Ini Rumah Sewaan Pertama di Kota Banda Aceh
Written By mus de oranje on 19 Maret 2013 | 01:41
RUMAH kopel
memanjang di gang melingkar itu telah lama berganti pemilik. Juga
berganti rupa. Gang kecil, yang dulunya sangat terkenal
sebagai hunian elite birokrat, dengan nama ke”belanda-belanda”an,
Spordex, telah bersalin nama dengan nama baru Linggar Waru.
Sebuah
nama, entah dari reinkarnasi mana datangnya, sehingga mengubah pula
bentuk bangunan kopel memanjangnya dengan ruko dan rumah-rumah gaya
minimalis.
Spordex.
Spoor dan dex. Dua kata bahasa Belanda. Kereta api dan tanggul.
Spordex, memang tanggul rel kereta api, dulunya. Dex yang dibangun
Belanda di awal penaklukan Aceh, 1874, untuk memudahkan mobilitas
logistik dan pasukan dari Uleue Lheue ke Koetaradja sepanjang lima
kilometer, melintasi Pekan Aceh, Lampaseh, Deah Baro maupun Deah
Geuleumpang.
Spordex,
tanah tanggul kereta api itu, entah bagiamana awalnya, diadopsi untuk
sebuah nama “cluster” hunian di tengah kota oleh seorang Yunani muda,
Petros Franxiscus Handziris. Kluster sangat terkenal bagi warga Banda
Aceh kala itu. Hunian elite birokrat berstatus rumah sewa. Hunian yang
dicatat sebagai properti pertama di Koetaradja.
Handziris
memang “tuan” rumah sewa di Koetaradja. “Tuan” dengan status sosial
tinggi di lingkungan pergaulan elite kota dengan menabur kepemilikan
kluster rumah sewa. Kepemilikan rumah sewan yang tidak hanya di gang
melingkar Spordex, tapi juga merambah ke jalan Cut Meutia, samping Java
Bank (kini BI) dan kini telah jadi barisan pertokoan, yang salah
satunya, rumah makan Asia Utama. Bahkan, sampai ke Merduati.
Di
Merduati jejak properti Handziris masih bisa dilacak lewat ingatan
banyak penduduk Banda Aceh. Letaknya, ketika itu, agak terperosok di
pantat jalan “tusuk sate,’ Muhammad Jam – Merduati. Persisnya di barisan
toko buku Zikra, sekarang,
sebelum
dibangun jalan tembus, ujung Muhamad Jam. Gangnya berkelok dari arah
sebuah jembatan kecil di samping rumah panggung, kantor legiun veteran,
dan tembus ke depan kantor majelis ulama sekarang. Lokasinya agak
tersembunyi di belakang kerumunan bangunan.
Rumah
kopel Merduati hanya satu baris, sebanyak enam unit. Bangunannya dari
kayu berjendela tinggi dari kaca. Dan sebagai rumah sewa, seperti
Spordex maupun samping BI, penghuninya selalu gonta ganti.
Spordex,
rumah kopel Cut Meutia dan kopel ujung jalan Muhammad Jam, memang tidak
bisa dipisahkan dari Petros F Handziris. “Tuan Muda,” sebagaimana
tertulis di nisannya, yang datang ke Koetaradja dari sebuah kota kecil
berteluk indah, Tinos di Yunani, yang juga tercatat sebagai kota
kelahiran Tina, istri raja kapal Onasis, di tahun 1900. Ia datang ke
Koetaradja dalam usia sangat remaja, 17 tahun.
Sebelum
ke Koetaradja, menurut berbagai informasi, tuan muda Ziris, sempat
singgah dan menetap sementara di Medan. Ia punya paman dari garis ibu
yang telah lama menetap di sana dan juga menekuni bisnia rumah sewa.
Sang pamanlah yang “mengundang” Ziris ke Hindia Belanda dan membekalinya
dengan modal untuk membangun rumah sewa di Koetaradja.
Ziris pernah dimintakan klarifikasinya atas informasi ini dan dia mengiyakan tanpa ingin mengomentari.
Kluster
hunian Spordex, menurut catatan yang agak simpang
siur, dibangun tahun 1907. Dalam dua type. Type pertama, sebanyak 15
unit, berbentuk kopel dua, bergaya semi art deco, permanen, di sisi
utara. Sedangkan di sisi selatan juga bangunan berbentuk kopel
memanjang sebanyak sepuluh unit bangunan kayu.
Satu
dari lima belas bangunan permanennya, di sisi utara, ditempati oleh
lelaki kelahiran 1883 itu, hingga akhir usianya tahun 1960.
“Saya
masih ingat rumah yang ditempati Handziris. Ada pahatan namanya di atas
pintu utama disertai gambar bendera Yunani sedang berkibar. Sekarang
saya tidak tahu apa masih ada pahatan itu,” ujar Teuku Bahrum, 66 tahun,
pemilik Hotel Rajawali, yang dipenghujung tahun limapuluhan pernah
tinggal di Spordex dan beristrikan anak salah seorang penghuni disana.
Bahrum
memang bisa dengan pas mengingat rumah tinggal Handziris karena ia
pernah menjadi penghuni salah satu rumah sewa di situ. “Saya lama
tinggal di Spordex dan tahu penghuninya, kala itu. Mereka para pejabat
penting. Ada Pak Binsar, kepala kantor statistik, jaksa Darwis, bupati
Tengku Sulaiman, Cut Rahmah dan banyak lainnya,” kenang Bahrum.
Komunitas
Spordex, waktu itu, menurut Bahrum, sangat beragam. Plural. Baik dari
suku, agama maupun status sosial. “Tapi harmoni. Kami seperti keluarga
besar. Mungkin pengaruh romantisme pasca perang,” ujar pemilik hotel
Rajawali itu melayangkan ingatannya ketahun limapuluhan ketika ia
menjadi salah seorang penghuni gang melingkar di pangkal jalan
Diponegoro itu.
Bahkan,
menurut Bahrum, hingga kini, ia masih rajin berkomunikasi sesama
mantan penghuni. Ia menyebut anak-anak Pak Binsar atau anak-anak Pak
Sitompul yang telah jadi “orang.” Bahkan anak Pak Darwis, asal Minang,
beberapa orang diantaranya menjadi tentara dan berpangkat jenderal.
Begitu juga dengan anak Pak Sitompul yang pernah jadi jenderal dalam
posisi penting di TNI-AD “Mereka rata-rata sukses karena mendapat
pendidikan yang baik,” katanya serius..
Linggar
Waru, atau Spordex, kini tak lagi dengan wajah maupun suasana semasa
Handziris masih datang mengutip uang sewa. Dan tidak juga seperti yang
bisa dikenang Teuku Bahrum ketika masih berdomisili di sana. Handziris
telah berpulang 19 April tahun 1960, dan dikebumikan di pekuburan
Kherkof.
Rumah-rumah
Handziris, baik yang permanen maupun bangunan kayu, di Spordex telah
beralih kepemilikan.Ada diantara rumah itu yang alih kepemilikannya
berlangsung lebih dari sepuluh kali. “Tak ada lagi pemilik lama di
sini,” kata salah seorang penghuni di barisan rumah permanen tanpa ingin
disebut namanya. Ia sendiri mengaku menjadi pemilik kedelapan.
Sumber : nuga.co
No comments:
Post a Comment