Search This Blog
Monday, December 2, 2013
Film Dokumenter “Biji Kopi Indonesia” Dibuat, ini Kata Budi Kurniawan
Film Dokumenter “Biji Kopi Indonesia” Dibuat, ini Kata Budi Kurniawan
Takengon – LintasGayo.co
: Buatlah film dokumenter yang dekat dengan kita, dan yang paling dekat
dengan saya adalah kopi, kata Budi Kurniawan, dalam acara Melek Kopi,
yang dilaksanakan Komunitas Seni Budaya Lintas Gayo (KSBLG) Minggu, 1
Desember 2013, di Wapres Cafe.
Atas dasar itulah, Budi bersama
teman-temannya membuat dokumenter bertajuk “Biji Kopi Indonesia”, dimana
salah satu tempat yang dijadikan pengambilan gambar di Kabupaten Aceh
Tengah dan Bener Meriah.
Menurutnya, film Biji Kopi Indonesia ini bergerak dengan pendekatan antropologis.
“Saya pernah berdiskusi dengan
antropolog UGM, dia bilang pada level tertentu tubuh manusia ini seperti
mekanik, in dan out sama, jika ingin masukan berkualitas maka keluaran
juga harus berkualitas”, terangnya.
Dari situlah lanjutnya lagi, dirinya membuat film Biji Kopi Indonesia sejak tahun 2011.
“Setelah saya membuat riset literature
baru saya berani membuat film ini dalam bentuk script, dan dari
literature yang saya peroleh, jauh sebelum Brazil menanam kopi Indonesia
sudah menanam kopi, di Gayo sendiri menurut data yang saya peroleh Kopi
telah ada sebelum kolonial masuk”, demikian kata Budi Kurniawan.
(Darmawan Masri)Mapesga Tampil di Internasional Culture Day, Penonton Terpukau
Mapesga Tampil di Internasional Culture Day, Penonton Terpukau
Banda Aceh-LintasGayo.co :
Mahasiswa Peduli Sejarah Gayo (Mapesga) yang ikut menampilkan kesenian
Didong dan tari Guel Gayo membuat para penonton terngangah di panggung
gedung AAC Dayan Dawood Banda Aceh, Senin (02\12\2013).
Dalam penampilan Didong, Mapesga menampilkan lagu budaya dan menyanyikan lagu Aman Dimot pahlawan dari Gayo yang kesohor.
Tidak lupa pula Mapesga menampilkan
alunan suling yang membuat penonton terdian sejenak dan memberikan tepuk
tangan yang demikian semarak.
Selain itu dengan hentakan dan kelihaian
tarian Guel yang dimainkan para penari juga membuat para penonton
sangat terhibur terbukti dengan masuknya dua penari Guel membuat badan
para penonton merinding.
Salah seorang dari peserta dari
Tajikistan sempat berteriak histeris diakibatkan terlalu menghayati
penampilan tersebut. (Sengeda Kale).
Mengungkap Misteri Asal Usul Nenek Moyang Bongso Batak
Selamat berkunjung di Horas Habatakon.
Habatakon adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan Batak
(Adat-istiadat Batak, Budaya, Sejarah Batak, Tanah Batak, dan lain-lain.
Horas Habatakon ini disiapkan untuk mendokumentasikan segala sesuatu
tentang Batak.
Hal ini karena kecintaan kami akan HaBatakon.
" Hidup untuk perjuangan bagi orang lain jauh lebih berarti daripada untuk diri sendiri..."
Mengungkap Misteri Asal Usul Nenek Moyang Bongso Batak
HoRaS HaBaTaKoN !
Misteri asal usul nenek
moyang orang Batak yang hidup di Sumatera Utara, dan sebagian wilayah
Aceh Singkil, Gayo, serta Alas, kini sudah mulai diketahui. Dari
sejumlah fakta dan hasil penelitian yang dilakukan mulai dari dataran
pegunungan di Utara Tibet, Khmer Kamboja, Thailand, hingga Tanah Gayo di
Takengon, Aceh, ternyata nenek moyang Bongso Batak berasal dari
keturunan suku Mansyuria dari Ras Mongolia.
Fakta ini diungkapkan Guru Besar Sosiologi-Antropologi Universitas Negeri Medan, Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak dalam makalah berjudul “Orang Batak dalam Sejarah Kuno dan Moderen”
Pada masa itu, nenek moyang orang Batak ini diusir oleh suku Barbar Tartar dari tanah leluhurnya di Utara Tibet. Pengusiran itu menyebabkan suku Mansyuria bermigrasi ke pegunungaan Tibet melalui Tiongkok (Cina). Dari peristiwa migrasi itu, saat ini di pegunungan Tibet dapat ditemukan sebuah danau dengan nama Toba Tartar.
“Suku Mansyuria memberikan nama danau itu untuk mengenang peristiwa pengusiran mereka oleh suku Barbar Tartar,” jelas Bungaran seraya menambahkan fakta ini diketahuinya dengan membuktikan langsung melalui penelitian bersama dua rekannya dari Belanda dan Thailand.
Selain melalui peneletian langsung, pembuktian tentang asal usul nenek moyang orang Batak juga diperkuat melalui sejumlah literatur. Antara lain, Elizabeth Seeger, Sejarah Tiongkok Selayang Pandang yang menegaskan nenek moyang orang Batak dari Suku Mansyuria, dan Edmund Leach, Rithingking Anhtropology yang mempertegas hubungan vertikal kebudayaan Suku Mansyuria dengan Suku Batak.
Hasil penelitian dan kajian literatur itu, Bungaran mendapati bahwa setelah dari pegunungan Tibet, suku Mansyuria turun ke Utara Burma atau perbatasan dengan Thailand. Di sini, suku Mansyuria meninggalkan budaya Dongson. Yakni sebuah kebudayan asli suku bangsa ini yang mirip dengan budaya Batak yang ada sekarang ini.
Tak bertahan lama di wilayah itu, suku Mansyuria yang terus dikejar-kejar suku Barbar Tartar kembali bergerak menuju arah Timur ke Kmer Kamboja, dan ke Indocina. Dari Indocina, suku Mansyuria menjadi manusia kapal menuju Philipina, kemudian ke Sulawesi Utara, atau Toraja (ditandai dengan hiasan kerbau pada Rumah Adat Toraja).
Kemudian mereka turun ke Tanah Bugis Sulawesi Selatan (ditandai dengan kesamaan logat dengan orang Batak), dan mengikuti angin Barat dengan berlayar ke arah Lampung di wilayah Ogan Komering Ulu, dan akhirnya naik ke Pusuk Buhit, Danau Toba.
Saat berlayar dari Indocina, sebagian suku Mansyuria melewati Tanah Genting Kera di Semenanjung Melayu. Dari sini, mereka berlayar menuju Pantai Timur Sumatera, dan mendarat di Kampung Teluk Aru di daerah Aceh.
Dari Teluk Aru ini, suku Mansyuria yang terus bermigrasi itu naik ke Tanah Karo, dan kemudian meneruskan perjalanan hingga sampai ke Pusuk Buhit.
“Penerus keturunan suku Mansyuria yang kemudian menjadi nenek moyang orang Batak ini terus berpindah-pindah karena mengikuti pesan para pendahulunya bahwa untuk menghindari suku Barbar Tartar, maka tempat tinggal harus di wilayah dataran tinggi. Tujuannya agar gampang mengetahui kehadiran musuh,” urai Bungaran.
Dari catatan Bungaran, generasi penerus suku Mansyuria tidak hanya menetap di Pusuk Buhit, tapi juga di wilayah Barus, dan sebagian lagi menetap di Tanah Karo.
Lama perjalanan migrasi suku Mansyuria dari tanah leluhur di Utara Tibet hingga keturunananya menetap di Pusuk Buhit, Barus dan Tanah Karo, sekitar 2.000 tahun. Sehingga situs nenek moyang orang Batak di Pusuk Buhit, diperkirakan telah berusia 5.000 tahun.
“Fakta ini diketahui melalui penemuan kerangka manusia purba di sekitar Takengon di daerah Gayo yang menunjukkan bahwa peninggalan manusia itu ada hubungannya dengan Budaya Dongson yang mirip budaya Batak,” beber Bungaran.
Menurut sejumlah literatur, budaya Dongson bisa diidentikkan dengan sikap kebudayaan mengenang (Kommemoratif) kebiasaan dan warisan nenek moyang yang wajib dilakukan oleh generasi penerus keturunan kebudayaan ini.
Budaya seperti ini, masih diterapkan secara nyata oleh orang Batak, terutama dalam rangka membangun persaudaraan horizontal/global. Yakni hula-hula/kalimbubu/tondong harus tetap dihormati, walau pun keadaan ekonominya sangat miskin. Demikian pula kepada boru, walau pun sangat miskin, juga harus tetap dikasihi.
“Prinsip kebudayaan Kemmemoratif seperti sejak dahulu hingga kini masih terpilihara dan tetap dijaga kelestariannya oleh suku Batak,”
http://indonesia.kini.co
Fakta ini diungkapkan Guru Besar Sosiologi-Antropologi Universitas Negeri Medan, Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak dalam makalah berjudul “Orang Batak dalam Sejarah Kuno dan Moderen”
Pada masa itu, nenek moyang orang Batak ini diusir oleh suku Barbar Tartar dari tanah leluhurnya di Utara Tibet. Pengusiran itu menyebabkan suku Mansyuria bermigrasi ke pegunungaan Tibet melalui Tiongkok (Cina). Dari peristiwa migrasi itu, saat ini di pegunungan Tibet dapat ditemukan sebuah danau dengan nama Toba Tartar.
“Suku Mansyuria memberikan nama danau itu untuk mengenang peristiwa pengusiran mereka oleh suku Barbar Tartar,” jelas Bungaran seraya menambahkan fakta ini diketahuinya dengan membuktikan langsung melalui penelitian bersama dua rekannya dari Belanda dan Thailand.
Selain melalui peneletian langsung, pembuktian tentang asal usul nenek moyang orang Batak juga diperkuat melalui sejumlah literatur. Antara lain, Elizabeth Seeger, Sejarah Tiongkok Selayang Pandang yang menegaskan nenek moyang orang Batak dari Suku Mansyuria, dan Edmund Leach, Rithingking Anhtropology yang mempertegas hubungan vertikal kebudayaan Suku Mansyuria dengan Suku Batak.
Hasil penelitian dan kajian literatur itu, Bungaran mendapati bahwa setelah dari pegunungan Tibet, suku Mansyuria turun ke Utara Burma atau perbatasan dengan Thailand. Di sini, suku Mansyuria meninggalkan budaya Dongson. Yakni sebuah kebudayan asli suku bangsa ini yang mirip dengan budaya Batak yang ada sekarang ini.
Tak bertahan lama di wilayah itu, suku Mansyuria yang terus dikejar-kejar suku Barbar Tartar kembali bergerak menuju arah Timur ke Kmer Kamboja, dan ke Indocina. Dari Indocina, suku Mansyuria menjadi manusia kapal menuju Philipina, kemudian ke Sulawesi Utara, atau Toraja (ditandai dengan hiasan kerbau pada Rumah Adat Toraja).
Kemudian mereka turun ke Tanah Bugis Sulawesi Selatan (ditandai dengan kesamaan logat dengan orang Batak), dan mengikuti angin Barat dengan berlayar ke arah Lampung di wilayah Ogan Komering Ulu, dan akhirnya naik ke Pusuk Buhit, Danau Toba.
Saat berlayar dari Indocina, sebagian suku Mansyuria melewati Tanah Genting Kera di Semenanjung Melayu. Dari sini, mereka berlayar menuju Pantai Timur Sumatera, dan mendarat di Kampung Teluk Aru di daerah Aceh.
Dari Teluk Aru ini, suku Mansyuria yang terus bermigrasi itu naik ke Tanah Karo, dan kemudian meneruskan perjalanan hingga sampai ke Pusuk Buhit.
“Penerus keturunan suku Mansyuria yang kemudian menjadi nenek moyang orang Batak ini terus berpindah-pindah karena mengikuti pesan para pendahulunya bahwa untuk menghindari suku Barbar Tartar, maka tempat tinggal harus di wilayah dataran tinggi. Tujuannya agar gampang mengetahui kehadiran musuh,” urai Bungaran.
Dari catatan Bungaran, generasi penerus suku Mansyuria tidak hanya menetap di Pusuk Buhit, tapi juga di wilayah Barus, dan sebagian lagi menetap di Tanah Karo.
Lama perjalanan migrasi suku Mansyuria dari tanah leluhur di Utara Tibet hingga keturunananya menetap di Pusuk Buhit, Barus dan Tanah Karo, sekitar 2.000 tahun. Sehingga situs nenek moyang orang Batak di Pusuk Buhit, diperkirakan telah berusia 5.000 tahun.
“Fakta ini diketahui melalui penemuan kerangka manusia purba di sekitar Takengon di daerah Gayo yang menunjukkan bahwa peninggalan manusia itu ada hubungannya dengan Budaya Dongson yang mirip budaya Batak,” beber Bungaran.
Menurut sejumlah literatur, budaya Dongson bisa diidentikkan dengan sikap kebudayaan mengenang (Kommemoratif) kebiasaan dan warisan nenek moyang yang wajib dilakukan oleh generasi penerus keturunan kebudayaan ini.
Budaya seperti ini, masih diterapkan secara nyata oleh orang Batak, terutama dalam rangka membangun persaudaraan horizontal/global. Yakni hula-hula/kalimbubu/tondong harus tetap dihormati, walau pun keadaan ekonominya sangat miskin. Demikian pula kepada boru, walau pun sangat miskin, juga harus tetap dikasihi.
“Prinsip kebudayaan Kemmemoratif seperti sejak dahulu hingga kini masih terpilihara dan tetap dijaga kelestariannya oleh suku Batak,”
Dan salah satu Lagu Pesan Nenek Moyang Bangso Batak
Sejarah Kerajaan Batak 3
Sejarah Kerajaan Batak 3
Sambungan dari Sejarah Kerajaan Batak 2
Gerakan Separati
Pada 600 M, komunitas Batak di Simalungun
memberontak dan memisahkan diri dari persemakmuran kerajaan Batak.
Mereka mendirikan kerajaan Nagur dengan bentuk dan identitas yang
berbeda. Mereka kemudian tidak mau disebut Batak atau Toba. Mereka ini
keturunan Batak yang bermukim di Tomok, Ambarita dan Simanindo di Pulau
Samosir. Di kemudian hari kerajaan Nagur di tangan orang Batak Gayo
tertransformasi menjadi beberapa kerajaan Islam di Aceh.
Simalungun merupakan tanah yang subur akibat bekas siraman lava. Siraman
lava dan magma tersebut berasal dari ledakan gunung berapi terbesar di
dunia, di zaman pra sejarah. Ledakan itu membentuk danau Toba. Orang
Simalungun berhasil membudidayakan tanaman, selain padi yang menjadi
tanaman kesukaan orang Batak; Pohon Karet.
Hasil-hasil pohon karet tersebut mengundang kedatangan ras Mongoloid;
orang-orang Cina yang sudah pintar berperahu pada zaman Dinasti Swi,
570-620 M. Di antaranya Bangsa Yunnan yang sangat ramah dan banyak
beradaptasi dengan pribumi dan suku bangsa Hokkian, suku bangsa yang
dikucilkan di Cina daratan, yang sering menjadi bajak laut di Lautan
Cina Selatan.
Kolaborasi dengan bangsa Cina tersebut membentuk kembali kebudayaan
maritim di masyarakat setempat. Mereka mendirikan kota pelabuhan Sang
Pang To di tepi sungai Bah Bolon lebih kurang tiga kilometer dari kota
Perdagangan. Orang-orang dari Dinasti Swi tersebut meninggalkan
batu-batu bersurat di pedalaman Simalungun.
Pada abad ke-7, utusan dagang kerajaan Barus Hatorusan berangkat dari
Barus menuju ke Cina membicarakan perdagangan bilateral antara Sumatera
dan Cina (Wolters 33).
Sementara itu laporan Cina yang lain mengatakan bahwa Sriwijaya pada
abad ke-7 dan 8 merupakan kerajaan ganda satu diantaranya ialah Barus
(Wolters 9). Diyakini lokasi strategis Barus dan volume perdagangan di
wilayah tersebut membuat kerajaan Hatorusan terlibat dalam pertikaian
politik dengan kerajaan Sriwijaya dari Sumatera Selatan dan Jawa,
sehingga saling menganeksasi.
Hubungan Barus dengan Sriwijaya dibicarakan di dalam kitab Sunda lama
“Carita Parahyangan” yang mengatakan bahwa Barus merupakan daerah
taklukan dari Raja Sanjaya, raja Sumatera dari Sriwijaya yang berkuasa
di Jawa dan mendirikan candi Borobudur (Krom 126).
Sriwijaya memang pernah menyerbu Barus, namun gangguan dari luar
tersebut dapat akhirnya diatasi sehingga Barus kembali menjadi kota yang
padat dengan perdagangan. Perkembangan pemikiran agama juga berkembang.
Saat ini mulai masuk Islam ke Barus. Sulaiman, seorang pedagang dan
penjelajah muslim, pada tahun 851 M memberitakan tentang adanya
penambangan emas dan perkebunan barus (kamper) di Barus (Ferrand 36).
Ahli sejarah menemukan bukti-bukti arkeologis yang memperkuat dugaan
bahwa sebelum munculnya kerajaan-kerajaan Islam yang awal di Sumatera
seperti Peurlak dan Samudera Pasai, yaitu sekitar abad-9 dan 10, di
Barus telah terdapat kelompok-kelompok masyarakat Muslim dengan
kehidupan yang cukup mapan (Dada Meuraxa dalam Ali Hasymi, Sejarah Masuk
dan Perkembangan Islam di Indonesia, bandung PT Al Ma’arif 1987).
Pada 850 M, kelompok marga Harahap dari Kubu Tatea Bulan, bekas populasi
Habinsaran bermigrasi massal ke arah Timur. Menetap di aliran sungai
Kualu dan Barumun di Padang Lawas. Kelompok ini sangat hobbi berkuda
sebagai kendaraan bermigrasi.
Karena ini, dalam jangka waktu yang singkat, sekitar dua tahun, mereka
sudah menguasai hampir seluruh daerah Padang Lawas antara sungai Asahan
dan Rokan. Sebuah daerah padang rumput yang justru sangat baik untuk
mengembangbiakkan kuda-kuda mereka.
Sebagain dari kelompok marga ini, melalui Sipirok, menduduki daerah
Angkola dan di sini tradisi mengembala dan menunggang kuda hilang,
mereka kembali menjadi komunitas agraris. Sementara di Padang Lawas
mereka menjadi penguasa feodalistik dan mulai memperkenalkan perdagangan
budak ke Tanah Batak Selatan.
Sementara itu pada 900 M, marga Nasution mulai
tebentuk di Mandailing. Beberapa ratus tahun sebelumnya, perbauran
penduduk dengan pendatang sudah menjadi tradisi di beberapa tempat,
khusunya yang di tepi pantai.
Penduduk dataran tinggi, para pendatang di pelabuhan Natal dan Muaralabu
(dikenal dengan sebutan Singkuang atau Sing Kwang oleh ejaan Cina), dan
terutama elemen-elemen bangsa Pelaut Bugis dari Sulawesi, yang singgah
sebelum berlayar berdagang menuju Madagaskar, telah berasimilasi dengan
penuh toleransi dengan bangsa Batak.
Para pendatang tersebut dengan sukarela interaksi dan menerima adat
Dalihan Natolu agar dapat mempersunting wanita-wanita setempat setelah
puluhan tahun di tengah laut. Datu Nasangti Sibagot Ni Pohan dari Toba,
seorang yang disegani saat itu, menyatukan mereka; campuran penduduk
peribumi dan pendatang tersebut, membentuk marga Nasution.
Sementara itu perebutan kekuasaan terjadi, Martua Raja Doli dari Sianjur
Sagala Limbong Mulana (Sianjur Mula-mula) dengan pasukannya merebut
wilayah Lottung di Samosir Timur. Percampuran keduanya membentuk
kelompok Marga Lottung Si Sia Marina, yang terdiri atas; Situmorang,
Sinaga, Nainggolan, Pandiangan, Simatupang, Aritonang dan Siregar.
Ibnu Rustih kurang lebih pada tahun 900 M menyebut Fansur, nama kota di
Barus, sebagai negeri yang paling masyhur di kepulauan Nusantara
(Ferrand 79). Sementara itu tahun 902, Ibn Faqih melaporkan bahwa Barus
merupakan pelabuhan terpenting di pantai barat Sumatera (Krom 204).
Kemasyhuran Barus juga mengundang imigran asing bermukim dan berdagang
serta menjadi buruh di beberapa sentral industri. Sebuah inskripsi Tamil
bertarikh 1088 M dari zaman pemerintahan Kulottungga I (1070-1120) dari
kerajaan Cola menyebut Barus terletak di Lobu Tua, dan banyak orang
Tamil tinggal di kota ini sebagai saudagar dan pengrajin (Krom 59-60).
Pada 1050 M, karena minimnya peralatan medis, epidemik melanda daerah
Lottung kembali. Masyarakat Lottung Si Sia Marina berhamburan ke luar
dari wilayah tersebut menuju daerah yang “sehat”. Akibatnya, kelompok
Marga Siregar terpecah dua menjadi Siregar Sigumpar dan Siregar Muara,
keduanya bermukin di Toba.
Sementara itu pada 1293 – 1339 M, Penetrasi orang-orang Hindu yang
berkolaborasi dengan Bangsa Jawa mendirikan Kerajaan Silo, di
Simalungun, dengan Raja Pertama Indra Warman dengan pasukan yang berasal
dari Singosari. Pusat pemerintahan teokrasi ini berkedudukan di Dolok
Sinumbah. Kelak direbut oleh orang-orang Batak dan di atasnya menjadi
cikal bakal kerajaan-kerajaan Simalungun dengan identitas yang mulai
terpisah dengan Batak. Kerajaan Silo ini terdiri dari dua level
masyarakat; Para Elit yang terdiri dari kaum Priyayi Jawa dan Masyarakat
yang terdiri dari kelompok Marga Siregar Silo.
Akibat berbagai rongrongan dan berbagai gempuran dari arah selatan
seperti Sriwijaya dan Kerajaan Hindu/Budha Pagarruyung, kerajaan
Hatorusan memindahkan ibukotanya ke Aceh Singkil. Pasukan Hatorusan
memperketat posisi kerajaan dengan modernisasi peralatan. Gajah, kuda
dan binatang-binatang buas lainnya dijadikan sebagai alat bantu kavaleri
dan pengawal istana. Oleh karena itu Dinasti Uti terkenal angker berkat
kehadiran Gajah-gajah dan binatang-binatang buas di sekitar istananya.
Barus saat itu tetap dipertahankan sebagai kerajaan kota perdagangan
dengan pimpinan sultan lokal yang bertanggung jawab kepada pusat
kerajaan.
Pada abad-13 Ibnu Said membicarakan peranan Barus sebagai pelabuhan
dagang utama untuk wilayah Sumatera (Ferrand 112). Marco Polo
mengunjungi Sumatera pada tahun 1292, dan menulis bahwa Barus merupakan
sebuah kerajaan, yang agak tergantung kepada Cina, tetapi merupakan
pelabuhan rempah-rempah yang penting dan memiliki otonomi (Krom 339).
Prapanca, seorang pujangga Majapahit abad ke-14, yang masyhur mengatakan
di dalam Negara Kertagama bahwa Barus merupakan salah satu negeri
Melayu yang penting di Sumatera. Negeri Barus menjadi terkenal karena
masyarakat Batak di Sumatera saat itu, Batak Pesisir, menggunakan bahasa
Melayu sebagai Lingua Franca.
Pada 1350, kelompok Marga Siregar bermigrasi
ke Sipirok di Tanah Batak Selatan. Sementara itu antara tahun 1416 –
1513 M, pasukan Cina dibawah komando Laksamana Haji Sam Po Bo, Ceng Ho,
dalam armada kapal induk mendarat di Muara Labuh di muara Sungai Batang
Gadis. Salah satu misi mereka yakni mengejar para bandit Hokkian
tercapai. Sebelum berangkat kembali menuju tujuan mereka, pasukan Cengho
yang berjumlah ribuah itu mendirikan industri pengolahan kayu dan
sekaligus membuka pelabuhan Sing Kwang (Singkuang=Tanah Baru).
Di tahun 1416-1513 M, orang-orang Tionghoa yang beragama Islam mulai
berdatangan ke Sing Kwang dan berasimilasi dengan penduduk khususnya
kelompok marga Nasution. Para Tionghoa tersebut membeli Kayu Meranti
dari pengusaha setempat dan mengirimkannya ke Cina daratan untuk bahan
baku tiang istana, kuil dan tempat ibadah lainnya.
Di pedalaman Batak pada tahun 1450-1500 M, Islam menjadi agama resmi
orang-orang Batak Toba, khususnya dari kelompok marga Marpaung yang
bermukim di aliran sungai Asahan. Demikian juga halnya dengan Batak
Simalungun yang bermukim di Kisaran, Tinjauan, Perdagangan, Bandar,
Tanjung Kasau, Bedagai, Bangun Purba dan Sungai Karang.
Antara tahun 1450-1818 M, kelompok marga Marpaung menjadi supplaier
utama komoditas garam ke Tanah Batak di pantai timur. Mesjid pribumi
pertama didirikan oleh penduduk setempat di pedalaman Tanah Batak;
Porsea, lebih kurang 400 tahun sebelum mesjid pertama berdiri di
Mandailing. Menyusul setelah itu didirikan juga mesjid di sepanjang
sungai Asahan antara Porsea dan Tanjung Balai. Setiap beberapa kilometer
sebagai tempat persinggahan bagi musafir-musafir Batak yang ingin
menunaikan sholat. Mesjid-mesjid itu berkembang, selain sebagai termpat
ibadah, juga menjadi tempat transaksi komoditas perdagangan.
Di Lain pihak, sejak orang-orang Sriwijaya datang, Barus telah mempunyai
hubungan politik dan dagang yang lebih kuat dengan beberapa kerajaan
Hindu di Jawa.
Namun kedatangan orang-orang tersebut juga mengundang niat-niat yang
tidak baik. Abad 13, 14, dan 15 merupakan abad peperangan di Barus.
Abad 13, orang-orang Sriwijaya datang menyerang Barus disusul penyerbuan
Majapahit pada abad 14 dan invasi orang-orang Minangkabau pada abad 15.
Namun masuknya gelombang pedagang dan saudagar ke Barus mengakibatkan
penduduk lokal Batak di lokasi tersebut; Singkil, Fansur, Barus, Sorkam,
Teluk Sibolga, Sing Kwang dan Natal memeluk Islam setelah sebelumnya
beberapa elemen sudah menganutnya. Walaupun begitu, mayoritas masyarakat
Batak di sentral Batak masih menganut agama asli Batak.
Kelompok Marga Tanjung di Fansur, marga Pohan di Barus, Batu Bara di
Sorkam kiri, Pasaribu di Sorkam Kanan, Hutagalung di Teluk Sibolga,
Daulay di Sing Kwang merupakan komunitas Islam pertama yang menjalankan
Islam dengan kaffah.
Dominasi komunitas muslim marga Hutagalung dalam bidang ekonomi di Tanah
Batak terjadi antara 1513-1818 M. Komunitas Hutagalung dengan
karavan-karavan kuda menjadi komunitas pedagang penting yang
menghubungkan Silindung, Humbang Hasundutan dan Pahae. Pada abad ke-16
ini marga Hutagalung mendirikan mesjid lokal kedua di Silindung.
Perkembangan Baru
Beberapa
perubahan konstalasi politik terjadi di pedalaman Batak. Ompu Tuan
Doli, Raja yang memerintah di Luat Sagala Limbong, yang mempunyai dua
orang anak, meninggal dunia.
Anak pertama bernama Datu Dalung alias Rimbang Saudara atau Maima yang
dikenal dengan sebutan Erha Ni Sang Maima sementara anak yang kedua Datu
Pulungan.
Sang Raja mendidik anak-anaknya dengan baik. Segala kesaktian dan
kekuatan magisnya diajarkan kepada anak-anaknya secara merata. Semua
pangeran-pangeran calon penerus raja diperlakukan dengan adil dan sama
rata. Kehidupan mereka berlangsung harmonis dengan bimbingan sang ayah.
Akan tetapi pertikaian mulai muncul saat wafatnya raja. Anak-anaknya
mulai mempermasalahkan siapa yang paling berhak menjadi penerus tahta.
Namun sesuai dengan ketentuan konstitusi adat yang mengatur suksesi
politik, Sang Maima sebagai anak sulung terpilih menjadi Raja.
Namun kedua bersaudara, beserta keturunanya, beberapa dekade kemudian
bersepakat untuk meninggalkan Luat Sagala Limbong, wilayah yang mereka
tempati selama ini.
Tidak disebutkan alasan khusus mengapa migrasi ini dilakukan. Namun
dapat dipastikan dalam sejarah Batak, faktor-fator migrasi adalah di
antaranya; Pandemi kolera (ini yang sering yang terjadi), peperangan,
ekonomi dan perluasan wilayah.
Datu Pulungan dengan kerabatnya bermigrasi ke Silindung dan diteruskan
sampai wilayah Mandailaing. Di Mandailing mereka bermukim. Sementara itu
Datu Dalu dan para turunannya memilih untuk bermigrasi ke arah barat.
Sebagian menuju Lobu Tua mengikuti para leluhur mereka yang terlebih
dahulu berdomisili dan menjadi penguasa di sana; Sebagaimana Raja Uti,
mereka ini juga berasal daru kubu Tatae Bulan. Di antara mereka yang
turut pindah adalah Datu Negara yang dikenal dengan Manande Uhum dan
Datu Tenggara alias Parubahaji.
Dalam konstalasi politik berikutnya, di pesisir Barat Sumatera, terjadi
persaingan dan pertikaian politik antara Sultan Moghul, Raja Pariaman,
di Sumatera Barat, selatan pesisir Barus dengan Sultan Ri’ayatsyah yang
dikenal dengan dengan Raja Buyung di Aceh. Keduanya masih bersaudara.
Puncaknya Sultan Moghul ingin menaklukkan Aceh.
Armada angkatan laut Sultan Moghul berangkat menuju Aceh. Beribu pasukan
‘marinir’ tersebut kemudian berlabuh dan melepas jangkar di Fansur
untuk memenuhi kebutuhan logistik mereka. Fansur memang pusat
perdagangan dan ilmu pengetahuan dunia, tokoh yang lahir dari wilayah
ini adalah mereka yang mempunyai kinayah Al Fansuri.
Saat itu panglima memerintahkan anak buahnya untuk menyelidiki dan
mencari tahu mengenai perkembangan Aceh yang terkini. Mereka meminta
nasehat dari dua orang ahli strategi Batak; Datu Tenggaran dan Datu
Negara, keduanya dari klan Pasaribu. Mereka juga diajak untuk ambil
bagian dalam misi tersebut. Posisi Fansur yang cenderung netral
tergoyahkan.
Namun perkembangan politik dan melalui pertimbangan-pertimbangan,
pasukan Sultan Mogul membatalkan niat penyerbuan tersebut. Datu
Tenggaran diminta untuk memimpin pasukan kembali ke Pariaman.
Datuk Negara sendiri tidak berkenan untuk mengikuti pasukan tersebut ke
Pariaman, dia lebih memilih untuk tetap berada di Fansur. Dalam pesan
selamat tinggalnya, Datuk Teggaran bersumpah kelak akan kembali ke
negeri Fansur di Barus. Segumpal tanah dan sekendi air Fansur jadi
saksinya.
Di Negeri Pariaman, Datu Tenggaran menyempatkan diri untuk memperdalam
agama Islam. Diapun berganti nama menjadi Muhammad. Kegigihan dan
kedisiplinan Muhammad dalam mengemban tugas-tugas negara membuat Sultan
Moghul bersimpati. Dia menawarkan adiknya Siti Permaisuri putri raja
Indrapura Munawarsyah.
Setelah menikah, keduanya membuka wilayah baru dan dinamakan Tarusan
untuk mengenang kakeknya Raja Hatorusan II di Negeri Fansur. Sebagai
petinggi dan pembuka wilayah Datu Tenggaran dianugerahi gelar Sultan
Muhammadsyah.
Di kota baru ini Muhammadsyah juga membawa serta ribuan pengikutnya.
Muhammadsyah sendiri mulai membina keluarganya dengan rukun.
Anak-anaknya tumbuh besar dan berkembang dengan didikan disiplin dan
kebijaksanaan yang mendalam dari sang ayah.
Namun, Salah satu anaknya yang bernama Sultan Ibrahimsyah, menjelang
dewasa, sekitar umur 17 tahun, berselisih paham dengannya. Perselisihan
tersebut meruncing dan tidak dapat diatasi lagi. Ibrahimsyah pun memilih
untuk meninggalkan Negeri Terusan dengan membawa pengikut 1000 orang
menuju Fansur.
Mereka berlayar ke Utara menyusuri pantai barat Sumatera. Namun karena
persiapan yang kurang memadai, di Batu Mundam, kapal mereka mengalami
nahas dan tenggelam. Rombongan tersebut memilih melanjutkan perjalanan
melalui rute darat dan mengikuti aliran sungai Batangtoru sampai ke
Silindung. Dari kota lembah ini mereka melanjutkan perjalanan menuju
Bakkara. Keinginan untuk menuju Fansur pun dihentikan sementara.
Di Bakkara mereka disambut oleh keluarga raja lokal. Setelah mengetahui
silsilah masing-masing masyarakat di Bakkara meminta Ibrahimsyah untuk
menjadi pemimpin. Hal itu karena mereka mengetahui nenek moyangnya, raja
Hatorusan, merupakan Raja Batak yang paling disegani pada zaman itu,
namun tawaran ini ditolaknya. Sebagai gantinya dia berjanji dengan
berpesan; “Jika anakku ini lahir seorang laki-laki dengan tanda-tanda
tertentu yang ibunya adalah anak raja negeri ini, angkatlah menjadi
raja!”.
Perjalanan dilanjutkan sampai ke negeri Fansur Pasaribu, Sorkam. Disana
mereka memperkenalkan diri, menyebutkan asal-usul tarombo dan marganya,
Ibrahimsyah pun akhirnya diterima dalam komunitas keluarga Pasaribu
tersebut.
Setelah menetap setempat dan berpikir mendalam, Ibrahimsyah dan
pengikutnya memutuskan untuk meneruskan perjalanan mengikuti matahari
tenggelam. Setelah mendapat persetujuan mereka meneruskan perjalanan dan
diantar oleh empat petinggi Pasaribu: Matondang, Tarihoran, Bonda dan
Habeahan mereka inilah yang disebut sebagai raja-raja Pasaribu Si Opat
Pusoran di Negeri Pasaribu itu. Pada masa sekarang berdasarkan rapat
Pasaribu Saruksuk mereka yang disebut Opat Pusoran tersebut adalah
Habeahan, Bondar, Gorat dan Saruksuk.
Barus Dibangun Kembali :
Dengan menempuh perjalanan menembus hutan belantara mereka sampai di
wilayah Pagaran Limbong dan diputuskan untuk bermalam di sana. Esoknya
mereka meneruskan perjalanan sampai di tepi laut dekat muara sungai.
Ibrahimsyah kemudian meneliti daerah itu dan melihat bahwa daerah
tersebut sesuai untuk dihuni. Berdasarkan survey, sesuai dengan air dan
tanah yang dibawa ayahnya dulu, dia membulatkan tekad dan niat untuk
tinggal di sana; Barus.
Ibrahimsyah dan para pengikutnya berhasil membangun Barus kembali.
Wilayah ini, secara politik terlah carut-marut diterjang pertikaian
dengan kerajaan-kerajaan tetangga; Aceh, Hindu Minang, Sriwijaya dan
Majapahit.
Sultan Ibrahimsyah berhasil menduduki tampuk pimpinan di Barus. untuk
mengenang dan memperkuat kedaulatannya dia mengklaim kerajaannya sebagai
penerus Kerajaan Hatorusan dengan ibukota Barus. Kerajaan Hatorusan
lama sendiri sudah melemah dan kedaulatannya sudah terpecah-pecah.
Pembangunan Kerajaan Hatorusan dilanjutkan dengan membentuk konfederasi
kerajaan dan wilayah kecil. Fansur dan Sorkam tunduk ke Ibrahimsyah.
Namun, selang beberapa lama, Ibrahimsyah kemudian menyadari bahwa
dibagian hulu sungai telah eksis sebuah kerajaan tersendiri. Selisih
paham mengenai batas-batas wilayah pun pecah.
Namun sebelum pertumpahan darah berlangsung, persengkataan itu dapat
didamaikan melalui sebuah traktat; Kerajaan Hulu tersebut diakui
eksistensinya dan dinamakan Kerajaan Barus Hulu, Rajanya tetap
memerintah dan tunduk kepada konfederasi yang dikepalai oleh Sultan
Ibrahimsyah, Raja di hilir Barus, pengaruhnya diakui di seluruh
Konfederasi Kerajaan Barus (Raya); Kerajaan Hatorusan yang baru.
Pembangunan Barus pun akhirnya dilanjutkan menjadi sebuah bandar yang
terkenal pada saatnya. Pembangunan tidak hanya dilakukan dalam
infrstruktur kerajaan tetapi juga suprastruktur SDM-nya.
Sultan memberikan perhatian besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Individu-individu yang mempunyai bakat yang brilyan akan
mendapat sokongan dan dukungan dana untuk mengembangkan ilmu-ilmu
mereka. Ilmu sejarah, hukum, sosial dan politik serta penguasaan
teknologi merupakan beberapa cabang ilmu yang berkembang saat itu.
Komunitas-komunitas dagang diperbolehkan untuk membuka wilayah dan
membangun masyarakatnya sendiri dalam enclave-enclave yang dilindungi
keamanannya. Orang-orang China, Arab dan pedaganga India merupakan kaum
imigran yang berdomisili di sana.
Produk-produk Barus
Sultan Ibrahimsyah menjadi legenda sebagai sultan pribumi yang terkuat
di tanah Batak. Akibat dukungan Sultan kepada ilmu pengetahuan, beberapa
sarjana pribumi lahir dan menorehkan hasil karyanya. Di antaranya
Hamzah Fansuri. Seorang penyair dan ilmuwan pada bidang sosial, politik
dam agama. Muridnya bernama Syamsuddin al-Sumatrani. Syamsuddin kemudian
merantau ke Aceh dan menjadi penasihat politik dan agama di Pasai bagi
Sultan Iskandar Muda dia wafat tahun 1630 M. Namanya kemudian dikenal
sebagai Syamsuddin van Pasai. Aceh pada awal abad-17 menginvasi Barus.
Intelektual lain adalah Abdul Rauf Fansuri. Tidak diketahui apa marga
mereka ini, tapi dipastikan Fansur dan Barus didominasi oleh campuran
keturunan Arab, Farsi, Gujarat dengan Marga Pasaribu, Pohan dan Tanjung.
Pengaruh Sultan Ibrahimsyah Pasaribu juga menjadi masyhur sampai ke
negeri Aceh, bahkan dalam beberapa ekspansinya di sana, dia berhasil
memperkenalkan agama Islam di sebagain besar penduduk Aceh bahagian
barat. Kelompok Pasaribu melalui Ibrahimsyah Pasaribu dengan demikian
juga dikenal sebagai pembawa agama Islam di Negeri Aceh. Walaupun begitu
agama Islam sendiri diyakini sudah dikenal oleh penduduk Aceh khususnya
mereka yang tinggal di bagian pesisir timur. Komoditas perdagangan
Barus juga meningkat secara kuantitas dan kualitas.
Pada permulaan abad-16, Tome Pires-seorang pengembara Portugis- yang
terkenal dan mencatat di dalam bukunya “Suma Oriental” bahwa Barus
merupakan sebuah kerajaan kecil yang merdeka, makmur dan ramai didatangi
para pedaganga asing.
Dia menambahkan bahwa di antara komoditas penting yang dijual dalam
jumlah besar di Barus ialah emas, sutera, benzoin, kapur barus, kayu
gaharu, madu, kayu manis dan aneka rempah-rempah (Armando Cartesao, The
Suma Oriental of Tome Pires and The Book of Rodrigues,
Nideln-Liechtenstein: Kraus Reprint Ltd,.1967; hal. 161-162).
Seorang penulis Arab terkenal Sulaiman al-Muhri juga mengunjungi Barus
pada awal abad ke-16 dan menulis di dalam bukunya al-Umdat al-Muhriya fi
Dabt al-Ulum al-Najamiyah (1511) bahwa Barus merupakan tujuan utama
pelayaran orang-orang Arab, Persia dann India. Barus, tulis al-Muhri
lagi, adalah sebuah pelabuhan yang sangat terkemuka di pantai Barat
Sumatera.
Pada pertengahan abad ke-16 seorang ahli sejarah Turki bernama Sidi Ali
Syalabi juga berkunjung ke Barus, dan melaporkan bahwa Barus merupakan
kota pelabuhan yang penting dan ramai di Sumatera. (Lihat. L.F. Brakel,
Hamza Pansuri, JMBRAS vol. 52, 1979).
Sebuah misi dagang Portugis mengunjungi Barus pada akhir abad ke-16, dan
di dalam laporannya menyatakan bahwa di kerajaan Barus, benzoin putih
yang bermutu tinggi didapatkan dalam jumlah yang besar. Begitu juga
kamfer yang penting bagi orang-orang Islam, kayu cendana dan gaharu,
asam kawak, jahe, cassia, kayu manis, timah, pensil hitam, serta sulfur
yang dibawa ke Kairo oleh pedagang-pedagang Turki dan Arab. Emas juga
didapatkan di situ dan biasanya dibawa ke Mekkah oleh para pedagang dari
Minangkabau, Siak, Indragiri, Jambi, Kanpur, Pidie dan Lampung. (Lihat
B.N. Teensma, “An Unkown Potugese Text on Sumatera from 1582″, BKI, dell
145, 1989.
Dapat dipastikan bahwa di kota yang ramai dengan masyarakat kelas
menengah seperti Barus telah terdapat lembaga-lembaga pendidikan,
khususnya sekolah-sekolah agama. Di situ orang dapat mempelajari
ilmu-ulmu agama, termasuk tasawuf dan kesusasteraan. Sehingga bahasa
Melayu sebagai lingua franca mendapat penguatan dan modernisasi. Hamzah
Fansuri merupakan orang yang memperkenalkan keindahan bahasa Melayu
Barus.
Kemajuan dan perkembangan pemikiran di daerah ini, dengan masuknya
orang-orang Arab & Yunnan mengakibatkan terjadinya modernisasi
pendidikan. Modernisasi pendidikan sudah terjadi di Fansur sejak abad
ke-9 dan akhirnya menyebar ke seluruh Barus. Partungkoan dimodernisasi
dengan sistematisasi yang terstruktur layaknya halaqah-halaqah serta
daurah-daurah ilmiyah. Setelah seorang anak mendapat pendidikan di
keluarga mengenai filsafat dasar pendidikan, mereka akan diserahkan
orang tuanya kepada seorang raja patik untuk dididik di partungkoannya
bersama anak-anak lainnya. Silabus yang dipakai saat ini adalah
al-nizhamiyah. Anak-anak akan diajari baca tulis dan penghafalan
al-Qur’an.
Lulusan sekolah dasar ini akan dianggap lulus setelah menghafal 30 Juz,
kemudian sekitar umur 8 tahun anak akan diarahkan ke Partungkoan atau
daurah lain yang lebih tinggi. Di sini mereka diajari ilmu bahasa sesuai
dengan minat dan latar belakang keluarga si anak. Misalnya, bahasa
Batak, Cina, Melayu, Tamil, dan Arab, namun ilmu yang paling digandrungi
adalah bahasa Farsi, yang saat itu menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Di
Barus sendiri telah lama bermukim komunitas asing; Arab, Tamil, Farsi,
Turki, Gujarat, Yunnan, Bugis, Jawa, Siam, Minang, Siak dan lain-lain.
Saat kemunduran Barus, mereka eksodus ke kerajaan Aceh, sebagian memilih
berasimilasi dengan penduduk setempat.
Setelah itu mereka akan dimasukkan ke partungkoan atau majlis yang
mengajarkan dasar-dasar ilmu sosial, ilmu ukur, hitung, al-Goritma
dasar, fiqih, tauhid serta ilmu-ilmu dasar lainnya.
Tahap selanjutnya, pada umur 15-an mereka akan masuk dalam kelas yang
mempelajari beberapa undang-undang dan hukum-hukum yang dianut oleh
kerajaan, pengetahuan umum yang up to date, sehingga pengetahuan mereka
akan matching dengan perkembangan hubungan inter-personal di masyarakat.
Sampai tahap ini, mereka yang bermukim di pedalaman misalnya seorang
anak yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi, akan berusaha mencari
bekal hidup di perantauan nanti; Pusat kota Barus. Mahalnya biaya hidup
disana mengharuskan mereka bekerja sejak remaja. Dia akan berinisiatif
untuk membuka ladang baru, biasanya nilam dan produk lainnya. Hasilnya
akan dikumpulkan di gudang penyimpanan. Hal itu terus dilakukan sampai
2-3 tahun. Saat berangkat melanjutkan pendidikan tinggi, ‘tabungan’ di
gudang tersebut baru dijual sekaligus ke Barus. Hasilnya, akan cukup
untuk membeli sebuah tempat tinggal, seekor kuda tunggangan ke tempat
kuliah dan sekaligus modal awal untuk memulai hidup dengan berusaha. Ada
yang membuka toko, rumah pandai besi (panopa) dan bentuk jasa lainnya.
Tentu, calon mahasiswa yang bermukim di Barus tidak perlu serumit itu.
Level pendidikan tinggi disebut level daurah Hadits. Di Partungkoan ini,
ribuan mahasiswa akan duduk bersama dalam gedung yang sangat luas
mendengarkan pengajaran dari beberapa raja patik alias mu’allim yang
mempunyai kredibilitas perawi sunan dengan bukti syahadah atau ijazah
yang menghubungkan mereka dengan para perawi hadits-hadits di masa lalu.
Di sini mereka akan mempelajari ilmu-ilmu ketabiban, medis, pengobatan,
geografi, ilmu bumi, hukum-hukum menurut berbagai mazhab dan
aliran-aliran, teologi dan sejarah para pemikir dan pemimpin dulunya dan
bab-bab lain yang terkandug dalam kutubussittah. Saat mengkhatamkan
Kutubussittah, yang menjadi ‘major’ di lembaga ini, para orang tua dan
masyarakat akan diundang dan sebuah festival besar akan diadakan untuk
menghormati lulusnya sarjana-sarjana baru tersebut. Para lulusan baru
tersebut akan mendemonstrasikan kemampuan hafalan mereka dengan
melafalkan luar kepala ratusan bahkan ribuan bait matan hadits. Setiap
lulusan baru tersebut akan diberi sebuah kertas yang berisi sebuah
kesaksian bahwa orang tersebut telah belajar kepada si anu, menyebut
nama mu’allimnya, yang mana dia belajar dari si Anu yang belajar dari si
Anu dan seterusnya. Dan yang bersangkutan berhak untuk menyebarkan
ilmunya. Ini adalah tanda lulus yang kredibel dan syah.
Maka rebana dan marawis pun ditabu, lulusan-lulusan dari Yunnan akan
bergembira dengan menyalakan mercon-mercon yang banyak. Orang-orang
Farsi, Arab dan Gujarat dengan jenggot yang tebal memilih merayakannya
di rumah masing-masing.
Orang-orang Batak, ditemani kedua orang tuanya akan memilih merayakannya
di atas anjungan kapal-kapal mereka sambil berlayar ke pulau-pulau
setempat. Orang-orang minang akan kembali ke tokonya sambil membagikan
manisan kepada pelanggannya, tanpa kegembiraan atas kelulusan
pemiliknya.
Seorang yang belajar dari mu’allim yang kredibel dan mu’allim tersebut
belajar dari orang yang disegani dan terkenal, maka orang tersebut akan
mendapat status yang lebih kuat di masyarakat. Sampai titik ini
normalnya seorang akan berumur 20 tahun. Namun patokan umur bukan
persyaratan dalam belajar pada waktu itu. Ada yang membutuhkan 3-5 tahun
di sebuah majlis, ada yang hanya membutuhkan 2-6 bulan untuk menguasai
ilmu yang tersedia. Dalam semua level pendidikan, ada yang menamatkannya
saat umurnya masih belasan tahun ada juga yang masih mengulang walau
umurnya sudah setengah abad. Para lulusan daurah ini akan menjadi
raja-raja patik atau mu’allim (orang Batak menyebutnya parmalim) di
komunitas masing-masing.
Sebagian dari mereka akan masuk menjadi anggota dewan parbaringin
(penasehat) di huta masing-masing yang berfungsi sebagai badan legislasi
membantu Raja Huta menata kehidupan masyarakat. Para lulusan yang
banyak dari marga Tanjung, Pasaribu, Pohan, Simanjuntak, Sigalingging,
Simbolon dan Daulay saat itu sangat disegani karena komitmen mereka
dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Para mahasiswa medis akan memilih
untuk membuka praktek kedokteran di masyarakat dan menyebut diri sebagai
‘tabib’.
Sebagian dari mereka yang menguasai ilmu bumi dan geografi, akan menjadi
nakhoda di kapal-kapal pribumi atau asing, yang mengarungi lautan luas
demi berdagang dan memperluas pangsa pasar maupun dalam sebuah pelayaran
misi antar kerajaan. Para mu’alim yang menjadi nakhoda tersebut sangat
disegani karena luasnya pengetahuan yang dimilikinya.
Sebagian lagi akan meneruskan pelajaran mereka dalam partungkoan atau
majlis yang lebih kecil. Studi mereka tidak lagi dilakukan dalam aula
besar secara massal tapi di dalam ruangan-ruangan kecil dengan jumlah
mahasiswa yang lebih sedikit kepada seorang mu’alim yang menguasai
spesialisasi ilmu pengetahuan tertentu. Raja patik yang sudah
berpengalaman dalam praktek nyata tersebut akan memanfaatkan muridnya
sebagai asisten pribadinya dalam penulisan buku, pengajaran di
partungkoan dan lain sebagainya. Proses ini dinamakan takhassus yang
bertujuan penguasaan terhadap bidang-bidang tertentu saja, misalnya,
ilmu hukum, ilmu tafsir, ilmu jirahat atau tabib atau hadatuan yang
modern, astrologi, astronomi, geografi, ilmu hayat, ilmu ukur, ilmu
mu’amalah dalam penguasaan ekonomi dan perdagangan, ilmu al-hasib al-aly
dalam bidang penguasaan ilmu tenun dan ilmu applikasi lainnya dan
ijtima’iyah serta ilmu-ilmu lainnya.
Tahap terakhir adalah takhsis, dimana seorang mahasiwa diarahkan untuk
melakukan pengembangan terhadap kemampuan mereka. Seorang raja patik
atau mu’allim agung yang paling disegani akan membimbing mereka yang
takhsis untuk melakukan beberapa eksperimen dalam ruang lingkup
pengetahuan yang mereka kuasai. Setiap orang yang terlibat akan
menuangkan hasilnya dalam beberapa catatan untuk diserahkan agar dinilai
dan di-tarjih.
Catatan-catatan tersebut pada akhirnya akan menjadi ‘trade mark’ sarjana
tersebut. Catatan atau disertasi tersebut, bisa berupa syarah buku-buku
yang sudah ada maupun subjek yang baru, akan diperebutkan oleh
maktab-maktab (perpustakaan-perpustakaan swadaya) untuk disimpan dengan
mereka. Beberapa disimpan sendiri oleh pemiliknya. Para mahasiswa
mendatang yang ingin mengambil sebagian isinya akan disyaratkan untuk
membayar dengan beberapa keping mata uang, mengganti ongkos penulisan
kembali (salinan) buku tersebut.
Profesi katib pun menjadi marak di berbagai perpusatakaan. Si pembaca
buku, bila ingin mendapatkan kopi atau salinan dari buku yang dia
iginkan dapat memesankan salinan kepada katib-katib yang bersedia
menuliskan seluruh atau sebagai isi buku. Dalam dua atau tiga hari
sebuah kopi dan salinan buku tersebut sudah siap untuk diambil, tentu
setelah memberikan upah jasanya. Ada juga para sarjana tersebut
menyimpan sendiri bukunya, sehingga dia akan menjadi katibnya dan
mendapatkan margin yang lebih besar.
Mereka yang mempunyai tingkat ekonomi yang tinggi, akan berusaha
menggenapkan pengetahuannya dengan berkelana, menumpang kapal-kapal
asing, ke Mekkah sambil menunaikan ibadah haji. Sebagian mengikuti
kapal-kapal asing lainnya dengan tujuan yang berbeda dan tidak pernah
kembali. Di Mekkah mereka akan tinggal satu sampai tiga tahun, untuk
selanjutnya kembali lagi, demi standarisasi pengetahuan mereka dengan
ribuan orang dan sarjana lain yang datang dari segala penjuru dunia.
Seseorang yang melalui berbagai tahap ini, akan kembali ke negerinya
untuk mengabdikan ilmunya baik dengan membuka halaqah-halaqah baru atau
bergabung dengan yang sudah ada, menjadi pegawai kerajaan maupun dengan
menjadi pemuka, cendikiawan dan pembicara pada pertemuan-pertemuan
penduduk. Posisi mereka akan semakin disegani dengan panggilan Syeikh,
yang berarti yang dituakan (ilmunya).
Pendidikan
untuk perempuan mendapatkan perlakuan yang sama. Bedanya paska sekolah
tahfiz, seorang siswi akan menghadiri partungkoan yang terpisah dengan
siswa, sampai pada level terakhir pendidikannya. Seorang cucu, misalnya
akan sangat bangga kepada teman-temannya bila ternyata neneknya adalah
seorang hafidzah. Orang-orang berlomba-lomba untuk mendapat ilmu
sebanyak-banyaknya karena hal tersebut dapat menaikkan kehormatan
keluarga di tengah masyarakat.
Pendidikan ala masa dahulu ini menonjolkan institusi pribadi dan
personal sang mu’allim dari pada institusinya. Sehingga sebuah majlis
tidak dilihat dari bangunan dan papan namanya, tapi kepada pribadi yang
menjadi pusat ilmu. Sehingga, apabila seorang maha guru mangkat, majlis
tersebut akan ditinggalkan mahasiswanya dan berguru kepada pribadi lain
yang sejajar dengannya, kecuali bila asisten maha guru tersebut juga
mempunyai kredibilitas yang sama.
Partungkoan atau halaqah-halaqah ini tidak memungut bayaran kepada
mahasiswanya karena pendaftaran mahasiswa menggunakan administrasi yang
sederhana. Walaupun begitu mereka yang ingin memberikan hibah akan
dihormati. Mahasiswa baru yang akan bergabung biasanya akan silaturrahmi
dengan sang mu’allim di rumahnya. Setelah niat dan maksud diutarakan
namanya akan dicatat oleh asistennya dan diberitahukan persiapan apa
saja yang harus disediakannya. Asisten tersebut, biasanya berasal dari
kalangan mahasiswa senior, akan memeriksa latar belakangnya dimana dia
belajar sebelumnya dan subjek apa saja yang pernah dipelajari. Mahasiswa
tersebut akan diuji secara lisan dan tulisan. Bila tidak lulus dia akan
disarankan untuk mengikuti terlebih dahulu majlis-majlis mini yang
dipimpin oleh para asisten atau khadim mu’allim tersebut.
Penghasilan mu’allim didapat dari sumbangan kerajaan, jasa terhadap
perannya di pertemuan-pertemuan petinggi kerajaan maupun penduduk.
Sumber lain adalah dari hadiah, waqaf dan infaq orang-orang yang kaya.
Bila dia seorang penulis, upah atas jasanya akan diberikan oleh
perpustakaan dan katib-katib, dari setiap orang yang meminjam bukunya.
Untuk mahasiswa atau penuntut ilmu, mereka akan mendapat kemudahan
berupa beasiswa dari kerajaan maupun lembaga-lembaga mesjid yang
menyediakan dana ibn sabil. Mereka yang masuk ashnaf delapan akan
mendapatkan zakat.
Kalangan orang kaya akan dengan senang hati menampung para penuntut ilmu
di rumahnya, sebab mereka akan bersikap jujur dan ikut membersihkan
kuda-kuda, bekerja di toko-toko serta membantu dalam penghitungan
pemasukan dan urusan lainnya. Mereka yang tidak kebagian akan membangun
pondok-pondok kecil di sekitar tempat kuliah. Biasanya di tanah kerajaan
maupun di tanah milik mu’allim tersebut.
Sehabis kuliah sebagian mahasiswa akan menjadi pekerja paroh waktu di
onan atau pusat perdagangan, pertanian dan perkebunan sayuran, kamper
dan nilam, rumah-rumah pengolahan logam, galangan kapal, pertukangan
kayu, pertukangan besi atau ‘panopa’ dimana semua peralalatan mulai dari
yang sederhana sampai yang paling rumit didesain dan dibuat, pembuatan
sepatu, penenunan kain (konveksi), pemerahan susu kerbau, pembuatan
roti, kue-kue dan cendera mata, penggilingan kopi, cabai, rempah-rempah,
meracik obat-obatan dan usaha-usaha lainnya di Barus.
Ada yang menjadi katib di perpustakaan, toko maupun kerajaan, nazir
mesjid, mu’adzin, ta’mir majlis, pengantar susu ke rumah-rumah setiap
pagi, pekerja di lapo (cafe), penarik kuda sewaan, juru mudi karavan
atau pedati, penjaja lemang dan tapai bagi penumpang kapal-kapal dan
lain-lain.
Mereka yang berasal dari keluarga pedangang akan menggunakan waktu
luangnya beraktifitas di onan. Sesekali orang tuanya akan datang dari
kampung halaman menjenguk dan melihat perkembangan modal usaha yang
diberikan. Tentu, mereka yang mendapat sokongan dana dari rumahnya atau
orang tuanya akan memilih berkonsentrasi belajar di biliknya atau di
gedung baca alias dar al-muthala’ah.
Beberapa akan duduk dengan khidmat, dengan sebotol tinta yang terbuat
dari bambu, membuat catatan pinggir. Sebagian lagi ada yang
menunduk-nundukkan kepala tanda sedang menghafal keras bait-bait syair,
rumus dan matan-matan, beberapa mengulang-ulang hafalan qur’an, hadits
dan geografi. Perjaja teh akan berkeliling menawarkan minuman kepada
mereka yang sedang serius. Di ruangan lain, mereka yang spesialisasi
‘tabib’ dan jirahat akan berkonsentrasi dengan materinya; katak, ikan
bahkan mayat yang telah diawetkan. Mereka yang sudah merasa mampu akan
bergabung menjadi asisten di dar al-shifa, tempat praktek tabib
profesional.
Di aula-aula yang lebih luas, setiap saat diadakan forum-forum debat dan
diskusi. Berbagai delegasi mazhab dan aliran agama akan berkumpul,
saling mengemukakan dalil-dalilnya, memberikan informasi yang terbaru
tentang hukum-hukum yang berkembang di berbagai negeri. Beberapa audiens
sibuk mencatat hujjah-hujjah tersebut.
Sesekali pembicara berasal dari pengelana dan pengembara dari
pulau-pulau terpencil, menceritakan keunikan masyarakat dan habitat alam
di sana, menerangkan jalur peta baru pelayaran. Kalangan mu’allim yang
menjadi nakhoda kapal akan berusaha meminta salinannya, tentu dengan
mengganti dengan beberapa dirham mata uang. Terkadang panglima yang baru
kembali dari medan peperangan, menerangkan garis batas baru dan
pergeseran peta politik. Pengumuman mengenai peraturan, kenaikan pajak
dermaga dan peraturan-peraturan baru kerajaan akan dilakukan di onan.
Orang-orang Batak yang hobbi bermain musik akan bergabung dengan
rekan-rekan mereka dari India, Arab dan mahasiswa asing lainnya di
cafe-cafe yang menyediakan teh, syahi, qahwah dan minuman-minuman khas.
Alunan kecapi, gitar tradisional dan beberapa alat musik akan menyatu
seakan menghibur orang-orang yang lalu lalang. Beberapa lagu
multi-bahasa dimainkan dengan beragam jenis musik. Terkadang mereka
saling sindir dengan syair, pantun, umpasa dan puisi-pusi satirik. Saat
itu, pengaruh ajaran tasawuf dan filsafat sedang tren.
Syair-syair Hamzah Fansuri menggambarkan keindahan kota Barus
saat itu. Keramaian dan kesibukan kota pelabuhan dengan pasar-pasar dan
pandai emasnya yang cekatan mengubah emas menjadi “ashrafi”,
kapal-kapal dagang besar yang datang dan pergi dari dan ke negeri-negeri
jauh, para penjual lemang tapai di pasar-pasar, proses pembuatan kamfer
dari kayu barus dan keramaian pembelinya, lelaki-lelaki yang memakai
sarung dan membawa obor yang telah dihiasi dalam kotak-kotak tempurung
bila berjalan malam.
Gadis-gadis dengan baju kurung yang anggun dan di leher mereka
bergantung kalung emas penuh untaian permata, yang bila usia nikah
hampir tiba akan dipingit di rumah-rumah anjung yang pintu-pintunya
dihiasi berbagai ukiran yang indah.
Pada bagian lain syair-syairnya juga memperlihatkan kekecewaanya
terhadap perilaku politik sultan Aceh, para bangsawan dan orang-orang
kaya yang tamak dan zalim. (Mengenai kesusateraan Hamzah Fansuri lihat
S.N. al-Attas, The Origin of Malays Sha’ir, Kulala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka, 1968. Juga baca V.I. Braginsky, Tasawuf dan Sastra Melayu,
Jakarta: RUL,. 1993, khususnya esai “Sekali Lagi Tentang Asal-usul
Sya’ir”; hal 63-76.
Sebagaimana para sarjana Kerajaan Hatorusan lama, Hamzah Fansuri yang
hidup di masa berdirinya Kerajaan Hatorusan baru pimpinan Ibrahimsyah
juga mendapat pengaruh besar di Aceh. Van Nieuwenhuijze (1945) dan
Voerhoeve (1952) berpendapat bahwa Hamzah Fansuri memainkan peran
penting di dalam kehidupan kerohanian di Aceh sampai akhir pemerintahan
Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah Sayyid al-Mukammil (1590-1604).
Sementara itu muridnya Syamsuddin al-Sumatrani naik peranannya baru pada
zaman Sultan Iskandar Muda saat dia bermigrasi ke Aceh. Diyakini dalam
mundurnya pamor Barus, banyak sarjana-sarjana Batak yang pindah ke Aceh,
Kutaraja, karena kehadiran mereka disana sangat disegani. Mengenai
Syamsuddin sebaiknya baca C.A.O. Niewenhujze, Syamsu’l Din van Pasai,
Bijdrage tot de Kennis der Sumatranche Mystiek, disertasi Universitas
Leiden, 1945.
Namun pemikiran filsafat Wujudiyah Hamzah Fansuri mendapat tantangan
dari ulama Aceh. Ahmad Daudy di dalam bukunya Allah dan Manusia dalam
konsepsi Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, Jakarta; CV Rajawaki Press, 1983;
hal. 41, antara lain menulis, “Selain sebagai mufti, Syeikh Nuruddin
juga seorang penulis yang menyanggah Wujudiyah. Seringkali ia mengadakan
perdebatan dengan penganut ajaran ini, dan kadang-kadang majelis
diskusi diakadakan di istana dimana sultan sendiri menyaksikannya.
Dalam perdebatan itu Syeikh Nuruddin berkali-kali memperlihatkan adanya
kelemahan dan penyimpangan dalam ajaran Wujudiyah…., serta meminta agar
mereka ini bertobat… tetapi himbauannya tidak dihiraukan mereka, dan
akhirnya mereka dihukum kafir yang boleh dibunuh, sedangkan kitab-kitab
karangan Hamzah dan Syamsuddin dikumpulkan dan kemudian dibakar di
halaman mesjid raya Baiturrahman.”
Tentang peristiwa pembakaran kitab karangan penulis Wujudiyah, dan hukum
bunuh terhadap pengikut-pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin, Lihat
buku Nuruddin al-Raniry, Bustan al-Salatin edisi T. Iskandar, Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1966: hal. 46.
Perlakuan itu diterima Hamzah Fansuri, karena kritik-kritik tajamnya
terhadap pemerintahan monolitik Sultan Aceh, perilaku buruk orang-orang
kaya dan praktik yoga (dari Hindu India) yang diamalkan ahli-ahli
tarekat di Aceh pada awal abad ke-17, baca S.N. al-Attas The Mysticism
of Hamzah Fansuri, Kuala Lumpur: Universiti malaya Press, 1970; hal.
16-17. juga baca L.F. Brakel, ‘Hamzah Pansuri’; V.I. Braginsky “Puisi
Sufi Perintis Jalan” (Analisis Syair-syair Hamzah Fansuri tentang
Kekasih, Anggur dan Laut”) ceramah di Sudut Penulis, Dewan Bahasa dan
Pusataka, Kuala Lumpur, 27-28 Oktober 1992; juga Abdul Hadi W.M. ‘Syeikh
Hamzah Fansuri ‘Ulumul Qur’an, No. 2, Vol. V, 1994.
Kembali ke Kerajaan Hatorusan yang lama, Dinasti Raja Uti. Dalam
beberapa abad kepemimpinan mereka, beberapa generasi raja telah
memerintah kerajaan melewai berbagai serangan dan gempuran asing. Ada
beberapa pemimpin dinasti ini yang sempat diketahui di antaranya
pangeran Datu Pejel. Sepeninggalan Raja Uti, Datu Pejelpun meneruskan
tahta kerajaan Hatorusan yang meliputi kekuasaanya sampai ke pedalaman
Batak dengan gelar Raja Uti II.
Namun Raja Uti II ternyata tidak berumur panjang. Dia meninggal sebelum
putra mahkotanya menginjak usia dewasa. Tahta kerajaanpun
diserahterimakan oleh dewan Kerajaan kepada permaisuri yang kemudian
bergelar Ratu Pejel III.
Literatur mengenai nama-nama generasi dinasti ini tidak jelas. Hanya
beberapa tokoh dari keturunanya yang dikenal tanpa bisa disambung sesuai
dengan penahunan yang kredibel. Diperkirakan jumlah generasinya mulai
dari berdiri kerajaan sampai abad ke-16 mencapai 90 generasi. Disebutkan
juga kehadiran Raja Hatorusan II yang memerintah kota Fansur di Barus,
namun tahunnya tidak jelas. Raja Hatorusan II bukanlah Ibrahimsyah
karena keberadaan Raja Hatorusan II jauh beberapa abad sebelum
Ibrahimsyah memerintah.
Hipotesa yang berlaku adalah mungkin saja kerajaan Hatorusan pernah
putus dan kedaulatannya lenyap. Namun beberapa waktu kemudian
keturunannya membangun kembali. Keturunan Raja Uti yang terkenal
berikutnya adalah Borsak Maruhum.
Selain itu dikenal pula Raja Uti V bergelar Datu Alung Aji. Raja Uti VI kemudian dikenal bergelar Longgam Parmunsaki.
Raja Uti VII bernama Datu Mambang Di Atas. Selama pemerintahan Raja Uti
VII yang berkedudukan di Aceh, berbagai pemberontakan dari dalam negeri
meningkat.
Gerakan oposisi tersebut bermaksud untuk mengkudeta Raja. Kekuatan
pemberontak terdapat di pedalaman Batak disebutkan dari marga Manullang.
Kerajaan memang sudah mengalami kegoncangan setelah sebelumnya beberapa
kerajaan kecil yang menjadi subordinat telah memilih memisahkan diri,
khususnya mereka yang di wilayah timur kerajaan (Sumatera Timur).
Sang Raja Uti VII mempunyai beberapa panglima diantaranya seorang
panglima yang sangat tangguh yang juga kebetulan adalah kemenakannya
sendiri. Putra dari seorang saudari perempuannya, Boru Pasaribu. Dia
bernama Mahkuta alias Mahkota yang dikenal di kalangan Batak dengan
sebutan Manghuntal putra seorang ayah bermarga Sinambela dari pusat
Batak. Dia dididik di istana kerajaan dan menjadi Panglima yang
menguasai matra Angkatan Darat dan Laut.
Ketika Portugis pertama sekali menyerang daerah tersebut, Panglima
Mahkuta memimpin bala tentaranya dan memenangkan peperangan tersebut.
Mahkuta kemudian diperintahkan untuk menumpas pemberontakan di sentral
Batak. Dalam usahanya menumpas pemberontak, di ibukota kerajaan terjadi
kudeta dan perebutan kekuaraan. Praktis Dinasti Uti pun berakhir dan
lenyap. Pusat Kerajaan Hatorusan di Aceh diperkirakan berakuisisi dengan
Kesultanan Aceh. Di Singkil sampai sekarang masih terdapat
kelompok-kelompok keturunan Batak.
Ditransfer ke Mahkuta Alias Manghuntal
Mahkuta yang kemudian mendengar berita tersebut tidak senang dengan
perubahan politik ini. Apalagi dia mendapat berita bahwa tahta kerajaan
Batak telah diberikan kepadanya. Setelah berhasil menumpas pemberontakan
di tanah Batak, dia memilih untuk mendirikan kerajaan baru di wilayah
tersebut dengan ibukota Bakkara, tempat muasal leluhurnya.
Mahkuta menjadi raja pertama dengan gelar Sisingamangaraja I (SM Raja)
pada tahun 1540 Masehi. Sebagai seorang bermarga Sinambela dari Toga
Sumba, berbeda dengan Raja Uti yang Pasaribu dari Kubu Tatea Bulan,
Mahkuta sebenarnya telah memulai sebuah dinasti baru yakni dinasti SM
Raja yang memerintah Batak sampai SM Raja XII. Walaupun begitu, sebagai
pendiri spiritual Batak, Raja Uti dan keturunanya, sampai abad ke-20,
masih dimuliakan dan mendapat tempat terhormat dalam doa-doa. Bila
Dinasti SM Raja mendapat kesulitan dalam urusan dalam negerinya,
perwakilan dari Raja-raja Uti kerap dihadirkan untuk menjadi penengah.
Raja SM Raja XII, sebagai pernghargaan terhadap usahanya mengusir si
Bottar Mata, penjajah Belanda, dianugerahi Pahlawan Nasional Indonesia
dengan keputusan Presiden RI No. 590 Tanggal 9 November 1961.
Peta politik di masyarakat terpecah dua. Kompetisi dan persaingan antara
dua kubu Batak; Kubu Sumba dan Tatea Bulan. Kubu Tatea Bulan sebagai
tertua dan banyak keturunannya menjadi raja-raja di luar pedalaman
Batak.
Raja Manghuntal atau Raja Mahkota bergelar Sisingamangaraja I memerintah
sentral Tanah Batak selama 10 tahun menurut stempel (cap kerajaan) yang
bertahun 947 H dan berakhir dalam tahun 957 Hijriyah atau dalam tahun
1540 s.d 1550 M. (Diambil dari informasi L. van Vuuren, Samosir en de
Pakpaklanden, Nota 1907).
Manghuntal mulai menata kembali kehidupan masyarakat. Untuk
mengakomodasi berbagai kepentingan dan pertikaian antar kelompk
masyarakat, dia berkoalisi dengan dengan tetua di Bakkara. Mereka, yang
menjadi perwakilan tersebut diangkat sebagai anggota kabinet di
pemerintahan, adalah raja-raja dari si Onom Ompu; Kelompok Bakkara,
Sihite, Simanullang, Sinambela, Simamora dan Marbun.
Masing-masing keluarga ini didelegasikan beberapa wewenang. Setiap
mereka diberi simbol kerajaan berupa barang pusaka yang didapat
Manghuntal dari Kerajaan Hatorusan.
Di samping itu, di juga melakukan distribusi kerja yang jelas kepada
para pembantunya; di antaranya lembaga Pande Na Bolon yang bertugas
sebagai penasehat dan juga sebagai fasilitator antar daerah di dalam
kerajaan. Jabatan bendahara kerajaan diberikan kepada marga Sihite.
Untuk mengikat semua daerah kekuasaan dalam satu kesatuan yang utuh, dia
melakukan berbagai pendekatan antara lain secara spiritual dengan
membawa air dan tanah dari Bakkara.
Target pertamanya adalah dengan merangkul Humbang. Humbang merupakan
daerah paling Barat kerajaan yang berpopulasi keturunan raja Sumba, sama
dengan Manghuntal. Mereka itu berasal dari marga Sihombing dan
Simamora. Di sana dia mengangkat dua perwakilannya; dalam institusi Raja
Parbaringin, yaitu dari marga Simamora dan Hutasoit (Putra sulung
Sihombing).
Dari Humbang dia pergi ke Silindung. Dia mengangkat raja na opat untuk
daerah ini. Perbedaan institusi perwakilannya tersebut berdasarkan
pertimbangan-pertimbangn geografis dan politik saat itu. Hal yang sama
dia melakukannya untuk daerah-daerah yang lain. Satu institusi lainnya
adalah panglima wilayah. Sebuah daerah yang damai atau homogen akan
berbeda dengan huta yang plural. Begitu juga daerah yang berbatasan
langsung dengan luar kerajaan dengan yang berada di pusat kerajaan
mendapat perwakilan yang berbeda.
Insting kepemimpinan yang
dia warisi selama masih dididik di istama Raja-raja Uti membuatnya
memahami betul langkah-langkh politik yang sesuai dengan karakter sebuah
huta. Sikap ini dengan cepat dapat menyatukan masyarakat Batak yang
berbeda-beda marga dan kepentingan hutanya. Egoisme, primordialisme huta
dan fanatisme marga serta kebiasaan bertengkar orang-orang Batak
ditundukkan dengan harmoni dan kebersamaan. Manghuntal memerintah tidak
dalam waktu lama. Sebelum putra mahkotanya, Manjolong, berumur dewasa,
masih 12 tahun, Manghuntal dikabarkan menghilang dan tidak pernah
kembali lagi. (bersambung....ke Mengenal Dekat Sejarah Kerajaan Batak - Bagian 4)
Artikel Yang Disukai :
Artikel
- Warga gelar ritual untuk hentikan letusan Gunung Sinabung
- BUKTI LETUSAN GUNUNG SINABUNG 800 TAHUN SILAM
- SEKILAS TENTANG GUA UMANG DARI TANAH KARO
- Karya Seni Masyarakat Suku Karo
- RUMAH UMANG ( GUA KEMANG ) RUMAH Rumah Orang Bunian
- Karo bukan Keturunan si Raja Batak
- Sejarah Ketaren Mergana (Bulangta TOGAN RAYA)
Kandidat (5) Logo dan Bendera Dewan Adat Gayo
Kandidat (5) Logo dan Bendera Dewan Adat Gayo
Film Dokumenter “Biji Kopi Indonesia” Dibuat, ini Kata Budi Kurniawan
Film Dokumenter “Biji Kopi Indonesia” Dibuat, ini Kata Budi Kurniawan
Takengon – LintasGayo.co
: Buatlah film dokumenter yang dekat dengan kita, dan yang paling dekat
dengan saya adalah kopi, kata Budi Kurniawan, dalam acara Melek Kopi,
yang dilaksanakan Komunitas Seni Budaya Lintas Gayo (KSBLG) Minggu, 1
Desember 2013, di Wapres Cafe.
Atas dasar itulah, Budi bersama
teman-temannya membuat dokumenter bertajuk “Biji Kopi Indonesia”, dimana
salah satu tempat yang dijadikan pengambilan gambar di Kabupaten Aceh
Tengah dan Bener Meriah.
Menurutnya, film Biji Kopi Indonesia ini bergerak dengan pendekatan antropologis.
“Saya pernah berdiskusi dengan
antropolog UGM, dia bilang pada level tertentu tubuh manusia ini seperti
mekanik, in dan out sama, jika ingin masukan berkualitas maka keluaran
juga harus berkualitas”, terangnya.
Dari situlah lanjutnya lagi, dirinya membuat film Biji Kopi Indonesia sejak tahun 2011.
“Setelah saya membuat riset literature
baru saya berani membuat film ini dalam bentuk script, dan dari
literature yang saya peroleh, jauh sebelum Brazil menanam kopi Indonesia
sudah menanam kopi, di Gayo sendiri menurut data yang saya peroleh Kopi
telah ada sebelum kolonial masuk”, demikian kata Budi Kurniawan.
(Darmawan Masri)Kandidat (1) Disain Logo dan Bendera Dewan Adat Gayo Karya Ari Wantona
Kandidat (1) Disain Logo dan Bendera Dewan Adat Gayo Karya Ari Wantona
Takengon-LintasGayo.co :
Salah seorang perwakilan deklarator pembentukan Dewan Adat Gayo (DAG)
Mukhlis Muhdan menyatakan sudah ada kandidat disain logo dan bendera DAG
yang masuk ke panitia lomba atau sayembara yang dibuka sejak 16
Nopember dan ditutup 3 Desember 2013 mendatang.
“Sudah ada peserta lomba disain logo dan
bendera yang mengirimkan karyanya, dan beberapa yang lainnya menyatakan
akan mengirimkan karyanya dalam beberapa hari kedepan,” kata Mukhlis,
Selasa malam 19 Nopember 2013.
Dan bagi yang akan mengirimkan hasil
disainya, kata Mukhlis dipersilahkan mengirimkannya ke email
dewanadatgayo@gmail.com dan panitia akan segera mengkonfirmasinya jika
disain tersebut sudah diterima melalui email atau pesan singkat (sms)
dari nomor kontak 082163432234.
Adapun dewan juri lomba ini antara lain
M. Yusin Saleh, Mirda Alimi dan Julihan Darussalam dengan hadiah
pemenang masing-masing kategori lomba Rp.2 juta. Ketentuan lomba ini
dapat di lihat di link ini Info Lomba Disain Logo dan Bendera Dewan Adat Gayo.
Seperti disebutkan dalam ketentuan
lomba, disain logo dan bendera yang diterima panitia akan dipublikasikan
di media ini dan untuk disain logo dan bendera pertama yang diterima
panitia adalah karya Ari Wantona, warga Belangkolak II Takengon.
(d’aKa)
IUCN: Leuser, Tempat Paling Tak Tergantikan di Dunia
IUCN: Leuser, Tempat Paling Tak Tergantikan di Dunia
Pernyataan tersebut dikatakan IUCN setelah melakukan survei pada 173.000 wilayah yang dilindungi dan 21.500 spesies yang masuk pada daftar spesies terancam IUCN yang kemudian IUCN mengalkuasi dan membandingkan kontribusi setiap wilayah yang dilindungi pada kemampuan bertahan hidup setiap spesies.
Berdasarkan survei tersebut, IUCN menetapkan 78 situs, meliputi 137 dilindungi di 34 negara, sebagai area yang “paling tak tergantikan” di dunia. Sedangkan situs yang masuk dalam daftar tersebut adalah rumah bagi 600 spesies burung, amfibi, dan mamalia. Setengah di antara jumlah spesies tersebut merupakan spesies terancam dan banyak yang tidak bisa ditemukan di wilayah lain.
“Kawasan Ekosistem Leuser di Provinsi Aceh adalah salah satu wilayah yang masuk daftar area tak tergantikan,” sebut Pentagon Post kepada KOMPAS.com, Jumat (15/11/2013).
Begitu juga menurut media leuserecosystem.org, bahwa wilayah Leuser merupakan daerah dengan jumlah keragaman tertinggi di Asia. Kawasan ini memiliki 105 spesies mamalia, 382 spesies burung, dan mencakup 95 persen spesies reptile. Leuser juga merupakan rumah bagi banyak spesies yang makin terancam seperti orangutan sumatera, badak sumatera, gajah sumatera, serta pohon keruing.
“Wilayah yang terlindungi hanya bisa memenuhi peran mereka dalam mencegah berkurangnya keanekaragaman hayati bila dikelola dengan baik.” Tambah Simon Stuart, pimpinan IUCN Species Survival Comission. (Kompas.com | SA)
Subscribe to:
Posts (Atom)