Pada jaman dahulu kala ketika dunia ini masih diliputi lautan yang
mahaluas, dan daratan masih ditumbuhi tumbuhan jarum, hiduplah di negeri
Rum dua bersaudara. Si abang sebagai rakyat jelata, mempunyai tujuh
orang putra, sedang adiknya sebagai seorang raja, mempunyai tujuh orang
putri.
Pada suatu hari ketujuh putra si abang meminta kepada ayahnya, agar
ayahnya membuat kail seorang satu buah. Karena ayahnya begitu sayang
kepada anaknya lalu ia mencari beberapa kerat kawat. Tiap potong dibuat
dua mata kail. Kini tinggal satu lagi yang tidak punya pasangan. Ketika
kawat itu belum dikerat, seorang anaknya bernama Genali secara diam-diam
mengambil kawat yang masih lurus tadi.
Dengan cepat ia mencari tali dan mengikat kawat lurus itu, lalu ia
pergi ke laut. Setelah Genau pergi barulah orang tuanya sadar bahwa
kawatnya hilang satu potong dan anaknya seorang tidak ada lagi.
Pada saat itu Genali sedang mengail dan duduk di atas sepotong batang
kayu yang dapat terapung jika air pasang. Seekor ikan segera memakan
kailnya. Genali menarik kail, tapi ia sendiri ikut ditarik ikan itu ke
tengah dan terus sampai ke tengah lautan luas. Sehingga ia terdampar di
sebuah pulau kecil bersama ikan dan perahu kayunya.
Berbulan-bulan ia di situ sendirian sehingga pakaiannya habis dan
makanan pun tidak ada lagi. Tiap saat ia memohon pada Yang Maha Kuasa
agar ia terlepas dari bencana ini. Sehingga pada suatu hari lewatlah
sebuah kapal ke pulau itu. Kapal itu dipanggilnya.
Tetapi tidak mau berhenti. Anehnya kapal itu hanya berputar-putar di
daerah itu saja. Barulah ketika kapal itu singgah dan menerima pesan
dari Genali mereka dapat berlayar dengan lancar kembali.
Lima bulan kemudian kapal itu sampai di negeri Rum. Ikan diserahkan
kepada sultan Rum dan pesan Genau meminta ayam jago yang bagus kokoknya
dan kain putih empat hasta disampaikan.
Raja Rum menerima pesan Genau dengan baik, dan ikan kiriman lalu dibelah. Di dalamnya terdapat intan berlian.
Permintaan Genali, ayam jago yang bagus kokoknya, putri raja Rumlah
yang menebaknya. Sebenarnya dirinyalah yang dipesan Genali, tak dapat
ditolak lagi, karena kiriman Genali berupa ikan sudah diterima dan
dibelah pula. Persediaan untuk berangkat dilengkapi : Sebuah kapal, juga
hewan ternak, inang pengasuh, orang cerdik pandai, dan bibi putri Terus
Mata bernama datu Beru ikut serta.
Setelah selesai mereka pun berangkat. Sebulan kemudian kapal itu
sampailah di pulau tempat Genali berada. Yang pertama diserahkan ialah
kain putih empat hasta, karena Genali tidak berpakaian.
Beberapa lama kemudian putri Terus Mata dan Genali dinikahkan di
pulau itu. Pulau itu sekarang terkenal dengan buntul Linge, dengan
rajanya bernama Genali.
Keturunan Raja Genali adalahJoharsyah, Joharsyah dan Merah Abuk.
Setelah lama Genau memerintah, pada suatu hari sakit lalu meninggal
dunia. Aneh ketika keranda dibuka dan akan dimakamkan, jenazahnya
hilang. Rakyat terharu bercampur heran. Kemudian kerajaan diperintah
oleh permaisuri.
Tersebutlah raja yang mangkat, sebenarnya jasadnya terbang ke Kutaraja.
Di sana Genali juga menikah dan dapat keturunan seorang putra bernama
AUsyah. Ketika Alisyah masih kecil Genali pergi ke Gayo dan memerintah
di sana.
Sekembalinya Genali ke Gayo, Alisyah dipelihara ibunya sampai
menanjak besar. Alisyah adalah anak yang pintar. Kalau ada pertandingan
bermain selalu menang. Karena itulah teman-teman sepermainan yang
bertanding dengan dia menjadi sakit hati. Mereka mengatakan, bahwa
Alisyah adalah anak yang tidak mempunyai bapak.
Karena itulah Alisyah tergesa-gesa pulang ke rumah dan menanyakan
perihal bapaknya. Ia sangat malu dikatakan anak tak berbapak. Di manakah
bapaknya sekarang. Kalau mati di mana kuburnya, dan kalau masih hidup
di mana tinggalnya.
Oleh ibunya diterangkan, bahwa bapak Alisyah sekarang berada di
Buntul Linge sebagai raja di sana. Jika Alisyah ingin menjumpai
bapaknya, ibunya mengizinkan dan sebagai tanda Alisyah dibekali sebuah
cincin yang diberikan Genali dahulu. Alisyah menyusul ayahnya ke Buntul
Linge.
Di Buntul Linge ia diterima oleh semua keluarga dengan baik. Terutama
ibu yang dijumpainya sangat senang kepadanya. Bahkan mengkhitankan
anaknya bertiga sekaligus. Ketika akan dikhitankan ketiga anak itu
dicoba. Siapakah di antara ketiganya yang tepat kelak menjadi raja.
Secara bergiliran di atas kepala mereka diletakkan topi kerajaan.
Ternyata di antara ketiganya Alisyahlah yang serasi dengan topi itu.
Maka ditetapkanlah, bahwa yang menggantikan Genali kelak ialah Alisyah.
Setelah ditetapkan siapa yang akan menjadi pengganti raja maka khitanan
pun dilaksanakan. Salah satu di antara mereka ialah Joharsyah tidak
termakan pisau. Karena malu ia lari ke daerah Batak.
Setelah Genali meninggal, Alisyahlah yang memerintah. Dia adalah seorang raja yang arif dan bijaksana. Rakyat bertambah makmur.
Namun demikian, ia teringat kembali ke Kutaraja. Ia ingin kembali.
Alisyah pulang ke Kutaraja dan memerintah di sana, dan sebagai gantinya
di Buntul Linge, memerintah Joharsyah. Tersebutlah di negeri lain,
ketika pulau Sumatra telah timbul di permukaan air.
Kisah pertama ialah Raja Johor yang mempunyai dua orang putra, yang
sulung bernama Muria dan yang bungsu bernama Sengeda. Ketika keduanya
sedang bermain layang-layang datang angin kencang, hingga membawa mereka
ke sebuah tempat bernama Senile.
Kisah kedua ialah Muria dan Sengeda ialah anak seorang petani yang
disuruh ayahnya mencari itik yang hilang. Harus dicari sampai ketemu.
Mereka tidak menemukan itik bahkan mereka terdampar ke Senile. Di sana
mereka diterima raja Senile, yang bernama Muyang Kaya.
Muyang Kaya menanyakan asal kedua anak itu. Tapi mereka menjawab kami
tidak mempunyai orang tua. Raja Serule mereka anggap sebagai orang
tuanya. Raja Serule sangat sayang kepada keduanya dan dipelihara seperti
anak sendiri.
Diceritakan pula bahwa dari Buntul Linge raja Joharsyah selalu
melihat cahaya dari arah Serule. Karena itu ia ingin mengetahuinya. Ia
sendiri berangkat ke Serule dan menanyakan sebabnya. Penyebab cahaya itu
ternyata adalah Muria dan Sengeda. Karena itulah raja Linge meminta
salah satu di antara keduanya maka ditetapkan untuk raja Linge ialah
Muria. Dalam beberapa waktu dia memelihara anak itu sebagai anak raja.
Tetapi ketika raja Joharsyah mendengar kabar daripada ulama dan
cerdik pandai bahwa anak itu kelak akan menjadi raja yang besar, maka
raja Linge berpikir bahwa anak ini akan menghilangkan keturunannya
menjadi raja.
Ia berniat akan membunuhnya, di Kala Singuk Samarkilang. Raja Linge juga
meminta kepada raja Serule untuk membunuh Sengeda dengan alasan yang
sama. Tapi raja Serule tidak mau melaksanakannya, bahkan raja Serule
membohongi raja Linge beberapa kali.
Yang pertama ketika raja Serule menunjukkan bahwa kuburan yang
sengaja dibuatnya. Ketika digali ternyata bukan Sengeda, tetapi kucing.
Tempat itu sekarang bernama Buntul Kucing. Yang kedua ialah ketika raja
Serule membunuh seekor beruang …, yang digantung di atas kayu dibuatnya
menyerupai Sengeda.
Raja Linge akhirnya tahu juga. Tempat itu sekarang bernama genting
Telkah. Tapi dengan peristiwa ini raja Muyang Kaya dapat menginsafkan
raja Joharsyah.
Sebagai raja pengganti, Joharsyah lalu bermupakat dengan raja Serule
mengirim Upeti (cap usur) ke Kutereje. Ketika Raja Serule mengantar
upeti, Sengeda juga ikut ke Kutaraja. Pada saat raja Joharsyah dan raja
Serule menyerahkan upeti, Sengeda menggambar seekor gajah. Gajah itu
seolah-olah hidup. Ketika raja Alisyah melihatnya, beliau bertanya,
kepada yang hadir. Dan tak seorang pun dapat menjawab. Lalu Sengedalah
yang menerangkan bahwa ini adalah gambar seekor gajah putih yang banyak
hidup di Samarkilang.
Raja Alisyah berpesan pada upeti yang akan datang, raja Serule dan
raja Linge harus membawa gajah putih. Raja Linge sangat marah. Yang
dapat menangkap gajah itu hanyalah Sengeda. Kabarnya gajah putih itu
adalah penjelmaan roh abangnya Muria.
Gajah putih ditangkap dekat kuburan Muria di Samarkilang. Pada
beberapa tempat gajah itu terlepas secara aneh misalnya di Timang Gajah
dan di Calung. Dan pada saat membangunkan dari kubangan harus
dinyanyikan diiringi tari diberi bedak dan mungkur, sehingga sampai
sekarang ada Pengulu Bedak, Pengulu Mungkur serta Pengulu Bujang.
Raja Linge tak dapat menunaikan tugasnya membawa gajah putih di
Kutaraja karena hewan itu mengamuk. Gajah mencari Raja Linge dan ingin
dibunuhnya. Raja Linge bersembunyi di Krueng Daroi.
Karena itu Raja Alisyah heran, dan bertanya kepada Sengeda, engapa
gajahmu bisa bertindak aneh. Sengeda menjawab bahwa raja Linge berbuat
salah membunuh orang yang tidak bersalah. Raja Alisyah bertindak, raja
Linge dipecat: Bawar (tanda kebesaran) diambil diserahkan kepada
Sengeda. Sengeda diberi kerajaan di Bukit.
Kabar ini tersebar luas, sampai ke Linge sendiri dan neneknya Datu Beru.
Datu Beru datang ke Banda untuk meminta Bawar, tapi dijawab Raja Alisyah
bahwa, bawar itu sudah diberikan kepada yang berhak tidak dapat
dikembalikan lagi. Sebagai gantinya dibuat bawar tiruan. Datu Beru
kembali, ketika sampai di Tunyang, ia meninggal dunia.
Sengeda memerintah sangat adil. Dia adalah raja yang bijaksana.
Disalin dari:
Abdurahim Dandy. Sejarah Daerah dan Suku Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979.
No comments:
Post a Comment