Search This Blog

Wednesday, April 24, 2013

Menikmati suasana Belanda di Kerkhof Peutjoet

Menikmati suasana Belanda di Kerkhof Peutjoet

Written By mus de oranje on 26 Maret 2013 | 18:32

Kerkhof di Banda Aceh. @atjehpost.com
NYAMAN dan asri. Inilah kesan pertama saat memasuki pintu gerbang utama Kherkof Cementery atau yang lebih dikenal denganKherkof Peutjoet. Nama Kerkhof sendiri berasal dari bahasa Belanda yang memiliki arti Gereja atau Kuburan. Jalur masuk yang panjang mencapai puluhan meter dan lebar tampak menyerupai altar gereja, namun yang ini hanya berbahan dasar aspal. Di ke dua sisi altarrumpun-rumpun bunga melati terlihat tertata rapi, dengan warna bunganya yang putih, juga ada bougenvile dengan bunganya yang warna-warni.

Kerkhof Peutjoet diapit oleh gedung Museum Tsunami yang tampak tinggi menjulang di sisi sebelah kirinya, gagah dan menarik perhatian dengan warna cokelat yang terang. Sedangkan di ruas kanan diapit oleh sebuah perguruan Katholik Budhi Darma. Di bagian depan, terdapat taman thank to the world atau yang lebih dikenal dengan sebutan Lapangan Blang Padang.

Meski di area ini terdapat 2.200 makam namun tidak sedikitpun ada kesan angker, sebagaimana kesan umum yang ditemui di area pekuburan. Suasana inilah yang membuat Kerkhof Peutjoet mempunyai daya tarik tersendiri bagi pengunjung, baik lokal maupun dari manca negara.

Pengunjung dapat dengan bebas menyusuri area makam untuk melihat-lihat, atau mengabadikan berbagai moment di komplek makam ini, bahkan banyak juga bagi pasangan yang akan menikah melakukan foto preweddingnya di tempat ini. Terutama di hari-hari libur.

Setelah melewati pintu utama kita akan bertemu dengan sebuah pintu gerbang yang kokoh dan tinggi. Dibuat pada tahun 1893 Masehi berbahan dasar batu bata. Di atas pintu tertulis sebuah kalimat dengan kosa kata arab, melayu dan huruf jawa. Onze kameraden gevallen op het veld van eer begitu kalimat yang tertera di sana yang artinya untuk sahabat kita yang gugur di medan perang.

Dinding-dindingnya yang tebal berwarna krem dengan les cokelat, di setiap ruasnya terdapat lapisan batu marmar yang digrafir nama-nama pejuang yang terdapat di dalam komplek makam. Lengkap dengan tahun serta lokasi kejadian.

Nama-nama yang tertera di dinding tercatat sejak tahun 1873 M sampai pada tahun 1935 M. Dari 2.200 nama yang tercatat, 35 nya adalah prajurit angkatan laut kerajaan dan 118 orang perwira. Sedangkan sisanya didominasi oleh tentara Kerajaan Hindia Belanda.

Komplek makam ini masuk ke kawasan Blower, kelurahan Suka Ramai yang terletak di Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh. Di sebelah timur berbatasan langsung dengan jalan T. Umar, Stui. Bersebelahan dengan taman Ghirah atau lebih dikenal dengan sebutan Taman Gunongan.

Di sinilah terdapat sebuah makam seorang Jenderal Belanda yang sangat terkenal pada masa itu yaitu J.H.R Kohler (1818-1873 M). Dalam buku panduan Kuburan Militer Peutjoet yang ditulis oleh G.A Geerts yang menjabat sebagai wakil ketua Yayasan Peutjoet Belanda, Jenderal Kohler digambarkan sebagai sosok lelaki Belanda yang memiliki wajah agak persegi, matanya cokelat dan berkulit putih kemerahan, rambutnya merah seperti rambut jagung dan kumisnya tebal.

Kohler adalah perwira komandan pada ekspedisi Aceh yang pertama. Pada tanggal 8 April 1873 ia mendarat dengan pasukannya di pantai utara Aceh. Setelah membentuk pangkalan jembatan di dekat sungai Aceh, ia bermaksud untuk bergerak menuju ke Kraton tempat kediaman Sultan Aceh, sayangnya Kohler tidak mengetahui secara pasti di mana lokasi Kraton.

Kohler dipromosikan menjadi Mayor Jenderal pada tanggal 10 April 1873, pada hari berikutnya Masjid Raya Baiturrahaman dibakar oleh Belanda yang menimbulkan kemarahan luar biasa dari rakyat Aceh dan terjadilah peperangan yang sangat sengit.

Kira-kira pukul 08.30 pagi bertepatan dengan tanggal 14 April 1973 Kohler datang untuk melihat-lihat situasi dengan teropongnya, saat itulah ia ditembak oleh seorang penembak Aceh, lokasinya berada di halaman Masjid Raya Baiturrahman, sampai sekarang masih terdapat monumen kematian Kohler di sana.

Setelah kematiannya, jenazah Kohler kemudian diterbangkan ke Batavia dan dikuburkan di pekuburan Tanah Abang Jakarta. Namun, karena ada rencana pengembangan kota Jakarta pada tahun 1975, atas permintaan masyarakat Aceh akhirnya pada tahun 1978 jasad Kohler dipindahkan ke Aceh pada tanggal 19 Mei. Setelah 105 tahun ‘menetap’ di pekuburan Tanah Abang Jakarta, sang Jenderal pun kembali ke Aceh. Ke tanah tempat di mana ia menghembuskan nafasnya yang terakhir kali.

Selain Kohler tentu saja banyak prajurit-prajurit lainnya yang terkenal dan dimakamkan di sini, salah satunya adalah Letnan Kolonel J.J Roeps yang terbunuh pada tahun 1840. Mereka-mereka yang dikuburkan di sini termasuk para perempuan dan anak-anak yang terkena wabah penyakit seperti malaria.

Namun, dari ribuan makam berwarna putih yang tampak sangat terawat dan bersih tersebut,di bagian timur kompleks makam terdapat pemandangan lain. Di bawah sebatang pohon yang rimbun terdapat tiga buah makam dengan kondisi memprihatinkan. Rumput-rumput ilalang tampak tumbuh berantakan. Yah, salah satu dari makam itu adalah milik Meurah Pupok, putra Sultan Iskandar Muda, yang dihukum karena suatu kesalahan. Konon katanya, pada saat Sultan menghukum puteranya inilah lahir ungkapan Matee aneuk meupat jirat, gadoh adat pat tamita.

Meski terletak di area Kerkhof, namun pihak Yayasan Peutjoet di Belanda tidak ikut mengurus makam Meurah Pupok. Karena mereka beranggapan itu di luar kewenangan Yayasan.

Adalah Habibah (45), yang sudah belasan tahun menjaga dan merawat Kerkhof ini mengatakan bahwa pada waktu-waktu tertentu ada petugas khusus yang datang untuk membersihkan makam Meurah Pupok. Namun ia tidak mengetahui secara pasti dari mana mereka berasal. “Sepengetahuan saya juga tidak pernah ada keturunan Sultan yang berkunjung ke makam ini.


GAYO Nusantara.

Jejak sejarah Banda Aceh dan istana di tepi Kuala Naga

Jejak sejarah Banda Aceh dan istana di tepi Kuala Naga

Written By mus de oranje on 20 April 2013 | 23:22

Ilustrasi Masjid Raya Baiturrahman yang menjadi ikon Kota Banda Aceh.@Acehtourismagency
KERAJAAN Aceh Darussalam dibangun di atas puing Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Patra dan Kerajaan Indra Pura. Keterangan itu diperoleh setelah ditemukannya batu-batu nisan di Kampung Pande, Banda Aceh.

Diantaranya seperti yang terukir di nisan Sultan Firman Syah cucu dari Sultan Johan Syah. Di batu itu dituliskan keterangan bahwa Banda Aceh adalah ibukota Kerajaan Aceh Darussalam yang dibangun pada Jum'at, 1 Ramadhan 601 H atau 22 April 1205. Ibukota Banda Aceh ini dibangun oleh Sultan Johan Syah setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Indra Purba dengan ibukotanya Bandar Lamuri.

Keterangan lain mengenai Kesultanan Aceh Darussalam juga dibuktikan dengan ditemukannya batu nisan milik Sultan Ali Mughayat Syah. Di nisan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam yang berada di Kandang XII Banda Aceh ini, disebutkan bahwa Sultan Ali Mughayat Syah meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau pada 7 Agustus 1530.

Merujuk pada tulisan Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo tahun 2006 tentang Kerajaan Aceh Darussalam mengatakan, kemunculan Kesultanan Aceh Darussalam yang beribukota di Banda Aceh ini tidak lepas dari eksistensi Kerajaan Islam Lamuri. Salah seorang sultan yang terkenal dari Kerajaan Islam Lamuri adalah Sultan Munawwar Syah. Sultan inilah yang kemudian dianggap sebagai moyangnya Sultan Aceh Darussalam yang terhebat, yakni Sultan Iskandar Muda.

Akhir abad ke-15 pusat singgasana Kerajaan Lamuri dipindahkan ke Meukuta Alam, Banda Aceh sekarang. Sementara mengenai Lamuri atau sebagian ada yang mengatakan Lam Urik, saat ini terletak di kawasan Aceh Besar. Merujuk pada catatan Dr. N. A. Baloch dan Dr. Lance Castle, yang dimaksud dengan Lamuri yaitu Lamreh di Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya sekarang). Jejak kerajaan ini kembali ditemukan saat ini di perbukitan Lamreh.

Dari catatan tersebut, diketahui istananya dibangun di tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung Pande atau sering disebut dengan "Kandang Aceh".

Masa pemerintahan Sultan Alaidin Mahmud Syah, istana Kerajaan Aceh dibangun ulang di seberang Kuala Naga (Krueng Aceh) dengan nama Kuta Dalam Darud Dunia (dalam kawasan Meuligoe Aceh atau Pendopo Gubernur sekarang). Selain itu, beliau juga mendirikan Masjid Raya Baiturrahman pada tahun 691 H. Banda Aceh Darussalam dijadikan sebagai ibukota Kerajaan Aceh Darussalam dan sekarang ini merupakan ibukota Aceh.

Berdasarkan temuan nisan Sultan Firman Syah tersebut maka diketahuilah Banda Aceh sudah berusia 808 tahun dengan penetapan hari jadi pada 22 April.



GAYO Nusantara.

Ini Rumah Sewaan Pertama di Kota Banda Aceh

Ini Rumah Sewaan Pertama di Kota Banda Aceh

Written By mus de oranje on 19 Maret 2013 | 01:41


RUMAH kopel memanjang di gang melingkar  itu telah lama berganti pemilik. Juga berganti rupa.  Gang kecil, yang dulunya  sangat terkenal sebagai  hunian elite birokrat,  dengan nama ke”belanda-belanda”an, Spordex,  telah bersalin nama dengan  nama baru  Linggar Waru.
Sebuah nama,  entah dari reinkarnasi  mana datangnya,  sehingga  mengubah pula bentuk bangunan  kopel  memanjangnya  dengan ruko dan  rumah-rumah gaya minimalis.
Spordex. Spoor dan dex. Dua  kata bahasa  Belanda. Kereta api dan tanggul. Spordex,  memang tanggul rel kereta api,  dulunya. Dex yang dibangun Belanda di awal penaklukan Aceh, 1874, untuk memudahkan mobilitas logistik dan pasukan dari Uleue Lheue ke Koetaradja sepanjang lima kilometer, melintasi Pekan Aceh, Lampaseh, Deah Baro maupun Deah Geuleumpang.
Spordex, tanah tanggul kereta api itu,  entah bagiamana awalnya, diadopsi untuk sebuah nama  “cluster” hunian di tengah kota oleh seorang Yunani muda, Petros Franxiscus Handziris. Kluster sangat terkenal bagi warga Banda Aceh kala itu. Hunian elite birokrat berstatus rumah sewa. Hunian yang dicatat sebagai properti pertama di Koetaradja.
Handziris memang “tuan” rumah sewa di Koetaradja. “Tuan” dengan status sosial tinggi di lingkungan pergaulan elite kota dengan menabur kepemilikan kluster rumah sewa. Kepemilikan rumah sewan yang tidak hanya di gang melingkar Spordex, tapi juga merambah ke jalan Cut Meutia, samping Java Bank (kini BI) dan kini telah jadi barisan pertokoan, yang salah satunya, rumah makan Asia Utama. Bahkan,  sampai ke Merduati.
Di Merduati  jejak properti Handziris masih bisa dilacak lewat ingatan banyak penduduk Banda Aceh. Letaknya, ketika itu,  agak terperosok di pantat jalan “tusuk sate,’ Muhammad Jam – Merduati. Persisnya di barisan toko buku Zikra, sekarang,
sebelum dibangun jalan tembus, ujung Muhamad Jam. Gangnya berkelok dari arah sebuah  jembatan kecil di samping rumah panggung, kantor legiun veteran, dan tembus ke depan kantor majelis ulama sekarang. Lokasinya agak tersembunyi di belakang kerumunan bangunan.
Rumah kopel Merduati hanya satu baris, sebanyak enam unit. Bangunannya dari kayu berjendela tinggi dari kaca. Dan sebagai rumah sewa, seperti Spordex maupun samping BI, penghuninya selalu gonta ganti.
Spordex, rumah kopel Cut Meutia dan kopel ujung jalan Muhammad Jam, memang tidak bisa dipisahkan dari Petros F Handziris. “Tuan Muda,” sebagaimana tertulis di nisannya, yang datang ke Koetaradja dari sebuah kota kecil berteluk indah, Tinos di Yunani,   yang juga tercatat sebagai kota kelahiran Tina, istri raja kapal Onasis,  di tahun 1900. Ia datang ke Koetaradja dalam  usia sangat remaja, 17 tahun.
Sebelum ke Koetaradja, menurut berbagai informasi, tuan muda Ziris, sempat singgah dan menetap sementara di Medan. Ia punya paman dari garis ibu yang telah lama menetap di sana dan juga menekuni bisnia rumah sewa. Sang pamanlah yang “mengundang” Ziris ke Hindia Belanda dan membekalinya dengan modal untuk membangun rumah sewa di Koetaradja.
Ziris pernah dimintakan klarifikasinya atas  informasi ini  dan dia mengiyakan tanpa ingin mengomentari.
Kluster hunian Spordex, menurut catatan yang agak simpang siur,  dibangun  tahun 1907.  Dalam dua type.  Type pertama, sebanyak 15 unit, berbentuk kopel dua, bergaya semi art deco, permanen, di sisi utara. Sedangkan di sisi selatan juga bangunan  berbentuk kopel memanjang sebanyak  sepuluh unit bangunan kayu.
Satu dari lima belas bangunan permanennya, di sisi utara,  ditempati oleh lelaki kelahiran 1883 itu, hingga akhir usianya tahun 1960.
“Saya masih ingat rumah yang ditempati Handziris. Ada pahatan namanya di atas pintu utama disertai  gambar bendera Yunani sedang berkibar. Sekarang saya tidak tahu apa masih ada pahatan itu,” ujar Teuku Bahrum, 66 tahun, pemilik Hotel Rajawali, yang dipenghujung tahun limapuluhan pernah tinggal di Spordex dan beristrikan anak salah seorang penghuni disana.
Bahrum memang bisa dengan pas mengingat rumah tinggal Handziris karena ia pernah menjadi penghuni salah satu rumah sewa di situ.  “Saya lama tinggal di Spordex dan tahu penghuninya, kala itu. Mereka  para pejabat penting. Ada Pak Binsar, kepala kantor statistik, jaksa Darwis, bupati Tengku Sulaiman, Cut Rahmah dan banyak lainnya,” kenang Bahrum.
Komunitas Spordex, waktu itu,  menurut Bahrum, sangat beragam. Plural. Baik dari suku, agama maupun status sosial. “Tapi harmoni. Kami seperti keluarga besar. Mungkin pengaruh romantisme pasca perang,” ujar pemilik hotel Rajawali itu melayangkan ingatannya ketahun limapuluhan  ketika ia menjadi salah seorang penghuni gang melingkar di pangkal jalan Diponegoro itu.
Bahkan, menurut Bahrum, hingga kini, ia masih rajin  berkomunikasi sesama mantan penghuni. Ia menyebut anak-anak Pak Binsar atau anak-anak Pak Sitompul yang telah jadi “orang.” Bahkan anak Pak Darwis, asal Minang, beberapa orang diantaranya  menjadi tentara dan berpangkat jenderal. Begitu juga dengan anak Pak Sitompul yang pernah jadi jenderal dalam posisi penting di TNI-AD “Mereka rata-rata sukses karena mendapat pendidikan yang baik,” katanya serius..
Linggar Waru, atau Spordex, kini tak lagi dengan wajah maupun suasana semasa Handziris masih datang mengutip uang sewa. Dan tidak juga seperti yang bisa dikenang Teuku Bahrum ketika masih berdomisili di sana. Handziris telah berpulang 19 April tahun 1960, dan dikebumikan di pekuburan Kherkof.
Rumah-rumah Handziris, baik yang permanen maupun bangunan kayu, di Spordex  telah beralih kepemilikan.Ada diantara rumah itu yang alih kepemilikannya berlangsung lebih dari sepuluh kali. “Tak ada lagi pemilik lama di sini,” kata salah seorang penghuni di barisan rumah permanen tanpa ingin disebut namanya. Ia sendiri mengaku  menjadi pemilik kedelapan.
Sumber : nuga.co

Antara Banda Aceh dan Kuta Raja

Antara Banda Aceh dan Kuta Raja

Written By mus de oranje on 20 April 2013 | 23:14

Pendaratan pertama Belanda di Aceh yang disambut perlawanan oleh pejuang Kerajaan Aceh.@Dok. Sejarah Aceh
PEPERANGAN antara Kerajaan Belanda dengan Kerajaan Aceh yang berlangsung di Aceh menorehkan luka lama. Apalagi saat Belanda berhasil membakar Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh dan menaklukkan ibukota kerajaan, Banda Aceh.

Peperangan frontal yang berlangsung antara Belanda dengan Kerajaan Aceh berlangsung lama. Sultan dan pengikutnya yang mendiami Istana Darud Dunia baru bisa ditaklukkan setelah mewabahnya kolera. Saat itu, Sultan Muhammad III Daud Syah Johan Berdaulat terpaksa mengungsi. Bahkan dia mangkat akibat penyakit tersebut.

Setelah Darud Dunia berhasil direbut, Belanda di bawah pimpinan Gubernur Van Swieten mendirikan kota baru di Banda Aceh. Upaya ini dilakukan untuk menghapus kegemilangan Kerajaan Aceh Darussalam dan ibukotanya Banda Aceh Darussalam.

Van Swieten juga mengganti nama Banda Aceh pada 16 Maret 1874 melalui proklamasinya yang berbunyi : "Bahwa Kerajaan Belanda dan Banda Aceh dinamainya dengan Kuta Raja, yang kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal di Batavia dengan beslit yang bertanggal 16 Maret 1874. Semenjak saat itu resmilah Banda Aceh Darussalam dikebumikan dan di atas pusaranya ditegaskan Kuta Raja sebagai lambang dari kolonialisme."

Kebijakan Van Swieten menuai kontroversi di kalangan tentara Belanda yang pernah bertugas. Mereka menganggap Van Swieten mencari muka pada Kerajaan Belanda karena berhasil menaklukkan pusat kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam. Mereka juga meragukan Van Swieten berhasil merebut Aceh pada saat itu yang kemudian dibuktikan dengan adanya perang gerilya oleh pasukan kerajaan Aceh dan ulama setempat.

Setelah Indonesia merdeka dan Aceh berada di dalam wilayahnya, nama Banda Aceh dipulihkan. Kuta Raja yang dilakapkan oleh Van Swieten diubah dengan Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah bertanggal 9 Mei 1963 No. Des 52/1/43-43. Sejak itu, ibukota Aceh kembali disebut dengan nama Banda Aceh.

- See more at: http://atjehpost.com/sejarah_read/2013/04/20/48727/0/39/Antara-Banda-Aceh-dan-Kuta-Raja#sthash.FRMqvtHp.dpuf

Sejarah Tari Saman - Saman Dance from Aceh

Sejarah Tari Saman - Saman Dance from Aceh

Written By mus de oranje on 02 Juli 2012 | 11:08

Gambar : majalahduta.com
Di antara beraneka ragam tarian dari pelosok Indonesia, tari saman termasuk dalam kategori seni tari yang sangat menarik. 

Keunikan tari saman ini terletak pada kekompakan gerakannya yang sangat menakjubkan. Para penari saman dapat bergerak serentak mengikuti irama musik yang harmonis. 


Gerakan-gerakan teratur itu seolah digerakkan satu tubuh, terus menari dengan kompak, mengikuti dendang lagu yang dinamis. 


Sungguh menarik, bukan? Tak salah jika tari saman banyak memikat hati para penikmat seni tari. Bukan hanya dari Indonesia, tapi juga dari mancanegara. Sekarang, mari kita ulas lebih dalam lagi mengenai tarian unik ini.

Sejarah


Mengapa tarian ini dinamakan tari Saman? Tarian ini di namakan Saman karena diciptakan oleh seorang Ulama Gayo bernama Syekh Saman pada sekitar abad XIV Masehi, dari dataran tinggi Gayo. Awalnya, tarian ini hanyalah berupa permainan rakyat yang dinamakan Pok Ane. Namun, kemudian ditambahkan iringan syair-syair yang berisi puji-pujian kepada Allah SWT, serta diiringi pula oleh kombinasi tepukan-tepukan para penari. Saat itu, tari saman menjadi salah satu media dakwah.

Pada mulanya, tari saman hanya ditampilkan untuk even-even tertentu, khususnya pada saat merayakan Hari Ulang Tahun Nabi Besar Muhammad SAW atau disebut peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. 


Biasanya, tari saman ditampilkan di bawah kolong Meunasah (sejenis surau panggung). Namun seiring perkembangan zaman, tari Saman pun ikut berkembang hingga penggunaannya menjadi semakin sering dilakukan. Kini, tari saman dapat digolongkan sebagai tari hiburan/pertunjukan, karena penampilan tari tidak terikat dengan waktu, peristiwa atau upacara tertentu. 


Tari Saman dapat ditampilkan pada setiap kesempatan yang bersifat keramaian dan kegembiraan, seperti pesta ulang tahun, pesta pernikahan, atau perayaan-perayaan lainnya. Untuk tempatnya, tari Saman biasa dilakukan di rumah, lapangan, dan ada juga yang menggunakan panggung.

Tari Saman biasanya ditampilkan dipandu oleh seorang pemimpin yang lazimnya disebut Syekh. Penari Saman dan Syekh harus bisa bekerja sama dengan baik agar tercipta gerakan yang kompak dan harmonis.

Makna dan Fungsi

Tari Saman dijadikan sebagai media dakwah. Sebelum Saman dimulai, tampil pemuka adat untuk mewakili masyarakat setempat. Pemuka adat memberikan nasehat-nasehat yang berguna kepada para pemain dan penonton. Syair-syair yang di antunkan dalam tari Saman juga berisi petuah-petuah dan dakwah.

Berikut contoh sepenggal syair dalam tari Saman:

Reno tewa ni beras padi, manuk kedidi mulu menjadi rempulis bunge.

Artinya:

Betapa indahnya padi di sawah dihembus angin yang lemah gemulai. Namun begitu, burung kedidi yang lebih dulu sebagai calon pengantin serta membawa nama yang harum.

Namun dewasa ini, fungsi tarian saman menjadi bergeser. Tarian ini jadi lebih sering berfungsi sebagai media hiburan pada pesta-pesta, hajatan, dan acara-acara lain.

Nyanyian


Pada tari Saman, terdapat 5 macam nyanyian :

1. Rengum, yaitu sebagai pembukaan atau mukaddimah dari tari Saman (yaitu setelah dilakukan sebelumnya keketar pidato pembukaan). Rengum ini adalah tiruan bunyi. Begitu berakhir langsung disambung secara bersamaan dengan kalimat yang terdapat didalamnya, antara lain berupa pujian kepada seseorang yang diumpamakan, bisa kepada benda, atau kepada tumbuh-tumbuhan.
2. Dering, yaitu rengum yang segera diikuti oleh semua penari.
3. Redet, yaitu lagu singkat dengan suara pendek yang dinyanyikan oleh seorang penari pada bagian tengah tari.
4. Syek, yaitu lagu yang dinyanyikan oleh seorang penari dengan suara panjang tinggi melengking, biasanya sebagai tanda perubahan gerak.
5. Saur, yaitu lagu yang diulang bersama oleh seluruh penari setelah dinyanyikan oleh penari solo.


Gerakan

Tarian saman menggunakan dua unsur gerak yang menjadi unsur dasar dalam tarian saman: Tepuk tangan dan tepuk dada. Diduga, ketika menyebarkan agama Islam, syeikh saman mempelajari tarian melayu kuno, kemudian menghadirkan kembali lewat gerak yang disertai dengan syair-syair dakwah Islam demi memudahkan dakwahnya. 


Dalam konteks kekinian, tarian ritual yang bersifat religius ini masih digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah melalui pertunjukan-pertunjukan.

Tarian Saman termasuk salah satu tarian yang cukup unik, karena hanya menampilkan gerak tepuk tangan dan gerakan-gerakan lainnya, seperti gerak guncang, kirep, lingang, surang-saring (semua gerak ini adalah bahasa Gayo). Selain itu, ada 2 baris orang yang menyanyi sambil bertepuk tangan dan semua penari Tari Saman harus menari dengan harmonis. Dalam Tari Saman biasanya, temponya makin lama akan makin cepat supaya Tari Saman menarik.

Penari

Pada umumnya, tari Saman dimainkan oleh belasan atau puluhan laki-laki. tetapi jumlahnya harus ganjil. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, tarian ini juga dimainkan oleh kaum perempuan. Pendapat Lain mengatakan tarian ini ditarikan kurang dari 10 orang, dengan rincian 8 penari dan 2 orang sebagai pemberi aba-aba sambil bernyanyi. 


Namun, perkembangan di era modern menghendaki bahwa suatu tarian itu akan semakin semarak apabila ditarikan oleh penari dengan jumlah yang lebih banyak. Di sinilah peran Syeikh, ia harus mengatur gerakan dan menyanyikan syair-syair tari Saman.

Kostum atau busana khusus saman terbagi dari tiga bagian yaitu:

· Pada kepala: bulung teleng atau tengkuluk dasar kain hitam empat persegi. Dua segi disulam dengan benang seperti baju, sunting kepies.
· Pada badan: baju pokok/ baju kerawang (baju dasar warna hitam, disulam benang putih, hijau dan merah, bahagian pinggang disulam dengan kedawek dan kekait, baju bertangan pendek) celana dan kain sarung.
· Pada tangan: topeng gelang, sapu tangan. Begitu pula halnya dalam penggunaan warna, menurut tradisi mengandung nilai-nilai tertentu, karena melalui warna menunjukkan identitas para pemakainya. Warna-warna tersebut mencerminkan kekompakan, kebijaksanaan, keperkasaan, keberanian dan keharmonisan.

Tari saman memang sangat menarik. Pertunjukkan tari Saman tidak hanya populer di negeri kita sendiri, namun juga populer di mancanegara seperti di Australia dan Eropa. Baru-baru ini tari saman di pertunjukkan di Australia untuk memperingati bencana besar tsunami pada 26 Desember 2006 silam. Maka dari itu, kita harus bangga dengan kesenian yang kita miliki, dan melestarikannya agar tidak punah.

Untuk Lyric / Syair Tari Saman di tautan ini  Lyric / Syair Tari Saman

5 Peristiwa di Aceh Yang Paling Bersejarah Sepanjang Masa

5 Peristiwa di Aceh Yang Paling Bersejarah Sepanjang Masa

Written By mus de oranje on 31 Juli 2012 | 23:22

Aceh (bahasa Belanda: Atchin atau Acheh, bahasa Inggris: Achin, bahasa Perancis: Achen atau Acheh, bahasa Arab: Asyi, bahasa Portugis: Achen atau Achem, bahasa Tionghoa: A-tsi atau Ache) yang sekarang dikenal sebagai provinsi Aceh memiliki akar budaya bahasa dari keluarga bahasa Monk Khmer proto bahasa Melayu dengan pembagian daerah bahasa lain seperti bagian selatan menggunakan bahasa Aneuk Jame. 

Sedangkan bagian Tengah, Tenggara, dan Timur menggunakan bahasa Gayo untuk bagian tenggara menggunakan bahasa Alas seterusnya bagian timur lebih ke timur lagi menggunakan bahasa Tamiang demikian dengan kelompok etnis Klut yang berada bagian selatan menggunakan bahasa Klut sedangkan di Simeulue menggunakan bahasa Simeulue akan tetapi masing-masing bahasa setempat tersebut dapat dibagi pula menjadi dialek. 

Bahasa Aceh, misalnya, adalah berbicara dengan sedikit perbedaan di Aceh Besar, di Pidie, dan di Aceh Utara. Demikian pula, dalam bahasa Gayo ada Gayo Lut, Gayo Deret, dan dialek Gayo Lues dan kelompok etnis lainnya Singkil yang berada bagian tenggara (Tanoh Alas) menggunakan bahasa Singkil. 

Sumber sejarah lainnya dapat diperoleh antara lain seperti dari hikayat Aceh, hikayat rajah Aceh dan hikayat prang sabii yang berasal dari sejarah narasi yang kemudian umumnya ditulis dalam naskah-naskah aksara Jawi (Jawoe). 

Namun sebagaimana kelemahan dari sejarah narasi yang berdasarkan pinutur ternyata menurut Prof. Ibrahim Alfian bahwa naskah Hikayat Perang Sabil mempunyai banyak versi dan satu dengan yang lain terdapat perbedaan demikian pula dengan naskah Hikayat Perang Sabil versi tahun 1710 yang berada di perpustakaan Universitas Leiden di negeri Belanda.

Memang sejarah di aceh cukup banyak. tapi inilah sejarah aceh yang paling mengerikan yang pernah terjadi di aceh yang saat ini telah menjadi sejarah.

1. Pembantaian Tanah Gayo, Alas, dan Batak

G.C.E van Daalen
Pembantaian Tanah Gayo, Alas, dan Batak dilakukan oleh KNIL di bawah pimpinan G.C.E. van Daalen pada tahun 1904 selama Perang Aceh. 

Latar belakang dari terjadinya pembantaian ini diawali Pada bulan Desember 1903, pemerintah Tanah Gayo, Alas, dan Batak mengadakan lawatan dinas dari Teluk Aru dan Salahaji ke Kuala Simpang untuk menyelidiki beberapa sengketa yang timbul antara Kejurun Karang, wilayah utama Tamiang, yang berbatasan langsung dengan permukiman Gayo, yang terletak di Krueng Tamiang. 

Meskipun sudah diketahui sebelumnya banyak orang Gayo - terutama dari Gayo Lues, Serbejadi, dan Linge - turun ke Tamiang untuk menjual hasil hutan dan ternaknya dan mereka sendiri perlu membeli barang impor, kunjungan itu benar-benar menunjukkan bahwa kontak penduduk asli dengan pemerintahan Hindia-Belanda jauh lebih besar ketika pegawai Belanda tidak mencatat semua kontak dengan urusan dalam suku-suku independen itu secara sistematis. 

Oleh karena itu diputuskan bahwa pemerintah sipil dan militer memerintahkan penguasa Tanah Gayo dan Alas (yang ke arah merekalah konvoi diarahkan) untuk merancang instruksi untuk komandan pasukan yang disebutkan tadi dari Kuala Simpang; setelah instruksi ini disetujui oleh komandan militer Sumatera Timur, konvoi Tamiang ditarik ke Pedeng untuk mencapai sasaran dalam waktu yang mencukupi untuk mengantisipasi tugas berikutnya.
Overste Van Daalen mengumpulkan semua tetua Gayo-Lues.
Kampung Bambel yang berada di atas Krueng Singkil dijadikan bivak; dari tempat itu, berturut-turut kubu di Likat dan Kute Lengat Baru jatuh pada tanggal 20 dan 24 Juni setelah perlawanan berat. Dalam pertempuran di Likat, pasukan Belanda membantai tanpa pandang bulu, sehingga 432 orang mati terbunuh, di antaranya 220 pria, 124 wanita, dan 88 orang anak-anak. 

Yang luka-luka berat dan ringan sebanyak 51 orang, di antaranya 2 orang pria, 17 orang wanita dan 32 orang anak--anak, yang tertangkap hidup-hidup hanya anak-anak sebanyak 7 orang. Dengan jatuhnya kubu pertahanan tersebut, perlawanan di Krueng Bambel dipatahkan, sementara Kejuron Batu Mbulan - di mana terdapat 2 kubu, Batu Mbulan dan Tanjung yang telah ditinggalkan tepat pada waktunya - tetap tenang dengan pimpinan Berakan, putera Reje Mbulan, tanpa sikap permusuhan apapun. Pada tanggal 29 Juni, tetua Bambel dan Batu Mbulan muncul bersama rombongannya, yang setelah itu ditahan oleh komandan barisan.
 Bacaselengkapnya di WIKIPEDIA

2. Kerkoff Peucut


Kerkoff Peucut . Sumber Wikipedia
Kerkoff Peucut adalah kuburan prajurit Belanda yang tewas dalam Perang Aceh. Kompleks kuburan ini banyak tersebar di wilayah Indonesia. Salah satunya terletak di kota Banda Aceh, dan sekarang menjadi objek wisata menarik, khususnya bagi wisatawan mancanegara (terutama wisatawan asal Belanda).

Sebagaimana diketahui bahwa Kerajaan Aceh dan rakyatnya sangat gigih melawan Belanda yang memerangi Aceh. Rakyat Aceh mempertahankan Negerinya dengan harta dan nyawa. Perlawanan yang cukup lama mengakibatkan banyak korban dikedua belah pihak.

Gerbang Kerkoff Peucut (1890-1910) ( Wikipedia )
Bukti sejarah ini dapat ditemukan di pekuburan Belanda Kerkhoff ini. Disini dikuburkan kurang lebih 2000 orang serdadu Belanda, dan termasuk di antaranya serdadu Jawa, Batak, Ambon dan beberapa serdadu suku lainnya yang tergabung dalam Angkatan Bersenjata Hindia-Belanda. yang kuburannya masih dirawat dengan baik. Hingga saat ini Pemerintah Kerajaan Belanda sangat haru dan menghormati warga Banda Aceh yang merawat dengan rapi kuburan tersebut.

Kuburan Kerkhoff Banda Aceh adalah kuburan militer Belanda yang terletak di luar negeri Balanda yang terluas di dunia. Dalam sejarah Belanda, Perang Aceh merupakan perang paling pahit yang melebihi pahitnya pengalaman mereka pada saat Perang Napoleon.
Sebaliknya tidak terhitung banyaknya rakyat Aceh yang tewas dalam mempertahankan setiap jengkal tanah airnya yang tidak diketahui dimana kuburnya.
Di area ini, juga terdapat makam putra Sultan Iskandar Muda, yaitu Amat Popok yang berzina dan dijatuhi hukuman rajam.

3. Invasi Belanda ke Pantai Barat Sumatera (1831)


Serangan Belanda ke Pantai Barat Sumatera.
 Dalam gambar itu tampak Let. Bisschoff.
Sumber : Wikipedia
Invasi Belanda ke Pantai Barat Sumatera dilaksanakan oleh Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger di bawah pimpinan Jan Jacob Roeps dan Andreas Victor Michiels pada tahun 1831. 

Pada tanggal 7 Februari 1831, kapal Friendship milik Amerika Serikat dirompak di Kuala Batee oleh orang-orang Aceh. Tak lama setelahnya, skuner Dolfijn milik Belanda juga dibajak; usaha membawa kembali kapal itu gagal, namun ketakutan akan perselisihan dengan Britania Raya dan pecahnya perang dengan Aceh membuat Belanda tidak mengambil tindakan lanjutan apapun. Akibatnya, orang-orang Aceh menjadi nekat dengan menduduki Barus dan sejumlah pos milik Belanda. Oleh karena itu, diputuskanlah untuk memperluas kekuasaan Belanda di Pantai Barat Sumatera hingga Singkil. Barus, Tapus, dan Singkil sendiri merdeka dari Kesultanan Aceh, meskipun kesultanan mengklaimnya. Karena ketiga daerah tersebut bukan bagian Kesultanan Aceh, Belanda tidak merasa perlu terikat dengan Perjanjian Sumatera.

LetKol. Roeps (komandan di Barus) hanya diperintahkan memimpin serbuan khusus saja. Didorong oleh tekanan penduduk Aceh yang bermusuhan, ia melancarkan sejumlah ekspedisi, yang dengan itulah ia melibas perlawanan bersenjata. Di salah satu pertempuran, ia terluka parah oleh tembakan. Andreas Victor Michiels kini maju dengan 700 prajurit dan anggota salah satu skuadron ke Barus dan banyak orang Aceh di kubu pertahanannya. Let. Bisschoff menaiki tembok pembatas salah satu bangunan itu dan merebut bendera Aceh. Musuh merebutnya kembali dan mendaratkan 11 luka sabet kepadanya. Dengan meninggalkan senjata dan amunisi, musuh berlari ke Tapus dan Singkil, tempat kekuatan utama orang-orang Aceh yang dipimpin oleh Mohammad Arief. Di sini, musuh juga dihalau setelah diberangus senjatanya dan tujuan ekspedisi kecil ini tercapai. Dengan demikian, Singkil masuk Hindia-Belanda.

4. Operasi militer Indonesia di Aceh 2003-2004

Operasi militer Indonesia di Aceh (disebut juga Operasi Terpadu oleh pemerintah Indonesia) adalah operasi yang dilancarkan Indonesia melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dimulai pada 19 Mei 2003 dan berlangsung kira-kira satu tahun. Operasi ini dilakukan setelah GAM menolak ultimatum dua minggu untuk menerima otonomi khusus untuk Aceh di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Operasi ini merupakan operasi militer terbesar yang dilakukan Indonesia sejak Operasi Seroja (1975), dan pemerintah mengumumkan terjadinya kemajuan yang berarti, dengan ribuan anggota GAM terbunuh, tertangkap, atau menyerahkan diri. Operasi ini berakibat lumpuhnya sebagian besar militer GAM, dan bersama dengan gempa bumi dan tsunami di tahun 2004 menyebabkan berakhirnya konflik 30 tahun di Aceh

Yang bewarna Hijau Adalah Lokasi Aceh Indonesia
Lokasi Operasi Meliter 2003-2004
Tepatnya pada Tanggal 19 Mei 2003 – 13 Mei 2004

                                                                    
                               Pihak yang terlibat
                              Indonesia                                                  Gerakan Aceh Merdeka                                 
            Tentara Nasional Indonesia (TNI)                                     
     Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)

                                                                           Komandan
                       Megawati Soekarnoputri                                                    Hasan Di Tiro 
                          Endriartono Sutarto                                                      Muzakkir Manaf
                                                                           Kekuatan
                                     30.000 tentara                                                                    5.000
                                     12.000 polisi
                          total: 42.000
                                                                       Jumlah korban
                                                 2.000 tewas (kebanyakan warga sipil)


5. Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami 24 Desember 2004

Gempa bumi tektonik berkekuatan 8,5 SR berpusat di Samudra India (2,9 LU dan 95,6 BT di kedalaman 20 km (di laut berjarak sekitar 149 km selatan kota Meulaboh, Nanggroe Aceh Darussalam). Gempa itu disertai gelombang pasang (Tsunami) yang menyapu beberapa wilayah lepas pantai di Indonesia (Aceh dan Sumatera Utara), Sri Langka, India, Bangladesh, Malaysia, Maladewa dan Thailand.

Menurut Koordinator Bantuan Darurat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Jan Egeland, jumlah korban tewas akibat badai tsunami di 13 negara (hingga minggu 2/1) mencapai 127.672 orang. Namun jumlah korban tewas di Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Afrika Timur yang sebenarnya tidak akan pernah bisa diketahui, diperkirakan sedikitnya 150.000 orang. PBB memperkirakan sebagian besar dari korban tewas tambahan berada di Indonesia. Pasalnya, sebagian besar bantuan kemanusiaan terhambat masuk karena masih banyak daerah yang terisolir.

Sementara itu data jumlah korban tewas di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara menurut Departemen Sosial RI (11/1/2005) adalah 105.262 orang. Sedangkan menurut kantor berita Reuters, jumlah korban Tsunami diperkirakan sebanyak 168.183 jiwa dengan korban paling banyak diderita Indonesia, 115.229 (per Minggu 16/1/2005). Sedangkan total luka-luka sebanyak 124.057 orang, diperkirakan 100.000 diantaranya dialami rakyat Aceh dan Sumatera Utara.(***)



Sejarah Daerah dan Suku Gayo

Sejarah Daerah dan Suku Gayo


Desember 27, 2009
      Pada jaman dahulu kala ketika dunia ini masih diliputi lautan yang mahaluas, dan daratan masih ditumbuhi tumbuhan jarum, hiduplah di negeri Rum dua bersaudara. Si abang sebagai rakyat jelata, mempunyai tujuh orang putra, sedang adiknya sebagai seorang raja, mempunyai tujuh orang putri.
Pada suatu hari ketujuh putra si abang meminta kepada ayahnya, agar ayahnya membuat kail seorang satu buah. Karena ayahnya begitu sayang kepada anaknya lalu ia mencari beberapa kerat kawat. Tiap potong dibuat dua mata kail. Kini tinggal satu lagi yang tidak punya pasangan. Ketika kawat itu belum dikerat, seorang anaknya bernama Genali secara diam-diam mengambil kawat yang masih lurus tadi.
Dengan cepat ia mencari tali dan mengikat kawat lurus itu, lalu ia pergi ke laut. Setelah Genau pergi barulah orang tuanya sadar bahwa kawatnya hilang satu potong dan anaknya seorang tidak ada lagi.
Pada saat itu Genali sedang mengail dan duduk di atas sepotong batang kayu yang dapat terapung jika air pasang. Seekor ikan segera memakan kailnya. Genali menarik kail, tapi ia sendiri ikut ditarik ikan itu ke tengah dan terus sampai ke tengah lautan luas. Sehingga ia terdampar di sebuah pulau kecil bersama ikan dan perahu kayunya.
Berbulan-bulan ia di situ sendirian sehingga pakaiannya habis dan makanan pun tidak ada lagi. Tiap saat ia memohon pada Yang Maha Kuasa agar ia terlepas dari bencana ini. Sehingga pada suatu hari lewatlah sebuah kapal ke pulau itu. Kapal itu dipanggilnya.
Tetapi tidak mau berhenti. Anehnya kapal itu hanya berputar-putar di daerah itu saja. Barulah ketika kapal itu singgah dan menerima pesan dari Genali mereka dapat berlayar dengan lancar kembali.
Lima bulan kemudian kapal itu sampai di negeri Rum. Ikan diserahkan kepada sultan Rum dan pesan Genau meminta ayam jago yang bagus kokoknya dan kain putih empat hasta disampaikan.
Raja Rum menerima pesan Genau dengan baik, dan ikan kiriman lalu dibelah. Di dalamnya terdapat intan berlian.
Permintaan Genali, ayam jago yang bagus kokoknya, putri raja Rumlah yang menebaknya. Sebenarnya dirinyalah yang dipesan Genali, tak dapat ditolak lagi, karena kiriman Genali berupa ikan sudah diterima dan dibelah pula. Persediaan untuk berangkat dilengkapi : Sebuah kapal, juga hewan ternak, inang pengasuh, orang cerdik pandai, dan bibi putri Terus Mata bernama datu Beru ikut serta.
Setelah selesai mereka pun berangkat. Sebulan kemudian kapal itu sampailah di pulau tempat Genali berada. Yang pertama diserahkan ialah kain putih empat hasta, karena Genali tidak berpakaian.
Beberapa lama kemudian putri Terus Mata dan Genali dinikahkan di pulau itu. Pulau itu sekarang terkenal dengan buntul Linge, dengan rajanya bernama Genali.
Keturunan Raja Genali adalahJoharsyah, Joharsyah dan Merah Abuk. Setelah lama Genau memerintah, pada suatu hari sakit lalu meninggal dunia. Aneh ketika keranda dibuka dan akan dimakamkan, jenazahnya hilang. Rakyat terharu bercampur heran. Kemudian kerajaan diperintah oleh permaisuri.
Tersebutlah raja yang mangkat, sebenarnya jasadnya terbang ke Kutaraja. Di sana Genali juga menikah dan dapat keturunan seorang putra bernama AUsyah. Ketika Alisyah masih kecil Genali pergi ke Gayo dan memerintah di sana.
Sekembalinya Genali ke Gayo, Alisyah dipelihara ibunya sampai menanjak besar. Alisyah adalah anak yang pintar. Kalau ada pertandingan bermain selalu menang. Karena itulah teman-teman sepermainan yang bertanding dengan dia menjadi sakit hati. Mereka mengatakan, bahwa Alisyah adalah anak yang tidak mempunyai bapak.
Karena itulah Alisyah tergesa-gesa pulang ke rumah dan menanyakan perihal bapaknya. Ia sangat malu dikatakan anak tak berbapak. Di manakah bapaknya sekarang. Kalau mati di mana kuburnya, dan kalau masih hidup di mana tinggalnya.
Oleh ibunya diterangkan, bahwa bapak Alisyah sekarang berada di Buntul Linge sebagai raja di sana. Jika Alisyah ingin menjumpai bapaknya, ibunya mengizinkan dan sebagai tanda Alisyah dibekali sebuah cincin yang diberikan Genali dahulu. Alisyah menyusul ayahnya ke Buntul Linge.
Di Buntul Linge ia diterima oleh semua keluarga dengan baik. Terutama ibu yang dijumpainya sangat senang kepadanya. Bahkan mengkhitankan anaknya bertiga sekaligus. Ketika akan dikhitankan ketiga anak itu dicoba. Siapakah di antara ketiganya yang tepat kelak menjadi raja. Secara bergiliran di atas kepala mereka diletakkan topi kerajaan.
Ternyata di antara ketiganya Alisyahlah yang serasi dengan topi itu. Maka ditetapkanlah, bahwa yang menggantikan Genali kelak ialah Alisyah.
Setelah ditetapkan siapa yang akan menjadi pengganti raja maka khitanan pun dilaksanakan. Salah satu di antara mereka ialah Joharsyah tidak termakan pisau. Karena malu ia lari ke daerah Batak.
Setelah Genali meninggal, Alisyahlah yang memerintah. Dia adalah seorang raja yang arif dan bijaksana. Rakyat bertambah makmur.
Namun demikian, ia teringat kembali ke Kutaraja. Ia ingin kembali. Alisyah pulang ke Kutaraja dan memerintah di sana, dan sebagai gantinya di Buntul Linge, memerintah Joharsyah. Tersebutlah di negeri lain, ketika pulau Sumatra telah timbul di permukaan air.
Kisah pertama ialah Raja Johor yang mempunyai dua orang putra, yang sulung bernama Muria dan yang bungsu bernama Sengeda. Ketika keduanya sedang bermain layang-layang datang angin kencang, hingga membawa mereka ke sebuah tempat bernama Senile.
Kisah kedua ialah Muria dan Sengeda ialah anak seorang petani yang disuruh ayahnya mencari itik yang hilang. Harus dicari sampai ketemu. Mereka tidak menemukan itik bahkan mereka terdampar ke Senile. Di sana mereka diterima raja Senile, yang bernama Muyang Kaya.
Muyang Kaya menanyakan asal kedua anak itu. Tapi mereka menjawab kami tidak mempunyai orang tua. Raja Serule mereka anggap sebagai orang tuanya. Raja Serule sangat sayang kepada keduanya dan dipelihara seperti anak sendiri.
Diceritakan pula bahwa dari Buntul Linge raja Joharsyah selalu melihat cahaya dari arah Serule. Karena itu ia ingin mengetahuinya. Ia sendiri berangkat ke Serule dan menanyakan sebabnya. Penyebab cahaya itu ternyata adalah Muria dan Sengeda. Karena itulah raja Linge meminta salah satu di antara keduanya maka ditetapkan untuk raja Linge ialah Muria. Dalam beberapa waktu dia memelihara anak itu sebagai anak raja.
Tetapi ketika raja Joharsyah mendengar kabar daripada ulama dan cerdik pandai bahwa anak itu kelak akan menjadi raja yang besar, maka raja Linge berpikir bahwa anak ini akan menghilangkan keturunannya menjadi raja.
Ia berniat akan membunuhnya, di Kala Singuk Samarkilang. Raja Linge juga meminta kepada raja Serule untuk membunuh Sengeda dengan alasan yang sama. Tapi raja Serule tidak mau melaksanakannya, bahkan raja Serule membohongi raja Linge beberapa kali.
Yang pertama ketika raja Serule menunjukkan bahwa kuburan yang sengaja dibuatnya. Ketika digali ternyata bukan Sengeda, tetapi kucing. Tempat itu sekarang bernama Buntul Kucing. Yang kedua ialah ketika raja Serule membunuh seekor beruang …, yang digantung di atas kayu dibuatnya menyerupai Sengeda.
Raja Linge akhirnya tahu juga. Tempat itu sekarang bernama genting Telkah. Tapi dengan peristiwa ini raja Muyang Kaya dapat menginsafkan raja Joharsyah.
Sebagai raja pengganti, Joharsyah lalu bermupakat dengan raja Serule mengirim Upeti (cap usur) ke Kutereje. Ketika Raja Serule mengantar upeti, Sengeda juga ikut ke Kutaraja. Pada saat raja Joharsyah dan raja Serule menyerahkan upeti, Sengeda menggambar seekor gajah. Gajah itu seolah-olah hidup. Ketika raja Alisyah melihatnya, beliau bertanya, kepada yang hadir. Dan tak seorang pun dapat menjawab. Lalu Sengedalah yang menerangkan bahwa ini adalah gambar seekor gajah putih yang banyak hidup di Samarkilang.
Raja Alisyah berpesan pada upeti yang akan datang, raja Serule dan raja Linge harus membawa gajah putih. Raja Linge sangat marah. Yang dapat menangkap gajah itu hanyalah Sengeda. Kabarnya gajah putih itu adalah penjelmaan roh abangnya Muria.
Gajah putih ditangkap dekat kuburan Muria di Samarkilang. Pada beberapa tempat gajah itu terlepas secara aneh misalnya di Timang Gajah dan di Calung. Dan pada saat membangunkan dari kubangan harus dinyanyikan diiringi tari diberi bedak dan mungkur, sehingga sampai sekarang ada Pengulu Bedak, Pengulu Mungkur serta Pengulu Bujang.
Raja Linge tak dapat menunaikan tugasnya membawa gajah putih di Kutaraja karena hewan itu mengamuk. Gajah mencari Raja Linge dan ingin dibunuhnya. Raja Linge bersembunyi di Krueng Daroi.
Karena itu Raja Alisyah heran, dan bertanya kepada Sengeda, engapa gajahmu bisa bertindak aneh. Sengeda menjawab bahwa raja Linge berbuat salah membunuh orang yang tidak bersalah. Raja Alisyah bertindak, raja Linge dipecat: Bawar (tanda kebesaran) diambil diserahkan kepada Sengeda. Sengeda diberi kerajaan di Bukit.
Kabar ini tersebar luas, sampai ke Linge sendiri dan neneknya Datu Beru.
Datu Beru datang ke Banda untuk meminta Bawar, tapi dijawab Raja Alisyah bahwa, bawar itu sudah diberikan kepada yang berhak tidak dapat dikembalikan lagi. Sebagai gantinya dibuat bawar tiruan. Datu Beru kembali, ketika sampai di Tunyang, ia meninggal dunia.
Sengeda memerintah sangat adil. Dia adalah raja yang bijaksana.


Disalin dari:
Abdurahim Dandy. Sejarah Daerah dan Suku Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979.

Proyek Museum Gayo Rp 5 Miliar Gagal

Serambinews.com

Proyek Museum Gayo Rp 5 Miliar Gagal

Senin, 2 Januari 2012 12:01 WIB
TAKENGON - Proyek Pembangunan Museum Gayo di Takengon yang dananya bersumber dari APBN 2011 senilai Rp 5 miliar dipastikan gagal dan dananya kembali ke Pusat. Gagalnya proyek itu disebut-sebut karena adanya tarik menarik kepentingan antara pejabat provinsi dengan Pemkab Aceh Tengah.

Dalam perencanaannya, Museum Gayo akan dijadikan wadah penyimpanan, iventarisasi, dan penyimpan situs sejarah Gayo. Museum itu sendiri direncanakan dibangun di lokasi Rumah Pitu Ruang (rumah adat Gayo) di Kampung Kemili, Kecamtan Bebesen, Aceh Tengah.

Anggota Komisi X DPR RI asal Aceh, Raihan Iskandar Lc, Minggu (1/1) mengatakan, biaya pembangunan Museum Gayo sudah dianggarkan dalam APBN 2011 sebesar Rp 5 miliar, namun hingga berakhirnya tahun anggaran 2011, proyek itu tidak terlaksana.

“Kegagalan itu tidak terlepas dari adanya perbedaan kepentingan bahkan tarik menarik antara sejumlah pejabat provinsi dengan Pemkab Aceh Tengah. Dana Rp 5 miliar yang berada pada Departemen Pariwisata dan Budaya RI kembali ke Pusat,” ungkap Raihan.

Menurut Raihan, selain untuk pembangunan museum, Pemerintah Pusat juga membantu pembangunan dermaga wisata di Kecamatan Lut Tawar, pinggiran Danau Laut Tawar senilai Rp 4 miliar. “itu juga gagal. Sangat kita sayangkan gagalnya kedua proyek tersebut,” kata Raihan.

Seharusnya, lanjut Raihan, pemerintah daerah tidak mengutamakan kepentingan pribadi dan tarik-menarik antara kepentingan Pemerintah Aceh dengan Pemkab Aceh Tengah. Apalagi, katanya, dana yang diplotkan itu merupakan dana pemerintah pusat melalui Direktorat Permeseuman Kementerian Pariwisata RI. “Seharusnya saling mendukung untuk merealisasikan proyek tersebut,” kata Raihan tanpa merinci bagaimana bentuk tarik menarik kepentingan tersebut.(min)

Editor : bakri

Mengenal Kerawang Gayo


Mengenal Kerawang Gayo



Oleh : Syamsuddin Said
“ Kerawang gayo mempunyai corak khas dengan penuh makna yang terkandung didalamnya,”
Pada tanggal 5 Nopember 2009 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Gayo Lues menyelenggarakan seminar tentang kerawang Gayo di Bale Musara Blangkejeren. Diharapkan hasil seminar ini dapat dibukukan dan selanjutnya menjadi bahan usulan agar kerawang Gayo memperoleh sertifikat hak atas kekayaan intelektual (HAKI) dari direktorat jenderal hak cipta Kemen terian Kehakiman dan HAM.  

Terlepas sudah atau belum terkirim usulan ini, bukanlah kapasitas penulis, karena ketika seminar berlangsung penulis berada di luar daerah namun kemudian Draf Notulen seminar ada diberikan kepada penulis. Disebutkan yang menjadi pengarah ketika itu adalah  Bupati Gayo Lues H. Ibnu Hasim sekaligus sebagai pemakalah di bantu oleh H. Radjab Abdullah.

Sedangkan sebagai pembanding adalah H.M. Ali R, A Rahman Bur dan Marwansyah Sehbi, tetapi dalam notulen tersebut tidak dijelaskan jumlah pesertanya. Namun hal tersebut bukan masalah besar, yang paling penting merumuskan kesepakatan makna yang tertera dari ukiran Kerawang Gayo serta warna dasar dipakai.

Tentu saja warna dasar Kerawang Gayo adalah Hitam yang melambangkan segala keputusan di tangan adat. warna lain yang terdapat dalam ukiran Kerawang Gayo ialah Putih lambang kesucian dan keiklasan, Hijau lambang kesuburan, Kuning lambang kejayaan dan Merah lambang keberanian.

Motif ukiran Kerawang Gayo terdiri dari 14 macam yaitu :
1.    Motif leladu
Lambang kebersamaan ( duduk sama rendah dan tinggi sama tinggi, atau kunul sara duk ratib sara anguk ).
2.    Motif Sesirung
Melambangkan bahwa dalam kehidupan ini harus saling membantu antara si kaya dengan si miskin, saling asah, saling asih, dan saling asuh.
3.    Motif Puter Tali
Lambang persatuan dan kesatuan.
4.    Motif Pucuk Rebung
Melambangkan keadilan dan perlindungan kepada segenap lapisan masyarakat .
5.    Motif Mata Itik
Melambangkan petunjuk ulama tentang ilmu dunia dan akhirat serta lahir dan batin atau  amar makrub nahi mungkar.
6.    Motif Gegaping
Lambang Ketaatan beragama dan setia mempertahankan adat istiadat dan budaya.
7.    Motif Tulen Niken
Lambang kewajiban membela diri ketika diserang dengan prinsif jangan menganggu orang jika tidak di ganggu.
8.    Motif Mun Berangkat
Melambangkan kewajiban memperbaharui dan memperbaiki kehidupan serta hijrah dari kebatilan menuju yang hak dan kebaikan serta kebesaran.
9.    Motif  Sede Benang/Rempelis
Lambang Kejujuran, ketulusan hati dan ke iklasan serta kebenaran.
10.    Motif Tabur
Lambang daerah dan wilayah kekuasaan.
11.    Motif Bunge Lapan
Lambang struktur pemerintahan 8 kejurun (reje) tempo dulu dibawah kejurun patiambang.
12.    Motif Tampuk Manis
Struktur pemerintahan yang lebih kecil ( reje kecil ).
13.    Motif Sede Rino
Melambangkan bahwa urang Gayo bisa menerima budaya luar tetapi tidak merusak budaya Gayo yang sudah mengakar.
14.    Motif Bunge Panah
Lambang perlindungan terhadap kelestarian adat istiadat dan lingkungan hidup.
  
Ukiran serta motif Kerawang Gayo tersebut terdapat pada baju  kerawang yang dipakai oleh kaum wanita terutama anak gadis (beberu) pada waktu-waktu tertentu, yang disebut juga baju lukup atau tabur bintang dan tampuk manis.

Pada mulanya baju Gayo untuk anak gadis sebelumnya disebut baju KLIP (tanpa ukiran), kemudian berkembang menjadi baju jait kerlang (sudah ada ukiran di bagian bahu ). Seterusnya menjadi baju jait lapan. Sedang untuk laki-laki disebut baju BAT, atau baju kantong disebut juga baju pokok untuk para sebujang  ( pemuda ).

Upuh Kerawang seperti kain panjang terdiri dari dua macam pula yaitu : terdiri dari lima atau tujuh lajur ukiran kerang disebut lime tiang atau pitu tiang dan biasanya di beri tambahan renggiep yang terbuat dari perak. Dikedua ujungnya khusus untuk pengantin pria dan wanita.
Dapat ditambahkan disini bahwa kerawang Gayo yang disebutkan ini khusus di gunakan oleh urang Gayo yang berasal dari Gayo Lues, atau lokop serba jadi. Jadi berbeda dengan ukiran kerawang dari aceh Tengah dan Bener Meriah maupun dengan kerawang dari tanah Alas, meskipun dengan mereka juga masih serumpun**

GAYO Nusantara.