh tidak
lagi menganggarkan dana tambahan sebagaimana yang dimintai oleh rekanan
pelaksana proyek.
Karena, berdasarkan hasil audit BPK RI perwakilah Aceh. Telah
ditemukan kelebihan pembayaran, sehingga Pemerintah Aceh tidak perlu
lagi menambah pembayaran pada proyek tersebut.
“Pemerintah Aceh harus meminta kembali kelebihan pembayaran kepada
rekanan, agar bisa disetor ke kas Pemerintah Aceh,” ujar Alfian.
Selain itu, MaTA juga meninta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) untuk segera mengambil langkah-langkah hukum terkait dugaan kasus
korupsi tersebut. Langkah hukum tersebut diharapkan dilakukan secara
langsung oleh KPK tanpa dilimpahkan penanganannya kepada aparatur
penegak hukum di daerah. Hal ini untuk menghindari konflik
kepentingan.(Sumber:The Aceh Traffic/ Release )