[Sebuah Refleksi] Kisah Paya Ilang dan Sang Burung Bangau
Oleh : Ihsan Fajri*
Sepuluh tahun yang lalu sekitar tahun
2003, hidup seorang anak yang masih berusia 14 tahun, masa yang sedang
beralih ke tingkat remaja dan sedang duduk di bangku MTsN, mengurungkan
niat untuk melangkahkan kaki ke suatu tempat yang jarang di kunjungi
oleh orang-orang berpakaian rapi, sebab mungkin hanya pakaian yang
compang-camping saja yang berhak mengunjunginya, tempat itu bernama Rawa
Merah atau lebih akrab di sebut sebagai Paya Ilang.
Sebagai masyarakat Takengen, Paya Ilang
adalah tempat yang tidak asing lagi terdengar di telinga, penuh dengan
lahan basah, airnya kelihatan berwarna merah dan memiliki berbagai macam
spesies hidup dan tumbuh berkembang di dalamnya, konon tempat ini juga
sering dikisahkan dengan cerita-cerita yang mistik, dari kemistikannya
sering mendengar nasehat-nasehat dari kalangan masyarakat sekitar
mengatakan : “Enti Dediang Ku Paya Ilang win, i one nume ton kin
berdediang” (jangan bermain ke rawa-rawa itu nak, disitu bukan tempat
untuk bermain), dan kata-kata lainpun terucap seperti “Inget enggeh Jin
Paya Ilang’’.
Entah apa yang membuat tempat ini
menjadi mistik anak muda ini pun tidak mengetahui secara mendetail, rasa
penasaran pun muncul setelah mendengar nasehat ini.
Hari itu senja, warna langit merah
kekuning-kuningan tampak di ufuk barat pancaran sinarnya seperti memberi
arti sejuta misteri tentang dinamika kehidupan sosial dan budaya di
alam semesta. Bersama satu niat dan satu tujuan, ada tiga orang anak
muda pemberani sedang berjalan menuju Paya Ilang Tersebut dengan
hentakan yang sederhana, sifat congkak dan ria pun dihindarinya, tujuan
yang ada di benak mereka hanya meninggalkan jejak-jejak pertualangan.
Sesampai di rawa, ketiga orang anak muda
ini melihat kehidupan-kehidupan yang terjadi di tempat itu, akan tetapi
dari ketiga orang ini tidak ada seorang pun yang melihat sambil
memperhatikan fenomena yang terjadi di sekelilingnya kecuali seorang
saja yakni seorang pria ganteng yang sedang menulis kisah ini.
Aku mulai memperhatikan, waktu itu Tahun
2003, Paya Ilang penuh dengan kolam yang terabaikan dan sangat jarang
di kunjungi oleh orang banyak, akibat minimnya tingkat perawatan,
ditengah-tengah kolam tersebut muncul satu persatu tumbuhan yang
berbentuk seperti lidi-lidi yang tajam dengan posisi menancap lurus
berdiri tegak ke atas langit, dengan demikian kehadiran tumbuhan ini
seketika membuat geger warga sekitar terutama terhadap kaum wanita,
sebab kehadirannya sangat meresahkan, membuat sebagian wanita tinggal di
sekitar lokasi tidak bisa tenang dan terus bergerak melakukan aksi-aksi
yang jitu.
Hingga suatu ketika datang seorang
wanita tua melakukan aksinya, dengan gagah, berpakaian sederhana sambil
menggenggam alat sabit untuk memotong tumbuhan tersebut. setelah aku
perhatikan dari dekat ternyata tumbuhan yang mistik itu adalah Kertan
dan Cike, (Kertan dan Cike adalah tumbuhan yang bisa di olah untuk
membuat tikar, sentong dan lain-lain).
Setelah itu, aku bergegas terus berjalan
mengelilingi kolam, di tengah-tengah perjalanan secara reflek aku
terkejut, seperti menekan rem secara tiba-tiba disaat roda kendaraan
yang sedang berputar kencang melaju diatas kecepatan rata-rata, sesuatu
terlintas di atas kepalaku, seekor burung bangau berwarna putih yang
memiliki paruh panjang, sedang membentangkan sayap, melampai-lambai
terbang di udara. Mataku tertuju kepadanya, sampai terbesit ungkapan
dalam hati berkata :
“Oh sungguh mempesona andai saja aku
punya sebuah kamera pasti sudah aku tembak dan aku abadikan burung itu,
andai saja aku pintar bermain pena pasti sudah ku lantunkan nada-nada
indah dengan cerita yang sempurna untuk ku jadikan mahakarya yang luar
biasa.
Tapi tidak untuk waktu itu, hari itu
hanya ada sosok seseorang yang masih dalam keadaan polos, yang
pikirannya masih di kendalikan oleh orang lain.
Kicauan burung bangau membuat aku terkesima saat melambai terbang di udara seperti memberikan arti kata perpisahan : “selamat
tinggal wahai anak muda, aku akan pergi ke suatu tempat untuk mencari
ilmu dan penghidupan yang lebih layak, aku sudah tidak nyaman disini,
suatu saat mungkin aku akan kembali lagi, dengan membawa langkah
perubahan dan cerita yang baru, jika aku tidak kembali, aku memohon
kepada mu untuk tidak mentangisi kepergianku”.
Melihat burung bangau itu pergi aku
langsung teringat dengan salah satu group band legendaris asal gayo
bernama Saba Group dengan lirik lagu :
“So bango iyo, nge ku elopen, munemah
cerite temerbang ku langit iso, sayang gere ne ulak (disana ada bangau
di sore hari, sedang membawa cerita sambil terbang ke udara, tapi sayang
bangau itu tidak kembali)”.
Warna senja mulai terlihat pudar
bertanda matahari akan tenggelam, perjalanan hidup burung bangau yang
pergi meninggalkan kabar misteri kepada ku, apa yang akan terjadi di
tanah Paya Ilang ini, apakah membawa sebuah cerita bahagia atau
sebaliknya.
Hari demi hari, waktu terus waktu terus
berlalu, zaman terus berputar hingga sampai tahun 2013 ini perubahan pun
telah tampak di Paya Ilang, dulunya rawa kini telah tampak jalan pintas
yang menghubungkan Desa Tan Saril ke Desa Lemah Burbana, setiap sisi
jalannya mulai terlihat bangunan-bangunan kokoh, Rumah Toko (Ruko) dan
Terminal Bus Antar Kota. <ihsan_fajrie[at]yahoo.com>
*Warga Masyarakat Takengen Kabupaten Aceh Tengah.