Gayo, Bangsa Kuno yang Tersisa*
=bagian terakhir dari dua tulisan =
Oleh: Hammaddin Aman Fatih*
MENURUT
sebuah informasi yang di sampaikan secara turun temurun dari satu
genarasi Gayo ke generasi Gayo selanjutnya (baca: kekeberen/bahasa
Gayo). Bahwa kata
Gayo berasal dari kata “
Garib “ atau “
Gaib
“. Hal ini dihubungkan dengan datangnya pertama kali leluhur orang Gayo
ke wilayah ini, yaitu pemimpin rombangan yang datang tidak nampak
wujudnya tapi suaranya kedengaran. Ada lagi yang menghubungkan kata Gayo
dengan “
dagroian“ berasal dari kata–kata “
drang–gayu“ yang artinya orang Gayo. Dan ada juga menyebut dengan sebutan
pegayon yang artinya mata air yang jernih.
Hal diatas mungkin bisa kita anggap sebuah kebenaran sementara. Kalau
kita melihat dari sudut lingguistik. Karena makanan yang dikonsumsi
berubah setiap generasinya, yang pada akhir berpengaruh kepada
konstruksi gigi yang bisa mempengaruhi dialek suara.
Mereka pertama kali menetap di bagian pesisir pulau sumatera.
Seterusnya mereka bermigrasi menyelusuri sungai –sungai yang berada di
pedalaman Aceh. Makanya setiap perkampungan kuno, yang pasti berada
dipinggiran alur sungai, karena melalui sungailah mereka bermigrasi.
Yang menjadi sebuah pertanyaan, mengapa mereka memilik dataran
tinggi yang berada di pedalaman Aceh (baca: Tanah Gayo)? Menurut sebuah
sumber, kenapa mereka memilih Dataran Tinggi Tanah Gayo adalah karena
diyakini daerah tersebut merupakan daerah yang aman secara geografis dan
iklim yang sangat bersahabat dengan penghuninya, sejak era pra sejarah.
Menurut beberapa sumber, dataran tinggi tanah Gayo dari dulu diyakini
sebagai daerah yang paling aman dari geteran gempa dengan gaya
gratifikasi lebih tinggi dibandingkan dari daerah–daerah yang ada di
Indonesia, terutama daerah Linge sekarang. Sehingga daerah tersebut
menjadi tujuan utama untuk menetap dan berkembang. Sehingga dalam
konteks budaya, setiap anggota yang sudah berkeluarga di tanah Gayo
diberi gelar “aman”.
Secara umum, mereka masuk ke tanoh Gayo melalui jalur–jalur sungai besar, antara lain:
Pertama, dari muara Sungai Peusangan yang berhulu ke Danau Laut Tawar. Sehingga mereka di sebut
pegayon (air
mata yang jernih). Hal ini juga di perkuat dengan diketemukannya
kehidupan di dataran tinggi Tanoh Gayo di zaman pra sejarah. Bukti ini
dapat kita lihat dari hasil penelitian Madya Bidang prasejarah Balai
Arkeologi Medan yang menemukan adanya sebuah kehidupan manusia purba di
Ceruk Mendale dan Loyang Putri Pukes. Bahwa proses hunian telah
berlangsung dikawasan ini sejak periode mesolitik pada masa 3.580 tahun
yang lalu. Dan dalam penelitian tersebut mereka juga menemukan kerangka
manusia purba yang diyakini sebagai salah satu leluhur rakyat Gayo. Hal
masih dilakukan pengetesan DNA (Deoxyribonucleic Acid) untuk menguji
hipotesa tersebut.
Kedua, jalur Sungai Jambu Aye kira-kira
baru pada tahun 300 SM menyingkir kepedalaman wilayah Aceh. Hal ini
disebabkan kedatangan Melayu Muda dari Kincir dan Kamboja. Dan juga
dilatar belakangi ekonomi, yaitu karena masyarakat tersebut bermata
pencaharian mencari ikan dan bercocok tanaman. Sebahagian dari mereka
untuk memperluas usaha dan menambah penghasilan, terus menyelusuri
sungai tersebut, terus menyelusuri sampai ke muara sungai yang ada di
pedalaman di daerah Samarkilang atau orang Belanda menyebut dengan
sebutan Samarlang bukan Samalanga. Akhirnya ada sebahagian yang terus
menetap di sana tidak pulang lagi menata kehidupan baru yang terus
berkembang dari hari ke hari.
Beberapa periode kemudian (baca: abad Masehi) terjadi pembauran
dengan pendatang–pendatang baru berikutnya yang menetap dan berkembang
di tanah Gayo. Yaitu:
Pertama: ini berhubungan masuknya pengaruh
budaya Islam (baca: aliran Syiah maupun Suni) di lingkungan Kerajaan
Linge. Konon kabarnya dibawa oleh oleh orang–orang keturunan Persia yang
datang ke tanah Gayo. Ada sebuah informasi yang mengatakan bahwa orang
Gayo yang berada di daerah Serule merupakan keturunan mereka, yang
mempunyai ciri–ciri fisik tinggi kurus dengan warna mata coklat gelap
dengan hidung mancung. Mereka ini berbeda dengan bentuk fisik orang Gayo
kebanyakan.
Kedua: berhubungan dengan pelarian politik dari daerah
Peurlak, yaitu ketika Raja Linge mengizinkan rombongan Malik Ishak yang
berjumlah 300 orang untuk tinggal dan sekaligus diberi hak untuk
mendirikan kerajaan Islam di Isaq.
Ketiga: ada sebuah informasi yang mengatakan, bahwa dulunya
ada rombongan pengungsi dari wilayah kerajaan Majopahit yang menetap di
sekitar daerah yang sekarang di kenal dengan sebutan daerah Penarun.
Raut wajah mereka lebih mirip kejawaan. Informasi ini berhubungan dengan
cerita yang berkembang di masyarakat tentang “Legenda Keris Majapahit”.
Ke-empat: berhubungan dengan kedatangan
orang–orang dari tanah Batak yang menuntut hak warisan sebagai keturunan
Gayo yang dulunya merantau ke tanah Batak (Lihat legenda anak Reje
Linge yang lari ke tanah Karo). Dan hal ini diperkuat dengan penelitian
Ketut Wiradanyana yang memunculkan hipotesa bahwa Orang Batak Berasal
Dari Tanoh Gayo (Serambi Indonesia hal 18, Kajian Arkeologis ; Suku
Batak dari Gayo, terbitan 12 Desember 2011).
Kelima: Menurut Akmal yang pernah menjadi seorang interprerter
peneliti Asing era Gubernur Aceh Ali Hasjmy, hal ini berhubungan dengan
pembangkang politik pada masa pemerintahan Hindia Belanda yang dibuang
ke luar Pulau Jawa, yaitu ke Digul, Suriname, Aceh (tanah Gayo).
Ke-enam: era tahun 1900–an yang itu dengan
dibukanya lahan perkebunan di dataran tinggi tanah Gayo oleh Belanda.
Karena kekurangan tenaga pekerja maka pemerintahan kolonialisme Belanda
mendatang pekerjanya dari daerah luar tanah Gayo, khususnya dari Pulau
Jawa.
Dengan perjalanan waktu (periode) dan adanya interaksi antara mereka
terjadilah pembauran (melalui jalur perkawinan). Beberapa generasi
kemudian sampai sekarang. Mereka inilah cekal bekal masyarakat Gayo yang
sekarang. Masyarakat tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu di
dataran tinggi tanah Gayo yang berada di pedalaman Aceh.
Penutup
Alangkah naifnya sekarang, kita bertanya kepada orang lain, siapa
kita sebenarnya? Banyak penulis Gayo menggunakan referensi yang
bersumber dari orang asing yang notabene mempunyai kepentingan
tersendiri. Malahan hal yang sangat sensitif dalam budaya Gayo
menggunakan literatur asing, khususnya
Snock Hurgranje seorang antropolog asal Belanda.
Menurut Surahman, seorang Sarjana Ilmu Politik sekarang dosen Fisip UGP Takengon, bahwa
Snock Hurgranje
merupakan spionase (mata-mata) asing yang membuat dua buku tentang
Budaya Masyarakat Gayo. Yang asli dikirim langsung ke Amesterdam
Belanda dengan tujuan untuk menaklukan Gayo. Sedangkan satu lagi (buku
palsu) beredar di Indonesia yang bertujuan untuk menyenangkan masyarakat
Gayo. Dan dia melakukan penelitian hanya 6 bulan di Meulaboh dengan
metode wawancara.
Yang menjadi sebuah pertanyaan, apakah bisa dikatakan data itu valid?
hanya melakukan penelitian dengan rentang waktu yang sesingkat itu?.
Adakah cerita Ikan Depik merupakan salah satu ikan khas yang hidup di
Danau Laut Tawar dalam catatan penelitiannya? Mungkin kasus ini sama
dengan Marco Pola yang katanya penjelajah yang bercerita tentang Budaya
Cina. Dia tidak sedikitpun menyinggung tentang “Tembok Cina”. Tembok ini
merupakan salah satu karya manusia yang bisa dilihat telanjang dari
bulan (tanpa alat). Percayakah kita dengan karyanya itu?
Untuk penulisan deskripsi sejarah Gayo, sah–sah saja kita
menggunakan literatur lokal. Tapi, jangan terlalu berlebih-lebihan,
sehingga tidak terjadi pembenaran yang membabi-buta. Marilah kita cari
bandingan dengan literatur luar yang mungkin nilai ilmiahnya lebih kuat
dibandingan lokal yang sering terlalu berbau mistik yang cenderung
berbentuk isu (kekeberen-bahasa Gayo).
Penulis mengajak seluruh komponen lapisan masyarakat rakyat Gayo
untuk melihat dan mengkaji kembali serta memperkenalkan kepada rakyat
Gayo khususnya, kepada dunia luar pada umumnya tentang sejarah yang
telah lama terkoyak dan terkubur oleh arus perjalanan peradaban zaman.
Mencari mana yang benar serta mana yang salah, mana yang relevan dan
mana yang tidak, perlu diberi baju atau dengan kata lain berangkat dari
yang aslinya, dihiasi dan diserasikan sesuai serta sejalan dengan
tuntunan zaman dengan rekontruksi ulang. Jangan sampai sejarah – sejarah
di tanoh Gayo menjadi dongeng di masa yang akan datang karena kita
tidak membudayakan budaya menulis. Orang di luar dongeng menjadi catatan
sejarah, karena mereka mau menulis.(
antro_madin[at]yahoo.co.id)
*Suntingan dari Isi Buku “People of the Coffee” yang masih dalam proses penerbitan sekaligus rivisi tulisan dengan judul Rekonstruksi Jejak Leluhur Rakyat Gayo yang pernah di muat Lintas Gayo.
**Seorang antropolog, guru biasa di SMAN 1 Timang Gajah dan Ketua P3M Fisip UGP.